147
di negara tetangga Filipina. Kedua prosedur ini memiliki prinsip yang sama dalam hal: 1. Kompetensi wewenang pengujianevaluasi sesuai dengan fungsi
lembaga; 2. Kejelasan lamanya durasi waktu dalam setiap tahapan prosedur yang akan dilalui oleh pemohon; 3. Kewajiban akan adanya pemberitahuan
publik; dan 4. Keputusan akhir berupa persetujuan atau penolakan terhadap proposal dari pemohon. Suatu faktor pemicu dimulainya adopsi benih transgenik
di Filipina adalah perananpengaruh Presidennya dalam menetapkan keputusan executive order sehingga departemenkelembagaan yang berwenang dapat
bekerja efektif. Hal pembuatan keputusan seperti ini menjadi faktor terpenting dalam situasi dimana perdebatan terbuka tentang manfaat dan risiko teknologi
baru seperti itu tidak terelakkan.
4.5.2. Faktor-faktor lain Sebagai Variabel yang Mempengaruhi Kelambatan dalam Pengambilan Keputusan
Selain faktor transisi regulasi dan kelembagaan keamanan hayati yang diuraikan di atas, tampaknya masih ada faktor-faktor lain yang tidak dapat
diabaikan agar pengambilan keputusan yang mendukung adopsi tanaman transgenik berjalan dengan baik. Faktor-faktor lain tersebut sebagai variabel yang
sekaligus menjelaskan mengapa selama lebih dari 1 dasawarsa belum ada varietas transgenik khususnya tanaman pangan yang dapat ditanam oleh petani di
Indonesia, yang kritikal yakni:
Pendaftaranpelepasan varietas setelah aman hayati
: Prosedur evaluasi pelepasan varietas dimulai dengan percobaan multilokasi atau uji
observasi pada berbagai lokasi dengan pengujian lebih dari 1 musim. Hasil percobaan multilokasi kemudian dilaporkan kepada Badan Benih Nasional BBN
untuk mendapat persetujuan untuk direkomendasikan kepada Menteri untuk dilepas kalau varietas yang diuji terbukti unggul daripada varietas pembanding.
Biasanya rekomendasi BBN ini diputuskan oleh Menteri dalam suatu surat keputusan pelepasan varietas, yang secara gamblang diartikan sebagai lulus
persyaratan untuk ditanam oleh petani secara luas; sebaliknya kalau tidak lulus persyaratan berarti ditolak untuk dilepas. Artinya ke depan diharapkan tidak ada
lagi terminologi pelepasan terbatas untuk sesuatu varietas.
148
Keamanan pangan, termasuk untuk produk impor
: Terlepas dari pembahasan mengenai letak dan pemegang mandat keamanan pangan untuk
produk segar dan produk olahan, fakta saat ini konsumen di Indonesia secara langsung maupun tidak langsung telah memakan produk pangan transgenik
karena: 1. jagung transgenik yang diimpor digunakan sebagai bahan baku pakan ternak unggas, dan 2. kedelai transgenik yang diimpor digunakan sebagai bahan
baku pembuat tempe, tahu dan kecap. Hal ini telah berlangsung setidak-tidaknya sejak 7-8 tahun yang lalu. Berdasarkan informasi yang ada Purwantara, 2008
bahwa peraturan teknis evaluasi keamanan pangan sudah ditandatangani Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Oleh karena itu persetujuan keamanan
pangan produk transgenik impor seharusnya menjadi prioritas.
Pengalaman tidakberlanjutnya adopsi kapas Bt 2000-03 dan posisi antar pihak stakeholder yang berbeda
: Tidak dapat dipungkiri bahwa ’kegagalan’ adopsi terbatas kapas transgenik Bt di Sulawesi Selatan ternyata di
kemudian hari mempengaruhi mood pengambil keputusan. Hal ini tidak terlepasa dari posisi, pendapat atau opini berbagai pihak tentang manfaat, persepsi resiko
serta kekhawatiran dominasi swasta untuk suplai benih kalau diamati dapat berlangsung tanpa henti. Opini kalangan LSM lembaga swadaya masyarakat
tentang persepsi resiko dan dominasi korporasi memiliki sisi yang positif untuk diperhatikan dalam pengkajian dan diseminasi informasi sepanjang hal itu dapat
dilakukan secara efisien dan efektif. Akan tetapi kalau keberatan yang diajukan LSM lebih mengarah ke ‘moratorium’ aplikasi transgenik di Indonesia,
tampaknya wajar untuk mempertanyakan motif apa di balik penentangan terhadap sesuatu yang dianggap akan memberikan manfaat. Menarik untuk dicatat kembali
di sini bahwa tuntutan hukum yang pernah dibuat koalisi LSM terhadap Pemerintah Adiwilaga, 2003; Purwantara, 2008 karena melepas kapas Bt pada
tahun 2000 masih memiliki bekas bagi regulator dan pembuat keputusan yang khawatir akan risiko serupa dalam menetapkan keputusan-keputusan baru tentang
produk transgenik. Khusus mengenai kapas Bt, analisis histori terhadap adopsi terbatas benih
kapas transgenik di Sulawesi Selatan pada kurun waktu tahun 2000 – 2003
mengimplikasikan adanya masalah dalam variabel kebijakan dan penerimaan
149
publik. Gambaran yang ada menunjukkan adanya disharmoni hubungan dan komunikasi antar pemangku kepentingan yang bersikukuh pada posisi masing-
masing seperti pada Gambar 41. Pengalaman adopsi terbatas kapas transgenik dan ketidakberlanjutannya adalah kompleks. Situasi ini bisa saja terulang kembali
untuk masa yang akan datang kalau variabel-variabel kebijakan yang sudah disebutkan di atas tidak mampu memayungi berbagai kepentingan atau interest
dari para stakeholders yang terkait maupun publik secara umum.
Gambar 41. Analisis posisi stakeholders adopsi benih kapas transgenik Bt 2000-2003
Pelepasan adopsi
terbatas kapas transgenik Bt
2000 – 2003
LSM: koalisi anti- transgenik, kritik
terhadap perusahaan
besar, organik vs. transgenik atau
koeksistensi, persepsi resiko
Swasta penyedia benih: target
bisnis agresif, perubahan
manajemen , good
corporate governance
Swastapembeli hasil panen
ginnery: closed- loop
system, kapasitas produksi
, penan ganan
fuzzy seeds Media:
perimbangan antara fakta dan
opini, bad news is
good
news, persepsi manfaat dan
resiko
Pemerintah: peran sentral
sebagai regulator, koordi
nasi antar departemen
Pemda, kapasitas kelembagaan
implementasi
Petani: pengalaman
pertama, adopsi dan anjuran
agronomis, kelompok tani
150
4.5.3. Analisis Implikasi Kebijakan dan Kelembagaan Guna Merealisasikan Potensi Manfaat Benih Transgenik
Dalam konteks kebijakan dan regulasi, Pemerintah sebagai juri yang adil dan tegas fasilitator yang mengatur dan memutuskan yang berkaitan dengan
introduksi teknologi yang memiliki ciri pro-kontra. Dengan regulasi yang jelas maka setiap pemangku kepentingan mampu memposisikan diri dalam konteks
kepentingan yang lebih luas daripada sekedar perdebatan terbuka. Disamping itu, kerangka kebijakan dan regulasi yang pasti akan memacu kalangan pelaku usaha
dan industri untuk selalu menerapkan tata kelola usaha yang baik good corporate governance
. Dalam konteks ini perlu dukungan bagi diseminasi teknologi baik melalui transfer langsung ke petani oleh lembaga riset publik motif non-profit
atau melalui mekanisme komersialisasi oleh pihak swastaindustri motif keuntungan dari hasil-hasil riset transgenik yang memiliki potensi memenuhi
kebutuhan petani. Di sisi lain, komunikasi yang jelas tentang manfaat dan resiko suatu teknologi perlu dilakukan oleh penyedia teknologi agar pemahaman dan
persepsi tentang manfaat dan risiko dapat dicapai. Analisis yang dikemukakan sebelumnya mengimplikasikan fokus
implementasi dari sistem regulasi yang ada saat ini yang lebih dari memadai guna memfasilitasi kegiatan pengkajian keamanan hayati lingkungan, pangan dan
pakan produk rekayasa genetika. Dalam kaitan ini beberapa implikasi penting terkait dengan tataran kebijakan dan kelembagaan dapat dikemukakan sebagai
berikut: 1 Terkait dengan potensi tanaman transgenik untuk mendukung
ketahanan pangan food security serta peningkatan pendapatan petani, peranan dari pemimpin tertinggi Pemerintah dalam memberikan
dukungan merupakan kunci pembuka. Bercermin dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu mengadopsi benih
transgenik, perintah keputusan executive order dari kepala pemerintahan menentukan ya atau tidak terhadap peluang potensi
benih transgenik ini. 2 Selain itu peranan atau partisipasi dari pemerintah propinsi dan
kabupaten dalam konteks meng-address ketersediaan pangan dengan
151
pengembangan dan aplikasi varietas-varietas baru yang unggul termasuk potensi transgenik ini masih belum digali. Contoh
pengembangan jagung misalnya di Propinsi Gorontalo – yang
membangun kaitan linkages antara kegiatan budidaya komoditas jagung dengan sektor-sektor pendukung seperti industri pakan dan
pasar ekspor merupakan suatu paradigma baru guna mencapai swasembada tingkat propinsi dan sekaligus mencapai tujuan
kesejahteraan petani. Peranan pemerintah daerah ini dapat dirancang untuk mendukungmembuka inisiatif pengembangan benih yang
spesifik-lokal. Dengan mengambil contoh di beberapa wilayah propinsi di Cina dimana, pemerintah propinsi mendirikan joint
ventures dalam pemuliaan dan penangkaran benih untuk pertanian di
wilayahnya. 3 Mengedepankan peranan lembaga riset pemerintah dan perguruan
tinggi guna mempercepat dihasilkannya produk benihbibit hasil rekayasa genetika yang dapat diadopsi petani. Terkait hal ini, Siregar
dan Arifin 2008 misalnya menekankan pentingnya jumlah dana yang mencukupi untuk kegiatan litbang, selain dari anggaran Pemerintah,
juga diharapkan berasal dari kolaborasi dengan pihak swasta. Pengembangan kerjasama dibarengi dengan insentif fiskal dan
kejelasan hukum kontrak untuk menggunakan invensi dari litbang pemerintah yang kemudian diikuti dengan pengembangan produk dan
diseminasinya ke petani tampaknya memerlukan peran swasta. 4 Guna menjamin ketersediaan benih yang lebih baik dan terjangkau
bagi petani, pendekatan lisensi terbuka menjadi penting untuk dilakukan. Pemilik teknologi mengharapkan adanya perlindungan hak
intelektual dan juga hasil return dari investasi yang dibelanjakan mengimplikasikan perlunya semacam lembaga pengawas dan
pengelola perlindungan hak atas varietas tanaman. Terkait dengan pengembangan industri perbenihan suatu insentif bagi pemulia dan
produsen benih terkait juga dengan HKI hak atas kekayaan intelektual dimana sejarah pertanian menunjukkan bahwa teknologi
152
pertanian termasuk pemuliaan dan pengembangan varietas baru pada awalnya kebanyakan berasal dari lembaga riset pemerintah public
research . Dewasa ini peran swasta dalam litbang pertanian semakin
meningkat, serta ditandai dengan perlunya perlindungan terhadap penemuan-penemuan baru. Adanya sistem HKI atas teknologi baru
pertanian misalnya varietas tanaman, alat dan mesin, dan proses pengolahan merupakan insentif bagi investasi litbang yang berlanjut
sehingga diperoleh suatu gerak inovasi yang dinamis. Hak perlindungan varietas tanaman PVT melindungi varietas baru melalui
pemberian hak komersial eksklusif bagi penghasil benih selama periode waktu tertentu seperti ditentukan oleh undang-undang untuk
memasarkan varietas
baru termasuk
bahan reproduktifnya.
Pengecualian diberikan pada kegunaan penelitian dan benih simpan petani untuk ditanam ulang sendiri, sepanjang hal ini tidak
dimaksudkan untuk tujuan komersial. Perlindungan seperti ini akan mencegah seseorang untuk memproduksi atau menjual varietas baru
tersebut tanpa izin pemilik. Kalangan industri perbenihan sangat mengharapkan undang-undang dan regulasi tentang PVT ini
diimplementasikan secara konsisten untuk merangsang investasi. 5 Selain pendekatan industrialis yang dikemukakan pada butir 4 di atas,
pendekatan partisipatoris dalam pemuliaan dan penangkaran benih participatory breeding and seed production perlu terus semakin
digalakkan baik untuk benih dengan nilai komersial tinggi maupun untuk benih tanaman yang nilai komersialnya kurang menarik.
Kelompok atau koperasi petani dapat dibina dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk membuat benihbibit untuk keperluan
kelompok dan anggota koperasi. Seperti yang diulas sebelumnya dimana distribusi surplus manfaat dari aplikasi atau komersialisasi
teknologi transgenik bisa condong porsi terbesar dinikmati oleh industri dan sistem distribusi agro-input yang ada saat ini, maka
mekanisme transfer teknologi ke petani di luar jalur komersial perlu terus digalakkan. Sehingga jalur pemuliaan dan penangkaran
153
partisipatoris ini menjadi suatu saluran yang sebaiknya menjadi prioritas khususnya dalam hal ini peran Pemda dan juga universitas di
daerah-daerah sangat penting.
4.5.4. Variabel Pendaftaran Varietas dan Hak Perlindungan Varietas PVT