Manfaat dan Risiko Lingkungan

35 1 Pengurangan aplikasi pestisida : 172,5 juta kg 2 Pengurangan jejak lingkungan environmental footprint : 14 3 Sekuestrasi karbon sejalan dengan aplikasi tanpa olah tanah no- tillage Selanjutnya diungkapkan oleh Brookes dan Barfoot dalam kajian pengaruh bagi lingkungan baik positif maupun negatif dilakukan dengan indikator EIQ environmental impact quotient yang merupakan hampiran, sehingga diperoleh penurunan jejak lingkungan tersebut sebesar 14. Pendekatan EIQ ini mengukur dampak melalui data penggunaan input pestisida jenis varietasklon yang ditanam, penyemprotan fungisidainsektisidaherbisida, jenis pestisida dan dosis aplikasi termasuk biaya input dan tenaga penyemprotan, informasi tentang sifat bahan aktif. Informasi berkenaan dengan tingkat toksisitas risiko untuk mengukur EIQ di sini dianggap sebagai indikator universal suatu pestisida tersedia pada jurnal dan literatur ilmiah, misalnya pada Kovach et al. 1992. Di Indonesia sendiri, dalam konteks perkapasan nasional, sebenarnya introduksi kapas Bt di Sulawesi Selatan merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produktivitas, pendapatan usahatani, dan aplikasi pestisida yang berkurang. Disamping itu, introduksi kapas transgenik Bt memiliki peran strategis untuk mendukung industri TPT tekstil dan produk tekstil mengingat struktur kesenjangan antara suplai produksi dan kebutuhan serat kapas nasional. Dewasa ini produksi kapas nasional hanya memenuhi kurang dari 10 kebutuhan industri TPT, selebihnya impor dengan nilai devisa bisa mencapai US 1 milyar. Namun usahatani kapas Bt berhenti karena berbagai alasan dari perusahaan; walaupun sebenarnya sebagian besar petani 95 merasakan manfaat dari mengadopsi teknologi kapas Bt. Keuntungan yang diperoleh dengan menanam kapas Bt meningkat 83 yang menandakan tingkat keuntungan signifikan bagi petani kapas Siregar dan Kolopaking, 2002.

2.4.1. Manfaat dan Risiko Lingkungan

Dalam perdebatan publik tentang rekayasa genetika, risiko teknlogi paling sering muncul dalam forum-forum pertemuan. Para kritikus menyatakan bahwa manipulasi genetika terhadap mahluk hidup akan menciptakan dimensi risiko 36 yang baru dan tak dapat diprediksi bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Walaupun pengetahuan dan bukti ilmiah untuk topik ini masih sangat terbatas, kajian risiko yang seksama dan luas telah pun dilakukan. Hasilnya menyimpulkan bahwa tidak terdapat risiko berkaitan dengan tanaman transgenik yang spesifik ditimbulkan oleh teknologi transfer gen. Risiko-risiko tertentu akan muncul, namun hal yang sama sebenarnya juga ditimbulkan oleh teknologi pemuliaan konvensional biasa. Tidak ada dimensi risiko yang menyeluruh yang secara umum diterapkan atau terkait dengan teknologi genetika, oleh karena itu analisis risiko seharusnya dilakukan secara kasus per kasus Qaim, 1999. Konsultasi Pakar FAO pada tahun 2003 juga menyatakan bahwa penanaman tanaman modifikasi genetika tanaman GM dengan segala manfaat dan kemungkinan bahayanya bagi lingkungan sebaiknya dipertimbangkan dalam kerangka ekosistem yang lebih luas dan pengaruhnya bagi lingkungan seharusnya dikaji kasus per kasus FAO, 2003. Carpenter, et al. 2002 mengidentifikasikan ada sembilan dampak lingkungan potensial dari tanaman hasil rekayasa genetika: 1 Perubahan pola penggunaan pestisida: Apakah adopsi tanaman transgenik mengubah pola penggunaan pestisida oleh petani, dan pada gilirannya bagaimana dampaknya terhadap aspek kualitas air, dampak pada tanah, dan residu panen. 2 Pengelolaan lahan dan olah tanah konservasi: Apakah adopsi tanaman transgenik memicu penerapan olah tanah konservasi yang dapat mengurangi erosi tanah, menurunkan aliran permukaan, menjaga kelembaban tanah, kandungan hara, dan menahan karbon di dalam tanah. 3 Sifat kegulmaan tanaman crop weediness: Apakah tanaman transgenik menimbulkan sifat gulma pada tanaman yang bersangkutan. 4 Aliran gen gene flow dan penyerbukan silang outcrossing: Apakah tanaman transgenik berhibridisasi dengan tanaman lokal sehingga berdampak buruk bagi keanekaragaman hayati di wilayah dimana tanaman tersebut ditanam. 37 5 Resistensi hama: Apakah sifatproses munculnya resistensi hama pada tanaman transgenik berbeda dengan hal yang serupa pada tanaman non-transgenik dengan aplikasi pestisida. 6 Pergeseran populasi hama: Apakah introduksi tanaman transgenik menyebabkan pergeseran populasi gulma atau hama sekunder sehingga berdampak pada sistem pertanian atau ekologis yang ada. 7 Pengaruh pada organisme non-target dan organisme menguntungkan: Apakah tanaman transgenik yang diintroduksi memiliki sifat perlindungan hama yang berdampak negatif pada musuh alami atau organisme non-target lainnya. 8 Efisiensi penggunaan dan produktifitas lahan: Apakah adopsi tanaman transgenik memperbaiki efisiensi dan produktifitas lahan sehingga tidak perlu membuka hutan untuk pertanian. 9 Human exposure pengaruh terpapar pada manusia: Apakah adopsi tanaman transgenik menimbulkan masalah keamanan penggunaan yang berbeda dibandingkan dengan tanaman konvensional. Selanjutnya, Qaim 1999 menyatakan beberapa kategori risiko yang berkaitan dengan tanaman transgenik, dimana aspek keamanan pangan merupakan hal penting: 1 Risiko transfer gen horisontal ke lingkungan. Dalam hal ini harus dilihat apakah tanaman yang bersangkutan merupakan tanaman asli domestik di suatu negara atau wilayah. 2 Tipe hama atau penyakit baru yang mungkin muncul akibat rekombinasi gen. Dalam banyak kasus, kemungkinan terjadinya rekombinasi gen dari gen yang ditransformasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan rekombinasi alami dari gen penyakit yang menginfeksi tanaman inang. 3 Risiko terjadinya resistensi terhadap hama atau penyakit tanaman. Pada dasarnya efek terhadap kesehatan manusia tidak ada; risiko ini lebih mengena pada faktor ekonomi keefektifan teknologi pada periode waktu singkat atau lama. 38 4 Isu keamanan pangan. Merupakan isu utama yang berkaitan dengan produk pangan dari tanaman rekayasa genetika. Sistem pengkajian keamanan pangan harus ketat dan seksama secara ilmiah dalam menyaring produk-produk yang diuji. Risiko yang inheren dengan teknologi technology-inherent risks, dengan melihat eksternalitas negatif yang mungkin terjadi juga perlu dikaji misalnya ciri tanaman yang tidak diharapkanabnormal dan interaksi yang mungkin terjadi dengan lingkungan misalnya mengenai penyerbukan silang Qaim, 1998. Jemison dan Vayda 2001 dalam penelitiannya yang berjudul Cross pollination from genetically engineered corn: wind transport and seed source menemukan bahwa cross-pollination penyerbukan silang lebih kecil dari 2 persen. Pada kondisi tanaman jagung biasa non-transgenik berjarak 30 meter dari jagung transgenik RR dan arah angin berasal dari jagung transgenik, ternyata penyerbukan silang yang terjadi berada pada tingkat rendah. Faktor lain yang mempengaruhi penyerbukan silang adalah adanya tanaman pembatas yang lebih tinggi yang dapat mengurangi risiko penyerbukan silang. Hal ini memungkinkan ko-eksistensi antara tanaman transgenik dan non-transgenik ditanam di suatu wilayah sepanjang mengikuti jarak isolasi yang meminimkan kontaminasi satu sama lain.

2.4.2. Kajian Keamanan Hayati Tanaman Transgenik