Myanmar, dan Vietnam tingkat tarif rata-rata masih sebesar 6.22 persen. Pada tahun 2003, ada sebanyak 49 017 pos tarif atau sekitar 99.60 persen dari total pos tarif di
ASEAN-6 yang telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen. Namun untuk negara-negara
CLMV lebih dari 34 persen pos tarifnya masih di atas 5 persen.
2.2.2 Perkembangan Perdagangan ASEAN dalam Kerangka AFTA
Implementasi skema CEPT-AFTA telah berhasil meningkatkan perdagangan intra-ASEAN dari US 82.4 milyar 1993 menjadi US 174.5 milyar 2003 atau
meningkat rata-rata 8.8 persen per tahun lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perdagangan dengan negara-negara di luar kawasan ASEAN 6.5 persen. Pada tahun
2003, ekspor intra-ASEAN mencapai US 99.7 milyar, sedangkan impornya sebesar US 74. 8 milyar. Perkembangan nilai perdagangan ASEAN selama tahun 1993 -
2003 disajikan pada Lampiran 3. Setelah krisis ekonomi 1997-1998, perdagangan intra-ASEAN mengalami
peningkatan cukup tajam dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan nilai sebesar US 166.1 milyar atau tumbuh 25.2 persen dari tahun sebelumnya. Angka
perdagangan tersebut sedikit mengalami penurunan menjadi US 149.2 milyar 2001 dan US 158.7 milyar 2002, namun kembali meningkat menjadi US 174.5 milyar
pada 2003. Meskipun telah menunjukan peningkatan, perdagangan intra-ASEAN selama ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan
dengan negara-negara di luar kawasan ASEAN extra-ASEAN trade. Persentase perdagangan intra-ASEAN terhadap total perdagangan ASEAN hanya berkisar antara
19 – 22 persen. Perdagangan ASEAN selama ini masih sangat mengandalkan mitra
dagang negara-negara maju seperti USA, Jepang, dan Eropa. Pada tahun 2003, perdagangan dengan USA mencapai 14.1 persen dari total nilai perdagangan
ASEAN, kemudian disusul berturut-turut dengan Jepang 13.7 persen, Uni Eropa 11.5 persen, dan China 7 persen. Hal ini mencerminkan tingkat integrasi ekonomi
ASEAN masih relatif rendah dibandingkan misalnya dengan NAFTA atau EU. Impementasi AFTA selama ini masih menghadapi beberapa kendala. Kurang
kuatnya komitmen negara-negara ASEAN untuk mencapai target liberalisasi perdagangan sebagaimana yang telah disepakati dalam CEPT merupakan hambatan
utama yang dihadapi dalam pelaksanaan AFTA. Dengan alasan untuk melindungi industri dalam negeri yang dianggap masih belum siap memasuki era perdagangan
bebas, beberapa negara anggota ASEAN sampai saat ini masih belum bersedia menurunkan tarif dan menghapuskan hambatan non-tarif atas produk-produk tertentu.
Masalah lain adalah adanya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi nasional dan keterbatasan kemampuan sumberdaya dari sebagian negara ASEAN dalam memasuki
era liberalisasi perdagangan regional. Disamping itu, masih adanya keraguan dari sebagian negara anggota ASEAN terhadap kemampuan AFTA dalam meningkatkan
perdagangan dan investasi FDI di kawasan ASEAN juga ikut menghambat pelaksanaan AFTA. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa negara ASEAN yang
melakukan perdagangan bebas secara biletaral dengan negara-negara maju. Singapore, misalnya, menandatangani FTA dengan New Zealand 2000, Amerika
Serikat 2001, Jepang 2002, dan Australia 2002. Demikian pula FTA Thailand dengan Australia 2005. Sedangkan Malaysia dan Indonesia sampai saat ini masih
merundingkan FTA bilateral dengan Jepang. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara ASEAN untuk mengadakan perjanjian FTA bilateral. Pertama, untuk
memberi tekanan kepada negara-negara ASEAN yang selama ini masih enggan untuk meliberalisasi perdagangannya secara penuh. Kedua, krisis ekonomi dan keuangan
tahun 1997-1998 yang melanda sebagian negara ASEAN telah menyebabkan
kemundurun ekonomi ASEAN, khususnya di sektor ekspor dan investasi. Ketiga, perkembangan ekonomi China yang pesat dikhawatirkan akan mengancam industri
manufaktur dan daya saing ekspor negara-negara ASEAN Aslam, 2003.
2.3. Perdagangan Bebas ASEAN – China