Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi Masyarakat dalam

101 sudah tertata baik dengan jalan yang lebar dan luas bangunan antara 165- 250m 2 masih menunjukkan tingkat partisipasi yang relatif tinggi, dengan bertumpu pada keterlibatan para petugas kebersihan lingkungan untuk mengelola sampah. Meskipun tingkat pengetahuan, akses terhadap informasi, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan mereka relatif tinggi, tetapi karena interaksi sosial di antara anggota masyarakat dalam permukiman tersebut relatif rendah, maka kemampuan dan motivasi mereka untuk turut memilah dan mendaur ulang sampah, relatif terbatas. Pada permukiman lapisan atas, partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah lebih pada kesediaan mereka untuk membayar retribusi sampah dalam jumlah yang relatif tinggi, yaitu rata-rata di atas Rp. 25.000,- perbulan dibandingkan dengan permukiman menengah bawah yang retribusinya berkisar antara Rp. 2.000 – Rp. 5.000,- perbulan. Dengan permukiman yang memiliki jalan utama lebar, taman-taman lingkungan yang tertata dan ada pengelola yang bertugas khusus untuk itu, maka masyarakat lapisan atas umumnya hanya mengetahui hasil akhir proses karena telah membayar relatif besar untuk hal tersebut. Meskipun wawasan dan kepedulian mereka cukup tinggi, tetapi umumnya sangat rendah keterlibatan mereka secara langsung dalam pengelolaan sampah.

5.2. Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Persepsi dan sikap masyarakat terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman sangat mempengaruhi perilaku dan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di lingkungan masing-masing. Dari 170 responden yang diwawancarai dan mengisi kuesioner, terlihat bahwa tipe permukiman dan ketersediaan infrastruktur sampah sangat mempengaruhi perilaku responden dalam membuang sampah. Hal tersebut tergambar dari masih adanya pembuangan sampah ke lahan kosong, danausitu dan saluran air, di samping pembakaran sampah akibat minimnya fasilitas tempat pengumpulan sampah sementara TPS. Di samping itu, pola partisipasi yang terbentuk dan dikembangkan di setiap wilayah permukiman, sangat bergantung pada tipe permukimannya. Pada permukiman yang teratur, partisipasi dalam pengelolaan sampah lebih terkoordinasi dibandingkan dengan permukiman tidak teratur. 102 Hampir seluruh permukiman yang tidak teratur umumnya masih memiliki lahan kosong yang cukup luas, kecuali di Kelurahan Kramat Jati. Di samping itu, kemampuan ekonomi masyarakat relatif beragam. Hal tersebut terlihat pada rendahnya retribusi sampah perbulan yang dapat ditarik dari warga, yaitu berkisar antara Rp. 1.000,- sampai dengan Rp. 10.000,- bahkan sebagian besar warga yang membuang sampah sendiri karena lokasinya berdekatan dengan TPS, atau membakar sendiri sampahnya karena memiliki lahan kosong, tidak mau membayar retribusi sampah. Pada permukiman yang teratur, meskipun termasuk lapisan menengah-bawah, menengah, atau menengah atas, umumnya pengelolaan sampah sudah terkoordinasi dengan cukup baik dengan tingkat retribusi yang beragam per wilayah RW sesuai dengan kesepakatan dan tingkat pendapatan warganya. Secara garis besar, hasil penelitian kuantitatif digambarkan oleh model persepsi, sikap, perilaku dan partisipasi melalui Path Analysis sesuai dengan teori awal yang dibangun. Path analysis yang dilakukan menggunakan delapan variabel bebas dan empat variabel terikat, hasilnya tidak diperoleh model yang cocok jika berdasarkan pada model dasar penelitian. Hal ini terindikasi dari nilai p-value yang sangat kecil yaitu sebesar 0,000. Nilai tersebut berada di bawah nilai minimal yang dipersyaratkan sebagai ukuran kecocokan model yaitu sebesar 0,050. Pada model pertama tersebut, nilai galat sangat besar RMSEA=0,138, dan sebagian besar nilai korelasi antar variabel tidak berbeda nyata. Untuk itu dilakukan perubahan model sesuai dengan tahapan prosedur dalam software tersebut, sehingga terbentuk model kedua dan ketiga Lampiran 2. Pada Model Kedua terdapat beberapa jalur yang dihilangkan sehingga model yang terbentuk menjadi lebih sederhana. tersebut mendapatkan nilai p-value sebesar 0,24232 dan nilai galat yang rendah yaitu 0,032. Masih pada model kedua terdapat beberapa variabel bebas, yang setelah dilakukan modifikasi, tidak memiliki garis pengaruh jalur ke variabel terikat manapun. Variabel Lingkungan Sosial X5 ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Persepsi, demikian pula variabel Status Sosial X7 yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap Sikap. Oleh sebab itu, variabel- variabel tersebut dihilangkan untuk memperoleh model yang lebih mudah dan lebih sederhana, sehingga terbentuk model ketiga. Model ketiga menampilkan delapan buah koefisien jalur yang diestimasi dalam model tersebut, dan keseluruhan koefisien memiliki nilai t-hitung yang 103 cukup tinggi, yaitu berada di atas nilai 1,96 yang menjadi batasan minimal signifikansi dari masing-masing nilai t-hitung. Model ketiga merupakan model yang paling baik dengan nilai galat sangat kecil RMSEA = 0,000 dan nilai P sebesar 0,96490 yang jauh melebihi batas minimal yang dipersyaratkan, yaitu 0,050. Model tersebut sebenarnya sudah memiliki kesesuaian yang optimal dengan data, tetapi untuk memperjelas hubungan dan korelasi antar variabel, beberapa korelasi yang tidak signifikan dibuang dan tampilan bagan diperbaiki, sehingga hasilnya terlihat pada Gambar 34 sebagai berikut, Keterangan : AI : Akses terhadap Informasi KY : Keyakinan PGT : Pengetahuan P : Persepsi PD : Pendidikan PR : Perilaku INC : Pendapatan S : Sikap PGL : Pengalaman PTS : Partisipasi Gambar 34. Model Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Pada model di atas, terlihat bahwa faktor keyakinan memberikan kontribusi terbesar terhadap partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan secara signifikan memberikan kontribusi terhadap perilaku dalam mengelola sampah, sedangkan sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah dipengaruhi oleh pengalaman individu 104 tersebut dalam merespon permasalahan pengelolaan sampah di lingkungannya. Pada model akhir tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan secara signifikan dapat mempengaruhi perilaku dalam mengelola sampah, sedangkan sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah dipengaruhi oleh pengalaman individu tersebut dalam merespon permasalahan pengelolaan sampah di lingkungannya. Tingkat pengetahuan dan aksesibilitas terhadap informasi, khususnya mengenai pemilahan sampah, secara signifikan mempengaruhi persepsi individu terhadap pengelolaan sampah. Tingkat pengetahuan dan akses terhadap informasi berkorelasi dengan keyakinan individu, dan faktor keyakinan kemudian secara signifikan memberikan kontribusi terhadap tingkat partisipasi individu. Tingkat pengetahuan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap terbentuknya persepsi individu, sedangkan aksesibilitas terhadap informasi, khususnya mengenai pemilahan dan daur ulang sampah, secara signifikan memberikan kontribusi terhadap persepsi individu dan partisipasi dalam pengelolaan sampah. Persepsi ternyata tidak secara langsung berkontribusi terhadap partisipasi, tetapi mempengaruhi perilaku, baru kemudian perilaku berkontribusi terhadap partisipasi. Untuk itu, sejalan dengan penelitian Chu et al. 2004, salah satu faktor penting dalam mewujudkan partisipasi masyarakat adalah memperkuat keyakinan melalui sistem pengelolaan yang jelas dan dukungan penuh dari pemerintah daerah. Selain itu, diperlukan pula informasi yang memadai dan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. Sejalan dengan model tersebut, masyarakat berpendapat bahwa faktor persepsi dan sikap memegang peran penting sebagai kendala dalam meningkatkan partisipasi. Hal tersebut tergambar dari tingginya pendapat yang menyatakan bahwa faktor kurangnya kesadaran warga 56,47 yang menjadi kendala utama, disamping faktor infrastruktur yang belum memadai dalam pengelolaan sampah seperti terlihat pada Tabel 19 berikut, 105 Tabel 19. Kendala Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Permukiman No. Kendala dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Frekuensi Persentase 1 Infrastruktur 3 1,76 2 Kesadaran warga kurang 96 56,47 3 Saat ini sudah cukup baik 28 16,47 4 Lainnya 19 11,18 5 Tidak tahu 24 14,12 Jumlah 170 100,00 Untuk itu, upaya yang paling penting dilakukan adalah penyuluhan mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang dilakukan secara rutin dan terus- menerus, disertai dengan pertemuan-pertemuan untuk selalu mengingatkan masyarakat dalam memilah sampah. Hal tersebut terlihat pada Tabel 20 berikut, Tabel 20. Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilahan Sampah Permukiman No. Upaya dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Frekuensi Persentase 1 Penyuluhan Rutin 67 39,41 2 Pertemuan untuk selalu mengingatkan 54 31,76 3 Lainnya 26 15,29 4 Tidak tahu 23 13,53 Jumlah 170 100,00 Penyuluhan mengenai pemilahan dan daur ulang sampah sebagai suatu bentuk pemberian informasi yang lebih cenderung bersifat searah, ternyata masih menjadi terminologi yang umum di masyarakat. Meskipun demikian, yang dimaksud oleh masyarakat sebagai penyuluhan pada dasarnya memiliki arti yang lebih luas dan bentuknya tidak selalu merupakan pemberian informasi satu arah. Hal tersebut terungkap dari penilaian masyarakat bahwa yang dimaksud penyuluhan adalah penjelasan langsung maupun tidak langsung, diskusi, pelatihan dan lain-lain. Pertemuan rutin untuk mengingatkan warga dalam implementasi pemilahan dan daur ulang sampah merupakan bentuk motivasi yang harus secara intensif dan berkesinambungan dilakukan oleh block leader. Oleh sebab itu, informasi dan motivasi merupakan dua faktor yang sangat penting yang disadari oleh sebagian besar masyarakat sebagai prioritas utama upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah permukiman. 106 Informasi merupakan bagian penting untuk membentuk persepsi yang pada akhirnya akan membentuk perilaku tertentu, sebab persepsi merupakan faktor antara dalam mempengaruhi perilaku. Informasi mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang tepat sasaran adalah informasi yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat, bukan informasi yang bersifat umum dengan format yang umum pula, seperti bentuk iklan layanan masyarakat di media elektronik. Informasi mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang bersifat umum hanya diperlukan dalam proses sosialisasi program atau kebijakan yang akan diberlakukan, tetapi untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah, diperlukan bentuk informasi yang lebih khusus dan disesuaikan dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, sejalan dengan penentuan tipologi permukiman, maka perlu dirumuskan bagaimana bentuk informasi dan motivasi yang tepat untuk setiap tipe permukiman. Hal tersebut dapat melahirkan tipologi partisipasi yang relevan pada setiap tipe permukiman yang ada. 5.3. Studi Kasus Beberapa Kegiatan Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta Pengelolaan sampah secara terpadu yang berbasis zero waste secara teoritis dapat mereduksi sampah sampai 97 persen, dengan sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal tiga persen yang berbentuk abu dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan Bebassari, 2004. Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT telah melaksanakan pilot proyek di wilayah Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat. Dalam upaya penerapan sistem tersebut berbagai fasilitas disediakan, tetapi tidak melibatkan seluruh stakeholders, sehingga pilot proyek tersebut tidak dapat berkembang dan tidak bertahan lama karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat sekitarnya Kholil, 2004. Saat ini, fasilitas tersebut hanya digunakan apabila ada kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, seperti pelatihan dan kunjungan 1 . Di setiap wilayah kotamadya di DKI Jakarta juga diimplementasikan sistem pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste, yang merupakan 1 Berdasarkan wawancara dengan petugas Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat pada tanggal 20 April 2005. Pemilahan pun dilakukan di TPS dengan tenaga kerja yang dibayar dan selanjutnya dilakukan pengomposan, daur ulang dan pembakaran sampah dengan mini incinerator. Kegiatan ini hanya dilakukan pada waktu tertentu saja apabila diperlukan, misalnya pada saat kunjungan, pelatihan dan lain-lain. 107 program Pemerintah DKI Jakarta. Saat ini, program tersebut tidak berjalan efektif meskipun disertai dengan kegiatan penyuluhan dan program pendukung lainnya 2 . Di Kampung Banjarsari-Cilandak Barat, penerapan pemilahan dan daur ulang sampah memerlukan waktu 15 tahun sampai masyarakat mau terlibat dan terbiasa memilah sampah. Proses panjang tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai konsistensi dan partisipasi kognitif secara alamiah, diperlukan tahapan yang panjang mulai dari perubahan persepsi sampai berdampak pada perubahan perilaku dan terwujudnya partisipasi dalam bentuk kebersamaan dalam pengelolaan sampah permukiman. Meskipun demikian, pasang-surut motivasi masyarakat dialami di Kampung Banjarsari. Hal tersebut dapat diatasi karena adanya tokoh panutan yang secara sukarela terus memberikan motivasi pada warga 3 . Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wardhani 2004 di Banjarsari yang menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam partisipasi masyarakat untuk memilah sampah adalah : 1 adanya tokoh panutan block leaders atau informal leaders yang melaksanakan ajakan secara langsung; 2 dukungan untuk komunitas dalam keikutsertaan pada program pengelolaan sampah; 3 adanya insentif berupa peralatan pengomposan dan pelatihan; 4 sikap atas masalah sampah dan pengelolaan sampah di lingkungan tempat tinggalnya. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan pentingnya pemberian motivasi secara terus-menerus dan berkesinambungan. Oleh sebab itu, dalam merancang strategi partisipasi, perlu dirumuskan bagaimana pengelolaan kelembagaannya, terutama lembaga informal yang ada di masyarakat. Berlainan dengan Kampung Banjarsari, kasus Kampung Rawajati sangat menarik berkaitan dengan peran block leader dan motivasi sebagian besar warganya, sehingga dalam waktu dua tahun mampu mewujudkan pemilahan sampah, padahal di Kampung Banjarsari hal tersebut dilakukan dalam waktu 15 tahun. Kenyataan ini telah memutus mata rantai opini yang selama ini tercipta, bahwa perubahan perilaku berkaitan dengan sampah dan pengelolaan sampah memerlukan proses yang lama layaknya perubahan sosial biasa. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa kondisi yang 2 Berdasarkan wawancara dengan petugas Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 29 Maret 2006. 108 menunjang perubahan yang relatif radikal tersebut, antara lain adalah sebagai berikut 4 , • Mereka memiliki impian berupa sebuah gambar lingkungan suatu kota yang dipajang untuk terus mengingatkan mereka akan impian tersebut. • Adanya block leader yang menjaga dan memacu motivasi warga secara intensif dan berkesinambungan. • Pada mulanya, memang bukan merupakan lingkungan yang individualistik, sehingga interaksi sosial relatif tinggi. • Beberapa block leader memiliki waktu yang cukup untuk memberikan motivasi karena telah memasuki masa pensiun. Faktor yang paling penting dalam pengelolaan sampah adalah kontinuitas dari mekanisme pengelolaan sampah serta adanya block leader yang berperan sebagai motivator. Kondisi yang kondusif tersebut terdapat di Kampung Rawajati, sehingga berhasil mewujudkan partisipasi warga untuk mengelola sampah secara mandiri. Hal tersebut terbukti dari berkurangnya jumlah TPS yang dioperasikan, yaitu dari delapan TPS menjadi hanya dua TPS saja, disamping berjalannya kegiatan pengomposan dan daur ulang kertas. Keberhasilan Rawajati terus berlanjut dan menjadi pusat pelatihan serta percontohan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Berbagai kalangan telah berkunjung ke sana, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Meskipun demikian, Pemerintah DKI Jakarta ternyata tidak mampu melakukan replikasi secara luas model tersebut dan umumnya hanya memberikan insentif bagi komunitas yang sudah berjalan, tetapi tidak mempersiapkan dan mendukung munculnya partisipasi pada komunitas-komunitas lainnya dalam jumlah banyak. Secara umum, kisah keberhasilan beberapa wilayah di DKI Jakarta dalam pemilahan dan daur ulang sampah merupakan percontohan yang baik dalam menumbuhkan motivasi warga lainnya. Meskipun demikian, dilihat dari tingkat penambahan wilayah yang menerapkannya setiap tahun, maka keberhasilan tersebut hanya akan menjadi tempat percontohan dan studi banding bagi komunitas lainnya serta sulit direplikasi secara luas di tempat lain. Rendahnya tingkat partisipasi sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan sampah di perkotaan dapat terjadi sebagai hasil dari : a kondisi 3 Berdasarkan wawancara dengan Harini Bambang Wahono pada tanggal 28 Maret 2006. 4 Berdasarkan wawancara dengan Syamhudi pada tanggal 29 Maret 2006. 109 kemiskinan yang dimiliki warga; b sikap masa bodoh; dan c kombinasi dari keduanya. Kemiskinan dan sikap masa bodoh bila dilihat dari konteks corak kehidupan kota sebenarnya merupakan hasil dari kehidupan kota yang individualistik dan pentingnya peranan uang. Sebaliknya, kondisi kemiskinan dan sikap masa bodoh juga telah membantu memperkuat tradisi kehidupan kota yang bercorak individualistik, egosentrik, dan pentingnya peranan uang dalam kehidupan warga, sehingga pada dasarnya warga perkotaan terkotak-kotak dalam satuan individual rumah tangga Suparlan, 2004. Meskipun analisis tersebut secara umum dianggap wajar, tetapi tidak selalu benar. Ada indikasi bahwa untuk permasalahan sampah, masyarakat lebih mudah untuk diajak berperan dalam mengatasi permasalahan sampah di lingkungannya, meskipun untuk golongan tertentu, perlu disertai dengan penyampaian aspek ekonomi atau keuntungan secara ekonomi sebagai bagian dari tawaran implementasi program. Hal tersebut sejalan dengan pengalaman salah satu perusahaan multinasional dalam memperkenalkan program pengelolaan sampah mandiri di DKI Jakarta, yang menilai bahwa dengan menyentuh rasa tanggung jawab dan keprihatinan warga terhadap kondisi lingkungan saat ini, ternyata respon mereka cukup baik 5 . Meskipun demikian, dalam mewujudkan partisipasi masyarakat, tidak cukup berhenti pada tahap menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab saja, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan dalam implementasinya.

5.4. Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat