Sistim Perdagangan Bebas Multilateral

Di sisi lain, kelompok penentang kebijakan perdagangan bebas regional Bhagwati, 1995; Krueger, 1995; Panagariya, 1998 beragumentasi bahwa RTAs akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral sebab di satu sisi memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota, tetapi di lain pihak memproteksi pasar bagi negara-negara di luar anggota RTAs. Menurut Bhagwati 1995, pembentukan Preferential Trade Area PTA akan menimbulkan efek “spaghetti bowl”, yaitu kerancuan atau kesulitan dalam menentukan asal usul barang rules of origin yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan PTA. Selanjutnya, Bhagwati dan Panagariya 1996 berpendapat pembentukan Preferential Trade Area antara sebuah ekonomi besar dengan ekonomi negara-negara berkembang hegemonic-centred seperti: NAFTA, bertentangan dengan sistim perdagangan bebas multilateral sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbangan unfair trade. PTA akan lebih sesuai dengan sistim perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang non-hegemonic-centred yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif seimbang dan sebelumnya telah memiliki hubungan perdagangan secara tradisional, seperti: MERCUSOR, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk di antara negara-negara Amerika Selatan.

2.1.1. Sistim Perdagangan Bebas Multilateral

Liberalisasi perdagangan multilateral secara resmi dimulai sejak adanya kesepakatan GATT pada tahun 1948. Sejak tanggal 1 Januari 1995, GATT digantikan dengan lembaga perdagangan multilateral yang disebut WTO World Trade Organization . Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pembentukan WTO dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi tersebut Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang disepakati dalam WTO. Prinsip-prinsip perdagangan multilateral yang dianut dalam GATTWTO adalah: 1. Trade without discrimination , artinya perdagangan dilakukan tanpa diskriminas. Semua negara anggota WTO berhak atas perlakuan yang sama atau Most-favoured Nation MFN. 2. Freer trade, artinya penghapusan dan penurunan hambatan perdagangan tarif dan non-tarif dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi. 3. Predictability through binding and transparency, artinya satu negara tidak boleh memberlakukan hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif secara sepihak. Tingkat tarif dan komitmen untuk membuka pasar domestik bersifat mengikat binding dan untuk diketahui oleh semua anggota WTO. 4. Fair competition trade, artinya persaingan perdagangan harus dilakukan secara sehat. Sebagai contoh: satu negara tidak boleh melakukan dumping ekspor dengan harga dibawah biaya produksi atau subsidi dengan tujuan untuk meningkatkan ekspornya. 5. Encouraging development and economic reform, artinya sistim perdagangan WTO harus memberikan fleksibilitas kepada kelompok negara berkembang untuk melaksanakan kesepakatan WTO. Selain itu, kelompok negara berkembang perlu diberi bantuan teknis dan konsesi perdagangan tertentu guna mendukung pembangunan ekonomi nasional mereka. Sejak adanya kesepakatan GATT, perundingan perdagangan multilateral telah dilakukan sebanyak delapan 8 kali putaran, dimulai tahun 1947 di Geneva hingga putaran terakhir yang dikenal dengan Putaran Uruguay 1986 – 1994. Pada awalnya perundingan GATT hanya membahas penurunan tarif perdagangan barang dan pesertanya terbatas dari kelompok negara industri maju. Namun dalam perkembangan selanjutnya topik perundingan GATT diperluas hingga mencakup hampir semua aspek perdagangan, seperti: tariff dan non-tarif, tekstil, produk pertanian, sumberdaya alam, perlindungan hak intelektual, investasi, jasa, dan lain-lain. Perkembangan perundingan dan ruang lingkup yang dibahas dalam GATT disajikan pada Tabel 5. Putaran Uruguay merupakan proses perundingan perdagangan terbesar dalam catatan sejarah GATT, memakan waktu lebih dari tujuh tahun 1986 – 1994 dan membahas hampir semua aspek liberalisasi perdagangan internasional untuk mencegah meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju. Hasil yang paling menonjol dari Putaran Uruguay antara lain adalah disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa the General Agreement on Trade in Services GATS, perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait dengan perdagangan Trade-related Intelectual Property Rights TRIPS, perjanjian di sektor investasi Trade-related Investment Measures TRIMSs dan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia WTO. Putaran Uruguay juga telah berhasil menurunkan tingkat tarif produk manufaktur di negara-negara industri secara signifikan dari 6.3 persen menjadi 3.9 persen atau penurunan sekitar 40 persen. Sedangkan di negara-negara berkembang, tarif produk manufaktur diturunkan dari rata-rata 15.3 persen menjadi 12.3 persen atau penurunan sebesar 30 persen OECD, 1998. Berdasarkan studi OECD 1998, liberalisasi perdagangan barang berdasarkan hasil Putaran Uruguay akan meningkatkan GDP dunia sebesar US 94 milyar setiap tahunnya dihitung pada tahun 1992, dan apabila ditambah dengan hasil liberalisasi di sektor investasi maka kenaikan GDP dunia tersebut mencapai US 214 milyar per tahun atau sekitar 1 persen dari total output dunia pada 1992. Hasil studi OECD tersebut juga menunjukkan bahwa manfaat liberalisasi perdagangan hampir setengahnya dinikmati oleh negara-negara berkembang. Meskipun Putaran Uruguay di satu sisi berhasil meliberalisasikan perdagangan barang terutama produk manufaktur, namun di sisi lain kesepakatan tersebut belum menyelesaikan masalah penting dan sangat sensitif bagi negara-negara berkembang, seperti perdagangan produk tekstil dan pertanian. Dalam perdagangan produk tekstil, beberapa negara maju terutama USA dan Uni Eropa masih menerapkan ketentuan MFA Multi-fiber Arrangements yang bertentangan dengan prinsip GATTWTO. MFA tersebut merupakan hambatan dalam bentuk kuota impor yang diberlakukan terhadap ekspor tekstil dari 22 negara berkembang. Menurut kesepakatan Putaran Uruguay, MFA akan dihapuskan dalam jangka waktu 10 tahun terhitung sejak tahun 1994. Namun kenyataannya sampai saat ini USA masih memberlakukan MFA tersebut terhadap ekspor dari beberapa negara berkembang. Di sektor pertanian, Uruguay Round Agreement on Agriculture URAA telah disepakati oleh negara-negara GATTWTO. Berdasarkan URAA, hambatan non-tarif dalam perdagangan produk pertanian digantikan dengan tarif yang mengikat bound tariffs , dan disepakati untuk memperluas akses pasar dengan mengurangi subsidi domestik dan subsidi ekspor. Menurut Malian 2004 terdapat 3 hal penting di sektor pertanian yang disepakati dalam Putaran Uruguay, yaitu: 1 pengurangan hambatan akses pasar berupa penurunan tarif rata-rata 36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif di negara-negara maju selama 6 tahun. Sedangkan di negara-negara berkembang, penurunan tarif sebesar 24 persen selama 10 tahun, 2 pengurangan subsidi domestik di negara-negara maju sebesar 20 persen tanpa batas waktu, dan pengurangan subsidi domestik di negara-negara berkembang sebesar 13.3 persen selama 10 tahun. Subsidi domestik di bawah 5 persen di negara-negara maju dan 10 persen di negara-negara berkembang dari total nilai produk pertanian tidak dilarang. Selain itu, subsidi yang telah diberikan sejak tahun 1986 dihitung sebagai kredit, dan 3 pengurangan subsidi ekspor di negara-negara maju sebesar 36 persen, dan mencakup 24 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi. Untuk negara- negara berkembang pengurangan tersebut adalah sebesar 20 persen, dan mencakup 16 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi selama 10 tahun. Namun dalam pelaksanaannya, banyak negara maju yang masih memproteksi sektor pertaniannya secara berlebihan. Duncan et al 1999 mencatat besarnya proteksi terhadap komoditi pertanian di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang berkisar antara 116 – 463 persen. Subsidi ekspor yang diberikan kepada produk pertanian di ketiga negara maju tersebut pada tahun 1998 masing-masing mencapai US 101.5 milyar Amerika Serikat, US 142.2 milyar Uni Eropa, dan US 56.8 milyar Jepang. Menurut OECD 1998 biaya yang harus ditanggung untuk memproteksi pasar komoditi pertanian di negara-negara OECD rata-rata mencapai 35 persen dari nilai total produksi sektor pertanian. Tingginya proteksi sektor pertanian di negara-negara maju sangat merugikan produsen di negara berkembang karena tertutupnya akses pasar untuk ekspor dan penurunan harga komoditi pertanian. Menurut Malian 2004 terdapat banyak kelemahan dalam perjanjian sektor pertanian di WTO. Hal ini terlihat dari: 1 akses pasar ke negara maju relatif sulit karena sejak awal mereka telah memiliki “initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi, 2 dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi untuk menorong ekspor dari surplus produksi komoditi pertanian yang dimiliki, dan 3 dalam perjanjian WTO tidak terdapat fleksibilitas yang memedai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan strategis perdagangan komoditi pertanian di negara-negara tersebut. Dengan kondisi tersebut dikhawatirkan akan terjadi kebuntuan dalam perundingan tahap berikutnya. Tabel 5. Putaran Perundingan GATT Tahun Tempat Nama Perundingan Topik Negosiasi Jumlah Negara Peserta 1947 Geneva Tarif 23 1949 Annecy, Perancis Tarif 13 1951 Torquay, Inggris Tarif 38 1956 Geneva Tarif 26 1960 – 1961 Geneva Dillon Round Tarif 26 1964 – 1967 Geneva Kennedy Round Tarif dan Anti dumping 62 1973 – 1979 Geneva Tokyo Round Tarif, non-tarif dan kerangka perjanjian 102 1986 – 1994 Geneva Uruguay Round Tarif, non-tarif, jasa, hak cipta intelektual, penyelesaian sengketa, tekstil, pertanian, pembentukan WTO, dll. 123 Sumber: Situs resmi WTO di http:www.wto.org Sejak tahun 2001, GATTWTO memulai babak perundingan baru yang disebut dengan Doha Development Agenda DDA sebagai hasil kesepakatan pertemuan tingkat menteri WTO di Doha, Qatar pada November 2001. Agenda yang akan dibahas dalam perundingan DDA antara lain meliputi: perdagangan produk pertanian, investasi, jasa, isu lingkungan, dan Hak Atas Kekayaan Intelektual HAKI, penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO. Selain itu, DDA juga mengamanatkan WTO untuk memberikan bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang the New Strategy for WTO Technical Cooperation for Capacity Building, Growth and Integration sehingga mereka dapat mengintegrasikan ekonominya ke dalam sistim perdagangan multilateral. Terdapat tiga isu penting yang dibahas dalam perundingan sektor pertanian, yaitu: 1 perluasan akses pasar melalui penurunan tarif, 2 penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan ekspor yang kompetitif, dan 3 penghapusanpenurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. Berdasarkan program kerja Doha atau juga sering disebut d engan ”Paket Juli 2004” 5 , perundingan ketiga pilar sektor pertanian tersebut dilakukan atas dasar sebagai berikut: 1. Subsidi domestik: negara-negara maju Eropa dan Amerika Serikat harus memotong 20 persen total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian di sektor pertanian, dan pemberian subsidi untuk kategori blue box dibatasi sebesar 5 persen dari total produksi pertanian. 2. Subsidi ekspor: semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti: kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi. 3. Akses pasar: penurunan tarif dilakukan dengan menggunakan formula bertingkat tiered formula terhadap tarif terikat bound tariff. Dengan formula ini maka tarif terikat yang masih tinggi seperti komoditi beras dan gula di Indonesia akan bisa dipangkas lebih banyak lagi. Paket Juli 2004 juga memberikan pengecualian perubahan pada beberapa jenis produk pertanian, yaitu: 1 produk khusus special products bagi negara berkembang, dan 2 produk peka sensitive products untuk negara maju. Negara- negara berkembang dapat menentukan jumlah produk khusus berdasarkan kriteria: ketahanan pangan food security, ketahanan kehidupan masyarakat pedesaan 5 Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko tahun 2003, Sidang Dewan Umum WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang Program Kerja Doha atau sering disebut dengan “Paket Juli 2004” yang merupakan kerangka perundingan DDA atas lima isu utama, yaitu: perundingan sektor pertanian, akses pasar produk non-pertanian, pembangunan dan implementasi, sektor jasa, fasilitasi perdagangan dan penanganan Singapore Issues. livelihood security, dan pembangunan masyarakat pedesaan rural development. Namun demikian, produk khusus tersebut tetap harus mengikuti ketentuan Tariff Rate Quotas TRQs, yaitu: persentase tarif tertentu atas produk pertanian untuk membuka akses pasar impor. Dengan kata lain, meskipun komoditi tertentu seperti: beras dan gula dapat dimasukkan sebagai produk khusus tetapi tetap terkena ketentuan untuk membuka pasar impor atas kedua komoditi tersebut melalui penerapan sistim kuota tarif. Di lain pihak, negara-negara maju masih memiliki peluang untuk memproteksi komoditi pertanian mereka dari ancaman masuknya komoditi pertanian yang sama dari negara-negara berkembang. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan produk pertanian tertentu ke dalam kategori produk peka. Menurut Achterbosch et al 2004, perundingan DDA diperkirakan memberikan dampak relatif kecil terhadap GDP Indonesia sebab saat ini sektor pertanian di Indonesia sudah cukup liberal. Tarif impor komoditas pertanian telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen, kecuali komoditi beras dan gula pasir, dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Oleh sebab itu kebijakan untuk melindungi sektor beras dan gula melalui pelarangan impor atau kuota terbatas malah akan mengakibatkan penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih besar dibandingkan dengan memasukkan kedua komoditi tersebut sebagai produk khusus dalam perundingan DDA. Kebijakan pembatasan impor yang akan menyebabkan kenaikan harga di pasar domestik harus dihindari, karena selain tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani juga akan menambah beban masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi Indonesia adalah tetap melanjutkan upaya liberalisasi perdagangan, termasuk di sektor pertanian, dan mengikuti perundingan DDA untuk memperjuangkan agar segala bentuk subsidi pertanian di negara maju dapat dihapuskan Erwidodo dan Ratnawati, 2004.

2.1.2. Sistim Perdagangan Bebas Regional