142
4.5. Analisis Kebijakan dan Kerangka Regulasi serta Variabel yang Terkait
Seperti yang telah dibahas pada Sub-Bab 4.4 dimana faktor penentu terjadinya Go atau No go adopsi tanaman transgenik dipengaruhi oleh 2 faktor
yang memiliki bobot terbesar yaitu faktor kelembagaanregulasi dan pertimbangan lingkungan. Hasil ini sejalan dengan kondisi riil yang terjadi, bahwa variabel
kelembagaan yang mengelolamengimplementasi regulasi merupakan kunci utama yang harus dipersiapkan sebelum teknologi transgenik dikembangkan.
Asumsi dasar yang dijadikan acuan dalam bagian ini adalah tujuan dari suatu kebijakanregulasi yang dibuat adalah untuk memenuhi kepentingan
nasional atau tujuan pembangunan dalam hal ini terkait dengan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dalam konteks inilah pembahasan tentang kemungkinan
adopsi benih jagung transgenik ditempatkan. Analisis rasional juga tidak terlepas dari identifikasi fakta dan data yang relevan yang terkait dengan masalah
yang dihadapi, termasuk yang berkaitan dengan aspek historis dan perkembangan terbaru yang muncul. Identifikasi variabel kebijakan yang utamanya berada di
bawah 4 empat payung undang-undang: sistem budidaya, perlindungan varietas, pangan, dan pengkajian keamanan.
4.5.1. State of the Art Kerangka Regulasi tentang Produk Rekayasa Genetika
Identifikasi variabel kebijakan yang menyebutkan produk rekayasa genetika utamanya berada di bawah 4 empat payung undang-undang: sistem
budidaya UU No. 121992, perlindungan varietas UU No. 292000, pangan UU No. 71996, dan pengkajian keamanan hayati UU Lingkungan Hidup No.
231997, PP No.211005 tentang Keamanan Hayati Lampiran 11. Pada Tabel 45 dikemukakan hal-hal pokok yang terkait dengan payung
undang-undang dan pemegang mandat danatau wewenang juridis UU. Secara rasional dan aspek wewenang pengembangan varietas tanaman berada dalam
naungan Undang-undang Sistem Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992 dengan mandat pada Departemen Pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi
tanaman untuk kepentingan nasional. UU Perlindungan Varietas Tanaman PVT No. 29 Tahun 2000 mendorong upaya terus menerus untuk menemukan
143
menciptakan varietas unggul yang produktifitasnya lebih tinggi, kuantitas dan kualitas produksi semakin tinggi, dan meningkatkan daya saing komoditi.
Tabel 45. Hirarki regulasi terkait dengan pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika dan kelembagaan pemegang wewenang
mandat dalam manajemen implementasinya.
UU Perlindungan Varietas Tanaman
No. 292000 UU Sistem
Budidaya Tanaman No.
121992 UU Pangan No.
71996 UU Lingkungan Hidup
No. 231997
PP Penamaan, Pendaftaran dan
Penggunaan Varietas No.
132004 PP Perbenihan
Tanaman No. 441995
PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan No.
282004
PP Label dan Iklan Pangan No.691999
PP Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetika No. 212005
PROSEDUR PELAKSANAAN:
Peraturan Menteri Pertanian
No : 01PertSR.120
22006Tentang Syarat Penamaan
dan Tata Cara Pendaftaran
Varietas Tanaman PROSEDUR
PELAKSANAAN: Peraturan Menteri
Pertanian No: 37Permentan
OT.14082006 Tentang
Pengujian, Penilaian,
Pelepasan Varietas SKB 4 Menteri
tentang Keamanan Hayati dan Pangan
PROSEDUR PELAKSANAAN:
disyahkan oleh Kepala BPOM pada
tahun 2008 PROSEDUR
PELAKSANAAN: menunggu terbentuknya
Komisi Keamanan Hayati KKH yang
kedudukan, keanggotaan, tugas
pokok dan fungsi serta kewenangannya
ditetapkan dengan Peraturan Presiden atas
usul Menteri LH.
KELEMBAGAAN IMPLEMENTASI:
Pusat Perlindungan Varietas Tanaman
KELEMBAGAAN IMPLEMENTASI:
Badan Benih Nasional
WEWENANG MANDAT:
Menteri Pertanian WEWENANG
MANDAT: Menteri Pertanian
WEWENANG MANDAT: Kepala
Badan POM WEWENANG
MANDAT: Menteri Lingkungan Hidup
KETENTUAN PERALIHAN dalam PP212005: proses pendaftaran, pengujian, dan pengkajian
tetap berlangsung dengan peraturan yang sudah ada sepanjang tidak bertentangan dengan PP21.
Adanya sistem hak atas kekayaan intelektual HKI teknologi merupakan insentif. Hak PVT melindungi varietas baru melalui pemberian hak komersial
eksklusif bagi penghasil benih selama periode waktu tertentu seperti ditentukan oleh undang-undang untuk memasarkan varietas baru termasuk bahan
144
reproduktifnya. Pengecualian diberikan pada kegunaan penelitian dan benih simpan petani untuk ditanam ulang sendiri, sepanjang hal ini tidak dimaksudkan
untuk tujuan komersial. Implementasi pelepasan benih atau bibit tanaman tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No:37PermentanOT.14082006
tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah PP No. 21 tahun 2005
tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika sebagai penyempurnaan SKB 4 Menteri.
7
Disebutkan bahwa PP ini dibuat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat 2 huruf b UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997,
yakni untuk mengatur penyediaan, peruntukan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya genetika. Penjelasan PP No. 212005 pasal 23 menyatakan dengan
jelas bahwa ketentuan peredaran produk rekayasa genetika mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang komoditi masing-masing yang menjadi tanggung
jawab departemen teknis. Keamanan hayati dalam PP No. 212005 mencakup keamanan lingkungan, keamanan pangan dan pakan.
Menarik untuk dicatat bahwa telah terjadi pergeseran mandatwewenang yang
sangat mendasar
perihal keamanan
hayati yakni
dari sifat
koordinatifkolektif antara empat departemen menjadi wewenang langsung Kementerian Lingkungan Hidup KLH. Evaluasi keamanan hayati dalam
peraturan tersebut bergeser menjadi mandat KLH setelah ratifikasi Protokol Cartagena dengan UU No. 212004. Selain itu, diterapkan mekanisme clearing
house termasuk notifikasi publik tentang proses dan keputusan tentang produk
transgenik.
8
Perubahan signifikan lain adalah bahwa penggerak SKB 4 Menteri
7
Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura; No.: 998.1KptsOT.210999;
790.aKpts-IX1999; 1145AMENKESSKBIX1999; 015ANmenegPHOR091999 Tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik.
8
Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati disepakati pada bulan Desember 1999 di Montreal, Canada. Balai Kliring Keamanan Hayati BKKH, Biosafety Clearing House
merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena, sesuai dengan pasal 20 pada protokol. Pembentukan dan pengembangan
BKKH merupakan kewajiban bagi negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena. Indonesia telah meratifikasi Protokol tersebut melalui Undang-Undang No. 212004. Fungsi BKKH
diserahkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI dengan pelaksana fungsi adalah Puslit Bioteknologi LIPI
www.bchindonesia.org .
145
adalah pejabat eselon-I yang lebih mudah berkoordinasi ketimbang sifat suatu PP karena hirarkinya yang lebih tinggi membutuhkan intervensi dari kantor
Sekretariat Negara guna memungkinkan terjadinya koordinasi antar menteri. Disamping itu, peraturan yang pernah ada yang mengharuskan
dilakukannya analisis mengenai dampak lingkungan AMDAL Kepmen LH No.172001 pada setiap kegiatan usaha yang memakai organisme hasil rekayasa
genetika karena pengaruhnya yang besar dan penting bagi lingkungan, kesehatan manusia dan keseimbangan lingkungan. Kepmen ini sama sekali tidak
menyinggung atau merujuk pada aturan pengkajian keamanan hayati yang ada di dalam SKB 4 Menteri pada waktu itu. Hal ini membuat ketidakjelasan mengenai
peran pengkajian keamanan hayati untuk menilai aman atau tidaknya suatu jenis transgenik untuk diusulkan pelepasannya. Dalam ranah pengelolaan lingkungan di
Indonesia biasanya AMDAL dilakukan untuk kegiatan usaha dengan batasan skala tertentu serta merupakan bagian tidak terpisahkan dari kelayakan teknis dan
finansial dari suatu usaha. Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa terjadi suatu transisi
regulasi dan kelembagaan yang berkepanjangan terkait dengan evaluasi keamanan hayati lingkungan, pangan dan pakan.
Disamping itu suatu hal yang menjadi ironis juga mengingat Indonesia sudah mengimpor produk transgenik khususnya jagung dan kedelai selama
bertahun-tahun untuk konsumsi domestik. Menurut laporan USDA 2006, nilai impor produk transgenik dari AS saja mencapai US 600 juta setara Rp 5,4
triliun dengan 1 dollar AS = Rp 9.000 pada tahun 2005. UU No. 71996 mengindikasikan bahwa sebelum dikomersialkan di
Indonesia, bahan pangan yang berasal rekayasa genetika harus dikaji dan disetujui terlebih dahulu. Demikian juga PP No. 691999 tentang Label dan Iklan Pangan
mengharuskan pencantuman label. Akan tetapi saat ini belum dijumpai adanya produk pangan yang dilabel sesuai dengan aturan ini. Situasi ini tentu saja
membuat bingung konsumen, produsen pangan olahan, dan publik pada umumnya.
Perkembangan terakhir yang diamati pada tahun 2008 Balai Kliring Keamanan Hayati BKKH mengindikasikan bahwa ketentuan peralihan dalam
146
PP212005 mulai dapat diimplementasikan. Di dalam ketentuan peralihan dan penutup pada
PP212005 disebutkan: ‖Semua permohonan pelepasan danatau peredaran PRG yang telah diajukan kepada Menteri yang berwenang atau Kepala
LPND yang berwenang dan sedang diproses pada saat mulai berlakunya PP ini, diproses lebih lanjut berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang telah ada‖ Pasal 34. Pada saat berlakunya PP ini, semua peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan keamanan lingkungan, keamanan pangan danatau keamanan pakan PRG dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan PP 21. Oleh BKKH disebutkan bahwa pemasukan benih untuk tanaman pertama sekali diajukan ke Badan Litbang Pertanian melalui Pusat Perijinan
Investasi, Departemen Pertanian. Bab V dalam PP 21 tentang pengkajian, pelepasan dan peredaran serta
pemanfaatan produk rekayasa genetika PRG menjelaskan tata cara pengkajian dalam pasal 14 -15
9
yang jelas dan memiliki tenggat waktu yang sudah ditentukan lamanya. Pengkajian keamanan lingkungan ini menjadi tahapan
pendahulu sebelum maju ke pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas. Sebagai contoh prosedur untuk pengkajian keamanan lingkungan di bawah
wewenang KKH sebagai tahapan pendahulu sebelum maju ke pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas di bawah wewenang BBN = Badan Benih
Nasional yang bertanggungjawab kepada Menteri Pertanian. Secara garis besar prosedur ini sama dengan prosedur evaluasi dan pelepasan varietas yang berjalan
9
Pasal 14: ay1. Pengkajian terhadap PRG wajib dilakukan sebelum pelepasan dan peredaran; ay2. Pengkajian dilaksanakan berdasarkan permohonan tertulis yang diajukan oleh pemohon
kepada Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang; ay3.Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Menteri yang berwenang atau Kepala LPND
yang berwenang dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari menyampaikan permohonan rekomendasi keamanan hayati PRG kepada Menteri atau Ketua KKH.
Pasal 15:ay1. Dalam rangka pemberian rekomendasi keamanan hayati PRG sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat 3 Menteri, Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang
berwenang menugaskan KKH untuk melakukan pengkajian; ay2. Jangka waktu pengkajian sebagaimana dimaksud ayat 1 paling lambat 14 empat belas hari sejak diterimanya surat
penugasan; ay3. Dalam hal pengkajian terkait dengan evaluasi teknis, KKH menugaskan TTKH untuk melakukan pengkajian dokumen teknis dan uji lanjutan apabila diperlukan; ay4.
Jangka waktu pengkajian dokumen teknis sebagaimana dimaksud ayat 3 dilaksanakan paling lambat 56 lima puluh enam hari sejak diterimanya surat penugasan dari KKH; ay5. Hasil
evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati PRG yang dilakukan oleh TTKH disampaikan kepada KKH sebagai bahan penyusunan usul rekomendasi keamanan hayati PRG dalam jangka
waktu paling lambat 7 tujuh hari setelah penyelesaian evaluasi dan kajian teknis.
147
di negara tetangga Filipina. Kedua prosedur ini memiliki prinsip yang sama dalam hal: 1. Kompetensi wewenang pengujianevaluasi sesuai dengan fungsi
lembaga; 2. Kejelasan lamanya durasi waktu dalam setiap tahapan prosedur yang akan dilalui oleh pemohon; 3. Kewajiban akan adanya pemberitahuan
publik; dan 4. Keputusan akhir berupa persetujuan atau penolakan terhadap proposal dari pemohon. Suatu faktor pemicu dimulainya adopsi benih transgenik
di Filipina adalah perananpengaruh Presidennya dalam menetapkan keputusan executive order sehingga departemenkelembagaan yang berwenang dapat
bekerja efektif. Hal pembuatan keputusan seperti ini menjadi faktor terpenting dalam situasi dimana perdebatan terbuka tentang manfaat dan risiko teknologi
baru seperti itu tidak terelakkan.
4.5.2. Faktor-faktor lain Sebagai Variabel yang Mempengaruhi Kelambatan dalam Pengambilan Keputusan