35
2.7. Aspek Perencanaan Sosial dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Planned social change atau perubahan sosial yang terencana merupakan perubahan sosial yang direncanakan, didesain, serta ditetapkan tujuan dan
strateginya Rakhmat, 2000b. Perubahan sosial tersebut biasa juga disebut sebagai rekayasa sosal social engineering atau perencanaan sosial social
planning, bahkan Kaufman dan Lick 2001 menyebutnya sebagai change management atau manajemen perubahan. Perencanaan sosial social planning
atau sering pula disebut sebagai rekayasa sosial social engineering adalah cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan
direncanakan terlebih dahulu. Perencanaan sosial merupakan bagian dari perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan oleh para pihak yang
hendak mengadakan perubahan dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan tersebut dinamakan agent of change, yaitu seorang
atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin lembaga kemasyarakatan Soekanto, 2002.
Perencanaan seharusnya tidak dianggap sebagai aktivitas yang terpisah, tetapi sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan yang amat kompleks,
dimulai dari perumusan tujuan kebijakan dan sasarannya secara luas, kemudian berkembang melalui tahapan-tahapan dimana tujuan kebijakan tersebut
diterjemahkan ke dalam bentuk rencana yang lebih rinci, dan selanjutnya diimplementasikan. Jenis kegiatan dalam perencanaan sosial dikelompokkan ke
dalam tiga bidang cakupan, yaitu : 1 perencanaan pelayanan sosial; 2 penghitungan skala prioritas dan pertimbangan-pertimbangan sosial; 3 jaminan
terhadap partisipasi masyarakat dalam perencanaan Conyers, 1991. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif atau biasa disebut sebagai
participatory planning, sebenarnya merupakan suatu proses politik untuk memperoleh kesepakatan bersama collective agreement melalui aktivitas
negosiasi antar seluruh pelaku pembangunan atau pemangku kepentingan stakeholders. Proses politik tersebut dilakukan secara transparan dan
aksesibel sehingga masyarakat memperoleh kemudahan dalam setiap proses pembangunan yang dilakukan serta setiap tahap perkembangannya. Dalam hal
ini perencanaan partisipatif lebih sebagai sebuah alat pengambilan keputusan yang diharapkan dapat meminimumkan konflik antar stakeholders. Perencanaan
partisipatif juga dapat dipandang sebagai insrtrumen pembelajaran masyarakat
36
social learning secara kolektif, melalui interaksi antar seluruh pelaku pembangunan atau stakeholders tersebut. Pembelajaran tersebut pada akhirnya
akan meningkatkan kapasitas seluruh stakeholders dalam upaya memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya secara luas Qomari et al., 2004. Perencanaan
partisipatif dapat diartikan pula sebagai : 1 kegiatan-kegiatan persiapan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat desakelurahan yang
akan melaksanakan kegiatan pembangunan masyarakat, agar tidak ada keengganan bagi masyarakat berperan serta dalam kegiatan untuk masyarakat
lokal, 2 kegiatan penyusunan proposal dan rancangan teknik pembangunan masyarakat, termasuk juga perbaikan sarana dan prasarana yang berbasis pada
kebutuhan masyarakat Sumardjo dan Saharudin, 2003. Perencanaan partisipatif selain sebagai sebuah proses politik, juga
merupakan sebuah proses teknis. Dalam proses tersebut yang lebih ditekankan adalah peran dan kapasitas “fasilitator” untuk mendefinisikan dan mendeteksi
stakeholders secara tepat. Selain itu proses tersebut juga diarahkan untuk memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan strategi dan rencana
tindak kolektif, serta melakukan mediasi terhadap konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya publik. Salah satu hal penting dalam proses teknis
tersebut adalah upaya pembangunan institusi masyarakat yang cukup legitimat sebagai wadah bagi masyarakat untuk melakukan proses mobilisasi
pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik Qomari
et al., 2004. Oleh karena itu, beberapa prinsip penting yang mendasari perencanaan sosial partisipatif adalah demokrasi, keterbukaan, kesukarelaan,
keswadayaan, pemberdayaan, kemandirian dan kebersamaan Sumardjo dan Saharudin, 2003.
Kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan stakeholders memerlukan sebuah kerangka pengawasan sosial platform of social control di
samping pengendalian masyarakat social engineering untuk menyeimbangkan dua kekuatan yang bekerja dalam memelihara dan mempertahankan
kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri sebagai kelompok sosial. Pengendalian masyarakat sebenarnya merupakan pengawasan sosial yang
bersifat formal, seperti kekuasaan dan hukum, sedangkan pengawasan sosial merupakan perilaku kelompok group conduct yang arahnya untuk menciptakan
keselarasan, solidaritas dan kelangsungan kelompok itu sendiri. Sebagai gejala
37
perilaku kelompok, pengawasan sosial dikukuhkan oleh pengaturan dan pengawasan adat-istiadat atau norma-norma sosial yang didukung oleh warga
masyarakat setempat Soetarto, 2002. 2.8. Model Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Sampah Berbasis
Masyarakat
Suatu sistem pengelolaan sampah perlu memperhatikan tiga aspek, yaitu : 1 aspek lingkungan sehingga sistem tersebut efektif dalam
menanggulangi masalah kerusakan dan pencemaran lingkungan; 2 aspek ekonomi sehingga sistem tersebut menghasilkan affordable secara ekonomi;
3 aspek sosial sehingga sistem tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Pada kebanyakan model pengelolaan sampah, aspek sosial sering sangat sedikit
dikaji, sehingga dalam implementasinya mengalami hambatan. Oleh karena itu, salah satu metode yang mulai dikembangkan untuk model pengelolaan sampah
berbasis masyarakat adalah metode SWAP Sustainable Waste Achievement Programme. Metode tersebut dikembangkan oleh Morrissey dan Browne 2004
di Irlandia dengan melibatkan seluruh stakeholders, termasuk pakar dan wakil masyarakat. Aspek teknologi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
ketiga aspek tersebut, sebab teknologi yang dipilih harus efektif dalam menangani masalah pencemaran oleh sampah, juga harus layak secara
ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat. Metode SWAP sebagi suatu model bertujuan untuk membimbing assist
para stakeholders untuk membuat suatu keputusan terbaik yang memungkinkan untuk dilakukan sesuai dengan kondisi yang ada, juga untuk menentukan
rangkaian program yang dapat diterima serta merumuskan ukuran keberhasilan program. Metode SWAP Morrissey dan Browne 2004 terdiri atas empat tahap
sebagai berikut, 1. Pelingkupan proyek the scoping of the project
2. Membangkitkan daftar program aksi pengelolaan sampah yang mungkin dilakukan the generation of a list of possible waste management actions
3. Pemilihan program aksi yang paling sesuai the selection of most appropriate waste management actions
4. Penerapan program pengelolaan sampah yang disepakati the
implementation of the agreed waste management actions
38
Dalam pelaksanaan metode SWAP, data yang digunakan dapat berasal dari data sekunder terutama dalam tahap pelingkupan proyek, dan data primer
yang berasal dari stakeholders yang ditentukan untuk melaksanakan rangkaian penetapan program secara partisipatif. Mekanisme partisipasi dapat dilakukan
melalui FGD focus group discussion atau mekanisme lainnya, dan proses pengambilan keputusannya dilakukan dengan metode MCDA Multi Criteria
Decision Analysis, antara lain dengan menggunakan Proses Hierarki Analitik AHPAnalytical Hierarchy Process atau metode pengambilan keputusan
lainnya Morrissey dan Browne, 2004. Metode AHP sebagai salah satu teknik pengambilan keputusan dalam metode SWAP, pertama kali dikembangkan oleh
Saaty 1993 dengan beberapa konsep pokok, yaitu 1 sistem di dunia sangat kompleks dan tidak sebanding dengan sumberdaya yang dimiliki untuk
menanganinya; 2 yang diperlukan bukan cara berpikir yang rumit, melainkan suatu kerangka yang memungkinkan untuk menguraikan masalah yang
kompleks secara sederhana; 3 Proses AHP menggunakan dua rancangan, baik deduktif maupun rancangan sistem, dalam satu kerangka yang logis dan
terpadu; 4 Proses AHP menyusun perasaan, intuisi dan logika dalam suatu rancangan yang terstruktur untuk pengambilan keputusan. Melalui metode AHP,
pendapat para pakar dibuat secara terstruktur, sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi dan menetapkan prioritas dengan tidak menyederhanakan
kompleksitas secara berlebihan dan adanya keadilan serta konsistensi dalam penilaian.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Pemilihan wilayah Jakarta Timur sebagai lokasi yang merepresentasikan permukiman di
wilayah DKI Jakarta, didasarkan atas pertimbangan data demografis di mana daerah tersebut adalah daerah yang paling luas lahan perumahannya, dengan
jumlah Kepala Keluarga KK dan jumlah rumah yang paling banyak di antara daerah lain yang ada di DKI Jakarta, seperti diperlihatkan pada Tabel 4 berikut,
Tabel 4. Luas Lahan Perumahan, Jumlah Kepala Keluarga KK dan Jumlah Rumah di DKI Jakarta 2001
No. Kotamadya Luas Lahan
Perumahan Ha
Jumlah Kepala Keluarga KK
Jumlah Rumah
1 Jakarta Selatan
10.431,35 462.237
456.438
2 Jakarta Timur
13.445,22 613.034
612.533
3 Jakarta Pusat
3.097,69 245.826
243.856 4 Jakarta
Barat 8.559,27
511.425 510.015
5 Jakarta Utara
8.147,13 394.618
393.288 Sumber :
BPS DKI Jakarta, 2005
Di wilayah Jakarta Timur, dipilih secara sengaja tiga Kecamatan yang relatif dapat merepresentasikan seluruh wilayah Jakarta Timur, yaitu 1
Kecamatan Duren Sawit, 2 Kecamatan Kramat Jati, dan 3 Kecamatan Ciracas. Melalui informasi spasial, dilakukan penyusunan tipologi permukiman
yang cukup rinci, sehingga setiap kecamatan hanya diwakili oleh satu kelurahan. Pada Kecamatan Duren Sawit dipilih Kelurahan Pondok Kelapa, pada
Kecamatan Kramat jati dipilih Kelurahan Kramat Jati, dan pada Kecamatan Ciracar dipilih Kelurahan Cibubur. Selain itu, untuk kajian model partisipasi yang
telah berjalan, dilakukan studi kasus di Banjarsari, Cilandak Barat-Jakarta Selatan dan Rawajati, Pancoran-Jakarta Selatan
bottom-up planning serta Rawasari-Jakarta Pusat
top-down planning. Penelitian dilaksanakan selama sepuluh bulan Januari 2006 – Oktober 2006.