BAB I P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik
Good Governance
memerlukan adanya akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses keluarnya kebijakan publik. Menurut Karl Deutsch, proses pembuatan kebijakan
publik harus dipandang sebagai proses akomodasi dan pelibatan berbagai elemen yang ada dalam masyarakat yang hendak dijadikan sasaran dari kebijakan publik Fadillah Putra,
2007:67. Konsep ini memberi perhatian lebih pada aspek kontrol arus informasi yang ada dan bagaimana memperlakukan arus informasi yang datang dari berbagai sumber.
Ketersediaan dan kemudahan akses informasi yang transparan, dan terpenuhinya kebutuhan informasi bagi publik guna mendapatkan informasi dari berbagai sumber yang
terpercaya mengenai penyelenggaraan negara merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas publik dari kinerja lembaga negara dan badan pemerintah. Dengan demikian,
lembaga negara dan badan pemerintah selaku penyelenggara negara, perlu proaktif memberikan informasi yang obyektif, akurat, dan lengkap sebagai bentuk akuntabilitas
terhadap penyelenggaraan pemerintahannya. Semua data yang terekam dari kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam bentuk arsip merupakan objek materi informasi
yang harus terdokumentasikan dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menghasilkan suatu sistem rekaman kegiatan yang faktual, utuh, sistematis, autentik, terpercaya, dan
dapat digunakan. Agar informasi yang terdokumentasikan dapat dipertanggungjawabkan maka perlu
ada peningkatan mutu penyelenggaraan kearsipan sebagai upaya mewujudkan tujuan penyelenggaraan kearsipan. Penyelenggaraan kearsipan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 24 Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan adalah keseluruhan kegiatan meliputi kebijakan , pembinaan kearsipan, dan pengelolaan arsip
dalam suatu sistem kearsipan nasional yang di dukung oleh sumber daya manusia, prasarana dan sarana, serta sumber daya lainnya. Kemudian dalam Pasal 5 ayat 2
Undang-Undang Kearsipan disebutkan penyelenggaraan kearsipan dilakukan oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik,
organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan, serta lembaga kearsipan.
2 Dengan demikian, lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan,
perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan selaku pencipta arsip yang mempunyai kemandirian dan otoritas dalam pelaksanaan fungsi, tugas, dan tanggung
jawab di bidang pengelolaan arsip dinamis sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 nomor 19 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, dan juga lembaga
kearsipan perlu membangun sistem pengelolaan arsip yang menjamin keabsahan, akurasi, objektivitas dan ketepatan waktu pada saat penyampaian informasi. Itu artinya, arsip
memerlukan sistem pengelolaan yang spesifik . Menurut Mary F. Robek dan Gerald F. Brown 1987; 69-71, sistem pengelolaan
arsip memerlukan tiga unsur dasar dalam mewujudkan tujuan penyelenggaraan kearsipan. Ketiga unsur tersebut meliputi:
in-put
berupa informasi, prasarana dan sarana, SDM, dan biaya, sementara proses pengolahan
proccessing
yang mencakup daur hidup arsip, kemudian
out-put
menghasilkan informasi yang siap disajikan bagi pengguna informasi. Dengan demikian, untuk mencapai penyelenggaraan kearsipan yang komprehensif dan
terpadu perlu dukungan prasarana dan sarana kearsipan yang memenuhi standar kearsipan dalam melakukan pengelolaan arsipnya, baik pengelolaan arsip dinamis dan pengelolaan
arsip statis. Oleh karenanya, pemerintah melalui Arsip Nasional Republik Indonesia
selanjutnya disingkat ANRI sebagaimana yang diamanatkan Pasal 6 Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
kearsipan secara nasional melalui penetapan kebijakan kearsipan, pembinaan kearsipan, dan pengelolaan arsip. Penetapan kebijakan kearsipan nasional termasuk pula didalamnya
bidang prasarana dan sarana kearsipan. Selama ini dalam rangka terciptanya standardisasi di bidang prasarana dan sarana
kearsipan, ANRI telah mengeluarkan beberapa kebijakan kearsipan nasional di bidang prasarana dan sarana kearsipan, antara lain melalui Keputusan Kepala Arsip Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 tentang Standar Minimal Gedung dan Ruang Penyimpanan Arsip Inaktif, Keputusan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2000 tentang Pedoman Penggunaan Kertas Untuk Arsip Bernilaiguna Tinggi, Keputusan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Standar Folder dan Guide Arsip, Keputusan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2000 tentang Standar Boks Arsip, dan Keputusan Kepala Arsip Nasional
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2000 tentang Standar Penyimpanan Fisik Arsip.
3 Adanya standardisasi di bidang prasarana dan sarana kearsipan diharapkan menjadi
acuan bagi pencipta arsip dan lembaga kearsipan dalam melakukan pengelolaan arsipnya. Bagi pencipta arsip, adanya prasarana dan sarana kearsipan tentunya akan membantu
dalam melakukan pekerjaan pengelolaan arsip dinamis. Sementara bagi lembaga kearsipan, adanya prasarana dan sarana kearsipan yang memenuhi standar tentunya
diharapkan berdampak terhadap pengelolaan arsip statis yang menjadi kewajibannya, maupun pengelolaan arsip inaktif sesuai dengan cakupan wilayah kewenangannya yang
telah di atur dalam Undang-Undang. Dengan demikian, setiap lembaga kearsipan membutuhkan prasarana dan sarana
kearsipan tidak hanya untuk keperluan pengelolaan arsip statis tetapi juga untuk pengelolaan arsip inaktif. Kedua kegiatan ini membutuhkan prasarana dan sarana
kearsipan yang berbeda satu sama lainnya sehingga pemenuhan terhadap kebutuhan prasarana dan sarana kearsipan oleh lembaga kearsipan harus menjadi prioritas demi
keberlangsungan penyelenggaraan kearsipan yang dilaksanakan lembaga kearsipan. Dalam Pasal 16 ayat 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan, lembaga kearsipan selain ANRI yang dimaksud adalah arsip daerah provinsi, arsip daerah kabupatenkota, dan arsip perguruan tinggi. Bagi arsip daerah provinsi dan
arsip daerah kabupatenkota meskipun ada reorganisasi fungsi dan tugas dengan urusan lain seperti: perpustakaan, informasi maupun komunikasi pasca pemberlakuan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah seharusnya tidak mengurangi prasarana dan sarana kearsipan yang telah ada sebelumnya,
mengingat fungsi dan tugas maupun tanggungjawabnya di bidang kearsipan tidak berubah atau hilang.
Fungsi, tugas dan tanggungjawab lembaga kearsipan daerah baik yang ada di provinsi dan kabupatenkota tetap ada, yaitu mengelola arsip statis dan mengelola arsip
inaktif di lingkungannya masing-masing. Itu artinya, keberadaan prasarana dan sarana kearsipan tetap melekat dengan fungsi, tugas dan tanggungjawab pada lembaga kearsipan
daerah. Berbeda dengan arsip perguruan tinggi, yang keberadaannya sebagai lembaga kearsipan di lingkungan perguruan tinggi masih baru atau bahkan belum semua perguruan
tinggi negeri PTN membentuk arsip perguruan tingginya. Adanya penambahan fungsi, tugas dan kewajiban perguruan tinggi untuk mengelola arsip statis merupakan amanat
Pasal 27 ayat 4 Undang-Undang Kearsipan, sehingga arsip perguruan tinggi
4 dimungkinkan belum dimilikinya prasarana dan sarana kearsipan khususnya untuk
pengelolaan arsip statis. Dengan demikian, saat ini seyogyanya lembaga kearsipan daerah dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya di bidang penyelenggaraan kearsipan telah di dukung oleh prasarana dan sarana kearsipan yang memadai danatau telah
memenuhi standar yang dikeluarkan oleh ANRI, baik untuk menunjang dalam pengelolaan arsip statis maupun pengelolaan arsip inaktif.
Namun dalam Profil Lembaga Kearsipan Daerah yang diterbitkan ANRI pada tahun 2007 data sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah RI Nomor 37 tahun 2008
tentang Organisasi Perangkat Daerah yang seharusnya memperlihatkan kemandirian pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kearsipan di provinsi dan kabupatenkota,
pada kenyataannya justru memperlihatkan bahwa sebagian besar lembaga kearsipan daerah provinsi belum didukung oleh adanya prasarana kearsipan yang memenuhi standar,
yaitu sesuai Keputusan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 tentang Standar Minimal Gedung dan Tempat Penyimpanan Arsip Inaktif, baik itu
mengenai spesifikasi bangunan gedung maupun layaknya tidaknya bangunan tersebut untuk tempat menyimpan arsip inaktif dan menyimpan arsip statis. Sementara
untuk sarana kearsipan, sebagian besar umumnya telah dimiliki oleh lembaga kearsipan, sarana
kearsipan yang dimilikinya tersebut telah memenuhi standar sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2000 tentang Standar Guide dan Folder Arsip, serta Keputusan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2000 tentang Standar Boks Arsip. Namun demikian
masih banyak pula lembaga kearsipan daerah provinsi yang belum memenuhi standar dalam melakukan penyimpanan fisik arsip, sebagaimana yang dituangkan dalam
Keputusan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2000 tentang Standar Penyimpanan Fisik Arsip.
5
Tabel 1.1. Keberadaan Prasarana dan Sarana Kearsipan
di Lembaga Kearsipan Daerah Provinsi
NO ITEM
JUMLAH PROVINSI
1.
2. a. Prasarana Kearsipan:
Gedungtempat penyimpanan arsip inaktif
b. Prasarana Kearsipan: Gedung tempat penyimpanan arsip
statis
a. Sarana pengelolaan arsip inaktif b. Sarana pengelolaan arsip statis
18 Provinsi
14 Provinsi
21 Provinsi 24 Provinsi
Sumber : ANRI, data yang telah diolah 2007
Kondisi data di atas tentunya sangat prihatin sebab masih ada lembaga kearsipan daerah provinsi yang belum memiliki prasarana dan sarana kearsipan, baik itu dalam
rangka pengelolaan arsip inaktif maupun pengelolaan arsip statis. Terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana kearsipan yang memenuhi standar khususnya di lembaga kearsipan
daerah provinsi diyakini dapat mendukung keberhasilan penyelenggaraan kearsipan, baik itu dalam pengelolaan arsip statis maupun pengelolaan arsip inaktif. Keberhasilan
penyelenggaraan kearsipan di tingkat provinsi diharapkan dapat diikuti oleh lembaga kearsipan daerah kabupatenkota dalam menyelenggarakan kearsipan di wilayah
kabupatenkotanya. Bahkan masih terdapat 3 tiga provinsi yang keberadaan nomenklatur lembaga
kearsipannya bernama kantor dan bukan badan, itu artinya kepala lembaga kearsipan daerah provinsi tersebut masih dipimpin oleh pejabat struktural setingkat eselonering III.
Hal ini tentunya mempengaruhi pengambilan kebijakan di bidang kearsipan di lingkup wilayahnya masing-masing, terutama dengan bertambahnya fungsi dan tugas lembaga
kearsipan daerah provinsi semenjak diberikannya kewenangan untuk mengelola kearsipan
6 secara otonom, terlebih ada lembaga kearsipan daerah provinsi yang fungsi dan tugasnya
juga digabung dengan fungsi dan tugas lembaga perpustakaan daerah provinsi. Dengan latar belakang pemikiran di atas, ANRI selaku lembaga yang diberi
tanggung jawab sebagai penyelenggara kearsipan secara nasional, bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan kearsipan nasional, salah satunya melalui
penetapan kebijakan di bidang prasarana dan sarana kearsipan, termasuk mengatur standar kualitas dan spesifikasi dalam pengadaan dan penggunaan prasarana dan sarana kearsipan.
Untuk mempertinggi mutu penyelenggaraan kearsipan nasional sebagaimana yang diamanatkan Pasal 6 ayat 6 Undang-Undang Kearsipan maka ANRI melakukan
penelitian dan pengembangan kearsipan dalam bentuk kajian mengenai perlu atau tidaknya standardisasi prasarana dan sarana kearsipan dalam mendukung penyelenggaraan
kearsipan, khususnya yang dilakukan oleh lembaga kearsipan daerah provinsi.
B. Permasalahan