Penilaian ex-ante Ekonomi terhadap Prospek Adopsi Teknologi Baru

39 alergi atau keracunan dan gen tidak menyebabkan beberapa resiko ekologi atau resiko lainnya. Sumber gen juga harus betul-betul diperhatikan kepastian keamanan penggunaanya dan tidak boleh melanggar kode etik. 2 TAHAP II: Tahap ini difokuskan pada pemilihan galur line selection setelah tanaman ditransformasikan. Faktor-faktor kunci yang dikaji: tanaman transgenik tersebut paling tidak sama dengan isoline atau isohybrid dalam segala aspek agronomi fenotip dan hanya satu kopi gen yang dimasukkan. 3 TAHAP III: Tahap kepastian keamanan pangan, pakan dan lingkungan pada produk tanaman akhir. Beberapa faktor yang dipelajari adalah analisis komposisi untuk menetapkan persamaan substansial pada biji dan juga mempelajari efek jangka panjang pakan untuk penetapan keamanan pakan dan daya gunanya. Keamanan produk untuk jenis hama non-target juga dipelajari dan ditetapkan. Setelah semua tahap dilalui secara lengkap, kemudian produk dimasukkan dalam proses registrasi untuk mendapatkan persetujuan terakhir dan digunakan oleh petani.

2.5. Penilaian ex-ante Ekonomi terhadap Prospek Adopsi Teknologi Baru

Qaim, et al. 2000 mengemukakan bahwa keberhasilan teknologi baru melalui suatu tahapan proses evolusi yang mempengaruhi pengembangan teknologi dan introduksi ke pasar Gambar 6. Yang menarik diamati disini adalah pemicu perlunya penelitian atau introduksi teknologi terletak pada permintaan petani untuk peningkatan produksiefisiensi kebutuhan pengguna akhir. Prosesnya sendiri membutuhkan waktu yang lama dan sarana serta faktor pendukung enabling factors antara lain berupa kebijakann pengembangan, ijin regulasi dan rencana produksi, penyiapan pemasaran produk dan distribusi sebelum sampai pada tahap adopsi produk teknologi oleh petani. 40 Gambar 6. Tahap-tahapan inovasi baru dalam pertanian Qaim, et al., 2000. Penilaian dampak suatu teknologi dapat dibedakan antara kajian ex-post untuk teknologi yang sudah digunakan dan ex-ante untuk teknologi yang belum diadopsi. Untuk kedua hal ini, sejumlah data yang dibutuhkan untuk mengukur dampak dapat diamati secara langsung, dan data lain haruslah diestimasi secara tidak langsung dari kenyataan yang lain. Kajian ex-post yang memakai survei aktual bersifat lebih andal ketimbang kajian ex-ante yang tergantung pada penilaian atau ekstrapolasi dari percobaan penelitian. Namun demikian, dalam kedua kasus ini berhasil tidaknya kajian dampak yang dilakukan tergantung pada judgement peneliti dalam mengumpulkan dan menganalisis data IPR Infrastruktur Pengetahuan Teknologi alternatif Infrastruktur Produksi Kondisi ekonomi Penelitian Pengembangan dan komersialisasi Manfaat Adopsi Pemasaran Produksi Kendala fisik dan kelembagaan Pendanaan pemerintah, pajak Penyuluhan Kebijakan, Regulasi dan insentif 41 Masters, et al., 1996. Disamping itu, pemilihan metode atau alat analisis yang tepat merupakan hal kunci sehingga hasil yang diperoleh tidak jauh dari realita. Menurut Baker 2000, analisis dampak ex-post merupakan salah satu komponen dalam paket evaluasi yang komprehensif yang juga meliputi analisis ex-ante , kajian program, evaluasi dan monitoring kinerja, dan evaluasi proses. Dalam kasus penelitian, evaluasi proses terdiri dari beberapa bentuk seperti studi penerimaan awal dan studi adopsi yang berupaya mencari umpan balik bagi penelitian dan lanjutannya. Berbagai istilah dipakai dalam kaitan ini antara lain monitoring dampak, analisis teknologi, monitoring dan evaluasi monev. Graff, et al. 2000 mengemukakan bahwa keberhasilan teknologi baru melalui suatu tahapan proses evolusi yang mempengaruhi pengembangan teknologi dan introduksi ke pasar. Tahapan proses ini – untuk suatu benih varietas hasil bioteknologi- dapat digambarkan dengan diagram berikut di bawah ini. Tahapan siklusnya dimulai dari proyek penelitian yang dipicu oleh suatu kondisi ekonomi, dan secara khusus ditentukan oleh alokasi pendanaan dari pemerintah dan kebijakan insentif pajak yang merangsang perusahaan mau berinvestasi di R D. Tahap kedua meliputi pengembangan dan adaptasi teknologi produk di negarawilayah pasar, antara lain dalam bentuk percobaan dengan petak kecil, ijin regulasi regulatory clearance dan rencana prosedur produksi. Selanjutnya menurut Graff, et al. 2000, tahap ketiga adalah produksi benih skala yang lebih besar untuk nantinya dapat memenuhi kebutuhan pasar, diikuti tahap keempat berupa penyiapan pemasaran produk dan distribusinya kepada pengguna akhir. Tahap kelima adalah berupa adopsi produk teknologi oleh petani, dimana adopsi ini dipengaruhi oleh tiga jenis ketidakpastian dalam hal teknologi, strategi komersialisasi, dan ketidakpastian pasar. Adopsi difusi teknologi dalam suatu negarawilayah terjadi secara perlahan; kenyataan menunjukkan bahwa difusi – yang diukur dengan luasan varietas baru dan persentasi petani yang menggunakannya – cenderung berbentuk fungsi huruf-S Gambar 7 yang sekaligus menggambarkan variasi heterogenitas petani dan dinamisnya proses learning-by-doing dari sisi penyedia teknologi dan learning- by-using dari sisi pengadopsi teknologi. Adopter awal merupakan perorangan 42 yang memiliki akses terhadap teknologi baru yang biasanya terdiri dari bagian kecil populasi. Dengan berjalannya waktu, harga teknologi baru akan mulai menurun dan akumulasi pengalaman dan bagian populasi yang lebih besar akan mulai mengadopsi hingga suatu titik jenuh tercapai. Gambar 7. Kurva sigmoid adopsi teknologi Graff, et al., 2000. Mengenai ketidakpastian pasar market uncertainty, dalam kaitannya dengan bioteknologi Graff, et al. 2000 mengemukakan bahwa walaupun inovator atau penyedia teknologi begitu yakin dengan kelayakan teknis suatu inovasi teknologi, tetap terdapat ketidakpastian berkaitan dengan nasib untuk adopsi teknologi. Adopter potensial menghadapi suatu ketidakpastian apakah produk teknologi yang mereka hasilkan akan diterima oleh konsumen. Antara inventorinovator dan juga regulator terdapat juga informasi yang tidak seimbang asymmetric information tentang proses evolusi adopsi teknologi dan masing- masing memberikan penilaian terhadap teknologi tersebut. Studi ex-ante terhadap faktor-faktor ekonomi antara lain yang mencakup keputusan adopsi oleh petani, permintaan pangan hasil rekayasa genetika, efek kesejahteraan dan dampak langsung atau tidak langsung bagi lingkungan, semuanya merupakan informasi penting bagi pembuatan keputusan. Dalam kaitan ini Graff, et al. 2000 Saturated Early adopter s Persentase adopter Takeoff Waktu 43 menekankan lebih pentingnya menelaah secara mendalam perspektif “demand- pull ” sisi penerima produkteknologi daripada perspektif “technology-push” sisi penyuplai produkteknologi. Kunci utama dalam evaluasi manfaat dari adopsi suatu teknologi baru khususnya teknologi varietas adalah respon adopsi disetir oleh keuntungan relatif yang diperoleh. Alston, et al. 2002 dalam analisis ex ante adopsi benih jagung transgenik tahan CRW corn rootworm mengasumsikan bahwa petani akan mengadopsi bila keuntungan yang diperoleh lebih tinggi. Secara aljabar dinyatakan dengan persamaan: a it = 1 jika  it  c it atau a it = 0 jika  it c it dimana  it = 1-  it P it Y it – Y it P it - VC t - S it a it = variabel indikator dikotomus yang bernilai 1 kalau petani pada wilayah i mengadopsi jagung tahan CRW pada tahun ke-t; c it = biaya tetap per satuan luas terkait dengan teknologi jagung transgenik tahan CRW yang memperhitungkan penurunan biaya input pestisida akibat penggunaan teknologi ini, dan juga terkait dengan biaya risiko atau biaya informasi karena sifat teknologi baru;  it = perbedaan keuntungan total per satuan luas antara jagung tahan CRW dan teknologi alternatif terbaik next- best technology,  it = fraksi atau bagian lahanwilayah yang harus ditanam dengan teknologi alternatif terbaik jagung non-transgenik atau tanaman lain sebagai prasyarat refuge untuk jagung tahan CRW dalam manajemen resistensi, P it = harga pasar komoditas jagung pada tahun t, dan P it = harga diskon jagung tahan CRW dibanding jagung konvensional, Y it = produktifitas rata-rata, dan Y it = perbedaan produktifitas jagung tahan CRW dibanding jagung konvensional, 44 VC t = perbedaan biaya tidak tetap variable cost antara jagung tahan CRW dengan teknologi alternatif terbaik, S it = perbedaan harga benih antara jagung tahan CRW dengan teknologi alternatif terbaik. Selanjutnya Alston, et al. 2002 merumuskan manfaat total yang diperoleh petani FB, farmers benefits pada wilayah tertentu dari adopsi adalah keuntungan dengan adopsi teknologi per satuan luas dikalikan dengan luas total adopsi dengan rumusan: FB it =  it A it dan manfaat petani agregat nasional pada waktu t adalah : FB t =  FB it Sedangkan manfaat kotor yang diperoleh industri benih GNFB, gross non- farmers benefits pada waktu t dalam hal ini adalah: GNFB t =  S it A it Smale, et al. 2006 melakukan review terhadap berbagai artikel jurnal ilmiah yang menggunakan analisis biaya-manfaat dari adopsi kapas Bt di beberapa negara seperti pada Tabel 5. Selain ditentukan oleh keuntungan ekonomi yang mungkin diperoleh, proses adopsi sangat ditentukan oleh perilaku atau kehendak petani berkaitan dengan masuknya suatu teknologi baru. Seperti yang telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan, rumah tangga petani Meinzen-Dick, 2001 dalam Falck- Zepeda, et al., 2002 sebagai mata pencaharian berkelanjutan selalu berusaha untuk mencapai kehidupan yang baik dan berkelanjutan. Rumah tangga petani dalam rangka mencapai tujuannya antara lain meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan- akan membuat keputusan pada pilihan apakah mengadopsi suatu teknologi baru. Oleh karena itu cara yang langsung mendapatkan perspektif dari adopter potensial merupakan suatu pendekatan tepat dalam menangkap prospek berhasil tidaknya adopsi suatu teknologi baru. 45 Tabel 5. Penelitian terdahulu tentang penilaian dampak ekonomi kapas Bt dan metode yang digunakan Smale, et al., 2006. Negara Penulis Tahun Tipe data Unit dan ukuran sampel Metode Argentina Qaim, M., dan A. de Janvry 2003 Survei Usahatani 299 Analisis survei usahatani, CVM, model adopsi, WTP China Fok, M., W. Liang, G. Wang, and Y. Wu 2005 Survei, key informant, data pemerintah Petani 207 Analisis survei usahatani, review, analisis kelembagaan China Yang, P.Y., M. Iles, S. Yan, and F. Jolliffe 2005 Survei Petani 92 Analisis usahatani India Bennett, R., Y. Ismael, S. Morse, and B. Shankar 2005 Survei Petani 622 Analisis survei usahatani, analisis regresi ganda India Qaim, M., and D. Zilberman 2003 Percobaan on-farm Petani 157 Analisis data percobaan, fungsi yield- density , fungsi logistik pengendalian kerusakan damage control Mexico Traxler, G., and S. Godoy-Aliva 2004 Survei, key informant Petani 152 Analisis usahatani, surplus ekonomi Afrika Selatan Gouse, M., J. Kirsten, B. Shankar, and C. Thirtle 2005 Survei, key informant Petani 100 Analisis usahatani, produksi stokastik, fungsi damage control , analisis value of marginal product , analisis kelembagaan Metode CVM merupakan metode langsung yakni dengan menanyakan sekumpulan orang yang relevan seberapa besar keinginan untuk membayar harga WTP guna memperoleh suatu barang dan jasa tertentu yang dihasilkan atau keinginan untuk menerima kompensasi willingness to accept, WTA atas suatu 46 perubahan ke arah yang lebih buruk. Disebut langsung karena dilakukan survei kepada responden yang kemudian menyatakan keinginan membayar expressed WTP atau WTA. CVM dirancang untuk mengukur perilaku atau kehendak behavioural intentions. Hal ini terkait dengan fakta bahwa preferensi seseorang akan sesuatu dapat diperoleh melalui suatu wawancara Kriström, 2002; Perman, et al ., 2003; Fauzi, 2004. Kriström 2002 memberikan uraian ringkas mengenai sejarah metode CVM mulai tahun 50-an dan 60-an yang masih jarang digunakan hingga menjadi suatu metode pengukuran kesejahteraan method for welfare measurement bagi pasar yang belum muncul atau tidak tersedia. CVM kadang-kadang dirujuk juga sebagai metode preferensi yang diungkapkan stated preference method; dan disebut sebagai „continget valuation‟ karena valuasi yang dilakukan tergantung pada skenario hipotetis yang disampaikan pada responden dengan tujuan mendapatkan valuasi eksplisit atau implisit terhadap suatu aset lingkungan. Responden diminta untuk menyatakan WTP terhadap perubahan kuantitas atau kualitas lingkungan Shechter, 2000. Perman 2003 juga menegaskan hal yang sama dimana CVM dapat mengukur UV use value dan NUV non-use value. Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM pada dasarnya terdapat beberapa tahap kegiatan atau proses. Tahapan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut Fauzi, 2004; Perman, et al., 2003: Tahap membuat hipotesis pasar : Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti biasanya harus terlebih dahulu menyusun instrumen survei untuk memperoleh WTPWTA responden. Komponen-komponen yang saling terkait dalam tahap ini adalah membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi dan menentukan apakah menanyakan WTP atau WTA. Tahap pelaksanaan survei : Instrumen survei yang sudah disiapkan dilakukan pada suatu contoh populasi melalui survei langsung dengan kuesioner face to face, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat atau e-mail. Tujuan survei ini adalah untuk mendapatkan nilai maksimum WTP dari responden terhadap suatu proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai ini dapat diperoleh dengan teknik: 47 1 Pertanyaan format terbuka open question format: responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter untuk suatu proyek perbaikan; 2 Prosedur pilihan dikotomi dichotomous choice procedure atau model referendum: responden diberi pilihan nilai moneter tertentu, kemudian diminta persetujuan atau tidak; 3 Payment cards: nilai diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya; atau 4 Permainan lelang bidding game: responden diberi pertanyaan berulang-ulang tentang apakah mereka mau membayar sejumlah uang tertentu, kemudian diturunkan atau dinaikkan tergantung respons yang diberikan sebelumnya, pertanyaan dihentikan hingga diperoleh nilai tetap. Tahap menghitung WTPWTA dan menganalisis respon survei : Setelah survei dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah menghitung nilai tengah rataan danatau median WTP untuk populasi. Median tidak terlalu terpengaruh dengan adanya pencilan. Sebagian besar CVM menghitung baik nilai tengah rataan dan median, namun median digunakan untuk menghitung WTP total. Analisis juga dilakukan untuk menentukan ketelitian akurasi hasil survei ini. Tahap memperkirakan kurva lelang bid curve : Kurva lelang diperoleh dengan, misalnya, meregresikan WTPWTA sebagai variabel dependen dengan beberapa variabel bebas. W = ƒ I, E, A, Q dimana I adalah pendapatan, E adalah upaya, A adalah akses informasi, dan Q adalah kualitas sumberdaya. Tahap agregasi data dan analisis sensitivitas : Tahap terakhir dalam CVM adalah agregasi rataan dari statistik sampel ke rataan populasi dimana nilai rataan ini dapat digunakan dalam analis manfaat-biaya. Analisis sensitivitas dapat juga dilakukan pada tahap ini yang bentuknya antara lain: pembahasan fungsikurva nilai WTP rataan dipengaruhi variasi dalam aspek demografi, sosial- ekonomi, dan perilaku responden seperti dirumuskan dalam persamaan di atas. 48 Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberap kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias yang bisa terjadi karena overstate maupun understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal utama, yakni bias akibat strategi yang keliru strategic bias dan bias akibat rancangan penelitian design bias . Bias strategis misalnya dapat terjadi saat melakukan wawancara dimana dari responden akan dipungut biaya atau fee sehingga timbul kecenderungan responden untuk memberi respon understate. Sebaliknya jika dinyatakan bahwa wawancara hanya hipotesis maka ada kecenderungan responden menyatakan nilai yang berlebih. Bias rancangan bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya responden ditawari untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, karcis masuk harus dinaikkan. Tentu saja responden akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain misalnya melalui yayasan, trust fund, dan sebagainya Fauzi, 2004. Dewasa ini CVM merupakan pendekatan standar untuk mengukur WTP konsumerpengguna dengan menanyakan pilihan dikotomus melalui wawancara tatap muka, surat, atau telepon Li, et al., 2002. Li et al. 2002 melakukan survei kepada responden dengan menanyakan WTP untuk suatu harga premium atau WTA untuk suatu harga diskon bagi produk kedelai yang berasal dari bahan GMO atau non-GMO di Beijing, China. Seperti telah disinggung dalam Sub-Bab 2.4. sebelumnya, Moon dan Balasubramanian 2003 juga menggunakan metode valuasi kontingen CVM dalam survei untuk menanyakan keinginan membayar WTP para konsumen apakah mau membayar lebih mahal premium bagi pangan sereal non-transgenik daripada pangan sereal berasal dari bahan baku transgenik. Penelitian mereka didasari pada kepedulian publik – khususnya di Uni Eropa UE - tentang risiko potensial organisme modifikasi genetika GMO yang mungkin timbul pada kesehatan manusia dan lingkungan yang telah menimbulkan isu penting dalam perdagangan dan rantai suplai output pangan di pasar domestik dan internasional, bahkan moratorium pangan transgenik di UE. Lebih lanjut Moon dan 49 Balasubramanian mengemukakan bahwa debat dan perselisihan yang berkepanjangan antara Amerika, Argentina dan Kanada di satu pihak dan Uni Eropa di pihak lainnya telah dibahas di forum WTO, hingga pada tahun 2003 Parlemen Eropa menelorkan legislasi pelabelan pangan transgenik sebagai jalan mengakhiri moratorium tersebut. Adanya pergeseran kebijakan ini memungkinkan konsumen di UE khususnya Inggris tempat fokus penelitian mereka dihadapkan pada pilihan yang tersedia di pasar supermarket antara pangan transgenik dan non-transgenik. Kemungkinan adopsi transgenik di pasar Unie Eropa UE konsumen akan memperoleh kesempatan memilih pangan transgenik dengan harga yang lebih murah- khususnya bagi pihak konsumen yang 1. setujuakseptabel terhadap pangan transgenik, dan 2. peka terhadap harga price conscious . Moon dan Balasubramanian 2003 menggunakan instrumen CVM untuk mengukur keinginan atau perilaku konsumen yang rela dengan WTP premium lebih mahal untuk bahan pangan sereal non-GMO daripada bahan pangan sereal dari bahan GMO, disamping itu mereka juga mengukur WTA bagi suatu diskon harga bahan pangan sereal GMO. Dalam hal ini asumsi dasar yang dikemukakan adalah selisih harga pangan non-GMO dan pangan sereal GMO setidak-tidaknya meliputi biaya pengujian bahan, label dan pemasaran. Dalam kaitan ini menarik apa yang dipertanyakan oleh Graff, et al. 2000 seberapa besar nilai premium WTP yang hendak dibayar oleh konsumen terhadap kualitas hedonik berupa sifat kemurnian dan alami suatu bahan pangan; serta bagaimana mengkuantifikasi nilai tersebut kalau dibandingkan dengan alternatif bahan pangan lainnya seperti yang diproduksi dengan penggunaan pestisida. Dalam survei yang dilakukan Moon dan Balasubramanian 2003, skenario yang dijadikan pertimbangan responden adalah suatu keadaaan dimana: “Konsumen mungkin harus membayar harga lebih tinggi bagi pangan non- GMO akibat biaya tambahan dalam segregasi produksi, sistem pemasaran, dan biaya tambahan dalam pengujian, sertifikasi dan pelabelan. Andaikan respondenkonsumen masuk ke toko bahan pangan atau supermarket untuk membeli bahan pangan sereal, dan di sana ada pilihan berupa corn flakes, frosted flakes , atau pop corn dalam dua jenis: 1 terbuat dari bahan hasil 50 produksi tanaman GMO, dan 2 terbuat dari bahan konvensional hasil tanaman non- GMO”. Terhadap situasi ini, Moon dan Balasubramanian mengajukan pertanyaan valuasi kontingen WTP sebagai berikut yang menggambarkan siatuasi hipotetis di toko grosir atau supermarket Tabel 6. CVM yang diajukan mencakup tiga format pertanyaan: 1 close-ended format WTP, 2 payment card format WTP, dan 3 payment card format WTA. Tabel 6. Pertanyan valuasi kontingen untuk bahan pangan sereal pada situasi hipotetis Moon dan Balasubramanian, 2003. Format pertanyaan Pertanyaan CVM Close-ended WTP Misalkan harga pangan sereal GMO adalah 4 per kotak dan harga pangan sereal non-GMO adalah X per kotak. Apakah Anda rela WTP membayar lebih mahal sebesar Y per kotak bahan non-GMO? kisaran X adalah 4.10 – 7.00; dalam hal ini kisaran Y premium yang ditanyakan bervariasi 0.10 – 3.00 di antara responden. Untuk harga premium yang ditanyakan responden diminta menjawab di antara 3 pilihan: a ya, b tidak, dan c tidak tahu. Payment card WTP Misalkan harga pangan sereal GMO adalah 4 per kotak dan harga pangan sereal non-GMO lebih mahal dari 4 namun belum ditentukan. Berapa yang paling tinggi Anda mau WTP lebih dari harga 4 di atas untuk mendapatkan bahan non-GMO? payment card berkisar 0.00 – 3.00 atau lebih tinggi. Responden diminta melihat semua kisaran nilai premium dan memilih suatu nilai. Payment card WTA Misalkan harga pangan sereal baik GMO maupun non-GMO adalah 4 per kotak. Tokosupermarket memberikan diskon untuk mempromosikan bahan pangan GMO. Berapa diskon minimum di bawah harga 4 sehingga Anda mau membeli bahan pangan GMO? kisaran diskon adalah 0.00 – 3.00 atau lebih tinggi. Responden diminta melihat semua kisaran nilai diskon dan memilih suatu nilai. Terhadap pertanyaan valuasi close-ended Moon dan Balasubramanian menemukan bahwa persentase responden di UK untuk membayar lebih mahal semakin menurun dengan meningkatnya nilai premium. Jika nilai premium 0.10, sebanyak 13,9 responden menyatakan tidak akan membeli bahan non- GMO; sementara jika nilai premium setinggi 3.00, ternyata 55,9 responden tidak mau membeli bahan pangan non-GMO karena terlalu mahal. Responden yang menjawab „tidak‟ pada pertanyaan close-ended dapat digolongkan pada 51 kategori kelompok yang mungkin: 1. merasa pangan GM dan non-GMO sama saja, 2. menganggap perbedaan harga terlalu tinggi, dan 3 memprotes masuknya bahan pangan GMO karena berpendapat pemerintah seharusnya menyediakan pangan non-GMO dalam jumlah cukup sejak semula. Sebaran respon WTP dengan payment card menunjukkan sekitar 17 konsumen mengharapkan tidak ada perbedaan harga; sedangkan respon WTA menunjukkan 16 konsumen memilih pangan GMO walaupun tanpa diskon. Kesimpulan analisis CVM yang dilakukan oleh Moon dan Balasubramanian ini menunjukkan bahwa produk pangan berbahan baku GMO mendapatkan tempat yang cukup berarti, atau dengan kata lain terbuka pada pilihan-pilihan yang ada bagi konsumen yang melihat harga sebagai satu pertimbangan penting. Giannakas dan Yiannaka 2004 juga menemukan bahwa efek pasar dan kesejahteraan dari introduksi kedelai dengan kandungan oleat yang tinggi high-oleic soybean ditentukan oleh harga relatif produk berbahan baku kedelai oleat tinggi ini, disamping faktor preferensi konsumen dan manfaat yang diperoleh dari produk baru tersebut. Semakin rendah harga produk berbahan baku kedelai oleat tinggi, semakin besar nilai atau preferensi yang diberikan konsumen, semakin tinggi penerimaan pasar untuk mensubstitusi kedelai konvensional, dan semakin tinggi perolehan keuntungan produser kedelai.

2.6. Sistem Produksi Usahatani Jagung