Pengaruh Nikah Di Bawah Tangan Terhadapa Psikologis Istri Dan Anak (Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)

(1)

PENGARUH NIKAH DI BAWAH TANGAN TERHADAP

PSIKOLOGIS ISTRI DAN ANAK

(Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Nur Khofifah Syarif 1110044100046

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

ii

PENGARUH NIKAH DI BAWAH TANGAN TERHADAP

PSIKOLOGIS ISTRI DAN ANAK

(Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

oleh:

Nur Khofifah Syarif NIM: 1110044100046

Di Bawah Bimbingan:

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP: 195003061976031001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

(4)

(5)

v

ABSTRAK

Nur Khofifah Syarif, NIM 1110044100046. Judul Skripsi “Pengaruh Nikah di Bawah Tangan Terhadap Psikologis Istri dan Anak (Studi Kasus di Kelurahan

Cinere Depok)”. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga

Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1436 H/2015 M, x + 87 halaman + 30 halaman lampiran.

Fokus studi ini adalah bagaimana dampak praktik nikah di bawah tangan yang banyak terjadi pada masyarakat kelurahan Cinere Depok terhadap psikologis istri dan anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan terhadap psikologis istri dan anak, apa sebenarnya yang menjadi motif seorang perempuan mau dinikahi secara nikah di bawah tangan, kemudian bagaimana pengetahuan hukum masyarakat tentang pencatatan perkawinan.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Data yang diperoleh bersumber dari buku atau literatur kepustakaan, serta diperoleh dari penelitian lapangan berupa wawancara. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif.

Studi menunjukkan bahwa faktor penyebab masyarakat kelurahan Cinere Depok melakukan nikah di bawah tangan diantaranya, faktor ekonomi (tingginya biaya pencatatan perkawinan), proses administrasi yang berbelit-belit serta lama, karena poligami, karena hamil di luar nikah, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat. Dampak dari pernikahan di bawah tangan terhadap istri dan anak sangat besar, dimana istri tidak akan pernah dianggap sebagai istri sah dan akibatnya tidak berhak atas hak nafkah dan waris, begitu juga dengan anak, anak tidak memiliki akta kelahiran dan akibatnya anak sulit untuk mendaftarkan sekolah dan ini menjadi beban psikis tersendiri bagi diri anak tersebut. Nikah di bawah tangan adalah sah menurut hukum Islam jika memenuhi rukun dan syarat nikah, tetapi tidak sah menurut hukum Positif karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan tercatatnya pernikahan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Walaupun Undang-Undang yang dibuat sudah sedemikian rupa namun masih banyak masyarakat yang tidak taat hukum, dan masih adanya anggapan dari mereka bahwa sah atau tidaknya sebuah perkawinan bukan ditentukan dari dicatat atau tidaknya perkawinan.

Kata Kunci : Pernikahan, Pencatatan, Nikah di bawah tangan, Psikologi. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA


(6)

vi

ﻢﯿﺣ ﺮﻟا ﻦﻤﺣ ﺮﻟا ﷲ ﻢﺴﺑ

Alhamdulillah Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “Pengaruh Nikah di Bawah Tangan Terhadap Psikologis Istri dan Anak (Studi Kasus di Kelurahan Cinere Depok)” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy), pada Fakultas Syariah dan Hukum. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah atas junjungan besar kita Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M. A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Ketua Program Studi dan Arip Purkon, M. A., sekretaris Progam Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA, dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar membimbing dalam meyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan tulus telah memberikan ilmunya selama menuntut ilmu di kampus tercinta ini, dengan segala rasa ta’dzim “semoga apa yang telah diajarkan menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat”.


(7)

vii

5. Segenap pengelola Perpustakaan Fakulatas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data pustaka.

6. Teruntuk Ayahanda Syarifudin HM, dan Ibunda Siti Khodijah kupersembahkan karyaku ini untuk kalian berdua yang selalu aku cintai lebih dari apapun, yang selalu memberikan dukungan moril kasih sayang, perhatian, serta nasehat dengan penuh keikhlasan dan tiada henti selalu mendoakan penulis serta dukungan materil yang tak terhingga, untuk Ayahanda H. Mursidih dan Ibunda Hj. Mulyanah Semoga Allah Swt selalu memberikan rahmat dan kesehatan, serta membalas kebaikan Ayahanda dan Ibunda, amin ya rabbal ‘alamin. Untuk nenek Hanifah yang sangat aku sayangi, yang selalu mendoakan penulis dengan ikhlas dan menjadi pengganti orang tua selama penulis menuntut ilmu dan harus tinggal dirumahnya, hanya Allah SWT yang bisa membalas kebaikan nenek dan semoga Allah selalu mengkaruniakan nikmat sehat dan keberkahan rizki, amiin ya rabbal ‘alamin.

7. Teruntuk suamiku tercinta Rizka Hidayat S.Pd.I yang selalu memberikan support agar tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan studi ini, i do love...

8. Sahabat seperjuangan yang selalu ada dalam suka dan duka Siti Rachmah, Siti Nurjanah dan teman-teman jurusan Peradilan Agama (Syariah dan Hukum) angkatan 2010, terima kasih untuk kalian semua atas kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga silaturrahim kita akan tetap terus terjalin.


(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Studi Review Terdahulu ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN DAN HAKIKAT PSIKOLOGI ... 16

A. Pengertian, Rukun dan Syarat, Tujuan dan Hikmah, serta Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan ... 16 B. Pengertian Pencatatan Nikah, Pencatatan Nikah Menurut


(9)

ix

Hukum Islam, dan Pencatatan Nikah Menurut

PerUndang-Undangan ... 32

C. Pengertian Nikah di Bawah Tangan, Nikah di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam, dan Nikah di Bawah Tangan Menurut Perundang-Undangan ... 41

D. Hakikat Psikologi ... 46

BAB III : POTRET WILAYAH DAN PENDUDUK KELURAHAN CINERE KOTA DEPOK ... 61

A. Kondisi Geografis Kelurahan Cinere ... 61

B. Kondisi Demografis Kelurahan Cinere ... 62

C. Kondisi Sosiologis Kelurahan Cinere ... 64

BAB IV : NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN PENGARUH PSIKOLOGIS BAGI ISTRI DAN ANAK ... 66

A. Kasus Nikah di Bawah Tangan di Kelurahan Cinere Depok ... 66

B. Faktor Penyebab Nikah di Bawah Tangan ... 70

C. Dampak Psikologis Istri dan Anak karena Nikah di Bawah Tangan ... 75

BAB V : PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan... 78

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN-LAMPIRAN :


(10)

x

A. DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 63

Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Pekerjaan . 64 Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Warga Negara Asing ... 65

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Agama ... 65

B. DAFTAR LAMPIRAN 1. Lembar Permohonan Dosen Pembimbing Skripsi ... 86

2. Lembar Permohonan Data/Wawancara Kantor Kelurahan Cinere ... 87

3. Lembar Permohonan Data/Wawancara KUA Kecamatan Limo ... 88

4. Lembar Keterangan Hasil Penelitian di Kelurahan Cinere ... 89

5. Lembar Keterangan Hasil Penelitian di KUA Kecamatan Limo ... 90

6. Peta Wilayah Penelitian ... 91

7. Lembar Pernyataan Wawancara ... 92

8. Pertanyaan Wawancara ... 93

9. Hasil Wawancara ... 97

10.Photo Wawancara Dengan Responden... 116


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan untuk mengabdikan dirinya kepada khaliq, penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi seorang manusia antara lain adalah kebutuhan biologisnya, agar manusia mengetahui tujuan kejadiannya, Allah Swt mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.1

Allah memilih perkawinan sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa saling ridha, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.2

Dalam membangun ikatan perkawinan diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami isteri agar dapat terbentuk keluarga yang sakinah,

1

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), h. 22-23.

2


(12)

mawaddah, dan rahmah seperti yang diimpikan oleh setiap pasangan suami isteri. Artinya, ada 3 kunci yang harus dipegang dalam mengarungi kehidupan berumah tangga yaitu Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah. Pertama, Sakinah merupakan kata kunci yang amat penting, dimana pasangan suami istri merasakan kebutuhan untuk mendapatkan kedamaian, keharmonisan,dan ketenangan hidup yang dilandasi oleh keadilan, keterbukaan, kejujuran, kekompakan, keserasian, serta berserah diri kepada Allah SWT. Kedua, Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis dengan keinginan untuk selalu berdekatan tetapi lebih dari itu, mawaddah adalah cinta plus karena cintanya disertai dengan penuh dengan keikhlasan dalam menerima kekurangan dan kelebihan orang yang dicintai. Ketiga, Rahmah merupakan perasaan saling simpati, menghormati, menghargai antara satu dengan yang lainnya, saling mengagumi, memiliki kebanggaan pada pasangannya sebagaimana ia memperlakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri.3

Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang akan menimbulkan hubungan hukum privat seperti hubungan nasab, kewarisan, dan lain-lain, maupun hubungan hukum publik seperti hubungan dengan masyarakat dan Negara. Campur tangan (intervensi) Negara terhadap lembaga perkawinan dapat dipahami, karena dampak hubungan hukum yang dilahirkannya sangat luas. Negara menginginkan semua hubungan hukum warganya berjalan teratur dan pasti.4

3

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 48-50.

4

Agustina Bilondatu, Optimalisasi Peran Kua Dalam Mengatasi Illegal Wedding, artikel di akses pada 23 Januari 2014 dari http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JL/article/view/882/823.


(13)

3

Situasi, kondisi, dan kebutuhan zaman telah berubah, apa yang dahulu tidak penting sekarang ini menjadi penting, apa yang dahulu sia-sia sekarang menjadi bermanfaat. Jika zaman dahulu pencatatan perkawinan adalah suatu hal yang tidak penting, namun ketika zaman telah berubah seperti sekarang ini justru pencatatan perkawinan menjadi suatu hal yang sangat penting dan harus dilakukan.5

Berdasarkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Pencatatan Perkawinan menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.6 Dengan demikian, jelas bahwa spirit yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan kita adalah meletakkan perkawinan sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan pengamalan ajaran agama dan kepercayaan masyarakat dan bukan hanya sebagai suatu peristiwa perdata biasa sebagaimana yang dianut oleh KUHPerdata (Burgerlijke

wetboek) sehingga yang dipentingkan adalah pencatatannya oleh negara.7

Dipertegas dalam pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Dasar-Dasar Perkawinan menyebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Ayat (2) “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

5

Yayan Sopyan, Islam Negara, (Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h. 130.

6

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983

(Semarang: Beringin Jaya), h. 8.

7

H. M. Atho Mudzhar, Sajida. S. Alvi, dan Saparinah Sadli, ed., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2001), h.133.


(14)

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura”. Pasal 6 ayat (1) “Untuk memenuhi ketentuan pada pasal (5), setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”. Ayat (2) “Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum”.8

Namun, jika kita lihat pada kenyataannya dalam praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat berbeda, karena tidak sepenuhnya mengacu kepada Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan adanya pencatatan, sehingga mereka melakukan nikah di bawah tangan yang hanya sah menurut hukum Agama tetapi tidak sah dalam hukum Negara.

Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, nikah sirri dengan nikah di bawah tangan (urfi) berbeda, nikah sirri adalah nikah yang dirahasiakan supaya orang lain tidak mengetahui, sedangkan nikah di bawah tangan adalah nikah yang secara fikih memenuhi syarat dan rukun nikah, namun dalam pernikahan tidak dicatat secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah.9 Dan pelaksanaan akad tersebut adalah benar dan sah dengan rukun dan syarat nikah yang sesuai dengan syari’at

8

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h. 2-3.

9


(15)

5

Islam.10

Jika perkawinan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi maka ada suatu hal yang tidak wajar yang tidak ingin diketahui banyak orang seperti ada suatu aib dan perkawinan yang disembunyikan tentu saja bertentangan dengan syara’,11 Menurut jumhur ulama hukum mengadakan walimah dan menyiarkan atau mempublikasikan perkawinan adalah sunnah muakaddah.12 Maksud adanya publikasi ini adalah diketahuinya oleh umum bahwa sebuah perkawinan telah terjadi dan tidak disembunyikan, karena menyembunyikan perkawinan merupakan perbuatan yang diharamkan.13

Bagi sebagian orang mungkin akan menjawab nikah di bawah tangan itu sah, karena menurut mereka sah atau tidaknya suatu pernikahan bukan ditentukan oleh dicatat atau tidaknya pernikahan, tetapi dengan kelengkapan syarat dan rukun nikahlah yang menjadi sah atau tidaknya pernikahan.

Mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang birokratis dan berbelit-belit, serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam Ilmu Hukum cara seperti itu dikenal dengan istilah “Penyelundupan Hukum”, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang

10

Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang , (Jakarta: Cendikiawan Muslim, 2002), h. 46.

11

Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 133.

12

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Al Ma’arif, jilid 7, 1987), h. 166

13


(16)

ditentukan oleh Undang-Undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan yang bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki.14

Masyarakat di Indonesia masih belum mamiliki kesadaran akan pentingnya pencatatan perkawinan, mereka seringkali menganggap mudah persoalan nikah di bawah tangan. Dan pada akhirnya dampak negatif yang ditimbulkan akan meluas, kaum perempuan dan anak-anak yang pada akhirnya menjadi korban dan sangat dirugikan.

Seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan cara nikah di bawah tangan bisa saja dengan seenaknya meninggalkan istri tanpa dibebani tanggung jawab apapun terhadap istri dan anaknya karena tidak adanya bukti otentik dalam pernikahannya, terbukanya peluang bagi laki-laki untuk melakukan tindakan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), terhalangnya pembagian waris dan hak nafkah, kesulitan untuk membuat akte kelahiran anak karena tidak ada bukti otentik bahwa pernikahan tersebut sah menurut hukum negara, dampak psikis tentunya yang dirasakan oleh anak-anak, yang tidak jarang dari mereka menjadi topik perbincangan masyarakat yang menganggap negatif perkawinan orang tuanya yang tidak dicatatkan dan masih banyak lagi dampak yang ditimbulkan.

Hal ini terjadi karena masih ada asumsi gender dan nilai-nilai patriarki baik dalam substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure),

14

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal, (Jakarta: IND-HILL-CO, Edisi Revisi 1990), h. 227.


(17)

7

dan sikap kaum perempuan itu sendiri (legal culture).15Dan hal ini masih banyak terjadi dalam masyarakat kita yang awam terhadap hukum, berpendidikan rendah serta berpenghasilan lemah sehingga mengambil jalan pintas yang mudah dan cepat demi ketenangan batin. Itulah bentuk perkawinan yang telah menjadi mode masa kini yang timbul dan berkembang di Indonesia seperti fenomena gunung es.

Berdasarkan uraian di atas, yakni banyaknya dampak negatif terhadap istri dan anak-anak terutama terhadap psikologisnya sehingga membuat penulis untuk meneliti lebih lanjut dan mengangkatnya dalam skripsi “Pengaruh Nikah Di Bawah Tangan Terhadap Psikologis Istri dan Anak (Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)”.

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas, maka perlu diadakannya pembatasan masalah. Selanjutnya penulis membatasi masalah pada skripsi ini hanya fokus pada dampak negatif dari nikah dibawah tangan terhadap psikologis istri dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.

2. Perumusan Masalah

Adapun fokus studi ini adalah:

• Bagaimana dampak psikologis yang dirasakan oleh istri dan anak-anak akibat nikah di bawah tangan?

15

H. M. Atho Mudzhar, Sajida. S. Alvi, dan Saparinah Sadli, ed., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, h. 138.


(18)

Namun, sebelum menjawab persoalan di atas perlu diungkap beberapa hal yang berhubungan dengan persoalan tersebut, yaitu:

• Apa yang menyebabkan seorang perempuan mau dinikahi secara di bawah tangan?

• Bagaimana pengetahuan hukum masyarakat Kelurahan Cinere terhadap pencatatan perkawinan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

• untuk mengetahui bagaimana dampak psikologis yang dirasakan istri dan anak akibat nikah di bawah tangan.

Namun, sebelum menjawab persoalan tersebut perlu diungkap beberapa hal.

• untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi motif seorang perempuan sehingga ia mau dinikahkan secara di bawah tangan.

• untuk mengetahui bagaimana pengetahuan hukum masyarakat Kelurahan Cinere terhadap pencatatan perkawinan.

2. Manfaat Penelitian

Adapun dalam penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: Pertama, menambah ilmu pengetahuan dan memperluas informasi permasalahan yang ada di masyarakat. Kedua, penulis berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teori maupun


(19)

9

praktik hukum. Ketiga, Semoga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi di berbagai kalangan. Keempat, dapat juga dijadikan bahan acuan pada penelitian selanjutnya berkenaan dengan masalah yang terkait.

D. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

a. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis-empiris, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai kehidupan itu. Sementara soerjono Sukamto mengartikan sosiologi sebagai sutu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Pendekatan sosiologis adalah suatu landasan kajian sebuah studi atau penelitian untuk mempelajari hidup bersama dalam masyarakat.16 pendekatan empiris adalah suatu pendekatan yang digunakan apabila ada perbedaan antara hukum positif yang tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat, ini merupakan fakta sosial.17 Empiris artinya bersifat nyata. Jadi, yang dimaksudkan dengan pendekatan empiris adalah usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Jadi, penelitian

16

Prof.Dr. musakkir, Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum, artikel

ini di akses dari M. Musakkir.page.tl/home.htm, pada 7 September 2015.

17

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 47-48.


(20)

dengan pendekatan sosiologis-empiris harus dilakukan di lapangan, dengan menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan. Peneliti mengadakan kunjungan kepada masyarakat dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat terutama yang melakukan nikah di bawah tangan.18

b. Jenis Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian: 1) Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang kajiannya

dilaksanakan dengan menelaah dan menusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali terfokus kepada studi pustaka.19

2) Penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendatangi langsung objek yang akan diteliti guna mendapatkan data-data yang valid. Langkah yang digunakan dalam penelitian lapangan melalui teknik wawancara dan alat lainnya.20 Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif bersifat Deskriptif, dan data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan angka.21

18

Mudjia Rahardjo, Penelitian Sosiologis Hukum Islam, artikel ini di akses dari http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/134-penelitian-sosiologis-hukum-islam.html, pada 23 Januari 2014.

19

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, h. 17-18.

20

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 52.

21

Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 18.


(21)

11

2. Sumber Data

Karena penelitian ini merupakan gabungan antara studi pustaka dan lapangan, maka sumber yang diambil oleh penulis meliputi:

a. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari beberapa narasumber yaitu masyarakat di kelurahan Cinere Depok yang melakukan nikah di bawah tangan, instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui wawancara dan alat lainnya.

b. Data sekunder adalah data yang berasal dari bahan pustaka yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini yaitu mengenai perkawinan di bawah tangan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan maka penulis menggunakan alat pengumpulan data atau instrument penelitian yakni alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data, agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah diolah.

Adapun instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti berupa:

a. Data Primer, yaitu:

1) Penentuan Informan, penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snow ball atau teknik lempar bola salju, yaitu dengan cara menentukan satu orang atau beberapa orang informan


(22)

yang akan diwawancara dan merupakan sumber utama dalam penelitian di sekitar wilayah kelurahan Cinere Depok, kemudian baru mencari sumber lain dari informan sebelumnya yang mereka ketahui.22 2) Wawancara (interview), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh

peneliti untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan pada informan, yang nantinya akan penulis olah sebagai bahan skripsi.23 Peneliti menggunakan teknik ini dalam mengumpulkan data yang menjadi bahan dalam penulisan skripsi. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber utama yang penulis wawancara selain pelaku nikah di bawah tangan itu sendiri, kemudian anak dari pelaku nikah di bawah tangan, penulis juga mewawancarai kepala KUA kec. Limo, dan tokoh masyarakat di wilayah kelurahan Cinere Depok.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif, yaitu penelitian yang bersifat untuk menggambarkan kejadian yang berlangsung berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan.

Kualitatif, yaitu suatu metode yang berfungsi sebagai prosedur penelusuran

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, dan masyarakat), berdasarkan

22

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 86. 23

Wachid Setya, Metode Wawancara dalam Penelitian, artikel di akses dari http://wachidsetya.blogspot.com/, pada 23 Januari 2014.


(23)

13

fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.24 Jadi, penggunaan teknik analisis deskriptif kualitatif disini merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas objek, artinya bahwa objek yang akan menjadi sumber penelitian merupakan tokoh kunci dalam pokok permasalahan penelitian,dan tokoh kunci dalam penelitian ini adalah para pelaku nikah di bawah tangan. 5. Pedoman Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh

Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan harapan bahwa penulisan ini tidak hanya baik dari segi isi tetapi juga dari segi penulisan.25

E. Review Studi Terdahulu

Penelitian mengenai Perkawinan tidak tercatat sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, di antaranya:

Komarudin Beta : “Praktek Perkawinan Yang Tidak Tercatat di Desa

Kertanegara, Indramayu (Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif) ”. Skripsi

Tahun 2010. Membahas praktek perkawinan yang tidak dicatat di Desa Kertanegara dan mencari apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa Kertanegara melakukan perkawinan yang tidak tercatat serta akibat dari perkawinan tersebut.

24

Macam-Macam Metode Penelitian, artikel ini di akses dari http://koffieenco.blogspot.com/ 2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html, pada 23 Januari 2014.

25


(24)

Muhammad Bakhreni : “Perilaku Nikah Bodong pada Masyarakat Pondok Aren (Study pada Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren

Periode 2009-2010)”. Banyak masyarakat di sekitar Kelurahan Jurang Mangu

Timur yang melakukan praktik nikah bodong atau yang disebut nikah sirri dan akibat hukum dari perilaku nikah bodong sejak tahun 2009-2010.

Muhammad Rizky Prasetya : “Hilangnya Hak Anak dan Isteri Akibat Nikah di Bawah Tangan, Studi Kasus Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng”, Skripsi Tahun 2010. Menjelaskan nikah di bawah tangan sebagai penyebab hilangnya hak anak dan istri.

Sedangkan yang membedakan penulisan skripsi penulis dengan skripsi lain adalah permasalahan mengenai dampak psikologis yang dirasakan istri dan anak akibat dari nikah di bawah tangan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambasran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan kedalam lima (5) bab dengan urutan sebagai berikut:

Bab Pertama berisikan pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, studi/kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua berisikan kajian teorotis tentang pernikahan, pencatatan nikah, nikah di bawah tangan, dan hakikat psikologi meliputi pengertian pernikahan


(25)

15

secara umum, rukun dan tujuan nikah, tujuan dan hikmah nikah serta hak dan kewajiban suami istri, pengertian pencatatan pernikahan, pencatatan pernikahan menurut hukum Islam dan pencatatan pernikahan menurut perundang-undangan, pengertian nikah di bawah tangan, nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan nikah di bawah tangan menurut perundang-undangan, serta membahas psikologi dan aspek-aspek psikologi.

Bab Ketiga berisikan Potret wilayah dan penduduk kelurahan Cinere Depok, meliputi kondisi geogrfis kelurahan Cinere, kondisi demografis kelurahan Cinere, serta kondisi sosiologis kelurahan Cinere.

Bab Keempat berisikan tentang nikah di bawah tangan dan pengaruh bagi istri dan anak yang meliputi, kasus nikah di bawah tangan di kelurahan Cinere, faktor penyebab nikah di bawah tangan, serta dampak terhadap psikologis istri dan anak karena nikah di bawah tangan.


(26)

16

PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN DAN HAKIKAT PSIKOLOGI

A. Pengertian, Rukun dan Syarat, Tujuan dan Hikmah, serta Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Kata nikah berasal dari bahasa Arab

ﺢﻜﻧ“ yang berarti kawin atau nikah.P0F

1

P

Nikah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.P1F

2

Nikah menurut bahasa, al-jam’u dan adh-dhamu yang artinya kumpul atau bercampur. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah, juga bisa diartikan wath’u al zaujah yang bermakna menyetubuhi istri.3 Adapun menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah.4

Pernikahan menurut Islam dapat ditinjau dari tiga sudut : pertama, dari sudut hukum yaitu suatu perjanjian antara pria dan wanita agar dapat

1

A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, Edisi

Kedua), h. 1461.

2

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, Edisi Keempat), h. 962.

3

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2004), h. 37.

4

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,


(27)

17

melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu (lama, kekal, abadi). Kedua, dari sudut keagamaan yaitu suatu lembaga yang suci di mana antara suami dan istri agar dapat hidup tenteram, saling mencintai, dan mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan keturunan. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan yaitu bahwa orang yang telah kawin atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dari kehendak masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari yang belum menikah.5

Pendapat lain mengatakan Lafaz nikah mengandung tiga macam arti:

Pertama, arti menurut bahasa lafaz nikah adalah berkumpul. Kedua, arti

menurut Ahli Ushul (Ushul al Fiqh) berkembang tiga macam pendapat tentang arti lafaz nikah:

a. Menurut Ahli Ushul golongan Imam Hanafi, Nikah menurut arti aslinya

(arti hakiki) adalah setubuh, dan menurut arti majazi (metaforis) adalah

akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan seorang wanita.

b. Sedangkan sebaliknya menurut Ahli Ushul golongan Imam Syafi’i, Nikah menurut arti aslinya adalah akad, yang dengan akad ini menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita, dan menurut arti majazi adalah setubuh.

5

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,


(28)

c. Berbeda menurut Abu al Qasam Az Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian Ahli Ushul dari sahabat Abu Hanifah, Nikah adalah bersyarikat artinya antara akad dan setubuh.

Ketiga, menurut ulama Fikih tidak ada perbedaan pengertian di antara ulama

Fikih mengenai definisi nikah hanya terdapat perbedaan pada redaksi. Jadi, para ulama Fikih sependapat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.6

Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata, inkah atau tazwij dan sebagaimana pendapat yang telah disebutkan oleh golongan ulama Syafi’iyah yang memaknai nikah dengan dihalalkannya hubungan kelamin maka rumusannya sebagai berikut :

َﻋ ْﻘ

ٌﺪ

َـﻳ َﺘ

َﻀ

ﱠﻤ

ُﻦ

ِا َﺑ

َﺣ ﺎ

ٌﺔ

َو ْﻃ

ٌﺊ

ِﺑ َﻠ

ْﻔ

ِﻆ

ﱢﻨﻟا

َﻜ

ِح ﺎ

َأ ِو

َـﺘﻟا

ْﺰ ِو ْﻳ

ِﺞ

َأ ْو

َﻣ ْﻌ َﻨ

ُﻫ ﺎ

َﻤﺎ

7

“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.

Ulama golongan Syafi’iyah memberikan definisi di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang

6

Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Jilid.

I, 2003), h. 115-116.

7


(29)

19

berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut dilakukan diantara keduanya tidak boleh bergaul.8 Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama Fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.9

Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.P9F

10

P

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani.P10F

11

Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam tentang Dasar-Dasar Perkawinan menyebutkan “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.12 Kata

Mitsaqan ghalidzan ini diambil dari firman Allah Swt dalam QS. An Nisa

8

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 38.

9

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 38.

10

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983

(Semarang: Beringin Jaya), h. 7.

11 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indones, h. 43. 12


(30)

[04] : 21;                  

ء ﺎﺴﻨﻟ ا )

)

٤

:(

٢١

(

Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan kepada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidzan)”.

Menurut hemat saya, dari beberapa definisi nikah yang diterangkan di atas maka yang dimaksud dengan nikah adalah sebuah ikatan perjanjian yang sangat kuat atas dasar perintah Allah untuk membentuk sebuah rumah tangga agar dapat memenuhi kebutuhan jasmani (lahir) dan rohani (batin) dan pernikahan adalah peristiwa hukum yang berakibat hukum.

2. Rukun dan Syarat Nikah

Menurut Jumhur Ulama rukun nikah ada lima (5) dan masing-masing rukun memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu :

a. Adanya calon suami, syaratnya : 1) Islam.

2) Laki-laki. 3) Jelas orangnya.

4) Dapat memberikan persetujuan. 5) Tidak terdapat halangan perkawinan. b. Adanya calon istri, syaratnya :


(31)

21

2) Perempuan. 3) Jelas orangnya.

4) Dapat dimintai persetujuannya. 5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Adanya wali nikah dari pihak perempuan, syaratnya : 1) Laki-laki.

2) Dewasa.

3) Mempunyai hak perwalian.

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya. d. Saksi nikah, syaratnya :

1) Islam. 2) Dewasa.

3) Minimal dua orang laki-laki. 4) Hadir dalam ijab qabul.

5) Dapat mengerti maksud akad (berakal). e. Ijab qabul, syaratnya :

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali pihak perempuan (ijab). 2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria (qabul). 3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata

tersebut.

4) Antara ijab dan qabul bersambungan. 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.


(32)

umrah.

7) Majlis ijab dan qabul itu harus di hadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi. 13

Mengenai mahar para ulama sepakat untuk menempatkan mahar sebagai syarat sahnya suatu pernikahan karena hukumnya yang wajib, karena apabila sebelum dibayar mahar, seorang istri belum boleh dicampuri kecuali mahar tersebut ditangguhkan pada saat pengucapan lafaz ijab qabul, yang berarti pembayarannya di belakang hari.14

Berbeda dengan Jumhur Ulama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengenal adanya rukun nikah, hanya memuat syarat nikah, yaitu :

a. Perkawinan barulah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (pasal 2 ayat 1).

b. Pekawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. c. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.

d. Perkawinan hanya diperkenankan apabila pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan telah mencapai umur 16 tahun.

e. Perkawinan yang akan dilakukan untuk kedua kali atau kesekian kalinya

13

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 62-63.

14


(33)

23

dari seorang perempuan yang bercerai karena kematian suami, harus telah lewat tenggang waktu 130 hari terhitung sejak hari kematian suami (pasal 39 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

f. Bilamana perempuan putus perkawinannya yang dahulu karena perceraian, karena putusan pengadilan atau karena talaq maka harus menunggu lampau tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, sejak putusnya perkawinan itu. (pasal 39 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

g. Bilamana seorang perempuan yang putus perkawinannya karena sesuatu sebab yang syah sedang dia dalam keadaan hamil akan kawin lagi, harus menunggu bayi yang dikandungnya lahir. (pasal 39 ayat 1 Huruf C Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

h. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

i. Perkawinan seorang laki-laki dengan isteri kedua, ketiga, dan keempat harus ada izin dari Pengadilan Agama bagi orang-orang Islam, Pengadilan Negeri bagi non Islam harus pula memenuhi beberapa persyaratan khusus yang diatur dalam pasal 3 jo pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974


(34)

tentang Perkawinan jo pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 15

3. Tujuan dan Hikmah Nikah a. Tujuan Nikah

Seseorang yang melakukan pernikahan pasti memiliki tujuan agar rumah tangganya dapat kekal abadi sampai maut memisahkan, maka tujuan dari nikah adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana yang terdapat di dalam QS. Ar Ruum ayat 21, serta untuk mendapatkan keturunan yang baik agar dapat melanjutkan kehidupan, agar teraturnya nasab karena dengan adanya pernikahan yang sah maka keturunan yang dilahirkan akan jelas siapa nasab keturunannya, dan agar teraturnya pembagian harta waris karena pernikahan adalah peristiwa hukum yang akan berakibat hukum, dan dengan pernikahan yang sah maka akan menimbulkan pembagian hak waris kepada pasangan dan keturunan yang sah.

Tujuan nikah menurut perintah Allah Swt adalah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang teratur. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga

15


(35)

25

dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, juga ketentraman keluarga dan masyarakat. 16

Dalam beberapa literatur tujuan dari nikah , yaitu :

1) Untuk membentuk kehidupan yang tenang, rukun, dan bahagia. 2) untuk menimbulkan saling cinta dan saling menyayangi.

3) untuk mendapatkan keturunan yang sah. 4) untuk menimbulkan keberkahan hidup. 5) menenangkan hati orang tua dan keluarga.17

Sedangkan tujuan dari nikah menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri harus ada saling pengertian, saling bantu membantu dan lengkap-melengkapi satu sama lain, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan baik spiritual maupun material. Karena tujuan dari nikah adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menganut prinsip mempersukar

16

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 26.

17

H. Moh. Anwar, Fiqih Islam: Mu’amalah, Munakahat, Faro’id & Jinayah, (Bandung: PT. Al


(36)

terjadinya perceraian.18

b. Hikmah Nikah

Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan tatanan keluarga yang tenang, damai, tenteram, dan penuh kasih sayang. Selain itu pernikahan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan generasi yang baik. Dengan adanya pernikahan sebagaimana diatur oleh agama, maka anak-anak dan keturunan akan terpelihara nasab keturunannya, dan salah satu harapan adanya pernikahan juga untuk memperoleh keturunan yang baik, sholeh dan sholeha.19

Dengan demikian, pernikahan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia, berikut ini beberapa hikmah dari pernikahan:

1) Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i. 2) Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran

hawa nafsu yang tidak benar seperti perzinaan. 3) Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram.

4) Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib dan teratur. 5) Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rizki yang halal

18

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 181.

19


(37)

27

dan berkah.

6) Nikah memiliki kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk berperilaku disiplin.

7) Memperkokoh tali persaudaraan antar masyarakat, terutama antar kedua keluarga sehingga terwujud solidaritas sosial (takaful ijtima’i) dengan memperluas hubungan persaudaraan.

8) Dapat menghasilkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya.20

4. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Akad nikah yang sah, akan menimbulkan akibat hukum baik bagi suami maupun istri dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak dan kewajiban suami kepada istri dan sebaliknya dan akan menimbulkan pula hak bersama suami istri.

Supaya rumah tangga bahagia dan kekal, diperlukan syarat-syarat tertentu. Salah satu di antaranya adalah dipenuhinya hak masing-masing dari suami dan istri dan dilaksanakannya apa yang menjadi kewajiban, baik oleh suami maupun oleh istri. Tanpa dipenuhinya hak dan tanpa dihiraukannya kewajiban, mustahil rumah tangga bisa bahagia dan kekal. Kalau suami dan istri masing-masingnya hanya pandai menuntut hak tetapi tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya pertanda rumah tangga suami istri seperti ini bukannya surga yang menyenangkan tetapi neraka dunia yang menyedihkan

20


(38)

yang pada gilirannya akan berakhir dengan perceraian.21 Berikut ini adalah hak dan kewajiban suami istri menurut hukum Islam:

Kewajiban Suami dan Hak Istri :

a. Sebagai pemimpin keluarga

Keluarga sangat memerlukan pemimpin, dan oleh Islam yang ditentukan sebagai peminpin adalah suami bukan istri. Laki-laki memimpin perempuan adalah sesuai dengan kenyataan, dalam Qur’an dikemukakan dua alasan mengapa suami menjadi pemimpin bagi istri.

Pertama, karena Allah memang melebihkan laki-laki atas perempuan,

misalnya dalam segi kemampuan fisik. Dan kedua, karena laki-lakilah yang menanggung belanja istri, seperti yang dikemukakan di dalam QS. An Nisa ayat 34 yang artinya “laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) dengan sebagian yang lain (wanita), dan oleh karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...”.

b. Memberi nafkah

Rumah tangga mempunyai sejumlah kebutuhan seperti pangan, sandang, dan papan dan suamilah yang menanggung kebutuhan rumah tangga ini. Bagi suami memberi nafkah keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan dan adalah hak istri untuk menerimanya. Karena menurut

21

Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, (Jakarta: Kalam


(39)

29

Islam yang wajib bekerja mencari penghidupan adalah suami. Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 233 yang artinya “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang ma’ruf...”. Sayyid sabiq dalam bukunya Fiqih

Sunnah menyebutkan bahwa diwajibkannya suami memberi nafkah kepada istri karena adanya ikatan perkawinan yang sah.

c. Memberi mahar

Mahar adalah suatu pemberian wajib dari suami kepada istri sebagai hadiah yang tulus berkenaan dengan perkawinan antara keduanya. Mahar atau maskawin menjadi hak penuh istri, ia berhak mempergunakan hak miliknya menurut kehendaknya dan tidak boleh dihalangi oleh siapapun termasuk wali dan suami.22

Kewajiban Istri dan Hak Suami :

a. Taat kepada suami

Taat adalah kewajiban istri dan sekaligus merupakan hak suami. Artinya istri wajib taat kepada suami dalam hal kebaikan, dan suami mempunyai hak untuk ditaati. Bahkan hak dari suami yang paling besar. Ketaatan inilah yang menjadi syarat berhaknya istri menerima nafkah dari suami dan suami berkewajiban memenuhinya.

b. Menyelenggarakan urusan rumah tangga

22


(40)

Selain taat kepada suami, istri wajib menyelenggarakan urusan rumah tangga dengan baik. Yang termasuk dalam penyelenggaraan rumah tangga adalah melaksanakan tugas kerumah tanggaan di rumah seperti menyiapkan keperluan sehari-hari, membuat suasana rumah tangga menyenangkan dan penuh ketentraman baik bagi suami maupun anak-anak, mengasuh dan mendidik anak-anak.23

Hak Bersama Suami Istri :

a. Hubungan seksual

Suami istri keduanya berhak saling bergaul dan melakukan hubungan kenikmatan seksual. Hubungan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik.

b. Harta waris

Suami dan istri saling mempunyai hak antara yang satu dengan yang lain untuk mendapat harta waris sebagai akibat dari ikatan perkawinan yang sah jika salah seorang meninggal dunia.

c. Perlakuan yang baik

Suami dan istri saling mempunyai hak untuk mendapat perlakuan yang baik. Hanya dengan pergaulan yang baik antara keduanya maka dimungkinkan bahtera rumah tangga berjalan dengan baiak, bahagia, dan kekal.

23


(41)

31

d. Perlindungan rahasia seksual

Masing-masing suami istri sama-sama mempunyai hak untuk tidak diberitahukan kepada orang lain rahasia seksualnya, kecuali jika ada alasan yang dapat dibenarkan. Yang dimaksud dengan rahasia seksual adalah segenap rahasia di tempat tidur yang menyangkut hubungan intim suami istri. Baik suami maupun istri tidak boleh memberitahukannya kepada orang lain.24

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan alasan yang jelas berkenaan dengan hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 31 sampai 34. Sesuai dengan prinsip yang dikandung oleh pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat”.25 Menurut Yahya Harahap, khusus menyangkut ayat 1 merupakan spirit of the age (semangat tuntutan zaman) dan merupakan hal yang sangat wajar untuk mendudukkan suasana harmonis dalam kehidupan keluarga, dan ini merupakan perjuangan emansipasi yang sudah lama berlangsung.26

Beranjak dari Undang-Undang Perkawinan tersebut, menurut Sayuti Thalib setidaknya ada lima hal yang sangat penting. Pertama, pergaulan hidup

24

Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, h. 27-34.

25

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983

(Semarang: Beringin Jaya), h. 15.

26


(42)

suami istri yang baik dan tentram dengan rasa cinta dan mencintai santun menyantuni. Kedua, suami memiliki kewajiban sebagai kepala keluarga dan istri juga memiliki kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal dalam satu kediaman tersebut. Keempat, belanja kehidupan menjadi tanggung jawab suami. Kelima, istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara yang benar, wajar, dan dapat dipertanggung jawabkan.27

Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri sangat rinci, karena mengatur kedudukan suami istri serta kewajiban suami istri. Kompilasi Hukum Islam begitu merinci hal-hal yang di jelaskan secara umum dalam Undang-Undang Perkawinan seperti bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi suami, nafkah, kiswah, dan kediaman atau sandang, pangan, dan papan. Demikian juga dengan biaya perawatan, pengobatan, istri, dan anak serta pendidikan anak.28

B. Pengertian Pencatatan Nikah, Pencatatan Nikah Menurut Hukum Islam, dan Pencatatan Nikah Menurut Perundang-Undangan

1. Pengertian Pencatatan Nikah

27

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 187.

28


(43)

33

Di dalam kamus besar bahasa Indonesia Pencatatan adalah proses atau cara perbuatan mencatat.29 Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan, dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.30

Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 menyebutkan “pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, talak, cerai, dan rujuk”.31

Kesimpulannya adalah bahwa pencatatan perkawinan adalah proses pendataan atau penulisan administrasi perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) agar terciptanya ketertiban hukum.

2. Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Islam

Pada dasarnya, baik Qur’an maupun Hadis tidak mengatur secara jelas mengenai pencatatan perkawinan. Pelaksanaan Pencatatan perkawinan ini didasarkan kepada “maslahah mursalah”, karena pencatatan perkawinan

29

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa indonesia, h. 247.

30

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha

Cipta, 2005), h. 38.

31

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983


(44)

sangat penting untuk dilaksanakan oleh pasangan mempelai, sebab buku nikah

yang didapatkan merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan baik

menurut agama maupun negara. Dengan buku nikah tersebut, mereka dapat

membuktikan keturunan yang sah yang dihasilkan dari perkawinan yang sah

dan dapat memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris terlebih lagi di era

globalisasi seperti sekarang ini.32

Walaupun ada ayat Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala

bentuk transaksi muamalah. Pada masa Rasulullah Saw maupun sahabat

memang belum dikenal adanya pencatatan perkawinan, pada waktu itu

perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Pertama,

larangan untuk menulis sesuatu selain Qur’an, akibatnya kultur tulis tidak

begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, mereka

sangat mengandalkan hafalan (ingatan) dan mengingat sebuah peristiwa

perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi

walimatul ‘urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi

disamping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan, sebagaimana sabda Nabi

Saw :

ِﺔَﺸِﺋ ﺎَﻋ ْﻦَﻋ َو

َلﺎَﻗ م.ص ِﻲِﺒﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ ﺎَﻬْـﻨَﻋ ُﷲا َﻲِﺿَر

ِلﺎَﺑْﺮِﻐْﻟﺎِﺑ ِﻪْﻴَﻠَﻋ اﻮُﺑِﺮْﺿاَو َحﺎَﻜﱢﻨﻟا اَﺬَﻫ اﻮُﻨِﻠْﻋَأ

)

ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ ﺔﺟﺎﻣ ﻦﺑا ﻩاور

۳۳

(

32

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada

Media Group, 2006), h. xix-xx.

33

Nailul Authar, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dkk, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), h. 2258.


(45)

35

Artinya: “Dari Aisyah ra, Nabi Saw bersabda : Umumkanlah pernikahan dan

pukullah rebana” (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).

ِﻦَﻤْﺣﱠﺮﻟا ِﺪْﺒَﻌِﻟ م.ص ُﻲِﺒﱠﻨﻟا َلﺎَﻗ

َﺶِﺑ ْﻮَﻟَو ْﻢِﻟْوَأ

)

ىرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور

(

۳٤

Artinya: “Nabi Saw bersabda: Laksanakanlah walimah (atas pernikahan)

sekalipun hanya dengan meyembelih kambing” (HR. al-Bukhari

dari 'Abdurrahman bin 'Auf).

Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa awal

Islam belum terjadi antar wilayah negara berbeda. Biasanya perkawinan pada

masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam satu

wilayah yang sama, sehingga alat bukti kawin selain saksi belum

dibutuhkan.35

Dengan alasan-alasan yang telah disebut di atas, dapatlah dikatakan

bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting

sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah

perkawinan. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang

terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi.

Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat

modern. Menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autenti, saksi hidup

tidak lagi bisa diandalkan. Tidak saja karena bisa hilang dengan sebab

kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar

34

Nailul Authar, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dkk, h. 2242.

35


(46)

ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.36

Atas pertimbangan demi kemaslahatan, ketertiban pelaksanaan

perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk

melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan untuk itulah pencatatan

menjadi sesuatu yang sangat diperlukan, selain itu akan banyak mudharat

yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan pencatatan perkawinan. Sedangkan

dalam Islam sebisa mungkin untuk menghilangkan kemudharatan,

sebagaimana dalam sebuah kaidah fiqih :

َا

ّﻀﻟ

َﺮ ُر

ُـﻳ َﺰ

ُلا

۳۷ Artinya: “kemudharatan harus dihilangkan”.

Maksud kaidah tersebut adalah, menghilangkan kemudharatan atau

bahaya lebih diutamakan dari yang lainnya. Untuk itulah kepentingan

pencatatan harus didahulukan daripada membawa mudharat (dampak negatif)

yang ditimbulkan nantinya,38 sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam QS.

Al Baqarah [02]: 282;

                 ) ةﺮﻘﺒﻟا : ) ٢ ( ۲۸۲ (

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu

menuliskannya...”.

Ayat tersebut memerintahkan kepada kita untuk menuliskan atau mencatatkan segala bentuk urusan mu’amalah seperti jual beli, hutang

36

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 122.

37

Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 138.

38


(47)

37

piutang, sewa menyewa, dan sebagainya. Bagaimana dengan hal perkawinan yang dinilai sangat sakral, sebuah perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan

ghalidza), dan banyak menimbulkan akibat hukum, tentunya sangat

memerlukan pencatatan perkawinan. Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan

perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Di

katakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan

di dalam kitab-kitab fiqih ataupun fatwa-fatwa ulama.39

3. Pencatatan Perkawinan Menurut Perundang-Undangan

Di Indonesia, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan telah diatur dalam Perundang-undangan, baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Meskipun pencatatan perkawinan telah terisolasikan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selama 23 tahun lebih, tetapi sampai saat ini masih didasarkan adanya kendala dalam pelaksanaannya, hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh pada perspektif fikih tradisional. Menurut pemahaman sebagian masyarakat tersebut bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan yang tersebut dalam hukum Islam sudah terpenuhi tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan Agama.40

Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

39

Ahmad Jauhari, Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan, artikel ini

diakses dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, pada tanggal 2 Februari 2014.

40


(48)

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.41 Jadi, orang-orang yang beragama Islam perkawinannya baru sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, tetapi di samping itu ada keharusan pencatatan menurut peraturan perundangan yang berlaku.

Ayat 2 menyebutkan “bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.42 Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan “bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan”.43

Undang-Undang Perkawinan kita meletakkan perkawinan sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan pengamalan ajaran agama dan kepercayaan masyarakat dan bukan hanya sebagai suatu peristiwa perdata biasa sebagaimana yang dianut oleh KUHPerdata (Burgerlijke wetboek) sehingga yang dipentingkan adalah pencatatannya oleh negara.44 Dengan

41

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983,

(Semarang: Beringin Jaya), h. 7.

42

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983, h. 8.

43

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983,

h. 36.

44

H. M. Atho Mudzhar, Sajida. S. Alvi, dan Saparinah Sadli, ed., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, h.133.


(49)

39

demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan, maka tidaklah berlebihan jika ada pakar hukum yang menempatkan pencatatan sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan.45

Dipertegas dalam pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Ayat (2) “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang-Undang RI No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura”. Pasal 6 ayat (1) “Untuk memenuhi ketentuan pada pasal (5), setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”. Ayat (2) “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum”.46 Dalam kenyataannya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat berbeda karena tidak sepenuhnya mengacu kepada undang-undang.

45

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 123.

46


(50)

Pencatatan perkawinan ini menjadi sebuah keharusan, bila kita telusuri eksistensinya secara luas dan agak mendalam, direnungkan dalam konteks kehidupan, masyarakat, bangsa, dan Negara, baik secara sosiologis, psikologis, maupun yuridis dengan segala akibat hukum dan konsekuensinya, tentulah sangat luas obyek yang ditimbulkan sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan peradaban manusia dengan teknologi tinggi dewasa ini, baik dalam hubungan individu sesamanya, maupun dalam kaitan hubungan sebagai anggota masyarakat, bahkan dapat mempengaruhi bentuk masyarakat serta sistem hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Karena hukum menentukan bentuk masyarakat, masyarakat yang belum mengenal hukum dapat dicoba mengenalnya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu, sebab hukum mencerminkan masyarakat itu sendiri. Dari seluruh sistem hukum, maka hukum perkawinanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.47

Pernikahan yang tidak tecatat tumbuh dan berkembang pada masyarakat Islam di Indonesia, sangat besar dampaknya bagi istri dan anak, posisi mereka sangat lemah di hadapan hukum. Bagi istri akan kehilangan hak nafkah, hak waris jika suatu saat suami meninggal dunia, dan jika terjadi perceraian pihak istri tidak akan bisa menuntut haknya karena tidak ada bukti otentik bahwa pasangan tersebut pernah menikah. Memiliki dampak negatif juga bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, status anak yang

47


(51)

41

dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Ketidakjelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya jika suatu saat sang ayah meninggal dunia, belum lagi diskriminasi dari pihak luar yang menganggap mereka sebagai anak hasil hubungan gelap karena orang tua yang menikah di bawah tangan.

C. Pengertian Nikah di Bawah Tangan, Nikah di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam, Nikah di Bawah Tangan Menurut Perundang-Undangan 1. Pengertian Nikah di Bawah Tangan

Istilah nikah di bawah tangan lebih banyak dikenal masyarakat dengan

nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan, Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, nikah sirri dengan nikah di bawah tangan (urfi) berbeda, nikah sirri adalah nikah yang dirahasiakan supaya orang lain tidak mengetahui, sedangkan nikah di bawah tangan adalah nikah yang secara fikih memenuhi syarat dan rukun nikah, namun dalam pernikahan tidak dicatat secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah.48 Dan pelaksanaan akad tersebut adalah benar dan sah dengan

48


(52)

rukun dan syarat nikah yang sesuai dengan syari’at Islam.49

Menurut hemat penulis yang dimaksud dengan nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan berdasarkan syari’at Islam yaitu dengan terpenuhinya rukun dan syarat nikah tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga tidak ada bukti otentik bahwa telah dilangsungkannya sebuah pernikahan. Nikah di bawah tangan pada dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Nikah menurut hukum adalah nikah yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Dengan demikian, bahwa nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah illegal, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum.

2. Nikah di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam

Dalam Islam tidak mengenal adanya nikah di bawah tangan, nikah di

bawah tangan baru dikenal setelah adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974, karena menurut Islam sah atau tidaknya pernikahan bukan

ditentukan oleh pencatatan perkawinan tetapi dari kelengkapan rukun dan

syarat nikah.50

Namun, pada masa Imam Malik bin Anas telah dikenal istilah nikah

sirri atau nikah yang dirahasiakan bukan nikah di bawah tangan, hanya saja

49

Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta: Cendikiawan Muslim, 2002), h. 46.

50

Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari http://iskandar-islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.


(53)

43

nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan

pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri

yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun dan syarat sahnya

perkawinan menurut syari'at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai

perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai

laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta

untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan

tersebut kepada khalayak ramai, dengan sendirinya tidak ada i’lanun nikah

dalam bentuk walimatul ‘ursy.51

Adapun nikah di bawah tangan yang dikenal oleh masyarakat

Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil

wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas

Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak

dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, sehingga

dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh

pemerintah.52 Bukankah kita diperintahkan oleh Allah untuk mentaati pemimpin, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. An Nisa’ [4]: 59;

                        51

Ahmad Jauhari, Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, pada tanggal 2 Februari 2014.

52

Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari

http://iskandar-islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.


(54)

                        

)

ءﺎﺴّﻨﻟا

)

٤

(

:

٥٩

(

Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya".

Menurut penulis maksud dari ayat tersebut adalah memerintahkan kepada manusia untuk mentaati pemimpin dan mendidik manusia agar tercipta masyarakat yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara, demi terwujudnya kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.

Pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus dipenuhi dalam hal anjuran pemerintah, ulil amri yang dalam hal ini mencakup urusan duniawi. Sementara beberapa kalangan masyarakat muslim, lebih memandang keabsahan pernikahan dari sisi agama saja yang lebih penting karena mengandung unsur ukhrawi karena lebih menentramkan, sementara sisi duniawi tadi adalah unsur pelengkap saja setelah unsur utama terpenuhi, dalam hal ini unsur duniawi yaitu nikah dengan dicatatkan adalah langkah kedua setelah ketenangan batin didapatkan.53

Dalam hal ini para ulama telah mengeluarkan Fatwa pada tahun 2006

53

Agustina Bilondatu, Optimalisasi Peran Kua Dalam Mengatasi Illegal Wedding, artikel di akses dari http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JL/article/view/882/823, pada 23 Januari 2014.


(55)

45

tentang nikah di bawah tangan, yaitu:

a. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya

syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharat.

b. Pernikahan harus dicatat secara resmi pada instansi berwenang, sebagai

langkah preventif untuk menolak dampak negatif atau madharat (sa’ddud

dzari’ah).54

Berdasarkan fatwa Majlis Ulama di atas maka saya mengambil

kesimpulan bahwa, haram hukumnya apabila pernikahannya dikemudian hari

menimbulkan perselisihan sampai pengingkaran terjadinya perkawinan yang

disebabkan tidak tercatat perkawinannya, karena tidak dapat memperlihatkan

alat bukti pernikahannya semisal akta nikah dalam pernikahannya, sehingga

menyebabkan dampak negatif dari pernikahan tersebut seperti untuk

pemenuhan hak isteri dan anak menjadi terlantar atau terbengkalai.

3. Nikah di Bawah Tangan Menurut Perundang-Undangan

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah “kawin bawah tangan”

dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.

Istilah “nikah di bawah tangan” muncul setelah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 yaitu setelah diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

54

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan, (Jakarta: Graha Paramuda,


(56)

dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain

harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Namun, secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan

dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang

berlaku.55

Khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam pasal 2

ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu”. Ayat (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.56 Peraturan

perundang-undangan mengatur perkawinan dari formalitasnya yaitu

perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan

menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.57

D. Hakikat Psikologi 1. Pengertian Psikologi

Psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche yang artinya jiwa, sedangkan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologi psikologi berarti “Ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejala,

55

Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari

http://iskandar-islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.

56

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983, h. 7-8.

57

Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari

http://iskandar-islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.


(57)

47

proses, maupun latar belakangnya”. Namun, pengertian antara ilmu jiwa dan psikologi sebenarnya berbeda karena :

a. Ilmu jiwa adalah ilmu jiwa secara luas termasuk khayalan dan spekulasi tentang jiwa itu.

b. Ilmu psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah.58

Psikologi didefinisikan sebagai kajian saintifik tentang tingkah laku dan proses mental organisme. Berdasarkan definisi psikologi tersebut, maka psikologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mengkaji tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan, dalam pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur yaitu :

a. Ilmu pengetahuan, yaitu suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan mempunyai metode tertentu yang bersifat ilmiah. b. Tingkah laku, yaitu segala manifestasi hayati yang meliputi tingkah laku

kognitif, afektif, dan motorik.

c. Lingkungan, yaitu tempat di mana manusia hidup, berinteraksi, menyesuaikan dan mengembangkan dirinya. Secara garis besar, lingkungan dibedakan atas lingkungan dalam (internal environment) dan lingkungan luar (external environment).59

Psikologi tidak mempelajari jiwa atau mental secara langsung karena

58

Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 7

59


(58)

sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa atau mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Jadi, pengertian psikologi secara harfiah adalah ilmu tentang jiwa.60

2. Ruang Lingkup Psikologi

Kajian psikologi tentang manusia secara integral meliputi beberapa dimensi yaitu Bio-Psiko-Sosio-Spiritual sebagai penentu utama perilaku dan kepribadian manusia. Bidang-bidang psikologi cukup luas, dimana ada manusia disitulah psikologi bekerja, diantaranya adalah psikologi perkembangan, psikologi sosial, dan psikologi kepribadian, psikologi klinis, psikologi sekolah, dan psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi dan masih banyak lagi bidang-bidang psikologi antara lain psikologi keluarga yang merupakan bagian dari psikologi sosial.61

3. Sejarah Singkat Psikologi

Istilah psikologi digunakan pertama kali oleh seorang ahli berkebangsaan Jerman yang bernama Philip Melancchton pada tahun 1530. Istilah psikologi sebagai ilmu jiwa tidak digunakan lagi sejak tahun 1878 yang dipelopori oleh J.B. Watson sebagai ilmu yang mempelajari perilaku karena ilmu pengetahuan menghendaki objeknya dapat diamati, dicatat dan diukur, sedangkan jiwa dipandang terlalu abstrak, dan jiwa hanyalah salah satu aspek

60

Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, h. 2.

61


(59)

49

kehidupan individu.62

4. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja a. Pengertian Tumbuh Kembang Anak

Pengertian perkembangan menunjukan pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat di ulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali. Sementara ahli psikologi tidak membedakan perkembangan dan pertumbuhan, menurutnya seorang anak yang berkembang akan bertambah kemampuannya dalam berbagai hal. Istilah pertumbuhan menunjukkan bertambah besarnya ukuran badan dan fungsi fisik yang murni. Menurut banyak ahli psikologi, perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat yang khas mengenai gejala psikologis yang muncul.63 Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al Hajj [22]: 05;

                        

)

ّﺞﺤﻟا

)

٢٢

(

:

۵

۰

(

Artinya : “Dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur)

kamu sampailah kepada kedewasaan”.

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa hak tumbuh kembang anak menjadi perhatian Islam. Allah memberikan pemeliharaan dan

62

Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, h. 2.

63


(60)

perlindungan anak mulai dari rahim ibu, dan Allah pula yang memberikan hidayah dan bimbingan ketika anak tumbuh kembang setelah dilahirkan ibunya hingga menjadi dewasa secara fisik maupun psikis. Menurut Atkinson, pertumbuhan dan perkembangan dibedakan dari segi pemakaian katanya, yaitu:

1) Pertumbuhan sering digunakan pada aspek verbal pada manusia yang sering berlaku pada ukuran tubuh beserta kondisi serta keadaan fisik manusia.

2) Perkembangan sering dipakai untuk membahas tingkat-tingkat atau masa-masa tumbuh kembang manusia yang meliputi kognitif (perspsi atau kesadaran dll), kepribadian dan juga aspek klinis biologis pada psikis manusia.64

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak dan

Remaja

1) Peran dan Fungsi Keluarga

Keluarga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Keluarga juga dipandang sebagai institusi (lembaga) pertama yang dapat memenuhi kebutuhan manusiawi, terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. Iklim keluarga yang sehat atau perhatian orang tua yang penuh kasih sayang merupakan faktor

64


(61)

51

esensial yang memfasilitasi perkembangan psikologis anak tersebut.65 Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat mengembangkan masalah kesehatan mental bagi anak. Fungsi keluarga secara psikososiologis adalah sebagai:

a) Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya. b) Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis. c) Sumber kasih sayang dan penerimaan.

d) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik.

e) Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat.

f) Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan.

g) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal, dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri.

h) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat.

65

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 37.


(1)

113

10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?

Jawab: ada perasaan menyesal tapi karena sama-sama suka jadi di jalanin aja.

11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Pegawai Pencatat Nikah ? Jawab: iya ada nanti.

Depok, 25 Oktober 2014


(2)

114

Nama : iyus anak dari Ibu Intan (nama disamarkan).

Usia : 18 tahun.

Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Rabu/ 22 Oktober 2014. Pukul : 12.26 WIB.

Tempat : Di rumah Ibu Intan.

1. Apa yang kamu ketahui tentang nikah di bawah tangan ? Jawab: nikah yang ngga diakui hukum.

2. Bagaimana pandanganmu mengenai nikah di bawah tangan ? Jawab: ngga bener, karena ngga ada persetujuan.

3. Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa orang tuamu ternyata menikah di bawah tangan ?

Jawab: sedih, malu dan minder.

4. Apa yang akan kamu lakukan jika ada seseorang yang berniat ingin melakukan nikah di bawah tangan ?

Jawab: di cegah dan di kasih nasihat oleh orang tuanya.

Depok, 22 Oktober 2014


(3)

115

Nama : nana anak dari Ibu Lala (nama disamarkan).

Usia : 15 tahun.

Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Sabtu/ 25 Oktober 2014. Pukul : 13.23 WIB.

Tempat : Di rumah Ibu Lala.

1. Apa yang kamu ketahui tentang nikah di bawah tangan ? Jawab: nikah ngga di catet.

2. Bagaimana pandanganmu mengenai nikah di bawah tangan ? Jawab: bingung, statusnya ngga jelas.

3. Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa orang tuamu ternyata menikah di bawah tangan ?

Jawab: kecewa.

4. Apa yang akan kamu lakukan jika ada seseorang yang berniat ingin melakukan nikah di bawah tangan ?

Jawab: di beri arahan oleh orang tua.

Depok, 25 Oktober 2014


(4)

116

Photo dengan responden (pelaku nikah di bawah tangan)


(5)

117

Photo dengan responden (pelaku nikah di bawah tangan)


(6)

118

Photo Kantor Urusan Agama Kecamatan Limo


Dokumen yang terkait

Eksplorasi Jamur Perombak Serasah di Bawah Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de vriese) dan Rasamala (Altingia excelsa Noronha)

1 80 38

Pelimpahan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor:411/Pdt.G/2012/PN.Mdn)

15 223 118

Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

0 46 80

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular di Bawah Tegakan Sengon (Paraserienthes falcataria) Studi Kasus di Areal PT Raja Garuda Mas Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat

4 57 54

Perhitungan Kuat Medan Listrik Di Bawah Saluran Transmisi Studi Kasus : Perencanaan Transmisi 275 kV Galang-Binjai

8 119 87

Analisis Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan Dalam Hubungannya Dengan Penyelesaian Utang Debitur Yang Wanprestasi Pada Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyoyali Kabupaten Boyolali Jawa Tengah

1 57 59

Kedudukan Anak Di Bawah Umur Atas Harta Peninggalan Orangtuanya Pada Masyarakat Minangkabau...

0 15 5

Hilangnya hak-hak anak dan istri akibat nikah dibawah tangan: Studi di Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng

1 18 94

Itsbat nikah akibat pernikahan di bawah tangan bagi pasangan menikah di bawah umur (studi analisis penetapan pengadilan agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

4 22 105

Pelaksanaan Dispensasi Nikah Dalam Praktek Nikah Sirri di Bawah Umur (Analisis Studi Kasus Desa Sukamaju,Kecamatan Cinungnulang,Kabupaten Bogor,Jawa Barat)

3 31 113