Simulasi Pengaruh Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik

123 pada tataran praktis di level usahatani maka secara menyeluruh akan diperoleh tingkat keberlanjutan yang diharapkan. Kelayakan ekonomi memastikan kegiatan produksi yang stabil, menguntungkan dan efisien, serta aspek sosial yang terkait dengan akses pada penggunaan faktor produksi, akses dukungan dan informasi.

4.3.2. Simulasi Pengaruh

Adopsi Benih Transenik pada Indeks Keberlanjutan Usahatani Selanjutnya dikaji nilai-nilai indeks pada intensitas penggunaan herbisida dan insektisida karena kedua faktor ini mengalami perubahan penggunaan bertambah atau berkurang dengan skenario adopsi benih jagung transgenik. Saat ini pada usahatni jagung hibrida dengan intensitas penggunaan pestisida herbisida dan insektisida yang tinggi tampak bahwa indeks agregat keberlanjutan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pada usahatani dengan pengunaan pestisida yang rendah. Pada Tabel 38 diperlihatkan nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida tinggi atau rendah. Tabel 38. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida Kriteria Indikator Tinggi Rendah EKOLOGI 77,4 102,5 Pupuk 114,4 107,8 Kesuburan relatif 74,5 83,7 Kemiringan lahan 109,8 103,8 Kompos 43,3 159,5 Herbisida 38,8 95,6 Insektisida 88,4 64,6 EKONOMI 100,4 93,0 Produktifitas 91,8 108,6 Biaya total 58,5 34,5 BC ratio 155,5 124,6 Keuntungan 95,8 104,4 SOSIAL 86,8 75,7 Luas panen tahun 92,1 74,7 -Kontribusi jagung 71,3 51,7 Pendidikan 93,0 107,0 Afiliasi kelompok 79,7 71,3 AGREGAT 86,7 89,9 124 Indeks agregat keberlanjutan pada intensitas rendah sedikit lebih baik 90 dibandingkan dengan intensitas tinggi 87. Adanya herbisida sebagai input eksternal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kriteria ekologis dengan perbedaan indeks yang jauh antara intensitas tinggi dan rendah. Kriteria ekonomi pada intensitas tinggi 100 lebih baik daripada indeks ekonomi pada intensitas rendah 93, demikian juga untuk kriteria sosial pada intensitas tinggi 87 lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas rendah 76. Walaupun petani menggunakan herbisida namun itu tidak memberikan produktifitas dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena herbisida yang digunakan untuk penyiapan lahan sebelum tanam tidak langsung berkaitan dengan kinerja tanaman berbeda dengan penggunaan insektisida yang langsung berpengaruh terhadap hama serangga penekan. Bahkan kalau herbisida digunakan untuk penyiangan gulma malah terdapat potensi kerusakan tanaman akibat pengaruh herbisida gejala terbakar atau menguning, atau dengan istilah crop injury yang dapat mengurangi potensi hasil panen. Kondisi ini nantinya dapat diperbaiki bilamana petani sudah dapat menerapkan benih jagung tahan herbisida sehingga injury tersebut dapat dihilangkan. Akan tetapi menarik untuk dicatat dimana efisiensi BC rasio untuk penggunaan intensitas tinggi memberikan angka yang lebih baik daripada intensitas rendah disebabkan oleh tenaga kerja yang digunakan untuk penyiapan lahan lebih sedikit. Adanya input herbisida pada kenyataanya membantu petani dalam penghematan tenaga kerja khususnya untuk kegiatan penyiapan lahan dan penyiangan gulma di antara baris tanaman. Dua kegiatan dalam budidaya jagung ini menempati porsi yang besar dalam penggunaan tenaga kerja. Alasan inilah yang tampaknya digunakan oleh para petani jagung di Lampung yang lebih banyak menggunakan herbisida, baik untuk penyiapan lahan tanpa olah tanah TOT maupun untuk penyiangan gulma. Herbisida yang digunakan oleh petani biasanya dapat berupa bahan aktif kontak yakni umumnya paraquat, bahkan ada sebagian petani yang justru menggunakan herbisida berbahan aktif sistemik yakni glifosat. Keduanya dapat memberikan efek kerusakan pada jaringan tanaman yang terkena oleh butiran semprotan pada jagung hibrida non-transgenik terutama kalau penyemprotan dilakukan secara tidak hati-hati atau pada saat 125 tanaman masih terlalu pendek. Hal ini sebenarnya kalau diteliti secara seksama akan dapat menurunkan hasil produksi mengingat daun-daun pada bagian bawah tanaman akan layu sehingga dapat mengurangi fotosintesis. Pada Tabel 39 diperlihatkan nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan insektisida tinggi atau rendah. Indeks agregat keberlanjutan pada intensitas rendah lebih baik daripada indeks pada intensitas tinggi 92 vs. 81 terutama karena perbedaan menonjol dalam indikator-indikator penggunaan pupuk dan kompos, selain indeks penggunaan insektisida itu sendiri. Perbedaan indeks kriteria ekologi juga terlihat berbeda yakni 94 vs. 82. Namun indeks produktifitas dan keuntungan ternyata lebih baik pada penggunaan intensitas insektisida tinggi walaupun petani harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi membeli berbagai jenis input insektisida. Tabel 39. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut tingkat penggunaan insektisida Kriteria Indikator Tinggi Rendah EKOLOGI 82,2 93,5 Pupuk 99,2 116,9 Kesuburan relatif 80,2 78,4 Kemiringan lahan 107,0 106,8 Kompos 95,4 102,2 Herbisida 79,3 60,5 Insektisida 32,2 97,8 EKONOMI 91,3 99,4 Produktifitas 109,6 95,5 Biaya total 31,7 53,8 BC ratio 120,8 149,7 Keuntungan 103,3 98,5 SOSIAL 79,7 84,0 Luas panen tahun 83,6 83,7 -Kontribusi jagung 50,2 66,7 Pendidikan 119,8 91,1 Afiliasi kelompok 78,8 74,1 AGREGAT 80,5 92,0 Hasil simulasi agregat keberlanjutan dengan adanya masukan teknologi benih transgenik disajikan pada Tabel 40. Terlihat bahwa dalam aspek ekologi faktor yang akan berubah dengan adopsi benih jagung transgenik terkait dengan 126 penggunaan herbisida dan insektisida. Indeks herbisida akan menurun pada adopsi benih tahan herbisida disebabkan oleh akan meningkatnya penggunaan herbisida dalam jumlah signifikan yang digunakan petani untuk melakukan penyiangan gulma di antara tanaman. Untuk adopsi benih tahan hama Bt akan ada perbaikan indeks karena penurunan jumlah insektisida yang digunakan petani. Untuk benih dengan kombinasi RR+Bt kedua fitur manfaat yang tahan herbisida dan hama penggerek batangtongkol akan menjadi kinerja utama sehingga diharapkan memberikan manfaat lebih. Hal ini sebenarnya telah terkonfirmasi pada saat analisis WTP dimana petani cenderung mau membayar lebih untuk RR+Bt, kemudian disusul RR dan WTP yang terendah pada Bt. Tabel 40. Nilai indeks menurut indikator, dimensi dan agregat pada usahatani jagung hibrida dan simulasi adopsi Bt, RR, dan RR+Bt. Kriteria Indikator Hibrida Bt RR RR+Bt EKOLOGI 89,9 95,3 84,4 89,8 Pupuk 111,2 111,2 111,2 111,2 Kesuburan relatif 79,0 79,0 79,0 79,0 Kemiringan lahan 106,9 106,9 106,9 106,9 Kompos 100,0 100,0 100,0 100,0 Herbisida 66,5 66,5 33,9 33,9 Insektisida 76,8 109,7 76,8 109,7 EKONOMI 96,8 106,7 109,8 111,8 Produktifitas 100,0 105,0 113,0 116,0 Biaya total 46,8 47,5 47,5 47,5 BC ratio 140,4 166,2 178,9 183,6 Keuntungan median 83,3 99,1 98,4 98,1 SOSIAL 81,1 77,4 77,4 77,4 Luas panen tahun 83,6 83,6 83,6 83,6 -Kontribusi jagung 61,7 44,9 Pendidikan 100,0 100,0 100,0 100,0 Afiliasi kelompok 75,6 75,6 75,6 75,6 AGREGAT 88,3 91,0 89,0 91,5 faktor koreksi 0,7278 terhadap 61,67 dengan anggapan petani menambah investasi awal untuk membeli benih transgenik yang lebih mahal sehingga untuk indeks -kontribusi menurun; untuk indeks keuntungan pada dimensi ekonomi dihitung berdasarkan nilai median Pada kriteria ekologi terlihat dengan jelas bahwa indeks dari indikator- indikator selain herbisida dan insektisida adalah tetap, sedangkan indeks 127 keberlanjutan terkait penggunaan herbisida menurun pada adopsi RR dan RR+Bt, dan indeks keberlanjutan terkait penggunaan insektisida meningkat pada Bt dan RR+Bt. Untuk kriteria ekonomi perubahan yang terutama adalah peningkatan indeks produktifitas dan rasio BC, dan keuntungan, sedangkan biaya total relatif tidak mengalami perubahan dengan adanya adopsi benih transgenik. Indeks biaya total relatif tetap karena kenaikan biaya untuk pembelian benih dan juga penghematan biaya akibat penghematan tenaga kerja dan pengurangan penggunaan insektisida adalah proporsional. Untuk kriteria sosial, satu-satunya indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh adalah persentase kontribusi usahatani jagung terhadap penerimaan keluarga petani. Hal ini terkait dengan keinginan atau minat petani untuk mengeluarkan biaya tambahan cash untuk membeli benih jagung transgenik. Secara agregat, indeks keberlanjutan menunjukkan ada perubahan pada level usahatani bilamana petani menanam benih jagung transgenik yakni dengan nilai agregat indeks keberlanjutan untuk RR+Bt sebesar 91,5, sebesar 91 untuk Bt, sebesar 89 untuk RR dibandingkan dengan 88 untuk hibrida biasa konvensional Tabel 41. Apakah perubahan indeks keberlanjutan ini secara statistik signifikan atau tidak, maka dilakukan uji-t berpasangan terhadap rerata mean nilai indeks untuk masing-masing jenis benih jagung transgenik terhadap benih jagung hibrida. Hasil uji-t berpasangan paired T-test dengan hipotesis nol H yang diuji adalah indeks keberlanjutan IK dengan adopsi benih jagung transgenik sama dengan IK benih hibrida, sedangkan hipotesis alternatif H 1 adalah IK benih transgenik lebih besar lebih baik dari IK hibrid disertai dengan batas bawah lower bound confidence pada tingkat 95 α = 0,05, dan diperoleh hasil uji sebagai berikut: Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan IK RR+Bt vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK RR+Bt 84 91,50 21,79 2,38 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 3,196 8,819 0,962 Batas bawah lower bound 95 untuk beda rerata : 1.595 Uji-t untuk beda rerata = 0 vs. 0: nilai-t = 3.32, nilai-P = 0.001 Dalam hal ini nilai p 0,05 sehingga hipotesis H beda rerata = 0 ditolak dan H 1 diterima, berarti IK dari RR+Bt signifikan lebih baik daripada IK dari hibrida. 128 Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan IK RR vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK RR 84 89,02 21,49 2,34 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 0,714 8,582 0,936 Batas bawah lower bound 95 untuk beda rerata: -0.844 Uji-t untuk beda rerata = 0 vs. 0: nilai-t = 0.76, nilai-P = 0.224 Dalam hal ini nilai p 0,05 sehingga hipotesis H beda rerata = 0 diterima dan H 1 ditolak , berarti antara IK dari RR sama dengan IK dari hibrida. Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan IK Bt vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK Bt 84 91,04 21,75 2,37 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 2,733 8,525 0,930 Batas bawah lower bound 95 untuk beda rerata: 1.186 Uji-t untuk beda rerata = 0 vs. 0: nilai-t = 2.94, niali-P = 0.002 Dalam hal ini nilai p 0,05 sehingga hipotesis H beda rerata = 0 diterima dan H 1 diterima, berarti antara IK dari Bt lebih besar daripada IK dari hibrida. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa secara agregat aspek keberlanjutan usahatani jagung pada prinsipnya malah akan lebih baik dengan adanya masukan benih transgenik berdasarkan faktor atau indikator yang dikaji dalam penelitian ini. Pola yang serupa dengan agregat di atas juga dapat diamati pada tingkatan provinsi Gambar 35. Seperti yang telah dibahas di depan bahwa IK usahatani jagung hibrida pada saat ini di Jawa Timur ternyata lebih baik daripada nilai IK di Lampung. Hal ini terutama dipengaruhi oleh indikator penggunaan pupuk dan kompos yang lebih ideal atau baik di Jawa Timur. Dari segi lahan juga demikian, tipe lahan di Jawa Timur umumnya adalah lahan sawah dan datar dengan kesuburan relatif yang lebih baik. Disamping itu, penggunaan herbisida di Jawa Timur lebih rendah daripada di Lampung, sementara penggunaan insektisida relatif sama. Dari segi ekonomi tingkat produktifitas dan keuntungan usahatani jagung lebih tinggi di Jawa Timur. Dari segi sosial, hanya tingkat pendidikan yang lebih baik di Jawa Timur, sedangkan skala usaha, afiliasi kelompok dan persentase kontribusi jagung terhadap pendapatan keluarga ternyata lebih tinggi di Jawa Timur. Faktor-faktor ini juga secara proprosional memiliki pengaruh yang sama bilamana terjadi adopsi benih jagung transgenik oleh para petani sehingga 129 pola IK pada usahatani jagung Bt, RR, dan RR+Bt baik di Jawa Timur dan Lampung mengikuti nilai IK agregat. Gambar 35. Rata-rata indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik menurut provinsi. Akan tetapi begitu aspek keberlanjutan ini ditelaah lebih mendalam akan terlihat variasi di antara wilayah kabupaten sebagai akibat dari adopsi jenis benih jagung transgenik Tabel 41. Secara umum adopsi benih Bt dan RR+Bt akan cenderung memberikan indeks yang lebih baik daripada benih hibrida bila dibandingkan dengan benih RR. Terdapat beberapa kabupaten dimana nilai IK indeks keberlanjutan dengan adopsi benih transgenik tidak lebih baik daripada usahatani benih hibrida saat ini seperti terlihat untuk kabupaten Lampung Selatan, Blitar, Jombang, Kediri dan Nganjuk. Hal ini menyiratkan betapa perlunya memperbaiki indikator-indikator pada usahatani existing seperti yang diuraikan sebelumnya seperti penggunaan pupuk berlebih di Nganjuk, penggunaan pestisida yang intensif antara lain Lampung Selatan, Nganjuk dan Kediri. Sementara di beberapa kabupaten lain seperti Lampung Tengah, Lampung Timur, Malang dan Mojokerto terlihat bahwa dengan adopsi benih jagung transgenik nilai IK menjadi jauh lebih baik. Bahkan di Lampung Timur yang tadinya nilai IK hibrida sekitar 90, namun dengan simulasi adopsi benih transgenik jauh meningkat sehingga menyamai nilai IK tertinggi yang terdapat di Nganjuk. 130 Tabel 41. Nilai indeks keberlanjutan dengan adopsi benih transgenik menurut kabupaten Jenis benih B lit ar Jom b ang K edi ri L S el at an L T eng ah L T im ur Ma lang M oj o ker to N ganj uk Hibrida saat ini 95,2 92,9 94,9 77,3 85,9 91,2 84,7 90,0 105,9 Benih Bt 93,2 92,4 93,2 78,2 89,0 102,9 94,8 95,7 104,9 Benih RR 91,0 89,9 92,0 76,0 87,2 101,4 92,8 92,7 103,6 Benih RR+Bt 93,2 92,6 93,8 77,8 90,0 104,4 95,8 95,5 105,7 Bahkan untuk kabupaten-kabupaten yang telah secara intensif menggunakan insektisida seperti Kediri, Nganjuk dan Lampung Selatan, ditemukan nilai agregat indeks keberlanjutan usahatani yang relatif tetap antara jagung hibrida dan transgenik. Hal ini menunjukkan pengaruh indikator insektisida yang buruk bagi indeks keberlanjutan saat ini akibat tingginya aplikasi insektisida oleh petani, sementara pengurangan dosis insektisida dengan adopsi Bt dan Bt+RR tidak sepenuhnya serta merta menghilangkan pengaruh tersebut Gambar 36. Gambar 36. Agregat indeks keberlanjutan IK usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan insektisida yang intensif 75 110 Hibrida Benih Bt Benih RR Benih RR+Bt IK pada kabupaten dengan penggunaan insektisida yang intensif Kediri L Selatan Nganjuk 131 Dari kelompok kabupaten-kabupaten yang telah secara intensif menggunakan herbisida yakni Jombang, Nganjuk, dan Lampung Tengah, agregat keberlanjutan antara benih hibrida relatif tidak berubah dan benih RR. Sedangkan di Malang, Mojokerto, dan Lampung Timur agregat keberlanjutan relatif membaik pada benih RR dibandingkan dengan benih hibrida Gambar 37. Gambar 37. Agregat indeks keberlanjutan IK usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan herbisida yang intensif. 4.4. Analisis Faktor-faktor Penentu Kelayakan Pengembangan dan Keberhasilan Adopsi Benih Transgenik 4.4.1. Analisis Kriteria Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Kelembagaan Dengan menggunakan teknik AHP, hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak SuperDecision adalah seperti pada Gambar 38, yakni terdiri dari 4 level. Hirarki teratas adalah fokus kelayakan pengembangan benih transgenik di Indonesia sebagai patokan awal bagi pakar dalam memberikan judgement. Level kedua adalah 4 kriteria yakni ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Level ke-3 adalah sub-kriteria dan level terakhir adalah alternatif-alternatif teknologi yang tersedia atau potensial memiliki nilai komersialisasi. Data matriks dan hasil penilaian prioritas serta nilai indeks inkonsistensi disajikan pada Lampiran 4. Angka-angka prioritas masing-masing kriteria, sub- kriteria dan alternatif secara langsung dan tidak langsung menunjukkan posisi 75 110 Hibrida Benih Bt Benih RR Benih RR+Bt IK pada kabupaten dengan penggunaan herbisida yang intensif Jombang L Tengah L Timur Malang Mojokerto Nganjuk 132 derajat kepentingan importance atau kelayakannya dibandingkan dengan variabelfaktor yang berada dalam satu level. Dengan menampilkan angka-angka prioritas pada masing-masing variabel dapat terpetakan baik kriteriasub- kriteriaalternatif perlu mendapat perhatian untuk pengembangan lebih lanjut. Gambar 38. Hasil analisis hirearki AHP faktor-faktor penentu adopsi benih tanaman transgenik. Ekonomi 0,0949 Sosial 0,1763 Lingkungan 0,3228 Produktifitas net profit 0,1172 Harga Biaya 0,6093 Produksi total 0,2731 Penerimaan publik 0,1173 Persepsi risiko kesehatan 0,4482 Sebaran manfaat 0,4345 Fisik tanah, air, irigasi 0,1261 Keragaman varietas 0,2144 Keamanan hayati 0,6595 Kelembagaan 0,4060 Industri benih 0,1083 Regulasi 0,6553 Kapasitas SDM 0,2364 Adopsi benih tanaman transgenik di Indonesia Fokus Kriteria Indikator Alternatif Jagung Bt 0,177 Jagung RR 0,180 Kentang LBR 0,127 Tomat TV 0,108 Padi Bt 0,135 Kedelai TH 0,106 Jagung RR+Bt 0,168 133 Data hasil kuesioner yang disajikan pada Lampiran 4 merupakan rerata geometrik dari 6 responden pakar, ditampilkan dalam bentuk matriks. Dalam pengolahan data dilakukan pengecekan indeks inkonsistensi. Nilai indeks yang diharapkan adalah lebih kecil dari 0,1. Jika hasil analisis menunjukkan nilai lebih besar dari 0,1 maka perlu revisi berdasarkan inconsistency report sehingga nilainya lebih kecil dari 0,1. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam menyesuaikan nilai matriks dengan catatan tidak memaksakan perubahan angka terlalu jauh bedanya dengan nilai semula. Dengan kata lain tidak mengubah terlalu jauh terhadap pola atau kecenderungan prioritaspreferensi semula. Langkah-langkah penyesuaian matriks untuk mendapatkan indeks inkonsistensi agar lebih kecil dari 0,1 secara lengkap disajikan pada Lampiran 4. Dalam rangkaian analisis sebanyak 17 matriks pembandingan Tabel 42, hanya satu matriks yang memiliki nilai indeks inkonsistensi di atas 0,1 yakni ditemukan pada analisis sub-kriteria pada kriteria sosial nilai inkonsistensi 0,1552. Tabel 42. Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan pada hirarki fokus kelayakan adopsi Matriks ke- Fokuskriteria sub- kriteria Indeks in- konsistensi Matriks ke- Fokuskriteria sub-kriteria Indeks in- konsistensi 1 Fokus kelayakan adopsi 0,0513 10 Persepsi risiko kesehatan 0,0057 2 Ekonomi 0,0845 11 Sebaran manfaat 0,0417 3 Sosial 0,0685 12 Fisik 0,0260 4 Lingkungan 0,0103 13 Keragaman varietas 0,0391 5 Kelembagaan 0,0143 14 Keamanan hayati 0,0121 6 Produktifitaslaba bersih 0,0203 15 Industri benih 0,0223 7 Produksi total 0,0259 16 Kapasitas SDM 0,0066 8 Harga dan biaya 0,0092 17 Regulasi 0,0093 9 Penerimaan publik 0,0126 Nilai indeks inkonsistensi yang diperoleh setelah dilakukan revisi matriks dalam kriteria sosial. Nilai indeks inkonsistensi pada matriks selebihnya bervariasi dari 0,0057 - 0,0845. Dengan demikian dilakukan revisi matriks kriteria sosial, secara khusus revisi hubungan Sebaran manfaat vs. Persepsi risiko kesehatan dari nilai 1.886 menjadi 1.2651 tetap lebih favorable untuk Sebaran manfaat. Dalam hal ini kisaran penilaian masih berada di antara dua nilai pembandingan berpasangan 1 equal – 3 moderate, dengan demikian tidak diperlukan revisi yang signifikan 134 dengan review ulang kepada para pakar. Dengan revisi ini indeks inkonsistensi semula 0,1552 berubah menjadi lebih baik yakni 0,0685. Dengan hasil ini valid melanjutkan analisis faktor-faktor atau kriteria dan sub-kriteriaindikator yang perlu secara kritikal diperhatikan dalam menentukan kelayakan pengembangan dan sukses adopsi teknologi transgenik. Dari tampilan hirarkis pada Gambar 38 diperoleh bahwa faktor kelembagaan memiliki bobot paling besar yakni sebesar 41 kemudian diikuti oleh faktor Lingkungan sebesar 32, faktor Sosial sebesar 18 dan faktor Ekonomi menempati urutan terakhir yakni sebesar 9. Jadi menurut para pakar, faktor penentu pilihan transgenik dipengaruhi oleh 2 faktor yang memiliki bobot terbesar yaitu Kelembagaan dan Lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor non-ekonomi lebih penting daripada faktor ekonomi. Jadi menurut persepsi pakar, faktor pengembangan transgenik relatif lebih dipengaruhi oleh faktor non- ekonomi seperti Kelembagaan, Sosial dan Lingkungan daripada faktor Ekonomi. Untuk faktor kelembagaan apabila dirinci lebih jauh, maka variabel regulasi menempati urutan pertama dengan bobot 65, kemudian kapasitas SDM kelembagaan 24 dan terakhir variabel industri benih 11. Kondisi riil saat ini menunjukkan implementasi regulasi merupakan faktor kunci pembuka pintu agar adopsi terjadi yakni untuk bisa start jalan Go atau tidak jalan No go. Variabel kelembagaan yang mengelolamengimplementasikan regulasi merupakan kunci utama yang harus dipersiapkan sebelum teknologi transgenik dikembangkan. Misalnya saja, sampai saat ini alasan utama mengapa benih transgenik belum bisa dikembangkan di Indonesia, karena kelembagaan dan prosedur regulasinya belum lengkap. Setidak-tidaknya hal inilah yang ditangkap oleh kalangan industri penyedia teknologi benih transgenik selama beberapa tahun belakangan ini sehingga keadaan tersebut cenderung dipandang sebagai belum kondusifnya dukungan kebijakan dan kelembagaan untuk aplikasi dan adopsi benih transgenik di Indonesia. Selanjutnya, pada faktor lingkungan, yang sangat menjadi perhatian adalah sub-kriteria keamanan hayati bobot 66, kemudian keragaman varietas 21 dan selanjutnya sub-kriteria fisik 13. Perhatian terhadap keamanan hayati ini menonjol karena teknologi baru transgenik dikhawatirkan memberi efek negatif 135 kepada lingkungan hayati. Sebagai bottle-neck yang dihadapi saat ini dalam pengembangan benih tanaman transgenik di Indonesia adalah terkait dengan keberadaan Komisi Keamanan Hayati. PP no. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika mensyaratkan dibentuknya komisi nasional yang bertanggung jawab dalam menerima permohonan ijin keamanan hayati, serta kemudian menelaah, mengevaluasi, dan memutuskan apakah suatu produk atau teknologi dikategorikan aman hayati. Namun demikian, hingga saat ini komisi yang dimaksud belum terbentuk secara formal. Sebenarnya PP 21 menetapkan aturan peralihan dimana prosedur yang diatur dalam SKB 4 Menteri dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP 21 tersebut. Kepedulian responden pakar dalam penelitian ini terhadap aspek keamanan hayati dan keragaman varietas menggambarkan bahwa potensi risiko yang terbesar pada faktor biotik ketimbang pada faktor abiotik fisik. Hal ini sesuai dengan faktor-faktor risiko yang dikemukakan oleh para peneliti atau pakar yang membahas tentang potensi risiko atau dampak lingkungan tanaman transgenik. Dari 9 dampak lingkungan potensial dari tanaman transgenik yang dikemukakan oleh Carpenter, et al. 2002, 6 dampak di antaranya terkait dengan aspek keamanan hayati dan keragaman varietas, yakni: sifat kegulmaan tanaman, aliran gen, resistensi hama, pergeseran populasi hama, pengaruh pada organisme non-target dan menguntungkan, dan pengaruh terpapar pada manusia. Sedangkan 3 dampak lainnya terkait dengan aspek fisik, yakni: efisiensiproduktifitas lahan, perubahan penggunaan pestisida, dan penggunaan lahan dan olah tanah konservasi. Kepedulian pakar umumnya mewakili pandangan publik yang cenderung melihatmempersepsikan dampak dari sisi negatif saja. Padahal dampak lingkungan potensial dari produkteknologi transgenik juga signfikan potensinya memberikan dampak positif terutama dikaitkan dengan sifat teknologi yang inheren memberikan perlindungan tanaman secara built-in ke dalam benih. Perlindungan tanaman dapat dilakukan secara lebih selektif sehingga organisme non-target dan organisme menguntungkan tidak terkena dampak negatif akibat adopsi benih transgenik, tidak seperti pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh aplikasi insektisida yang umumnya memiliki rentang pengendalian yang relatif lebih luas broad spectrum control. Dampak positif lainnya adalah pada aspek 136 konservasi lahan, penggunaan lahan yang lebih efisien karena peningkatan produktifitas tanaman, dan efisiensi ekonomis dan pengaruh positif pada jejak lingkungan akibat pengurangan aplikasi pestisida secara menyeluruh. Potensi pengaruh terpapar pada manusia terutama ditentukan oleh faktor keamanan pangan. Seperti yang dikemukakan oleh Qaim 1999, aspek keamanan pangan merupakan aspek terpenting dalam evaluasipengkajian keamanan produkteknologi transgenik. Dari uraian di atas, tampaknya menjadi jelas bahwa dengan kelembagaan dan regulasi yang menjamin terlaksananya prosedur evaluasipenyaringan terhadap berbagai produkteknologi tanaman transgenik, maka risiko yang potensial mungkin terjadi ditapisdisaring dengan pengkajian yang seksama. Artinya, manajemen risiko sebenarnya telah dimulai sejak dini dimana kelembagaan yang berwenang berhak dan wajib tidak melanjutkan suatu produkteknologi ke tahap berikutnya jika tidak memenuhi kriteria evaluasi yang digariskan dalam regulasi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kriteria pengkajianevaluasi keputusan bagi benih transgenik dilakukan secara lebih ketat bila dibandingkan dengan benih tanaman konvensional atau non-transgenik. Menarik untuk dibahas disini pembandingan antara pestisida dan benih transgenik. Kedua bentuk teknologi ini dimaksudkan untuk perlindungan tanaman dari OPT organisme pengganggu tanaman, hanya bedanya dengan pestisida adalah aplikasi bahan aktif kimiawi sedangkan dengan benih transgenik dilakukan secara genetik melalui transfer sifat ketahanan terhadap OPT yang built-in ke dalam benih. Pestisida merupakan salah satu terobosan dalam Revolusi Hijau selain pupuk, benih unggul HYV, dan bentuk-bentuk teknologi lain. Dengan transgenik yang oleh banyak pihak disebut sebagai revolusi kedua pertanian, ketahanan terhadap OPT yang inheren dalam benih akan signifikan mengurangi jumlah aplikasi pestisida. Benih tanaman transgenik yang diadopsi secara global umumnya masih dominan merupakan produk teknologi generasi pertama seperti yang dikemukakan oleh Kalaitzandonakes 2003. Ke depan teknologi transgenik generasi kedua dan berikutnya memberikan potensi dampak lingkungan yang tampaknya semakin positif. Dewasa ini sedang giat-giatnya dikembangkan benih transgenik yang efisien menggunakan air tahan kekeringan dan efisien menggunakan hara atau pupuk. Hal ini tentu memberikan peluang 137 besar untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan patut dikembangkan di negara-negara berkembang. Kombinasi teknologi dan produk benih transgenik masa depan tampaknya sangat potensial menggantikan atau mengurangi ketergantungan akan input agrokimia semisal pupuk dan pestisida yang menjadi salah satu tulang punggung peningkatan produksi sejak era tahun 70-an. Apabila hal ini terjadi dan diadopsi secara meluas, maka perubahan pola budidaya atau kultur pertanian diprediksi akan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya mempunyai keterkaitan dengan industri-industri baik ke hulu maupun ke hilir. Faktor sosial dengan sub-kriteria persepsi resiko kesehatan dianggap sebagai aspek terpenting dengan bobot 45 kemudian diikuti oleh aspek sebaran manfaat 43 dan aspek penerimaan publik 12. Para responden pakar melihat bahwa aspek persepsi resiko kesehatan ini paling menonjol termasuk dapat dilihat dengan isu-isu yang sering mengemuka dalam wacana publik misalnya pada media, seminar, dan lokakarya tentang bioteknologi. Sebaran manfaat sebagai aspek yang juga sangat penting. Distribusi surplus manfaat dari komersialisasi teknologi ini menjadi concern karena porsi yang signifikan akan dinikmati oleh perusahaan besar sistem distribusi agro-input yang ada saat ini. Oleh karena itu, mekanisme transfer teknologi ke petani di luar jalur komersial perlu terus digalakkan. Faktor ekonomi yang terkait dengan aspek harga teknologi dan penghematan biaya yang mungkin disumbangkannya menduduki prioritas tertinggi sebesar 61 kemudian diikuti aspek pengaruhnya terhadap produksi total 27 dan aspek produktifitas yield dan keuntungan bersih yang mungkin didapatkan 12. Masalah harga dan biaya ini menunjukkan bahwa sifat petani umumnya adalah risk averse oleh karena itu perlu diyakinkan tentang potensi manfaat teknologi baru. Oleh karena itu, penting untuk membantu petani subsidi input agar risiko yang khawatirkan petani dipedulikan oleh Pemerintah. Nilai skor atau bobot kelayakan 7 alternatif yang ada menunjukkan bahwa tiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi 17- 18. Sementara ke-4 alternatif lainnya berkisar 11-13 yakni terpaut hanya sekitar 5-7 Gambar 38 terdahulu. Analisis kelayakan semua alternatif berdasarkan kriteria ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan disajikan pada 138 Tabel 43, terlihat urutan prioritas yang sama dimana ketiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi 16-19. Sementara 4 alternatif lainnya berkisar 10-14. Dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan nilai skor tidak ada satu pun alternatif yang cukup menonjol dibandingkan dengan lainnya dalam konteks masing-masing krtiteria ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Hasil ini menunjukkan penilaian yang konsisten oleh responden pakar terhadap alternatif-alternatif teknologi transgenik yang ditawarkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pada kondisi kelembagaan danatau regulasi yang belum kondusif atau belum sempurna pada tempatnya maka setiap teknologi transgenik yang prospektif memiliki tingkat kelayakan pengembangan yang relatif sama. Hal ini dapat menjadi justifikasi yang kuat bagi kegiatan programproyek penelitian dan pengembangan berbagai teknologi transgenik dengan komoditas yang bervariasi yang saat ini dilakukan di banyak lembaga dan universitas di Indonesia. Hal yang sama berlaku bagi minat pihak swasta untuk mengintroduksikan teknologi transgenik ke Indonesia dari luar negeri walaupun dengan jenis komoditas yang berbeda dan lebih terbatas jumlahnya yakni dengan nilai komersialisasi yang dianggap tinggi. Tabel 43. Nilai skor prioritas alternatif tanaman transgenik secara agregat, sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Alternatif Fokus agregat Ekonomi Sosial Lingkungan Kelembagaan Jagung RR 0.180 0.192 0.189 0.185 0.168 Jagung Bt 0.177 0.185 0.174 0.182 0.173 Jagung RR+Bt 0.168 0.167 0.156 0.175 0.167 Padi Bt 0.135 0.127 0.133 0.142 0.131 Kentang LBR 0.127 0.121 0.123 0.117 0.138 Kedelai TH 0.106 0.104 0.104 0.104 0.109 Tomat TV 0.108 0.104 0.119 0.095 0.115 4.4.2. Analisis Sukses Adopsi Introduksi Benih Transgenik Selain itu, topik lain yang dianalisis adalah kemungkinan sukses adopsi teknologi dalam bentuk produk benih varietas baru. Hasil analisis peluang sukses adopsi dengan kriteria proses transfer, profil pengguna akhir end-user, dan penerimaanpersepsi publik disajikan pada Gambar 39. Peluang sukses adopsi 139 masing-masing alternatif baik secara keseluruhan ataupun dalam faktor dapat terlihat dengan jelas proses transfer, profil pengguna dan persepsi publik, serta masing-masing indikator. Gambar 39. Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi benih transgenik. Dalam konteks penelitian ini pengguna akhir yang dimaksud adalah petani sebagai penerima atau pengadopsi suatu teknologi atau varietas benih tertentu. Hirarki teratas adalah berupa sasaran sukses adopsi benih transgenik di Indonesia; level kedua adalah klaster kriteria yang terdiri dari 3 faktor yang dianggap penentu berhasil tidaknya adopsi yakni proses transfer, profil pengguna akhir, dan faktor persepsi publik. Level ke-3 adalah klaster untuk sub-faktor dimana masing- Proses transfer 0,138 Profil end- user 0,243 Persepsi publik 0,619 Sistem 0,141 Mekanisme 0,440 Kematangan produk 0,419 Perilaku adopsi 0,174 Permintaan, minat 0,281 Pendidikan 0,545 Sikap terhadap transgenik 0,315 Sikap terhadap residu pestisida 0,685 Sukses adopsi produk benih transgenik Tujuan Faktor Indikator Alternatif Jagung RR 0,179 Jagung Bt 0,162 Padi Bt 0,137 Kedelai tahan hama 0,106 Jagung RR+Bt 0,163 Kentang LBR 0,129 Tomat tahan penyakit virus 0,122 140 masing kriteria pada level di atasnya diperjelas dengan masing-masing 2 - 3 sub- kriteria. Level terakhir adalah alternatif-alternatif teknologi yang tersedia atau potensial memiliki nilai komersialisasi. Data hasil kuesioner yang disajikan pada Lampiran 5 merupakan rerata geometrik dari 6 responden pakar. Dalam proses pengolahan data dilakukan pengecekan indeks inkonsistensi. Dalam rangkaian analisis potensi sukses adopsi benih transgenik ini ada sebanyak 12 matriks pembandingan berpasangan, dimana semua matriks memiliki nilai indeks inkonsistensi di bawah 0,1. Nilai indeks inkonsistensi pada matriks selebihnya bervariasi dari 0,0000 - 0,0973 seperti tertera pada Tabel 44. Tabel 44. Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan Matriks ke- Tujuanfaktor sub-faktor Indeks inkonsistensi Matriks ke- Tujuanfaktor sub-faktor Indeks inkonsistensi 1 Sukses adopsi 0,0596 7 Mekanisme transfer 0,0021 2 Proses transfer 0,0973 8 Perilaku adopter 0,0105 3 Profil end-user 0,0231 9 Permintaan, minat 0,0327 4 Penerimaan publik 0,0000 10 Pendidikan 0,0064 5 Sistem 0,0107 11 Sikap terhadap transgenik 0,0052 6 Kematangan produk 0,0069 12 Sikap terhadap residu pestisida 0,0168 Faktor persepsi publik memiliki bobot paling besar yakni sebesar 61,94 kemudian diikuti oleh faktor profil pengguna akhir dan proses transfer masing- masing 24,3 dan 13,76. Hal ini menunjukkan bahwa menurut para pakar yang diwawancarai dalam penelitian ini persepsi publik memegang peranan sangat dominan sangat dominan menentukan apakah benih transgenik dapat berhasil diadopsi. Untuk faktor persepsi publik, pengaruh sub-faktor persepsi terhadap residu pestisida 68 terlihat lebih dominan dibandingkan dengan persepsi terhadap transgenik 32 Gambar 39. Sementara itu, dalam faktor profil pengguna akhir, aspek pendidikan menunjukan pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dari aspek perilaku adopsi dan permintaan atau minat terhadap teknologi transgenik. Aspek kematangan produk dan mekanisme transfer berperan sama pentingnya dalam faktor proses transfer produk atau teknologi hingga diadopsi oleh pengguna. 141 Karaktersitik inovasi baru yang menurut Rogers 2003 ada 5 yakni keunggulan relatif relative advantage, kecocokan compatibility, kompleksitas, dapat dicoba trialability biasanya secara terbatas terlebih dahulu, dan terlihat atau terbuka untuk yang lain observability. Dalam kaitan ini, 2 atribut yg terakhir akan memegang peranan penting bagi petani. Petani biasanya dengan sifat yang risk averse umumnya ingin mencoba pada sebagian kecil petak lahan tidak langsung 100 dimana hal ini akan mengurangi resiko dan ketidakpastian adopsi. Selanjutnya observability yang memungkinkan inovasi terlihat bagi orang lain, terjadinya diskusi kelompok peer discussion yang menjadi sumber informasi penting dalam pembuatan keputusan akan mempercepat adopsi sehingga tujuan peningkatan produksi dapat tercapai. Peluang sukses adopsi 7 alternatif produk tanaman transgenik secara visual disajikan pada Gambar 40. Tiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan sukses adopsi lebih baik 16-18. Sementara 4 alternatif lainnya yakni padi Bt, kentang, kedelai dan tomat berkisar 11-14. Secara keseluruhan, peluang sukses adopsi benih jagung transgenik sedikit lebih baik. Jenis jagung transgenik menempati urutan kelayakan adopsi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Dari persepsi risiko, hal ini tampaknya logis karena jagung umumnya digunakan untuk pakan ternak dan bahan baku industri pangan olahan, sedangkan padi, kentang, kedelai dan tomat merupakan bahan pangan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat di Indonesia. Gambar 40. Diagram peluang sukses adopsi berbagai alternatif produk tanaman transgenik. 0.18 0.16 0.16 0.14 0.13 0.11 0.12 0.05 0.1 0.15 0.2 Jagung RR Jagung Bt Jagung RR+Bt Padi Bt Kentang LBR Kedelai TH Tomat TV 142

4.5. Analisis Kebijakan dan Kerangka Regulasi serta Variabel yang Terkait