51
kategori kelompok yang mungkin: 1. merasa pangan GM dan non-GMO sama saja, 2. menganggap perbedaan harga terlalu tinggi, dan 3 memprotes
masuknya bahan pangan GMO karena berpendapat pemerintah seharusnya menyediakan pangan non-GMO dalam jumlah cukup sejak semula. Sebaran
respon WTP dengan payment card menunjukkan sekitar 17 konsumen mengharapkan tidak ada perbedaan harga; sedangkan respon WTA menunjukkan
16 konsumen memilih pangan GMO walaupun tanpa diskon. Kesimpulan
analisis CVM
yang dilakukan
oleh Moon
dan Balasubramanian ini menunjukkan bahwa produk pangan berbahan baku GMO
mendapatkan tempat yang cukup berarti, atau dengan kata lain terbuka pada pilihan-pilihan yang ada bagi konsumen yang melihat harga sebagai satu
pertimbangan penting. Giannakas dan Yiannaka 2004 juga menemukan bahwa efek pasar dan kesejahteraan dari introduksi kedelai dengan kandungan oleat yang
tinggi high-oleic soybean ditentukan oleh harga relatif produk berbahan baku kedelai oleat tinggi ini, disamping faktor preferensi konsumen dan manfaat yang
diperoleh dari produk baru tersebut. Semakin rendah harga produk berbahan baku kedelai oleat tinggi, semakin besar nilai atau preferensi yang diberikan konsumen,
semakin tinggi penerimaan pasar untuk mensubstitusi kedelai konvensional, dan semakin tinggi perolehan keuntungan produser kedelai.
2.6. Sistem Produksi Usahatani Jagung
Di Indonesia jagung merupakan tanaman pangan terpenting kedua setelah padi dimana permintaan atas komoditas ini terus bertumbuh. Produksi jagung
nasional bertumbuh sebesar rata-rata 4,07 per tahun selama 3 dekade terakhir terutama akibat adopsi teknologi produksi yang semakin baik, khususnya benih
hibrida di sentra produksi jagung utama seperti propinsi Sumut, Lampung, Jateng, dan Jatim Gambar 8. Namun demikian, tingginya produksi nasional ini belum
mampu mengimbangi kebutuhan domestik sehingga mengakibatkan volume impor yang tinggi Swastika, et al., 2004.
Lebih lanjut menurut Swastika, et al. 2004 kendala produksi yang dihadapai petani jagung adalah: harga rendah pada saat panen, harga input yang
rendah, jarak yang jauh antara area produksi ke industri pakan dan industri benih,
52
kurangnya promosi hasil litbang pemerintah, dan rendahnya modal petani. Sistem produksi yang dilakukan petani jagung tergantung pada wilayah geografis,
pola tanam dan pilihan pengelolaan. Masalah-masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi jagung nasional antara lain adalah Subandi, 1998 dalam
Swastika, et al.., 2005 kesuburan tanah yang buruk, petani dengan dukungan sumberdaya yang lemah, rendahnya adopsi teknologi, penanangan pasca-panen
yang jelek, dan ketidakpastian harga pada saat-saat tertentu atau musim panen.
Gambar 8. Sentra produksi jagung di Indonesia pada tahun 2004 Swastika, et al., 2004.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala di atas
dalam rangka peningkatan produksi jagung nasional dalam 2 dasawarsa belakangan, akan tetapi produktifitas jagung Indonesia masih terbilang rendah
bila dibandingkan dengan: potensi hasil benih hibrida yang dilepas sekitar 7-9 tonha dan produktifitas di negara lain. Saat ini tingkat produktifitas beberapa
tanaman pangan utama di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga impor beberapa komoditas harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sebagai contoh, produktifitas jagung yield di Indonesia dalam 5 tahun terakhir masih pada kisaran 2,8
– 3,4 ton per hektar, masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Argentina, China, Mesir, dan AS walaupun masih lebih
tinggi dibandingkan beberapa negara di Afrika. Produktifitas jagung Indonesia kurang lebih sama dengan Vietnam FAOSTAT, 2006 Tabel 7.
53
Tabel 7. Produktifitas jagung tonha di berbagai negara
Produktifitas Jagung tonha
Tahun
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Argentina 5,43
5,45 6,17
6,47 6,43
7,12 China
4,60 4,70
4,93 4,81
5,12 5,06
Ghana 1,46
1,32 1,49
1,62 1,58
1,58 India
1,82 2,00
1,64 1, 98
2,00 1,96
Indonesia 2,76
2,84 3,09
3,24 3,34
3,42 Kenya
1,44 1,70
1,51 1,62
1,28 1,29
Mexico 2,46
2,58 2,71
2,53 2,75
2,56 Philippines
1,80 1,82
1,80 1,91
2,14 2,08
South Africa 3,00
2,41 2,85
2,66 3,11
3,59 Thailand
3,68 3,73
3,73 3,85
3,87 3,63
US 8,59
8,67 8,16
8,92 10,06
9,31 Viet Nam
2,75 2,96
3,08 3,43
3, 49 3,52
Sumber: FAOSTAT data 2006 http:faostat.fao.orgfaostat
Grafik pada Gambar 9 menunjukkan perkembangan areal panen juta hektar dan produktifitas tonha jagung dalam kurun waktu 1990
– 2004 Badan Litbang Pertanian, 2005. Tampak bahwa luas areal pertanaman atau panen
jagung di Indonesia dapat dikatakan tidak jauh bergeser dari angka 3,3 – 3,5 juta
hektar selama 10-15 tahun terakhir. Sementara itu, laju peningkatan produktifitas terlihat agak cukup menanjak khususnya setelah akhir tahun 90-an. Periode ini
ditandai dengan semakin banyanya varietas-varietas hibrida yang dilepas secara komersial ke pasar benih serta didukung oleh sistem produksi dan distribusi benih
yang semakin meluas. Dari data yang ada juga menunjukkan bahwa Indonesia merupakan
pengimpor kedelai dan bungkil kedelai dari negara-negara utama penghasil kedelai seperti Amerika Serikat, Argentina, dan Brasil. Sejak tahun 2000
jumlahnya melebihi 2,5 juta jon setiap tahunnya. Sementara itu, Indonesia merupakan pengimpor net importer komoditas jagung masih rata-rata di atas 1
juta ton per tahun dengan nilai ratusan juta dollar AS Tabel 8. Dalam kurun waktu 2000-2004, Indonesia mengimpor jagung dari AS, China, Brasil, Argentina
54
dan Thailand. Angka-angka ini menunjukkan impor jagung yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri FAOSTAT, 2006; CropLife, 2005.
Gambar 9. Perkembangan areal panen dan tingkat produktifitas jagung di Indonesia tahun 1990-2004 Sumber data: BPS, diolah
Tabel 8. Volume dan nilai impor-ekspor jagung Indonesia, 2000-2005 volume dalam ribu ton dari 2 sumber data, nilai dalam US
ribu.
Indonesia Tahun
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Volume impor 1.265
1.036 1.154
1.346 1.089
1.856 Nilai impor
157.949 125.512 137.982 168.658 177.675 309.000 Volume ekspor
28,1 90,5
16,3 33,7
32,7 54,0
Nilai ekspor 4.984
10.500 3.334
5.517 9.074
9.050
Volume impor
961 950
1.320 1.705
706 Negara asal
AS 23, China
74, Argentina
3 AS
65, India
35 AS 4,
China 95,
Thailand 1
AS 4, China
95, Thailand
1 AS 25,
Argentina 43,
Thailand 22,
India 10
Sumber: FAOSTAT data 2006 http:faostat.fao.orgfaostat ; CropLife 2005
1.0 1.5
2.0 2.5
3.0 3.5
4.0 4.5
1000 1500
2000 2500
3000 3500
4000
90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
Produktifitas Areal panen
Tahun
Areal panen 1000 Ha Produktifitas TonHa
55
Sudaryanto dan Rusastra 2006 menemukan pertumbuhan produksi, areal panen, dan produktifitas varietas unggul baru yang melambat selama periode
1976-2003. Terjadi pelambatan laju pertumbuhan produksi dan areal panen; serta pertumbuhan produktifitas yield yang tidak menunjukkan terobosan yang
berarti Tabel 9. Tabel 9. Pertumbuhan produksi, areal panen, produktifitas varietas
unggul baru tahun, 1976-2003 Sudaryanto dan Rusastra, 2006.
Pertumbuhan dalam
Tahun
1976-1986 1986-1990
1990-2000 2000-2003
Produksi 10,2
4,3 1,6
1,7 Areal panen
5,4 1,2
-1,1 -1,2
Produktiftas
a
4,8 1,3
3 2
2,7 2,6
2,9 3
Varietas baru
b
4 3
5,9 5
8,8 26
8,1 2
a
Angka dalam kurung adalah produktifitas tonha
b
Angka dalam kurung adalah jumlah varietas unggul baru
56
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama periode April 2007 – Juni 2008 dengan
lokasi penelitian di Jakarta, Bogor, Jawa Timur dan Lampung. Untuk responden pakar, penelitian difokuskan di Jakarta dan Bogor Lampiran 1. Untuk survei
usahatani, dilakukan wawancara dengan petani jagung hibrida di 2 dua propinsi utama produsen jagung yakni Jawa Timur dan Lampung. Dianggap bahwa
dengan mengambil kedua propinsi ini variasi profil dan kondisi petani jagung hibrida di Indonesia dapat terwakili. Propinsi Jawa Timur dan Lampung berturut-
turut memberikan kontribusi 36 dan 12 terhadap produksi nasional.
3.2. Rancangan Penelitian
Berdasarkan kerangka perumusan dan pemecahan masalah yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan, penelitian ini dirancang untuk menjawab
pertanyaan tentang kelayakan, potensi ekonomi dan indeks keberlanjutan dari adopsi benih jagung transgenik. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi
tujuan umum penelitian untuk menganalisis kelayakan jagung transgenik di Indonesia dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Tujuan
umum dibagi menjadi 5 tujuan rinci seperti telah diuraikan pada Pendahuluan. Untuk itu rancangan penelitian yang telah dilakukan untuk menjawab
tujuan umum dan tujuan rinci penelitian mencakup pengumpulan berbagai jenis data dari berbagai sumber, teknik pengambilan contoh, teknik analisis data, dan
keluaran yang diharapkan seperti tertera pada Tabel 10. Penilaian manfaat adopsi benih jagung transgenik dilakukan pada tingkat usahatani yakni menilai kelayakan
finansialnya dibandingkan dengan usahatani jagung hibrida saat ini with vs. without
. Analisis input-output usahatani yang dilakukan mengacu pada Hareau 2002 dan Simatupang 2002. Tingkat produktifitas benih jagung transgenik
diambil dari percobaan yang pernah dilakukan dan data dari negara lain dengan kondisi agroekosistem yang mirip. Analisis kebersediaan petani untuk membayar
WTP benih jagung transgenik dikaji dengan CVM menggunakan teknik payment card
Moon dan Balasubramanian, 2003.