Pengembangan Wilayah TINJAUAN PUSTAKA

21 pembangunan berkelanjutan adalah proses pemanfaatan sumberdaya alam, arah investasi pembangunan, arah pengembangan teknologi dan kelembagaan yang semuanya harmonis, dan meningkatkan berbagai potensi masa kini dan di masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi umat manusia.

2.2 Pengembangan Wilayah

Pendekatan wilayah dalam pelaksanaan pembangunan, khususnya dalam kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, menjadi signifikan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis antara satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Melalui pendekatan wilayah, upaya pembangunan dapat dilaksanakan untuk memacu pembangunan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan menjaga kelestarian lingkungan pada suatu wilayah tertentu. Pembangunan wilayah berbeda dengan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara merata dan menyeluruh secara nasional, dan bukan pendisagregasian dari pembangunan nasional karena memiliki peranan dan tujuan yang berbeda Budiharsono, 2001. Berbeda pula dengan pendekatan pembangunan sektoral yang hanya bertujuan untuk mengembangkan dan menyelesaikan permasalahan satu sektor tertentu, tanpa memperhatikan kaitannya dengan sektor lain. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis deliniasi yang dibatasi oleh koordinat geografis yang mempunyai pengertianmaksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu. Pengertian ini menurut Rustiadi et al. 2004 akan selalu terkait aspek kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan maupun pertahanan. Secara umum beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokan sebagai berikut Rustiadi et al., 2004: 1 ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hirarkhis antara ekotipe, misalnya Daerah Aliran Sungai DAS dengan sub DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan 22 struktur bagian hutan tropisnya, 2 ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi menggambarkan maksud fungsi manfaat-manfaat ekonomi, seperti wilayah produksi, konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa, 3 ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya, misalnya wilayah adatmarga, suku, maupun wilayah pengaruh kerajaan, 4 wilayah politik, yaitu deliniasi wilayah yang terkait dengan batasan administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala pemerintahan yang mengatur dan mengelola berbagai sumberdaya alam dan pemanfaatannya untuk kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi kewenangan politiknya selaku penguasa wilayah. Dalam konteks pemanfaatan ruang, pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan kluster menjadi penting untuk dapat secara rinci dan mudah menetapkan variabel-variabel dominan yang mempengaruhi dalam proses pengembangan wilayah. Konsep pengembangan wilayah memerlukan berbagai teori dan ilmu terapan seperti geografi, ekonomi, sosiologi, statistika, ilmu politik, ilmu lingkungan, dan sebagainya. Hal ini karena pengembangan itu merupakan fenomena multifaset yang memerlukan pendekatan dari berbagai bidang ilmu Budiharsono, 2001. Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan Misra, 1982. Tap MPR No. IX2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam menetapkan langkah yang harus dilakukan dalam optimasi pengelolaan sumberdaya alam yaitu: 1 mewujudkan optimasi pemanfaatan sumberdaya alam harus melalui tahapan identifikasi dan penelitian kualitas sumberdaya alam sebagai potensi pembangunan nasional dan 2 perlu disusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam termasuk perencanaan pemanfaatan kawasan transmigrasi yang didasarkan pada optimasi manfaat dengan 23 memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Salah satu ruang lingkup kajian pengembangan wilayah adalah wilayah pesisir dan laut. Wilayah pesisir dalam pengertian ekosistem didefinisikan sebagai suatu zona yang ke arah darat dibatasi sampai di mana pengaruh laut masih ada dan ke arah laut sampai di mana pengaruh darat masih ada. Secara ekstrim wilayah pesisir dapat dibatasi sampai garis pantai dan unsur-unsur geomorfologis yang berdekatanberbatasan dengannya, yang ditentukan oleh aksi laut terhadap batas darat Rais, 1997. Wilayah pesisir memiliki karakteristik khusus yang lebih kompleks dibanding daratan atau lautan. Hal ini karena terdapat interaksi antar ekosistem di wilayah pesisir dan juga interaksi masyarakat wilayah pesisir yang sangat dinamis, baik antar masyarakat sendiri maupun interaksi antara masyarakat dengan ekosistem pesisir. Kompleksitas tersebut menyebabkan wilayah pesisir rentan terhadap konflik pengelolaan baik dalam hal pemanfaatan antar shareholder maupun kewenangan pengelolaan antar stakeholder Suaedi, 2007. Karakteristik khusus wilayah pesisir antara lain: 1 mengandung habitat dan ekosistem estuaria, terumbu karang, padang lamun yang menyediakan barang ikan, minyak, mineral dan jasa perlindungan alami dari badai dan gelombang pasang, rekreasi terhadap masyarakat pesisir; 2 dicirikan dengan kompetisi penggunaan sumberdaya lahan dan laut serta ruang oleh berbagai stakeholder yang seringkali menimbulkan konflik dan destruksi keutuhan fungsi dari sistem sumberdaya; 3 sebagai sumber atau tulang punggung perekonomian nasional bagi pemerintahan di wilayah pesisir dimana proporsi substansial dari GNP bergantung kepada aktivitas pelayaran, pembangunan minyak dan gas, wisata pesisir, dan sejenisnya; dan 4 senantiasa padat penduduk dan menjadi daerah tujuan urbanisasi Scura et al., 1992. Pengembangan wilayah pesisir memerlukan penanganan secara komprehensif yang melibatkan berbagai instansi terkait. Semua sektor pembangunan yang berkaitan dengan wilayah pesisir seperti kehutanan, perikanan, pertambangan, perhubungan, pariwisata, dan lingkungan berhubungan 24 dengan pengembangan dan pembinaan wilayah baik secara fisik, ekonomi, sosial, maupun politik. Banyaknya sektor yang terkait dengan pengembangan wilayah pesisir dapat menimbulkan konflik kewenangan Cicin Sain, 1998; Kay, 1999. Di sisi lain, terdapat berbagai kelompok stakeholder yang terkait dengan pengembangan wilayah pesisir. Setiap kelompok ini memiliki interest yang beragam dalam rangka pemanfaatan wilayah pesisir secara optimal, baik berdasarkan pertimbangan ekonomi, maupun ekologi dan sosial politik. Kondisi ini dapat memicu terjadinya konflik kepentingan antar stakeholder baik vertikal maupun horizontal dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir Brown, 2001. Berdasarkan karateristik dan dinamika kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah untuk sektor kelautan, dalam upaya mencapai pembangunan secara optimal dan berkelanjutan, dituntut pendekatan pengelolaan wilayah secara terpadu Cincin-Sain Knecht, 1998. Bila dikaji secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional antar ekosistem di dalam kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir, cepat akan mempengaruhi ekosistem lainnya Bengen, 2000. Lahan basah merupakan salah satu ekosistem yang paling kompleks, sangat produktif dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah yaitu daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari 6 meter pada waktu surut Biro Konvensi Ramsar 1997. Wetlands International 2003 menyebutkan lahan basah adalah suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan, di mana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas. Ciri-ciri lahan basah yang paling menentukan adalah keberadaan air, serta kombinasi fisik dan kimia dari tanah dan air menentukan tumbuhan dan hewan yang mampu hidup pada lahan basah tersebut. Keberadaan air pada lahan basah, dilihat dari: 1 frekuensi penggenangan ada yang tergenang tetap dan musiman; 2 sifat aliran ada yang tergenang dan mengalir; dan 3 salinitas ada yang tawar, 25 asin dan payau. U.S. National Wetlands Inventory Corwardin et al. 1979 mengemukakan batasan lahan basah yakni lahan-lahan peralihan antara sistem daratan dan sistem perairan, dimana keadaan air biasanya terletak pada atau dekat permukaan, atau lahan yang ditutupi oleh perairan dangkal. Lahan basah menurut batasan tersebut, harus memiliki salah satu atau lebih dari ciri-ciri sebagai berikut: paling tidak secara periodik ditumbuhi tumbuhan air; sebagian merupakan tanah tergenang hydric soils, kondisinya jenuh air atau tertutup oleh air dangkal, paling tidak secara periodik yaitu pada musim tumbuh. Berdasarkan batasan tersebut, lahan basah terdiri atas rawa, daerah pinggir sungai, danau atau hutan bakau, dan rawa di tepi laut. Air adalah bagian integral dari ekosistem dan merupakan barang sosial dan ekonomis yang kualitas dan kuantitasnya harus menentukan sifat penggunaannya. Pengelolaan air secara terpadu dijelaskan sebagai suatu proses untuk mendorong koordinasi dalam pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait, yang bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara merata tanpa mengabaikan kelestarian ekosistem Global Water Partnership, 2000. Unsur kunci dalam alokasi air adalah keterlibatan stakeholder dalam proses pembuatan keputusan. Melalui partisipasi stakeholder pemanfaatan dan penggunaan air yang beragam dalam satu areal tangkapan air harus ditetapkan sesuai dengan tujuan alokasi air, yang harus melibatkan ciri ekologi lahan basah yang diharapkan. Tujuan alokasi air ke lahan basah diutamakan untuk kepentingan ekologis atau berkaitan dengan praktek penggunaan secara bijaksana, seperti untuk perikanan. Masalah pengelolaan air harus dinyatakan dalam istilah yang dapat dihitung Ramsar, 2002. Kondisi hidrologi merupakan faktor yang sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi lahan basah, walaupun hubungan sebab akibat yang sederhana namun sulit untuk dipertahankan. Kualitas air merupakan hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan lahan basah. Lahan basah memiliki kemampuan untuk merusak kualitas air melalui absorsi kelebihan nutrien dan sedimen. Praktek pengelolaan harus mempertimbangkan dampak dari kualitas air terhadap nilai dari lahan basah seperti salinitas, kekeruhan, hara, 26 oksigen terlarut, pestisida, keasaman dan indikator kimia lainnya yang berdampak terhadap flora dan fauna di lahan basah NSW, 2004. Dalam perencanaan tata ruang kawasan transmigrasi, ketiga komponen utama tersebut harus disesuaikan dengan pola-pola perencanaan penggunaan lahan land use planning. Hal ini seperti dikemukakan oleh Sitorus 2003a, bahwa dalam tahapan pembangunan, penting terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui potensi pengembangan lahan, daya dukung lahan dan manfaat lahan. Perencanaan penggunaan lahan adalah proses yang dimulai dari inventarisasi kondisi lahan, penilaian terhadap faktor pembentuk tanah, memprediksi potensi pemanfaatannya, serta penilaian terhadap kesesuaian atau kemampuan dan nilai lahan land value dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatasnya. Analisis ini menghasilkan daya dukung lahan kualitas lahan. Selanjutnya daya dukung lahan ini diprediksi ke depan dengan mempertimbangkan aspek pemanfaatannya untuk berbagai kegiatan ekonomi, sosial dan pengembangan wilayah, yang pada akhirnya dapat merekomendasikan kesesuaian lahan untuk suatu penggunaan pemanfaatan ruang. Sitorus 2003 menyatakan bahwa pembangunan wilayah berkelanjutan erat kaitannya dengan rencana pemanfaatan lahan ruang yang diwujudkan melalui keterkaitan pengelolaan yang tepat antara sumberdaya alam, dengan aspek sosial ekonomi dan budaya. Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang dan tempat. Ketersediaan sumberdaya lahan sebagai ruang dimanapun selalu terbatas. Artinya berbagai unsur pembentuk lahan dan unsur pembentuk kesuburan tanah ini mempunyai keterbatasan baik kualitasnya maupun potensinya. Tingkat produktivitas sumberdaya lahan yang tersedia maupun kualitas lahan di masing- masing lokasi juga berbeda. Bila pemanfaatan sumberdaya lahan ini tidak diatur dan direncanakan dengan baik, maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan 27 manfaat sumberdaya lahan, dan lebih jauh akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Nilai ekonomis yang diharapkan bagi pengembangan wilayah tidak akan tercapai dan yang akan terjadi malah kerusakan lingkungan baik renewable maupun yang non-renewable. Sebaliknya, bila ada pengaturan dalam bentuk rencana tata ruang melalui optimasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan yang ada dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah, dan memprediksi pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang akan tercapai sinergi antar berbagai jenis kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan estetika wilayah. Pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis mengoptimasikan pemanfaatan sumberdaya alam, buatan dan lingkungan mempunyai tujuan agar terjadi pengembangan wilayah yang terus berlanjut secara berkesinambungan Djakapermana et al., 2002. Sitorus 2004a menyatakan pentingnya upaya perencanaan penggunaan lahan land use planning. Perencanaan penggunaan lahan ini sangat penting utuk mengetahui optimasi daya dukung dan manfaat lahan setelah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaankondisi lahan status, potensi, dan pembatas- pembatas suatu daerah tertentu dan sumberdayanya yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan yang lainnya yang menghendaki agar daerah tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ruang kegiatan dimasa yang akan datang. Keadaan ini menunjukan suatu proses analisis yang menghasilkan optimasi pemanfaatan lahan dan dapat dijadikan sebagai masukan untuk proses penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Sitorus 2004b manfaat yang mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi nilai ekonominya. Kelayakan penggunaan lahan dapat digambarkan menurut taraf imbangan daya biofisik lahan dengan permintaan pengguna lahan akan keadaan biofisik lahan. Gambaran perimbangan antara penawaran dan permintaan ciri mutu lahan tersebut oleh Melitz 1986 disebut “supply demand-sufficiency model”. Berdasarkan acuan dalam hal pertanian tersebut, tingkat kelayakan penggunaan 28 lahan dapat berubah-ubah menuruti perubahan macam danatau intensitas penggunaan lahan. Analisis pemanfaatan ruang harus terpadu, menyeluruh, mencakup pertimbangan aspek waktu, modal, optimasi daya dukung lingkungan, daya tampung lingkungan, dan geopolitik. Oleh karena itu, prinsip dasar dalam pemanfaatan ruang adalah mewujudkan keterpaduan program, mencegah perbenturan kepentingan yang merugikan kegiatan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat dalam penggunaan sumberdaya alam UU No. 262007. Beberapa model yang memberikan dukungan terhadap pentingnya pertimbangan optimasi pengelolaan sumberdaya alam dan buatan untuk tujuan peningkatan ekonomi wilayah juga dikemukakan oleh McCann 2001 dan Rustiadi et al. 2004. Keduanya memberikan pandangan yang hampir sama bahwa perlu ada kegiatan yang terspesialisasi, terkonsentrasi dan terlokalisasi dalam pengelolaan pemanfaatan ruang dalam sistem wilayah yang akan memberikan keuntungan ekonomi dan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan wilayah. Rustiadi et al. 2004 mengatakan bahwa perlu ada koordinasi yang sifatnya lintas wilayah yang baik di era otonomi ini dan penyesuaian dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan rencana tata ruang wilayah. Pernyataan ini memberikan gambaran perlu ada kebijakan atau langkah penyesuaian terlebih dahulu untuk dapat melaksanakan rencana tata ruang yang telah disusun. Kebijakan untuk melaksanakan suatu rencana tata ruang harus disusun dalam suatu langkah dengan urutan prioritasnya. Di beberapa negara, kebijakan pemanfaatan ruang dibuat dengan melalui penyusunan serangkaian langkah kebijakan dengan mengoperasionalisasikan rencana tata ruang Djakapermana, 2006. Rencana tata ruang sebagai acuan makro, sedangkan langkah operasionalisasinya sering disebut sebagai kebijakan strategis pembangunan master plan. Master plan atau rencana induk pembangunan wilayah, biasanya berisi langkah kebijakan strategis sektor yang mengacu pada rencana tata ruang wilayah. Dalam perspektif holistik, ketika menyusun kebijakan dalam operasionalisasi rencana tata ruang harus difokuskan pada tiga hal Bastian, 2001 29 yaitu: 1 struktur, proses dan kesempatan, 2 aspek alokasi ruang kegiatan pemanfaatan ruang dan hirarkinya, dan 3 aspek kompleksitas dari berbagai faktor perbedaan dari suatu lansekap. Dari uraian sebelumnya dapat dibuat kesimpulan bahwa dukungan teori menyatakan perlunya suatu kebijakan dan strategi dalam mengoperasionalisasikan rencana tata ruang. Rencana tata ruang masih sulit untuk dapat ditindaklanjuti dan dijabarkan secara langsung dalam langkah-langkah pelaksanaan pembangunan. Masih diperlukan langkah lanjutan untuk mendisain suatu kebijakan dan strategi sebagai alat operasional dari rencana tata ruang. Pernyataan dan fakta ini turut memperkuat premis perlunya ada penelitian lanjutan yang mengedepankan perlunya ada kebijakan yang lebih operasional dan dapat langsung mengoperasionalkan rencana tata ruang. Hal ini agar dapat memberikan acuan pelaksanaan pembangunan dan investasi yang mengacu pada rencana tata ruang, khususnya dalam pemanfaatan ruang Djakapermana, 2006. Kebijakan operasionalisasi rencana tata ruang merupakan alat bantu untuk membuat pilihan keputusan para pembuat kebijakan pembangunan. Dalam siklus pengambilan keputusan, untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk alternatif kebijakan dan prioritas untuk optimasi pemanfaatan ruang wilayah diperlukan alat penyusunan kebijakan. Keputusan kebijakan ini dioperasionalkan menjadi langkah-langkah aksi, dan selanjutnya dapat menjadi data dan informasi untuk diolah menjadi kebijakan-kebijakan berikutnya. Untuk menghasilkan pilihan kebijakan prioritas tidak hanya ditetapkan oleh unsur pemerintah saja tetapi juga melibatkan masyarakat termasuk para pengusaha.

2.3 Pengembangan Kawasan Transmigrasi