Kerangka Teori Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. http:www.hukumonline.c om Di dalam novel The Tokyo Zodiac Murders, kejahatan yang terjadi di dalamnya dapat digolongkan sebagai kejahatan yang dilihat dari sudut sosilogis, karena merugikan penderita yang adalah korban dan merugikan masyarakat karena dibayang-bayangi oleh pembunuh berantai yang belum tertangkap sejak lama.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam sebuah penelitian, perlu adanya landasan teori yang mendasari karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendapat dari Sukapiring yang menjelaskan mengenai unsur-unsur detektif yang dikemukakannya berdasarkan konvensi cerita detektif atau roman detektif dari Teeuw, Sudjiman dan Faruk. Penulis juga akan menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan semiotik dalam menganalisis unsur-unsur detektif dalam novel The Tokyo Zodiac Murders ini. Pendekatan struktural adalah suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan antar unsurnya. Struktural merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktural itu. Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal atau pendekatan analitik, bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal yang berada di luar dirinya. Bila hendak dikaji atau diteliti, maka yang harus dikaji dan teliti adalah aspek yang membangun karya tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, serta hubungan harmonis antaraspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra. Hal-hal yang bersifat ekstrinsik seperti pengarang, pembaca, atau lingkungan sosial budaya harus dikesampingkan, karena ia tidak punya kaitan langsung struktur karya sastra tersebut. Pendekatan struktural mempunyai konsepsi dan kriteria sebagai berikut: 1 Karya sastra dipandang dan diperlukan sebagai sebuah sosok yang berdiri sendiri, yang mempunyai dunianya sendiri, mempunyai rangka dan bentuknya sendiri. 2 Memberi penilaian terhadap keserasian atau keharmonisan semua komponen membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan penulis menjalin hubungan antarkomponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhannya yang bermakna dan bernilai estetik. 3 Memberikan penilaian terhadap keberhasilan penulis menjalin hubungan harmonis antara isi dan bentuk, karena jalinan isi dan bentuk merupakan hal yang amat penting dalam menentukan mutu sebuah karya sastra. 4 Walaupun memberikan perhatian istimewa terhadap jalinan hubungan antara isi dan bentuk, namun pendekatan ini menghendaki adanya analisis yang objektif sehingga perlu dikaji atau diteliti setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut. 5 Pendekatan struktural berusaha berlaku adil terhadap karya sastra dengan jalan hanya menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada di luarnya. 6 Yang dimaksudkan dengan isi dalam kajian struktural adalah persoalan, pemikiran, falsafah, cerita, pusat pengisahan, tema. Sedangkan yang dimaksudkan dengan bentuk adalah alur plot, bahasa, sistem penulisan, dan perangkatan perwajahan sebagai karya tulis. 7 Peneliti boleh melakukan analisis komponen yang diingininya. Pendekatan struktural ini memang berusaha untuk objektif dan analisis dan bertujuan untuk melihat karya sastra sebagai sistem, dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat tergantung kepada nilai komponen yang ikut terlibat di dalamnya. Tak cukup hanya dengan pendekatan struktural, penelitian ini juga akan menggunakan pendapat dari Sukapiring mengenai unsur-unsur detektif melalui konvensi roman detektif Teeuw, Sudjiman dan Faruk untuk dijadikan landasan teori dalam melakukan penelitian. Pradopo dalam Putra 2009:9 menjelaskan bahwa, karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Menurut Sudjiman dalam www.supartobrata.blogdspot.com konvensi adalah cara penyajian yang menjadi alat pengungkapan yang mapan, yang akhirnya menjadi teknik yang diterima umum. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menemukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam karya sastra itu mempunyai makna. Karena itu, untuk mendapatkan makna karya sastra haruslah diketahui konvensi-konvensi yang memungkinkan diproduksinya makna. Menurut Pradopo dalam Putra 2009:10, konvensi-konvensi sastra ini sendiri bermacam- macam, hal tersebut sesuai dengan sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jenis-jenis sastra itu sendiri. Salah satu konvensi sastra tersebut adalah konvensi roman detektif atau konvensi cerita detektif. Di sini, tidak dibedakan pengertian novel dan roman, karena menurut Sudjiman dalam Putra 2009:10, roman adalah istilah lain daripada novel, yang kedua-duanya mempunyai pengertian prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh- tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Konvensi roman detektif atau konvensi roman cerita detektif ini sendiri merupakan konvensi yang ada di dalam cerita rekaan seperti roman, cerpen dan novel. Menurut Teeuw dalam Sukapiring 1987:134 ada tiga konvensi roman detektif. Yang pertama harus ada mayat, yang kedua harus ada detektif, yaitu tokoh yang lebih pintar dari semua tokoh lain dalam roman ini. Orang ini merupakan satu-satunya tokoh yang nantinya mampu memecahkan segala teka- teki yang ada dalam roman detektif itu. Konvensi yang ketiga adalah, pemecahan teka-taki yang tidak terduga pada akhir cerita. Kemudian Sudjiman dalam Sukapiring 1987:134 mengatakan, konvensi cerita detektif ada empat. Yang pertama di dalam cerita detektif terdapat butir- butir kepintaran si penjahat. Yang kedua, kedunguan polisi. Yang ketiga, kehebetan detektif, dan yang keempat, pengungkapan kejahatan yang mengesankan. Di samping keempat konvensi tersebut, dalam cerita detektif, ada hukum yang lazim berlaku. Menurut Sudjiman dalam Sukapiring 1987:135, hukum yang lazimnya berlaku dalam cerita detektif ialah bahwa isyarat-isyarat yang menuju penyelesaian harus diungkapkan tepat ketika sang detektif menemukan syarat-syarat tersebut. Kemudian Faruk dalam Sukapiring 1987:135 mengatakan, cerita detektif setidak-tidaknya dua komponen yang utama, yaitu pendeteksian dan unsur yang dideteksi. Menurut Sukapiring 1987:135, dari batasan konvensi detektif serta konvensi roman detektif Teeuw, Panuti Sudjiman dan Faruk itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa cerita detektif itu setidak-tidaknya mempunyai 4 komponen yang utama, yaitu: unsur kejahatan, unsur misteri, unsur detektif dan unsur pemecahan masalah yang tidak terduga. Penulis akan menguraikan secara terperinci mengenai unsur-unsur detektif tersebut dalam bab II. Maka dengan adanya pendapat dari Sukapiring tersebut, penulis akan melakukan analisis dalam penelitian dengan menggunakan pendapat dari Sukapiring tersebut. Dan untuk menemukan keempat unsur tersebut, maka diperlukan pendekatan semiotik untuk menelitinya. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanpa memperhatikan sistem tanda-tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, maka struktur karya sastra ataupun karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal Pradopo Djoko, 2002:71. Dengan kerangkai teori seperti di atas, penulis berupaya untuk menemukan unsur-unsur detektif yang akan dibahas di skripsi ini.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian