19
kemasannya. Kebijakan di atas memberikan insentif kepada mereka untuk mendesain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa
material-material yang berbahaya dan beracun. Meskipun demikian, EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau diimplementasikan, sebab sampai saat ini baru
diprioritaskan untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun serta produk yang bermasalah. Manajemen
ekoefisiensi perlu diterapkan pada industri dengan Manajemen Faktor Empat, yaitu bahan baku yang bersumber dari alam dikurangi setengahnya faktor nilai
manfaat adalah dua kali dan mentransformasikan bahan-bahan baku tersebut menjadi produk dengan nilai tambah dua kalinya faktor nilai tambah dua kali.
Dengan demikian, nilai tambah manfaat selanjutnya adalah empat kalinya Gumbira-Sa’id, 2003. Salah satu bentuk transformasi adalah daur ulang, dan
apabila produsen telah menerapkan hal tersebut, maka industri tersebut telah berperan dalam EPR melalui manajemen ekoefisiensi.
Pengelolaan sampah yang tidak terpusat, melainkan tersebar di setiap wilayah, dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain: a jenis kegiatan
daur ulang disesuaikan dengan potensi wilayah; b biaya transportasi dan pengumpulan sampah rendah; c pemerataan kegiatan ekonomi untuk
mengatasi pengangguran; dan d pencemaran akibat air sampah dan bau pun dapat ditekan ke titik yang terendah, karena kuantitas sampah pada kawasan
yang lebih sempit, relatif kecil dan komposisinya belum kompleks.
2.2. Pengelolaan Sampah Perkotaan di DKI Jakarta
Volume sampah di Jakarta yang mencapai 27.966 m3hari pada tahun 2005, sudah pada tahap mengkhawatirkan jika tidak dikelola secara baik, karena
memiliki potensi konflik yang dapat muncul sewaktu-waktu. Di samping itu, komposisi dan karakteristik sampah dari tahun ke tahun bergeser ke arah
sampah yang lebih kompleks, termasuk adanya kandungan B3 Bahan Berbahaya dan Beracun seperti kandungan logam berat dan senyawa toksik
lainnya pada sampah, yang sampai saat ini belum tertangani secara baik. Komposisi sampah di perkotaan, seperti DKI Jakarta cenderung semakin
kompleks dengan penurunan komposisi sampah organik yang cukup signifikan, yaitu rata-rata sebesar 9,275 persen setiap lima tahun, serta peningkatan
20
sampah kertas dan plastik yang cukup besar pada lima tahun terakhir. Kecenderungan tersebut dapat menjadi sumberdaya sekunder yang potensial
untuk didaur ulang, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase Komposisi Sampah DKI Jakarta
Komposisi Sampah Tahun
1995
1
Tahun 2000
1
Tahun 2005
2
1. Bahan Organik 73,92
65,05 55,37
2. Plastik 7,86
11,08 13,25
3. Kertas 10,18
10,11 20,57
4. Kayu 0,98
3,12 0,07
5. Kain 1,57
2,45 0,61
6. Metal logam 2,04
1,90 1,06
7. Gelas kaca 1,75
1,63 1,91
8. Tulang -
1,09 -
9. Karet dan kulit tiruan 0,55
0,55 0,19
10. Baterai 0,29
0,28 -
11. Lain-lain 0,86
2,74 6,97
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber :
1
Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2004
2
Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005 Dinas Kebersihan DKI Jakarta hanya terlibat pada proses pengambilan,
pengangkutan dan pembuangan sampah, tidak pada aspek pengelolaan terpadu Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2004. Padahal, persoalan sampah perkotaan
tidak dapat ditangani hanya oleh Dinas Kebersihan sendiri. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penataan ulang secara menyeluruh tentang konsepsi pengelolaan
sampah di perkotaan, khususnya di DKI Jakarta. Masalah banjir di DKI Jakarta pun tidak dapat dipisahkan dari masalah
sampah. Hal tersebut seyogyanya mendorong pemerintah kota untuk mengubah pola pikir dalam pengelolaan sampah yang berlaku saat ini. Sampah tidak cukup
dibuang, ditampung atau dibakar. Sampah seharusnya dapat dikurangi dari sumbernya, digunakan kembali dan didaur ulang, atau istilah populernya 3R,
yaitu reduce, reuse dan recycle. Konsep di atas dapat dimulai dari kegiatan paling sederhana, yaitu pemilahan sampah rumah tangga. Penambahan konsep
replace merupakan kelanjutan dari konsep 3R yang menekankan pada perluasan tanggung jawab produsen untuk membuat produk yang menghasilkan
sampah minimum dan ramah lingkungan. Hal-hal yang mendukung penerapan konsep 3R adalah: 1 Komitmen pemerintah; 2 Pengaturan yang holistik,
misalnya dikaitkan dengan masalah kependudukan dan urbanisasi; 3 Peran
21
serta masyarakat, dan 4 Penataan rantai distribusi sampah Wibowo dan Sutjahyo, 2005. Saat ini, Pemerintah DKI Jakarta masih mengandalkan
mekanisme pengelolaan sampah pada teknik pembuangan atau landfill melalui tempat pembuangan sementara TPS sampai tempat pembuangan akhir TPA
di Bantar Gebang Bekasi. Jumlah lokasi TPS dan fasilitas yang dimiliki Pemerintah DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Lokasi Pengumpulan Sampah Sementara di DKI Jakarta
Lokasi Tahun 1995
1
Tahun 1996
1
Tahun 1997
1
Tahun 1998
1
Tahun 1999
1
Tahun 2003
2
1. Pool Gerobak Sampah
261 224
122 252
271 223 2. Bak Terbuka
129 133
- 129
350 417
3. Container 823
387 661
935 348
479 4. Transito
299 344
342 258
328 128
5. Dipo 84
84 87
121 133
128 6. Galvanis
1.244 256
256 414
256 21
Sumber :
1
Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2004
2
Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005 Lokasi TPA pengganti Bantar Gebang, Bekasi sudah diusulkan oleh
Pemerintah DKI Jakarta yaitu di Marunda, Jakarta Utara dan Duri Kosambi, Jakarta Barat, tetapi hal tersebut masih menjadi kontroversi, meskipun dokumen
Amdal yang bersifat administratif sudah disetujui. Salah satu aspek yang dipertimbangkan adalah bahwa lokasi di Marunda yang dekat dengan daerah
pantai sangat rentan terhadap terjadinya pencemaran air karena komposisi tanah yang kurang baik. Kemudian muncul alternatif baru di daerah Bojong,
Citeureup Bogor, yang akan menjadi tempat pengolahan sampah terpadu. Ketika rencana tersebut muncul ke permukaan, masyarakat sekitar keberatan,
yang mengakibatkan pembangunannya tertunda kembali. Setelah pada akhirnya pembangunan TPST Bojong selesai dan akan dilakukan uji coba
operasionalnya, kembali muncul tantangan dari warga Bojong, yang mengakibatkan terjadinya pengrusakan fasilitas TPST dan konflik antara aparat
dengan warga Hadi, 2004. TPST Bojong dirancang untuk mengolah 2.000 ton sampah per hari, padahal produksi sampah di DKI Jakarta mencapai 6.000 ton
perhari. Dengan kata lain, TPST Bojong pun apabila dioperasikan hanya mampu mengolah sampah sebanyak sepertiga dari produksi sampah perhari di DKI
Jakarta, sehingga alternatif lain tetap diperlukan Bramono, 2004. Hal
22
tersebutlah yang akan terus dihadapi oleh Pemerintah DKI Jakarta apabila mengandalkan pengelolaan sampah pada sistem pembuangan saja, padahal di
banyak kota-kota di negara maju, sistem tersebut sudah mulai ditinggalkan. Salah satu aspek penting dari dampak tempat pembuangan akhir
sampah adalah pencemaran tanah dan air. Hasil pengujian sumur penduduk di sekitar TPA Bantar Gebang oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta 2003
menunjukkan kadar logam berat timbal dan kadmium yang melampaui Nilai Ambang Batas NAB, yaitu sebesar 0,115 dan 0,006 ppm padahal NAB atau
kadar maksimum yang diperbolehkan sebesar 0,05 dan 0,005 ppm Suyoto, 2004. Oleh karena itu, ketergantungan terhadap sistem Tempat Pembuangan
Akhir TPA dalam mengelola sampah harus segera ditinggalkan, sebab walaupun dilengkapi dengan sistem sanitasi yang baik namun pengendalian air
lindinya sampai saat ini masih belum memuaskan. Di dalam air lindi sendiri terdapat ribuan jenis zat organik dan anorganik yang seringkali satu sama lain
saling bereaksi membentuk senyawa baru yang sangat berbahaya, seperti senyawa klor organik dan logam-logam berat yang bersintesis dengan zat
organik dan melahirkan senyawa baru yang bersifat karsinogenik menyebabkan kanker, misalnya metil merkuri Hadi 2004.
Insinerator sebagai alternatif lain yang pernah digagas Pemerintah DKI Jakarta, juga merupakan sumber utama pencemaran merkuri. Merkuri
merupakan racun saraf yang sangat kuat, mengganggu sistem pergerakan, sistem panca indera dan kerja sistem kesadaran. Selain itu, insinerator juga
merupakan sumber utama polutan-polutan logam berat, seperti timah Pb, kadmium Cd, arsen As dan kromium Cr. Polutan-polutan lain yang
dihasilkan dari insinerator yang juga perlu diperhatikan antara lain adalah senyawa–senyawa hidrokarbon-halogen non-dioksin, gas-gas penyebab hujan
asam, partikulat-partikulat yang dapat mengganggu fungsi paru-paru dan gas- gas efek rumah kaca. Namun demikian, klasifikasi polutan-polutan yang
dihasilkan insinerator masih belum lengkap, dan masih banyak lagi senyawa- senyawa yang belum teridentifikasi dalam bentuk emisi dan abu di udara
Tangri, 2003. Meskipun teknologi insinerasi dapat menjadi salah satu pilihan dalam pengolahan sampah, tetapi perlu dipertimbangkan tingkat efektivitasnya
mengingat karakteristik sampah di DKI Jakarta yang masih tinggi kadar airnya. Di samping itu, perlu pula diperhatikan pengelolaan limbah dari proses insinerasi
tersebut.
23
Dioksin merupakan polutan yang diketahui paling berbahaya yang dihasilkan dari proses insinerasi. Dioksin dapat menyebabkan gangguan
kesehatan secara luas, termasuk kanker, kerusakan sistem kekebalan, reproduksi, dan permasalahan-permasalahan dalam pertumbuhan. Dioksin
terakumulasi dalam tubuh, melalui rantai makanan, terkonsentrasi dalam tubuh organisme, dan pada akhirnya terakumulasi dalam tubuh manusia sebagai
puncak dalam rantai makanan tersebut. Dioksin memerlukan perhatian khusus, karena dioksin dapat berada dimana-mana di lingkungan dalam tubuh manusia
pada tingkatan yang sudah dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan Tangri, 2003. Secara umum, insinerator merupakan salah satu sumber dioksin
utama. Saat ini, Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan, menerapkan
sistem pengelolaan sampah dengan bertumpu pada penimbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir TPA. Oleh karena itu, proses distribusi dan
transportasi menjadi penting. Sebagian besar sampah di DKI Jakarta berasal dari rumah tinggal 52,97 persen, pasar 4,00 persen, sekolah 5,32 persen,
perkantoran 27,35 persen, industri 8,97 persen dan lain-lain 1,40 persen. Sampah tersebut ada yang melalui tempat pengumpulan sementara, tetapi ada
juga yang langsung ke TPA. Untuk sampah industri 8,97 persen, sebagian ada yang didistribusikan ke TPA dan untuk sampah B3 Bahan Berbahaya dan
Beracun diolah sendiri atau melalui PT. PPLI Prasedha Paramah Limbah Industri yang telah memperoleh izin operasional dari Menteri Negara KLH dan
perusahaan swasta lainnya, yaitu PT. WGI dan PT. Dong Woo. Dengan kondisi armada pengangkutan dan Tempat Pembuangan Sementara TPS di setiap
wilayah saat ini, Pemerintah DKI Jakarta belum mampu menangani seluruh sampah yang dihasilkan masyarakat Jakarta atau masih belum dapat mengelola
sekitar 25,4 persen sampah setiap harinya dari total sekitar 27.966 m
3
sampah Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005. Hal tersebutlah yang perlu
dipertimbangkan kembali, di samping permasalahan lain yang akan selalu muncul dari proses distribusi dan TPATPST itu sendiri. Mekanisme pengelolaan
sampah di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2.
24
Gudang LB3
Door To Door Jali – jali
Dipergunakan kembali Rumah Tinggal
Pasar Sekolah
I ndustri Lain- lain
Perkantoran 52,97
4,00 5,32
27,35 8,97
1,40
TI MBULAN SAMPAH : 6.000 ton hari
STASI UN PERALI HAN ANTARA SPA
TPS
TPA BANTAR GEBANG
BEKASI
PPLI PT. WGI
PT.Dong Woo
Gambar 2. Mekanisme Pengelolaan Sampah DKI Jakarta Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005
2.3. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat