117
masih bersifat voluntary dengan inisiatif yang berasal dari perusahaan itu sendiri.
5.5. Strategi Perencanaan Sosial dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat
Perencanaan pengelolaan sampah di DKI Jakarta sepuluh tahun ke depan akan diarahkan pada konversi sampah menjadi energi listrik melalui
proses anaerobik dari sampah organik menjadi gas metan, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida. Sistem tersebut sebenarnya sangat potensial
sebab disamping menghasilkan energi listrik, perubahan metan sampah menjadi CO
2
yang potensi pemanasan globalnya 120 dari metan, dapat dimanfaatkan untuk melakukan perdagangan karbon dalam kerangka Protokol Kyoto
Soemarwoto, 2006. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kelayakan dan efektivitas sistem tersebut memerlukan dukungan partisipasi masyarakat
terutama dalam pemilahan sampah organik dan anorganik. Kendala dalam mewujudkan partisipasi masyarakat untuk mengelola
sampah mulai dari sumbernya adalah belum adanya persamaan persepsi dan sikap dalam pengelolaan sampah, sehingga perilaku yang muncul belum sesuai
dengan model partisipasi yang akan diimplementasikan. Dalam persepsi masyarakat, kendala tersebut disebut sebagai ‘kesadaran warga kurang’.
Kesadaran awareness tersebut lebih merujuk pada persepsi dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Persepsi dan sikap merupakan dua
variabel antara yang mempengaruhi perilaku, sehingga perubahan perilaku memerlukan upaya perubahan persepsi dan sikap terlebih dahulu. Perubahan
perilaku memerlukan waktu dan upaya yang cukup intensif, sehingga untuk mencapainya dalam waktu yang lebih singkat diperlukan perencanaan yang
sesuai. Perencanaan dalam perubahan sosial adalah persoalan yang sering ditafsirkan juga sebagai proses perubahan yang direkayasa atau social
engineering. Namun, pemahaman social engineering yang sangat mendegradasi masyarakat sebagai obyek sering dihindari dalam konteks
tersebut. Oleh karena itu, perubahan berencana perlu mendapatkan pemahaman yang proporsional dan kontekstual, mulai dari pengertiannya
sendiri, bagaimana hal itu dilakukan dan falsafah-falsafah apa yang melandasi konsep tersebut.
118
Mengacu pada Lippitt et. al. 1958, perubahan berencana dalam mewujudkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan dalam
dua fase, yaitu : 1 fase pengembangan kebutuhan untuk perubahan dan, 2 fase pembentukan hubungan untuk perubahan change agents and client
system. Strategi tersebut sesuai untuk permukiman lapisan bawah yang memerlukan bantuan dari luar dalam penataan lingkungan dan sistem
pengelolaan sampahnya. Pada fase pertama, perlu diperhatikan lebih dulu dari mana kebutuhan untuk berubah itu berasal, karena hal tersebut menentukan
terbentuknya titik awal asosiasi antara sistem klien dan agen peubahnya. Agen peubah dapat berasal dari pemerintah daerah, pihak swasta, perguruan tinggi
atau LSM, sehingga proses tersebut harus menjadi bagian yang integral dengan program pemberdayaan masyarakat. Faktor yang perlu diperhatikan dalam fase
kedua adalah analisis kapasitas klien untuk menerima dan menggunakan bantuan agen, apakah motivasi dibalik permintaan bantuan untuk kepentingan
pembentukan kekuasaan kelompok tertentu atau untuk kebaikan seluruh anggota kelompok, serta bagaimana kesiapan sumberdaya dan motivasi klien,
membentuk harapan yang sama atas hubungan perubahan tersebut Lippitt et al., 1958.
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dapat ditentukan
melalui pendekatan tipologi permukiman. Keberhasilan pengelolaan sampah permukiman tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pemerintah saja, tetapi
ditentukan juga oleh tingkat keterlibatan masyarakat dalam seluruh tahap kegiatan. Meminjam istilah Wirutomo
6
, dalam konsep pemberdayaan masyarakat, bukan masyarakat yang diberi penekanan harus berpartisipasi,
tetapi bagaimana program pemberdayaan tersebut dapat beradaptasi dengan kondisi sosial masyarakat sehingga partisipasi masyarakat terwujud optimal.
Oleh karena itu, dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, yang diperlukan adalah pola partisipasi yang sesuai dengan kondisi masyarakat,
sehingga dapat diterima socially acceptable dan diimplementasikan oleh masyarakat itu sendiri.
Pada permukiman lapisan menengah dan lapisan atas, terdapat perbedaan pendekatan dengan permukiman lapisan bawah. Adanya agen
6
Pernyataan P. Wirutomo pada saat Ujian Terbuka Program Doktor PSIL UI, Jakarta 5 Agustus 2006.
119
peubah yang berasal dari luar semakin tidak diperlukan pada lapisan permukiman yang lebih tinggi. Pada permukiman lapisan menengah, umumnya
telah memiliki persepsi yang baik terhadap pengelolaan sampah disertai dengan tingkat kesadaran yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, fasilitasi dari pemerintah
daerah diperlukan untuk mendukung dan menumbuhkan partisipasi masyarakat sesuai dengan tujuan perubahan paradigma baru dalam pengelolaan sampah
pada sumbernya, dalam hal ini permukiman. 5.5.1. Tipologi Otoritas dalam Pengelolaan Sampah Permukiman
berbasis Masyarakat
Dalam setiap tipe partisipasi, peran pemerintah sangat besar sebagai fasilitator dan pengelola sampah kota. Meskipun demikian, peran pemerintah
idealnya lebih cenderung pada penyiapan infrastruktur, landasan hukum dan pengelolaan sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilihat pula
tipologi otoritas sebagai bagian dari peran pemerintah dalam pengelolaan sampah kota. Tipologi otoritas diperlukan untuk menghindari generalisasi dalam
kebijakan pengelolaan sampah, sebab setiap karakteristik kawasan memerlukan implementasi kebijakan yang berbeda Fukuyama, 2007. Berkaitan dengan
pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, peran pemerintah dalam pengelolaan kelembagaan sebagai pendukung pastisipasi masyarakat
relatif rendah dibandingkan dengan peran pemerintah dalam pengembangan infrastruktur dan penegakan hukum. Peran negara, dalam hal ini pemerintah
daerah, masih dominan intermediate function sebagai pengelola sampah, meskipun dalam implementasinya tetap perlu memberikan ruang bagi peran
masyarakat, sehingga strateginya adalah penguatan kelembagaan Fukuyama, 2004. Penguatan kelembagaan masyarakat pada dasarnya akan semakin
meningkatkan kekuatan institusi negara dan semakin membatasi atau mengurangi fungsi negara. Kondisi umum yang terjadi di negara berkembang
memperlihatkan lingkup scope fungsi negara yang tinggi, ditandai dengan diperlukannya peran yang besar dari aparat pemerintah untuk membuat dan
menegakkan hukum dan kebijakan yang berlaku. Di sisi lain, kekuatan institusi negara relatif rendah dan tidak efektif, sehingga dalam bagan yang
dikembangkan oleh Fukuyama 2004, negara berkembang termasuk Indonesia
120
berada padai kuadran IV. Upaya yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah mengarahkan otoritas negara, dalam hal ini pemerintah daerah, menjadi berada
pada kuadran I, sehingga terjadi kondisi yang kondusif bagi pengembangan partisipasi masyarakat.
Pada setiap tipe permukiman, diperlukan penguatan kelembagaan masyarakat dan kebijakan yang spesifik sesuai dengan potensi dan karakteristik
masing-masing. Perbedaan bentuk penguatan kelembagaan pada masing- masing tipe permukiman secara garis besar didasarkan atas perbedaan
mekanisme pengelolaan sampah dan jenis infrastruktur yang tersedia. Meskipun demikian, pada intinya adalah upaya mengurangi lingkup fungsi
pemerintah daerah dengan memperbesar inisiatif dari masyarakat sendiri, dan upaya meningkatkan kekuatan institusi pemerintah daerah dengan menigkatkan
koordinasi dan efektivitas dinas-dinas atau instansi yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. Secara umum, arah strategi pengelolaan sampah
berdasarkan tipologi otoritas, diperlihatkan pada Gambar 37 sebagai berikut,
Gambar 37. Arah Strategi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat sesuai dengan Tipologi Otoritas
Pemerintah daerah harus dapat berperan sebagai agen peubah dalam pembangunan. Landasan utama bagi agen peubah adalah tanggung jawab
bersama dalam mewujudkan pembangunan sebagai kebebasan dalam perspektif pembebasan dari kemiskinan dan hak berpendapat serta peningkatan
kualitas hidup Sen, 1999. Pengelolaan sampah merupakan bagian yang tidak
Kuadran I
Kuadran IV Kuadran III
Kuadran II
Lingkup Fungsi Pemerintah Daerah Kekuatan
Institusi Pemerintah
Daerah
121
terpisahkan dari kualitas hidup masyarakat, terutama berkaitan dengan derajat kesehatan dan kualitas lingkungan. Tanggung jawab tersebut lebih banyak
diarahkan kepada pemerintah daerah sebagai pengelola sampah. Keberhasilan kedua fase dalam perencanaan sosial, yaitu fase pengembangan kebutuhan
untuk perubahan dan fase pembentukan hubungan untuk perubahan ditentukan oleh dari mana datangnya kekuatan perubahan, adakah kekuatan yang menolak
terjadinya perubahan dan adakah campur tangan-campur tangan tertentu. Beberapa karakteristik yang spesifik, harus dimungkinkan untuk
diakomodasi oleh pemerintah berkaitan dengan bentuk dan durasi dari fasilitasi yang diberikan sesuai dengan karakteristik masyarakat sebab tidak dapat
diberlakukan program yang umum sebagai bagian dari upaya generalisasi yang sering mengakibatkan kegagalan. Di pihak lain, sangat penting bagi pemerintah
daerah untuk menerapkan program secara efektif dan efisien. Untuk itu, penyusunan tipologi menjadi penting sebagai upaya mencapai program yang
tepat sasaran pada setiap karakteristik masyarakat dengan tidak melakukan generalisasi, tetapi tetap tidak meninggalkan unsur efisiensinya. Oleh karena itu,
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan otoritas dan pengelola sampah, perlu mengembangkan perangkat kebijakan yang mampu menjawab aspirasi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah di lingkungannya. Selanjutnya, dalam mengembangkan strategi pengelolaan sampah permukiman
dengan didasari oleh ketiga tipologi tersebut, maka diperlukan analisis yang tidak hanya melibatkan satu jenis tipologi saja untuk menghindari pendekatan
yang bersifat sektoral dan tidak terintegrasi. Melalui pengembangan infrastruktur yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik permukiman,
diharapkan mekanisme pengelolaan sampah dapat berjalan baik. Selain itu, strategi pengelolaan kelembagaan dapat mendukung percepatan partisipasi
masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, penguatan kelembagaan dalam masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan sampah permukiman,
merupakan upaya yang penting sebab implementasi program pemilahan dan daur ulang sampah didukung dan diusung oleh lembaga-lembaga yang ada
dalam masyarakat. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah adanya perlakuan yang adil dalam implementasi kebijakan, seperti adanya insentif dan disinsentif
yang berimbang antara komunitas yang melakukan pemilahan dengan yang tidak. Hal tersebut penting untuk diperhatikan sebab pengalaman di Jepang
menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan penolakan terhadap kegiatan
122
pemilahan dan daur ulang adalah adanya ketidakadilan unfairness dalam implementasi kebijakan pengelolaan sampah Ohnuma et al., 2005.
5.5.2. Strategi Pengembangan Infrastruktur
Harapan masyarakat terhadap perbaikan sistem pengelolaan sampah yang saat ini berjalan antara lain adalah peningkatan infrastruktur dan
mekanisme pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti terlihat pada Tabel 24 berikut,
Tabel 24. Harapan Masyarakat terhadap Perbaikan Sistem Pengelolaan Sampah Permukiman
No. Harapan Masyarakat terhadap Perbaikan
Sistem Pengelolaan Sampah Permukiman Frekuensi
Persentase
1 Penyediaan tempat sampah untuk pemilahan
sampah dan pengolahan sampah 30 17,64
2 Pengambilan sampah tepat waktu oleh
petugas kebersihan 48 28,24
3 Perbaikan dan penambahan infrastruktur
dalam pengelolaan sampah 31 18,24
4 Penyuluhan 5
2,94 5
Saat ini sudah cukup baik 18
10,59 6 Lainnya
25 14,71
7 Tidak menjawab
13 7,65
Jumlah 170
100,00 Dari Tabel 24 terlihat bahwa aspek pengembangan infrastruktur dan
mekanisme pengelolaan sampah yang jelas dan terintegrasi, menjadi harapan terbesar masyarakat. Infrastruktur yang memadai disertai dengan mekanisme
yang jelas dalam sistem pengelolaan sampah yang dijalankan oleh pemerintah daerah, dapat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat untuk ikut
terlibat dalam sistem tersebut. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan tingginya kontribusi keyakinan terhadap partisipasi masyarakat.
Untuk itu, strategi yang perlu disusun adalah Strategi Pengembangan Infrastruktur yang meliputi kegiatan berikut,
1. Inventarisasi dan identifikasi wilayah permukiman Inventarisasi wilayah permukiman dilakukan untuk mengetahui data dan
informasi yang lebih mendalam tentang infrastruktur pengelolaan sampah
123
yang tersedia dan bentuk infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik atau tipologi permukiman. Identifikasi wilayah permukiman dilakukan dengan
menetapkan tipe permukiman dan mekanisme pengelolaan sampah pada setiap areal permukiman dikaitkan dengan wilayah kerja pengelolaan
sampah yang dikoordinasikan oleh pemerintah daerah. 2. Prioritas wilayah implementasi program
Prioritas wilayah implementasi program dilakukan untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi program. Beberapa faktor yang menjadi
pertimbangannya adalah dampak yang bergulir pada wilayah-wilayah di sekelilingnya sehingga menunjang penutupan efek mozaik mozaic effect
kawasan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Bentuk fasilitasi infrastruktur disesuaikan dengan mengacu pada tipologi permukiman,
sehingga pemanfaatannya dapat optimal sebab sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya social acceptability
3. Penataan Infrastruktur Pemilahan dan Daur Ulang Sampah Penataan infrastruktur pemilahan sampah bertujuan untuk menyediakan
sarana pemilahan sampah dalam radius yang dapat dijangkau oleh warga baik secara individu maupun kolektif. Penataan tersebut tidak selalu berupa
bangunan fisik yang disediakan pemerintah saja, tetapi juga yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat, dan dimulai dari hulu yaitu sumber sampah
di permukiman, sampai dengan hilir yaitu pengolahan hasil pemilahan sampah tersebut, baik pengomposan maupun industri daur ulang.
Perbedaan infrastruktur untuk setiap tipe permukiman juga diperlukan sesuai dengan karakteristik permukiman untuk mendukung partisipasi masyarakat.
Pada permukiman lapisan atas dan lapisan menengah atas, tersedianya TPS dengan fasilitas pemilahan lebih sesuai dengan karakteristik permukiman,
sedangkan pada permukiman lapisan menengah, pemilahan dapat dilakukan secara individual atau komunal. Pada permukiman lapisan bawah, diperlukan
dukungan mekanisme aliran sampah yang telah dipilah, baik melalui jalur pelapak atau koperasi.
4. Penetapan mekanisme pengelolaan sampah permukiman Peraturan yang menetapkan mekanisme bagi implementasi kegiatan
pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat diberlakukan untuk
124
memperoleh kepastian hukum dalam penatalaksanaannya, meskipun peraturan tersebut dikeluarkan oleh pemerintahan tingkat kelurahan.
Penatalaksanaan atau mekanisme tersebut penting untuk ditetapkan sebab saat ini pun sebenarnya pelimpahan wewenang kepada kelurahan telah ada
SK Gubernur DKI, tetapi tidak berjalan karena belum ada Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaannya.
5. Penyusunan strategi dan rencana pengembangan infrastruktur Penyusunan strategi dan rencana pengembangan infrastruktur termasuk
kegiatan pembangunan fisik, pemeliharaan, dan pemanfaatan sarana tersebut sebagai acuan pelaksanaan pengelolaan sampah permukiman
berbasis masyarakat yang dilakukan di masing-masing tipe permukiman.
5.5.3. Strategi Partisipasi Komunitas
Terlaksananya program pemilahan dan pengomposan di wilayah permukiman lebih banyak terjadi karena dorongan bersama dalam suatu
komunitas RT atau RW dengan kepemimpinan yang progresif. Pemimpin- pemimpin di lingkungan kecil tersebut block leader, baik pengurus RT atau RW
maupun tokoh masyarakat, merupakan motivator utama bagi warga untuk memulai upaya pengelolaan sampah di wilayah tersebut. Oleh sebab itu,
pemilahan sampah merupakan kegiatan bersama dalam suatu komunitas dengan kelembagaan yang ada dalam komunitas tersebut sebagai wadahnya.
Peran block leader terbukti penting dalam keberhasilan pengelolaan sampah melalui pemilahan dan daur ulang sampah. Hal tersebut terjadi pada lokasi-
lokasi percontohan secara sporadis di DKI Jakarta yang telah melakukan pemilahan sampah. Meskipun demikian, jumlah wilayah yang telah memilah
sampah masih menunjukkan persentase yang kecil secara keseluruhan. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya persentase masyarakat yang telah
melakukan pemilahan sampah saat ini, sebagaimana terlihat pada Gambar 38 berikut,
125
4 17
9 11
129
20 40
60 80
100 120
140
Jenis Pemilahan Sampah Permukiman
Fr e
k .
1 Pilah organik- anorganik
2 Pilah kertas dan sejenisnya
3 Pilah plastik, botol, kaleng dan sejenisnya
4 Pilah 2 dan 3 Tidak memilahdisatukan
Gambar 38. Jenis Pemilahan Sampah di Permukiman Pengembangan pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah
permukiman yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dapat ditentukan melalui pendekatan tipologi permukiman. Keberhasilan pengelolaan sampah
permukiman berbasis masyarakat tidak hanya ditentukan oleh tingkat keterlibatan masyarakat dalam seluruh tahap kegiatan, tetapi ditentukan juga
oleh kebijakan pemerintah dan sarana pendukungnya. Di samping itu, penerimaan masyarakat terhadap program pemilahan dan daur ulang sampah
ditentukan oleh adanya keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat. Keuntungan tersebut tidak selalu berarti materi, tetapi juga keuntungan sosial,
antara lain kenyamanan dan peningkatan kualitas lingkungan serta keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan Ohnuma et al., 2005. Oleh
sebab itu, perencanaan secara partisipatif perlu dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, sebab pada dasarnya masyarakat mau
berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan sampah di lingkungan permukimannya masing-masing. Hal tersebut ditunjukkan dari kesediaan
masyarakat turut berkontribusi dalam mengatasi permasalahan sampah di permukimannya masing-masing, seperti terlihat pada Gambar 39 berikut,
75,88 6,47
5,29 10,00
2,35
126
87 72
11 94
96 90
5 10
20 30
40 50
60 70
80 90
100
Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Permasalahan Sampah Permukiman
Fr e
k
Tenaga Dana
Bahanmaterial Ide
Informasi Kehadiran dlm
pertemuan Lainnya
Gambar 39. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Mengatasi Permasalahan Sampah di Permukiman
Dari data di atas terlihat bahwa sebagian besar masyarakat mau berpartisipasi dalam berbagai bentuk, antara lain memberikan informasi, ide,
kehadiran dalam pertemuan, tenaga dan kontribusi dana jika diperlukan. Masyarakat cukup menyadari bahwa permasalahan sampah di lingkungan
permukiman merupakan hal yang mendesak, meskipun sebenarnya fungsi pengelolaan sampah tersebut lebih merupakan kewajiban pemerintah daerah
sebagai bagian dari tujuan pembangunan daerah Sen, 1999. Salah satu tujuan pembangunan yang diharapkan oleh masyarakat adalah tersedianya fasilitas
pengelolaan sampah yang memadai, sebab sampah merupakan permasalahan perkotaan yang cukup rumit dan berkaitan dengan beberapa aspek penting
dalam peningkatan kualitas hidup, antara lain kesehatan, kenyamanan dan estetika.
Keinginan untuk berkontribusi dalam pengelolaan sampah di permukiman juga terlihat dari kesediaan masyarakat untuk memilah sampah.
Pemilahan sampah merupakan faktor mendasar dari efektivitas sistem pengolahan sampah apapun yang akan dipilih oleh pemerintah daerah, baik
mengembangkan energi listrik dari sampah maupun industri yang menghasilkan produk daur ulang. Oleh sebab itu, tingginya kesediaan masyarakat untuk
memilah sampah pada dasarnya merupakan sumberdaya penting yang perlu direspon dan dikembangkan oleh pemerintah, seperti terlihat pada Tabel 25
berikut,
127
Tabel 25. Kesediaan Memilah Sampah dengan Beberapa Pilihan Partisipasi dalam Penyediaan Sarana Pemilahan
Bersedia Tidak
Bersedia Tidak
Menjawab No.
Pilihan f f f
1. Kesediaan memilah
sampah apabila disediakan tempat sampah yang
berbeda 161
94,71 2
1,18 7 4,12
2. Kesediaan memilah
sampah apabila diharuskan oleh pemerintah daerah
160 94,12
3 1,76 7
4,12 3.
Kesediaan memilah apabila menyiapkanmembeli
sendiri tempat sampah yang berbeda
122 71,76
38 22,35 10
5,88
Keterangan : f = frekuensi
Dari Tabel 25 di atas terlihat bahwa tidak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah dan
melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong partisipasi tersebut. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi sangat signifikan, sebab ternyata
hampir seluruh warga bersedia melakukan pemilahan, baik dengan ada tempat pemilahan yang disediakan oleh pemerintah 94,71, dengan aturan
keharusan memilah oleh pemerintah 94,12, maupun apabila diminta menyediakan sendiri tempat sampah yang berbeda, meskipun untuk pilihan
ketiga tersebut persentasenya lebih kecil 71,76. Umumnya masyarakat menilai bahwa pengelolaan sampah adalah untuk
kepentingan bersama, meskipun merupakan tanggung jawab pemerintah. Kesediaan masyarakat dalam pemilahan sampah menuntut pemerintah untuk
mempersiapkan sistem yang mendukungnya, yaitu kelanjutan dari pemilahan tersebut berupa daur ulang atau pemanfaatannya sebagai sumber energi.
Mekanisme dan infrastruktur dalam pengelolaan sampah perlu dibenahi dan dipersiapkan terlebih dahulu. Hal tersebut antara lain dimaksudkan untuk
meyakinkan masyarakat bahwa proses pemilahan yang dilakukan tidak sia-sia dan akan ditindaklanjuti sesuai dengan sistem pengelolaan yang diterapkan.
Tanpa itu, akan terulang kasus di rumah susun Klender seperti yang dilaporkan oleh Bebassari 1995, ketika warga yang semula sudah melakukan pemilahan
sampah, kembali tidak memilah setelah tahu pada akhirnya sampah tersebut disatukan kembali sebab belum tersedia sistem yang jelas sebagai kelanjutan
128
dari proses pemilahan yang mereka lakukan. Untuk itu, diperlukan Strategi Partisipasi Komunitas yang meliputi kegiatan:
1. Kajian Potensi Komunitas Untuk mendukung pengembangan upaya pengelolaan sampah permukiman
berbasis masyarakat, diperlukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi komunitas, dalam hal ini permukiman berdasarkan tipologinya.
Kajian potensi komunitas dapat meliputi inventarisasi tokoh masyarakat yang berpotensi sebagai block leader, serta kelompok-kelompok dalam komunitas
yang dapat berperan dalam perubahan persepsi dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah, seperti kelompok PKK, Majlis Ta’lim, dan
lain-lain. 2. Pengembangan Keswadayaan
Pengembangan kemandirian komunitas dalam mengelola sampah permukiman dapat dilakukan dalam berbagai tahapan dan jenis kegiatan.
Untuk itu, perlu dibangun sistem yang efisien dan menyeluruh dengan mengintegrasikan sistem informasi, pengadaan sarana pemilahan dan daur
ulang sampah, ketersediaan industri daur ulang, sistem pemasaran yang baik, dan ketersedian sarana pendukung yang diperlukan misalnya lembaga
keuangan, infrastruktur, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta kebijakan yang kondusif. Pada permukiman lapisan atas
dan menengah atas, keswadayaan dapat diwujudkan melalui kegiatan pemilahan dan daur ulang dalam skala kawasan komunal dan warga
berperan melalui retribusi yang dapat membiayai kegiatan pengelolaan sampah tersebut.
3. Pengembangan kemitraan Dalam rangka memperkuat usaha masyarakat dalam daur ulang sampah
yang efisien dan berdaya saing, perlu kemitraan antara usaha ekonomi rakyat dengan usaha ekonomi skala besar, kemitraan antar usaha ekonomi
rakyat, dan kemitraan antara usaha ekonomi rakyat dengan pemerintah dalam rangka pengelolaan usaha baik dari sumberdaya manusianya maupun
pengelolaan usahanya skill and management, pengembangan permodalan, dan pengembangan pasar. Kemitraan lebih diutamakan pada permukiman
lapisan bawah atau menengah-bawah, sehingga sekaligus menjadi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan
129
income generating. Meskipun demikian, kemitraan tidak terbatas pada lapisan permukiman tersebut, sebab pada lapisan lain yang lebih tinggi,
kemitraan terutama diperlukan untuk menggugah kesadaran dan meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat terhadap upaya
pelestarian lingkungan.
5.5.4. Strategi pengelolaan kelembagaan
Persepsi masyarakat terhadap pemilahan sampah sangat dipengaruhi oleh aksesibilitas terhadap informasi. Media cetak dan elektronik telah menjadi
bagian dari perluasan akses informasi masyarakat 22,94 persen yang berperan terutama dalam membuka wawasan dan kesadaran masyarakat sebab
jangkauannya lebih luas tetapi bersifat umum. Di sisi lain, ternyata sebagian masyarakat juga menerima informasi mengenai konsep pemilahan dan
pengolahan sampah dari penyuluhan, rekan kerja, dan lain-lain yang merupakan informasi langsung 35,88 persen. Informasi yang bersifat langsung dan spesifik
diperlukan terutama untuk mendorong mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di lingkungannya. Hal tersebut dapat dilihat pada
Tabel 26 berikut, Tabel 26. Informasi Pemilahan dan Daur Ulang Sampah dan Ajakan untuk
Memilah yang Diterima Masyarakat
No. Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
Informasi Pemilahan dan Daur Ulang Sampah berasal dari :
1 Media elektronik dan media cetak
39 22,94
2 Pertemuan PKK, Kelurahan, kerja bakti, dll
22 12,94
3 Kerabat dan Relasi
13 7,65
4 Penyuluhan 16
9,41 5 Lainnya
10 5,88
6 Tidak pernah mendapat informasi
70 41,18
Jumlah 170 100,00
Ajakan untuk memilah sampah berasal dari:
1 Tokoh masyarakat
6 3,53
2 Penyuluhan 15
8,82 3
Lainnya pertemuan, arisan, PKK 13
7,65 4
Tidak ada yang mengajak untuk memilah 136
80,00 Jumlah
170 100,00
130
Dari Tabel 26 di atas terlihat bahwa informasi tentang pemilahan sampah masih sangat sedikit, sehingga sebagian masyarakat 41,18 persen sama
sekali belum pernah mendapatkan informasi tentang pemilahan sampah. Hal tersebut sejalan dengan data lainnya yang menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat 80 persen belum pernah menerima ajakan untuk memilah sampah, baik dari aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat, LSM dan pihak lainnya.
Padahal, informasi yang berulang-ulang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat dan partisipasi masyarakat dalam pemilahan dan daur ulang sampah, di
samping publikasi dalam bentuk billboard atau sign yang dibuat dengan baik Werner et al., 2004 Dari sejumlah responden yang menerima informasi
tersebut, hampir tidak ada atau hanya 2,35 persen yang menindaklanjutinya dengan melakukan pemilahan dan pengomposan di rumahnya masing-masing,
seperti terlihat pada Tabel 27 berikut, Tabel 27. Jenis Aktivitas Pemilahan Sampah di Permukiman
No. Jenis Aktivitas Pemilahan Sampah
Frekuensi Persentase
1 Pilah organik-anorganik
4
2,35 2
Pilah kertas dan sejenisnya
17
10,00 3
Pilah plastik, botol, kaleng dan sejenisnya
9
5,29 4
Pilah 2 dan 3
11
6,47 5 Tidak
memilahdisatukan
129
75,88 Jumlah
170 100,00
Di Indonesia dan DKI Jakarta khususnya, kelembagaan dalam masyarakat berupa RTRW dan PKK merupakan sarana potensial untuk
mendukung pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Kelompok-kelompok PKK di DKI Jakarta cukup aktif dibandingkan dengan
daerah perkotaan lain di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari berjalannya program-program PKK secara rutin, seperti “Posyandu” Pos Pelayanan
Terpadu setiap bulan dan “Jumantik” setiap hari Jum’at mengamati jentik nyamuk di bak-bak kamar mandi. Kelompok PKK merupakan titik masuk yang
sangat tepat, sebab kegiatan pemilahan dan daur ulang sampah di tingkat rumah tangga umumnya dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian Chan 1998 yang menunjukkan kecenderungan perempuan lebih aktif dalam program pengelolaan limbah domestik dan tidak ada pengaruh
131
faktor tingkat pendidikan dalam aktivitas tersebut. Kondisi tersebut menjadikan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan sampah di tingkat komunitas
merupakan upaya dan terobosan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendukung pengembangan partisipasi masyarakat dalam pemilahan dan
daur ulang sampah. Struktur dan fungsi setiap kelembagaan yang ada dalam masyarakat perlu dioptimalkan sesuai dengan tipe partisipasi dari masing-
masing permukiman. Pandangan tersebut sangat strategis sebagai pijakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, sebab di tingkat rumah tangga dan
komunitas, peran masyarakat sangat besar khususnya untuk pemilahan sampah. Meskipun demikian, pemerintah daerah perlu memfasilitasi infrastruktur
dan mekanisme pengelolaan lanjutannya, di samping sistem dan landasan hukum yang jelas. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat umumnya menilai
bahwa pengelolaan sampah di tingkat permukiman paling efektif dilakukan oleh pengurus RTRW. Pengelolaan sampah selanjutnya, baru dilakukan oleh
pemerintah daerah atau pihak swasta, seperti terlihat pada Tabel 28 berikut, Tabel 28. Pengelola Sampah Permukiman yang Efektif menurut Pilihan
Masyarakat
No. Pilihan Pengelola Sampah Permukiman
berdasarkan Efektivitas Frekuensi
Persentase
1 Pemerintah 33
19,41 2 Swasta
15 8,82
3 Pengurus di Lingkungan RTRW
89 52,35
4 Gabungan 7
4,12 5 Tidak
memilih 26
15,29 Jumlah
170 100,00
Untuk itu, diperlukan Strategi pengelolaan kelembagaan yang meliputi
kegiatan: 1. Pemahaman pokok terhadap ketentuan dan aturan kelembagaan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemahaman tersebut adalah : a Hubungan masyarakat dengan pemerintah sebagai pengelola sampah.
Pada hakikatnya, permasalahan yang berkaitan dengan timbulan sampah merupakan kewajiban pemerintah untuk dikelola sebagai bagian dari
tujuan pembangunan Sen, 1999. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat
132
merupakan salah satu bentuk bantuan dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, terlebih dahulu perlu ada
penyadaran dan pemahaman bersama secara proporsional atas kedudukan, wewenang, peranan, dan tanggung jawab antara masyarakat
dan pemerintah daerah. b Mekanisme pengaturan pengelolaan sampah permukiman, yang meliputi
pengaturan peran masyarakat dan proses pembuatan aturan. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan upaya melibatkan masyarakat
dalam setiap tahapan kegiatan sebagai bagian dari upaya perencanaan partisipatif dalam pengelolaan sampah. Keterlibatan masyarakat dalam
setiap tahapan kegiatan umumnya berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi dan penerimaan masyarakat terhadap kegiatan tersebut.
Pemilahan dan daur ulang sampah sangat memerlukan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, upaya melibatkan masyarakat dalam setiap
tahapan kegiatan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh sebab hal tersebut merupakan faktor dan kendala terbesar. Kesungguhan
pemerintah daerah untuk memfasilitasi masyarakat telah terbukti berhasil di berbagai tempat, antara lain di Bavaria dan Irlandia melalui forum
pemangku kepentingan stakeholders. c Bentuk aturan tertulis atau lisan, formal atau informal
d Persetujuan atau komitmen bersama antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat. Dalam
Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah diusulkan untuk membentuk Komisi Pengelola Sampah Daerah yang terdiri atas
pemerintah daerah, tokoh masyarakat, organisasi persampahan, badan usaha dan pakar yang tugasnya hampir sama dengan peran para
pemangku kepentingan. Tugas Komisi Pengelola Sampah Daerah adalah memberikan usulan, pertimbangan dan saran kepada pemerintah daerah,
membantu merumuskan kebijakan, melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah serta memfasilitasi penyelesaian konflik.
Perbedaan mendasar antara forum pemangku kepentingan dengan Komisi Pengelola Sampah Daerah adalah bahwa forum pemangku
kepentingan juga sebagai pelaksana pengelolaan sampah dan yang
133
memperoleh manfaat dari pengelolaan sampah, sesuai dengan perannya masing-masing.
2. Pengembangan kelembagaan dalam masyarakat Pengembangan kelembagaan meliputi pengembangan organisasi dan tata
hubungan kerja dalam pengelolaan sampah, penguatan fungsi kelompok, mendorong terbentuknya organisasi yang mandiri, penguatan dinamika
kelompok, serta penguatan usaha yang meliputi pengembangan badan usaha pengelolaan sampah, pola kemitraan usaha, pengembangan jejaring
usaha, dan pengembangan sistem informasi manajemen usaha pengelolaan sampah. Pada permukiman lapisan atas dan menengah atas dengan tipe
partisipasi yan lebih bersifat moral-normatif, kelembagaan mandiri dapat dibentuk untuk mengelola sampah di TPS. Pada permukiman menengah,
kelembagaan yang ada dalam masyarakat dapat membentuk forum peduli lingkungan yang difasilitasi dan didukung oleh pemerintah daerah. Pada
permukiman lapisan menengah bawah dan lapisan bawah, terbentuknya usaha kecil-menengah atau koperasi berkaitan dengan kegiatan ekonomi dari
sampah, merupakan kelembagaan yang tepat sejalan dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat income generating yang menjadi titik
masuk dalam pengelolaan sampah di lapisan permukiman tersebut. 3. Pengembangan sumberdaya manusia dan optimasi peran para pemangku
kepentingan, meliputi penguatan kapasitas sumberdaya manusia dari masing-masing pemangku kepentingan, agar peran para pemangku
kepentingan dapat optimal dalam kerangka pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat.
Ketiga strategi di atas menekankan pada perbedaan karakteristik setiap tipe permukiman yang berimplikasi pada perbedaan kebijakan pemerintah
daerah. Perbedaan dalam infrastruktur pengelolaan sampah, pendekatan partisipasi dan bentuk kelembagaan masyarakat merupakan faktor yang
mendasari implementasi kebijakan yang berbeda untuk setiap tipe permukiman, yang secara umum bentuk implementasinya dapat dilihat pada Tabel 29 berikut,
134
Tabel 29. Gambaran Umum Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Permukiman
Tipe Permukiman
Strategi Pengembangan
Infrastruktur Strategi
Partisipasi Komunitas
Strategi Pengelolaan
Kelembagaan Lapisan Atas Fasilitas
Pemilahan di
TPS Retribusi yang
dapat membiayai
pemilahan di TPS
Lembaga tingkat komunitas untuk
mengelola pemilahan di
TPS
Lapisan Menengah
Atas dan Menengah
Fasilitas pemilahan pengomposan
individualkomunal dan TPS terpisah
Pengelolaan sampah mandiri
melalui program peduli
lingkungan Penguatan
kelembagaan lokal sehingga
terbentuk forum
Lapisan Menengah
Bawah dan Bawah
Dukungan fasilitas mekanisme aliran
sampah pelapakindustri daur
ulang pengguna kompos
Pendekatan melalui kegiatan
ekonomi Income
generating Pembentukan
dan penguatan KoperasiUKM
5.6. Pemodelan Implementasi Strategi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat