24
Cartagena. Indonesia meratifikasi protokol ini UU No. 21 Tahun 2004 setelah melalui serangkaian pembahasan dan pro dan kontra di dalam negeri.
Jauh sebelum ratifikasi Protokol Cartagena ini, Indonesia sendiri telah mengadopsi Agenda 21 global tersebut ke dalam Agenda 21 Indonesia yang
disusun pada tahun 1997 dimana penyusunannya dikoordinasi oleh Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dalam Bab 18 tentang Bioteknologi
disebutkan fokus bioteknologi modern diarahkan untuk dapat memecahkan masalah pertanian, kesehatan, dan lingkungan dengan mempertimbangkan aspek
keamanan hayati sehingga dampak negatif bisa dicegah. Seperti dikemukakan sebelumnya, pemenang hadiah Nobel Norman
Borlaug 1998 mengemukakan pencukupan kebutuhan pangan penduduk dunia
yang meningkat – antara lain dapat terbantu dengan penerapan bioteknologi
modern dalam produksi pertanian. Namun demikian, seringkali akses terhadap teknologi demikian tidak berlaku bagi petani-petani di negara berkembang karena
isu IPR intellectual property rights, penerimaan masyarakat dan pemerintah terhadap teknologi, dan hambatan finansial dan pendidikan bagi petani.
Shahi 2004 dalam bukunya “Bio-Business in Asia” menyatakan bahwa di kawasan Asia-Pasifik telah tercapai suatu massa kritis critical-mass dalam
bidang pengembangan ilmu hayati life sciences dan bioteknologi. Jumlah peneliti dan pusat litbang telah terbangun menyetarai kemampuan yang ada di
dunia Barat. Saat ini dan ke depan, untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari pengembangan ilmu hayati dan biotek ini, Shahi 2004 melihat perlunya aliansi
yang erat melibatkan pemerintah, akademisi, industri dan investor yang bekerja bersama-sama memaksimalkan inovasi dan penciptaan nilai.
2.3.1. Perdebatan Global
Perdebatan global seputar bioteknologi, dalam hal ini khususnya produk pangan hasil rekayasa genetika, tidak terlepas dari perselisihan dagang antara
Amerika Serikat AS dan Uni Eropa UE tentang pangan transgenik ini. Perselisihan ini secara resmi ditengahi oleh WTO sejak tahun 2003 setelah AS,
Kanada, dan Argentina mengajukan keberatan pada bulan Mei 2003.
25
Seperti diketahui sebelumnya bahwa UE terakhir pada tahun 1998 menyetujui impor 2 produk pangan transgenik. Kemudian pada periode 1996-
2003, UE secara faktual menerapkan aturan moratorium 6 tahun hingga pada Mei 2004, Komisi Eropa mengakhiri moratorium secara de jure, akan tetapi secara de
facto negara-negara anggota masih memberlakukan larangan impor produk
pangan transgenik dari AS, Kanada dan Argentina. Pada bulan Februari 2006, WTO mendukung komplain yang diajukan ketiga negara tersebut dimana UE
harus mematuhi aturan perdagangan global. Mengapa muncul persoalan ini, dimana tampaknya lebih bersifat
proteksionisme dagang ketimbang isu kesehatan konsumen dan lingkungan? Menurut Lofstedt 2002 ahli manajemen risiko dari Inggris, hal ini disebabkan
oleh 3 faktor utama: 1 Masalah kepercayaan trust terhadap Regulator: Orang Amerika lebih
yakin pada badan FDA Food Drug Administration di negaranya, berbeda dengan orang Eropa yang tidak begitu percaya pada badan
regulator yang ada di Eropa; 2 Isu retaliasi dagang: AS telah menghindari skandal pangan serupa
krisis ”sapi gila” yang terjadi di Inggris pada tahun 1990-an, yakni dengan cara melarang impor produk daging sapi dari Inggris selama 1
dekade. Kasus ini bersamaan terjadinya dengan introduksi pertama uji-coba tanaman transgenik.
3 Masalah komunikasi: strategi komunikasi yang tidak tepat dari perusahaan-perusahaan
penghasil benih
tanaman transgenik,
khususnya dari Monsanto sebagai pemimpin pasar market leader. Menurut Lofstedt, Monsanto tidak peka terhadap persepsi masyarakat
Eropa yang tidak menyukai cara Amerika mendikte mereka tentang apa yang harus dilakukan mengenai teknologi ini.
Menurut laporan FAO berjudul The State of World Food and Agriculture 2004
SOFA 2004, tanaman pangan hasil rekayasa bioteknologi bioengineered food crops
memiliki potensial riil dalam upaya mengatasi masalah kelaparan dunia, namun sebegitu jauh potensi tersebut belum banyak dimanfaatkan.
Menurut laporan ini perdebatan introduksi teknologi baru sebenarnya sudah
26
terjadi sejak semula, termasuk seputar Revolusi Hijau Green Revolution pada era 60-an dan 70-an.
Dengan mengintroduksi varietas tanaman, agro-kimia, dan teknik irigasi baru, Revolusi Hijau telah meningkatkan hasil tanaman dan membantu jutaan
manusia keluar dari masalah kelaparan dan kemiskinan. Namun demikian, dewasa ini masih lebih dari 842 juta penduduk dunia yang hidup tanpa makanan
yang cukup. Sementara milyaran penduduk menderita gizi buruk. Dalam masa 30 tahun ke depan, pertambaan penduduk sebanyak 2 milyar memerlukan makanan
yang cukup, yang harus dipenuhi dari sumberdaya alam yang terbatas dan cenderung makin rapuh fragile. Dapatkah Revolusi Gen
– yakni penggunaan bioteknologi dalam bidang pertanian
– menyumbangkan penyelesaian masalah untuk mengatasi tantangan ini?
Para pendukung mengatakan rekayasa genetika merupakan alat esensial dalam mengatasi masalah kekurangan pangan dan gizi buruk di negara-negara
berkembang. Para penentang mengatakan bahwa rekayasa genetika akan merusak lingkungan, meningkatkan kemiskinan dan kelaparan, dan mengalihkan
penguasaan teknologi pertanian dan penyediaan pangan global ke kendali tangan korporasi. Bioteknologi rekayasa genetika dapat meningkatan produktivitas dan
mengurangi variasifluktuasi musiman dalam penyediaan pangan. Tanaman tahan hamapenyakit dan toleran cekaman lingkungan dapat mengurangi risiko
kegagalan panen akibat hamapenyakit dan kekeringan. Kandungan gizi dan vitamin dapat dimuliakan ke dalam varietas-varietas unggul baru sehingga dapat
digunakan untuk mengatasi masalah defisiensi gizi di negara-negara miskin dan berkembang. Varietas tanaman baru dapat dikembangkan agar tumbuh baik pada
tanah-tanah marjinal yang tidak subur sehingga produksi pangan dapat ditingkatkan. Bioteknologi juga dapat mengurangi penggunaan senyawa pestisida
dan memperbaiki efisiensi penyerapan hara dan pupuk dari tanah FAO, 2004.
2.3.2. Status dan Tantangan Regulasi Bioteknologi