22
umrah. 7 Majlis ijab dan qabul itu harus di hadiri minimum empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
13
Mengenai mahar para ulama sepakat untuk menempatkan mahar sebagai syarat sahnya suatu pernikahan karena hukumnya yang wajib, karena
apabila sebelum dibayar mahar, seorang istri belum boleh dicampuri kecuali mahar tersebut ditangguhkan pada saat pengucapan lafaz ijab qabul, yang
berarti pembayarannya di belakang hari.
14
Berbeda dengan Jumhur Ulama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengenal adanya rukun nikah, hanya memuat syarat
nikah, yaitu : a. Perkawinan barulah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya pasal 2 ayat 1. b. Pekawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
c. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.
d. Perkawinan hanya diperkenankan apabila pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan telah mencapai umur 16 tahun.
e. Perkawinan yang akan dilakukan untuk kedua kali atau kesekian kalinya
13
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 62-63.
14
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 179.
23
dari seorang perempuan yang bercerai karena kematian suami, harus telah lewat tenggang waktu 130 hari terhitung sejak hari kematian suami pasal
39 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
f. Bilamana perempuan putus perkawinannya yang dahulu karena perceraian, karena putusan pengadilan atau karena talaq maka harus
menunggu lampau tenggang waktu 90 sembilan puluh hari, sejak putusnya perkawinan itu. pasal 39 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
g. Bilamana seorang perempuan yang putus perkawinannya karena sesuatu sebab yang syah sedang dia dalam keadaan hamil akan kawin lagi, harus
menunggu bayi yang dikandungnya lahir. pasal 39 ayat 1 Huruf C Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. h. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
i. Perkawinan seorang laki-laki dengan isteri kedua, ketiga, dan keempat harus ada izin dari Pengadilan Agama bagi orang-orang Islam, Pengadilan
Negeri bagi non Islam harus pula memenuhi beberapa persyaratan khusus yang diatur dalam pasal 3 jo pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
24
tentang Perkawinan jo pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
15
3. Tujuan dan Hikmah Nikah
a. Tujuan Nikah
Seseorang yang melakukan pernikahan pasti memiliki tujuan agar rumah tangganya dapat kekal abadi sampai maut memisahkan, maka
tujuan dari nikah adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana yang terdapat di dalam QS. Ar
Ruum ayat 21, serta untuk mendapatkan keturunan yang baik agar dapat melanjutkan kehidupan, agar teraturnya nasab karena dengan adanya
pernikahan yang sah maka keturunan yang dilahirkan akan jelas siapa nasab keturunannya, dan agar teraturnya pembagian harta waris karena
pernikahan adalah peristiwa hukum yang akan berakibat hukum, dan dengan pernikahan yang sah maka akan menimbulkan pembagian hak
waris kepada pasangan dan keturunan yang sah.
Tujuan nikah menurut perintah Allah Swt adalah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang teratur. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup
jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga
15
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 182-184.
25
dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan
ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, juga ketentraman keluarga dan masyarakat.
16
Dalam beberapa literatur tujuan dari nikah , yaitu : 1 Untuk membentuk kehidupan yang tenang, rukun, dan bahagia.
2 untuk menimbulkan saling cinta dan saling menyayangi. 3 untuk mendapatkan keturunan yang sah.
4 untuk menimbulkan keberkahan hidup.
5 menenangkan hati orang tua dan keluarga.
17
Sedangkan tujuan dari nikah menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri harus ada saling pengertian, saling bantu membantu dan
lengkap-melengkapi satu sama lain, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai
kesejahteraan baik spiritual maupun material. Karena tujuan dari nikah adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menganut prinsip mempersukar
16
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 26.
17
H. Moh. Anwar, Fiqih Islam: Mu’amalah, Munakahat, Faro’id Jinayah, Bandung: PT. Al Ma’arif, cet. II, 1988, h. 114.
26
terjadinya perceraian.
18
b. Hikmah Nikah
Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan tatanan keluarga yang tenang, damai, tenteram, dan penuh kasih sayang.
Selain itu pernikahan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan generasi yang baik. Dengan adanya pernikahan sebagaimana diatur oleh
agama, maka anak-anak dan keturunan akan terpelihara nasab keturunannya, dan salah satu harapan adanya pernikahan juga untuk
memperoleh keturunan yang baik, sholeh dan sholeha.
19
Dengan demikian, pernikahan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu, keluarga,
masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia, berikut ini beberapa hikmah dari pernikahan:
1 Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i.
2 Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran hawa nafsu yang tidak benar seperti perzinaan.
3 Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram. 4 Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib dan teratur.
5 Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rizki yang halal
18
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 181.
19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Bandung: PT. Al Ma’arif, jilid 6, 1990, h. 18.