26
terjadi sejak semula, termasuk seputar Revolusi Hijau Green Revolution pada era 60-an dan 70-an.
Dengan mengintroduksi varietas tanaman, agro-kimia, dan teknik irigasi baru, Revolusi Hijau telah meningkatkan hasil tanaman dan membantu jutaan
manusia keluar dari masalah kelaparan dan kemiskinan. Namun demikian, dewasa ini masih lebih dari 842 juta penduduk dunia yang hidup tanpa makanan
yang cukup. Sementara milyaran penduduk menderita gizi buruk. Dalam masa 30 tahun ke depan, pertambaan penduduk sebanyak 2 milyar memerlukan makanan
yang cukup, yang harus dipenuhi dari sumberdaya alam yang terbatas dan cenderung makin rapuh fragile. Dapatkah Revolusi Gen
– yakni penggunaan bioteknologi dalam bidang pertanian
– menyumbangkan penyelesaian masalah untuk mengatasi tantangan ini?
Para pendukung mengatakan rekayasa genetika merupakan alat esensial dalam mengatasi masalah kekurangan pangan dan gizi buruk di negara-negara
berkembang. Para penentang mengatakan bahwa rekayasa genetika akan merusak lingkungan, meningkatkan kemiskinan dan kelaparan, dan mengalihkan
penguasaan teknologi pertanian dan penyediaan pangan global ke kendali tangan korporasi. Bioteknologi rekayasa genetika dapat meningkatan produktivitas dan
mengurangi variasifluktuasi musiman dalam penyediaan pangan. Tanaman tahan hamapenyakit dan toleran cekaman lingkungan dapat mengurangi risiko
kegagalan panen akibat hamapenyakit dan kekeringan. Kandungan gizi dan vitamin dapat dimuliakan ke dalam varietas-varietas unggul baru sehingga dapat
digunakan untuk mengatasi masalah defisiensi gizi di negara-negara miskin dan berkembang. Varietas tanaman baru dapat dikembangkan agar tumbuh baik pada
tanah-tanah marjinal yang tidak subur sehingga produksi pangan dapat ditingkatkan. Bioteknologi juga dapat mengurangi penggunaan senyawa pestisida
dan memperbaiki efisiensi penyerapan hara dan pupuk dari tanah FAO, 2004.
2.3.2. Status dan Tantangan Regulasi Bioteknologi
UU Lingkungan Hidup, UU Budidaya Tanaman, UU Pangan, dan UU Perlindungan Varietas Tanaman merupakan rangkaian undang-undang negara
yang menyinggung, menyebut, dan mengatur tentang pemanfaatan produk hasil
27
rekayasa genetika bioteknologi modern. Bahkan pada tahun 2005, Pemerintah telah menerbitkan PP tentang Keamanan Hayati PP No. 21 tahun2005, namun
PP ini mensyaratkan adanya pembentukan Komisi Nasional Keamanan Hayati dan petunjuk pelaksanaan untuk pengkajian keamanan hayati. Dalam PP No. 21
ini yang dimaksud dengan keamanan hayati meliputi keamanan lingkungan environmental safety, keamanan pangan food safety, dan keamanan pakan
feed safety. Hingga saat ini Pemerintah masih terus menggodok pembentukan Komisi Nasional dan finalisasi juklak ini Saragih, 2006.
Antar departemenlembaga: Pertanian, KLH, Kesehatan, POM, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Ristek, LIPI dengan kewenangan dan kompetensi masing-
masing memerlukan koordinasi yang benar-benar terarah dan terpadu agar komisi dan juklak tersebut bisa segera terbentuk. Disadari sepenuhnya bahwa posisi
suatu negara terhadap bioteknologi sangat tergantung dari banyak hal, antara lain: kebijakan dan political will Pemerintah, tingkat risiko yang hendakdapat
diterima, kapasitas melakukan kajian risiko dan implementasi regulasi yang memadai, persepsi mengenai manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari
boteknologi, aras perdagangan internasional termasuk ketergantungan akan impor komoditas pertanian, dan investasi pada program penelitian dan pengembangan.
Sebagaimana disebutkan di atas, hingga saat ini Pemerintah sebenarnya telah meletakkan kerangka regulasi yang komprehensif dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah PP No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. PP ini dibuat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8
ayat 2 huruf b UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, yang berbunyi tentang mengatur penyediaan, peruntukan, pengelolaan, dan pemanfaatan
sumberdaya genetika. Dalam konteks teknis implementasi untuk bioteknologi tanaman, PP No. 21 perlu mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam UU Sistem
Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992 khususnya pasal-pasal 8 hingga 12 antara lain tentang benih unggul dan berkualitas, pengembangan varietas unggul,
pelepasan varietas baru, impor, pengawasan distribusi benih dan pelabelan. Diharapkan peraturan yang baru ini dapat memayungi pengembangan,
inovasi dan adopsi bioteknologi di Indonesia, karena aspek keamanan hayati dalam PP No. 212005 tersebut mencakup keamanan lingkungan, serta keamanan
28
pangan dan pakan. Perangkat peraturan ini dan kelengkapan lembaga yang akan disusun diharapkan dapat berperan efisien dan efektif dan terutama memberi
kepastian dalam proses pengkajian dan evaluasi produk rekayasa genetika dari segi keamanan hayatinya sebelum dilepas ke pasarpengguna. Namun hingga saat
ini perangkat kelembagaan dan petunjuk pelaksanaan belum tersedia, sehingga kalangan dunia industri yang berminat untuk pengembangan tanaman unggul
transgenik belum dapat melakukan apa-apa, baik dalam rangka introduksi atau persiapan untuk investasi. Diperkirakan detil prosedur pengembangan dan
pelepasan suatu produk benih bioteknologi hingga akhirnya dapat diadopsi oleh petani akan melewati rangkaian pengkajianpengujian oleh berbagai departemen
dan lembaga Pemerintah yang berkompeten, yakni meliputi: tahap pengujian keamanan lingkungan; tahap pengujian keamanan panganpakan; tahap pengujian
pelepasan varietas; dan tahap pengujian perlindungan varietas.
2.4. Dampak Ekonomi dan Lingkungan Adopsi Agrobioteknologi