78 struktur sukses adopsi terdapat 12 matriks. Nilai indeks yang diharapkan yakni di
bawah 0,1. Jika hasil analisis dalam SuperDecision menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,1 maka perlu revisi berdasarkan inconsistency report untuk
memperbaiki nilai indeks seperti yang diinginkan yakni lebih kecil dari 0,1. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam menyesuaikan nilai matriks
dengan catatan tidak memaksakan perubahan angka terlalu jauh bedanya dengan nilai semula. Dengan kata lain tidak mengubah terlalu jauh terhadap
kecenderungan prioritaspreferensi yang semula diperoleh. Data matriks dan hasil penilaian prioritas serta nilai indeks inkonsistensi
disajikan pada Lampiran 4 dan 5. Angka-angka prioritas masing-masing kriteria, sub-kriteria dan alternatif secara langsung dan tidak langsung menunjukkan posisi
derajat kepentingan atau kelayakannya dibandingkan dengan variabelfaktor yang berada dalam satu level. Dengan menampilkan angka-angka prioritas pada
masing-masing variabel dapat terpetakan baik kriteriasub-kriteriaalternatif yang selayaknya mendapat perhatian untuk pengembangan lebih lanjut.
Dalam rangkaian analisis pengembangan dan sukses adopsi hanya satu matriks yang memiliki nilai indeks inkonsistensi di atas 0,1 yakni ditemukan pada
analisis kriteria sosial nilai inkonsistensi 0,1552. Dengan demikian dilakukan revisi matriks kriteria sosial, secara khusus revisi hubungan antara sub-kriteria
sebaran manfaat vs. persepsi risiko kesehatan dari nilai 1.886 menjadi 1.2651 tetap lebih favorable untuk sebaran manfaat. Dalam hal ini perubahan angka
masih berada di antara dua nilai pembandingan berpasangan 1 equal – 3
moderate. Dengan revisi ini indeks inkonsistensi berubah menjadi 0,0685.
3.5.5. Teknik Analisis Data untuk Tujuan 5: Kajian terhadap Regulasi
Produk Rekayasa Genetika
Pendekatan rasionalis the rationalist mode yang dimodifikasi dari Weimer dan Vining 1998 dipakai untuk analisis masalah dan solusi kebijakan
bagi adopsi benih transgenik seperti bagan Gambar 16. Metode ini dipadukan dengan gap analysis dan analisis kebutuhan sehingga diperoleh alternatif solusi
kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan aplikasiadopsi benih transgenik.
79 Gambar 16. Analisis
masalah kebijakan
dan sistem
peraturan dimodifikasi dari Weimer dan Vining, 1998.
Kajian terhadap status kebijakan dan regulasi bioteknologi pertanian di
Indonesia kondisi existing, serta kerangka dan kapasitas kelembagaan yang mendukung operasionalisasi dan implementasi suatu regulasi dilakukan dengan
meilihat kesenjangan yang mungkin terdapat antara kondisi existing dengan kerangka kebijakanregulasi yang diinginkan. Secara khusus dikaji proses
pengembangan dan pelepasan suatu produk benih biotek sebelum dapat diadopsi oleh petani melalui tahapan-tahapan: pengujian keamanan lingkungan, pengujian
keamanan panganpakan, pengujian multilokasi varietas dan perlindungan varietas. Untuk memudahkan analisis, tiap-tiap topik ini dibahas menurut payung
sistem perundang-undangannya. Analisis kebutuhan need assessment adalah cara sistematis untuk
mengkaji kondisi saat ini dan kondisi yang seharusnya Rouda dan Kusy Jr., 1995. Langkah-langkah dalam analisis kebutuhan adalah:
1 Menyusun gap analysis dengan mengidentifikasi kondisi aktual saat ini dan kondisi yang diinginkan. Hasil dari tahap ini berupa daftar
kebutuhan dari stakeholders dan peluang-peluang intervensi.
•Identifikasi dan kategorisasi subyektopik sistim undang-undang UU dan kelembagaannya wewenangmandat
•Pengumpulan data, teori, fakta yang relevan terkait dengan teknologi rekayasa genetika
Pengumpulan Informasi
•Kajian gejala atau sifat masalah terkait kegagalan kelembagaan dan stakeholders
terkait • Analisis variabel kebijakan, penetapan tujuan dibuatnya UU peraturan
dan kendala yang dihadapi
Analisis Masalah
•Penetapan kriteriabaku hirarki sistem UUperaturan dan mandat implementasi masing-masing sistem owner dari subyekpokok UU
dimaksud
Analisis Solusi
80 2 Menentukan prioritas dan tingkat kepentingan yang paling menentukan
serta dinilai kelayakannya berdasarkan cost effectiveness, peluang pelaksanaannya dari segi aspek hukum, penerimaan dan keterlibatan
stakeholders , dan pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan
keseluruhan. 3 Mengidentifikasi sumber permasalahan berdasarkan prioritas yang
telah disusun dan ditelaah peluang intervensi. 4 Mengidentifikasi peluang penyelesaiannya: berdasarkan hasil kajian
terhadap sumber permasalahan secara detil maka peluang penyelesaian dapat disusun.
Selain langkah formal tersebut di atas, dalam penelitian ini juga diidentifikasi lembagadepartemen yang memegang wewenangmandat dari tiap-
tiap payung UU yang dikaji. Untuk melengkapi analisis kebutuhan ini, terutama sebagai referensi bagi kondisi yang diinginkan, suatu benchmark analysis
dilakukan dengan perbandingan terhadap regulasi di negara lain dengan mengambil contoh negara berkembang.
81
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penilaian Kelayakan Ekonomi Adopsi Benih Jagung Transgenik
4.1.1. Karakteristik Petani Jagung Hibrida
Karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 19. Dari sisi umur, baik petani di Jawa Timur maupun Lampung tergolong
usia produktif. Sebagian besar responden petani di Jawa Timur, tingkat pendidikannya SLTP dan SLTA bahkan sekitar 11 adalah lulusan perguruan
tinggi. Sementara di Lampung, sebagian besar responden petani berpendidikan SD. Indeks pertanaman IP jagung yang umum dilakukan petani adalah 1
– 2 kali dalam setahun dengan rata-rata di Jawa Timur dan Lampung masing-masing
1,63 dan 1,51. Di Jawa Timur dan Lampung, berturut-turut 51 dan 63 petani melakukan IP 2 kalitahun.
Tabel 19. Persentase petani pada tiap kategori karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian
No Uraian karakteristikkategori Jawa Timur Lampung
1. Usia petani a. 17 - 25 tahun
2 b. 25 - 45 tahun
64 65
c. 45 tahun 36
33 2. Tingkat pendidikan
a. SD 21
70 b. SLTP dan SLTA
68 30
c. Perguruan Tinggi 11
- 3. IP jagung
a. IP 1 kalitahun 49
37 b. IP 2 kalitahun
51 63
4. Skala usaha a. Penggarap
15 8
b. 0 – 0,5 ha
48 3
c. 0,51 – 1 ha
12 30
d. 1,01 – 2 ha
25 42
e. 2 ha 17
Pola tanam jagung di Jawa Timur dan Lampung berbeda. Hal ini karena
umumnya petani di Jawa Timur melakukan budidaya jagung di lahan sawah setelah musim padi, sedangkan umumnya petani di Lampung membudidayakan
jagung di lahan kering. Baik petani di Lampung, maupun di Jawa Timur, selain