29 yaitu: 1 struktur, proses dan kesempatan, 2 aspek alokasi ruang kegiatan
pemanfaatan ruang dan hirarkinya, dan 3 aspek kompleksitas dari berbagai faktor perbedaan dari suatu lansekap. Dari uraian sebelumnya dapat dibuat
kesimpulan bahwa dukungan teori menyatakan perlunya suatu kebijakan dan strategi dalam mengoperasionalisasikan rencana tata ruang. Rencana tata ruang
masih sulit untuk dapat ditindaklanjuti dan dijabarkan secara langsung dalam langkah-langkah pelaksanaan pembangunan. Masih diperlukan langkah lanjutan
untuk mendisain suatu kebijakan dan strategi sebagai alat operasional dari rencana tata ruang. Pernyataan dan fakta ini turut memperkuat premis perlunya ada
penelitian lanjutan yang mengedepankan perlunya ada kebijakan yang lebih operasional dan dapat langsung mengoperasionalkan rencana tata ruang. Hal ini
agar dapat memberikan acuan pelaksanaan pembangunan dan investasi yang mengacu pada rencana tata ruang, khususnya dalam pemanfaatan ruang
Djakapermana, 2006. Kebijakan operasionalisasi rencana tata ruang merupakan alat bantu untuk
membuat pilihan keputusan para pembuat kebijakan pembangunan. Dalam siklus pengambilan keputusan, untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk alternatif
kebijakan dan prioritas untuk optimasi pemanfaatan ruang wilayah diperlukan alat penyusunan kebijakan. Keputusan kebijakan ini dioperasionalkan menjadi
langkah-langkah aksi, dan selanjutnya dapat menjadi data dan informasi untuk diolah menjadi kebijakan-kebijakan berikutnya. Untuk menghasilkan pilihan
kebijakan prioritas tidak hanya ditetapkan oleh unsur pemerintah saja tetapi juga melibatkan masyarakat termasuk para pengusaha.
2.3 Pengembangan Kawasan Transmigrasi
Pembangunan transmigrasi pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan daerah, sebagai upaya untuk
mempercepat pembangunan terutama di kawasan yang masih terisolirtertinggal yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan
masyarakat sekitar. Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 2 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
30 transmigrasi, yang menyebutkan bahwa tujuan pembangunan transmigrasi yaitu:
meningkatkan kesejahteraan
transmigrasi dan
masyarakat sekitarnya,
meningkatkan dan pemerataan pembangunan daerah, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Perjalanan panjang pembangunan transmigrasi di Indonesia diwarnai dengan berbagai perubahan yang mengindikasikan adanya kemauan pemerintah
untuk senantiasa melakukan perbaikan agar transmigrasi selalu relevan sebagai metode pembangunan dan selaras dengan kondisi lingkungan strategis. Salah satu
perubahan mendasar pada tataran kebijakan dapat dilihat pada tujuan penyelenggaraan transmigrasi. Pada masa awal kemerdekaan hingga awal tahun
1980-an, transmigrasi dilaksanakan dengan orientasi lebih pada penyelesaian sebagian dari persoalan demografis. Ketimpangan persebaran penduduk antar
pulau dilihat sebagai suatu persoalan yang perlu segera diatasi. Mulai pertengahan tahun 1980-an, meskipun masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 tahun
1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok transmigrasi, berbagai upaya telah dilakukan untuk menggeser orientasi pembangunan transmigrasi lebih ke arah
ekonomi. Hal ini ditandai dengan dikembangkannya transmigrasi dalam berbagai pola usaha yang didasarkan atas potensi sumberdaya yang ada sebagai sumber
mata pencaharian utama transmigran Wibowo, 2002. Di akhir tahun 1990-an, orientasi transmigrasi telah mengalami perubahan
secara formal dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 tahun 1997 tentang transmigrasi. Berdasarkan undang-undang tersebut, terdapat tiga indikator
keberhasilan pengelolaan kawasan transmigrasi. Pertama, transmigrasi harus dapat meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya. Kedua,
transmigrasi harus dapat meningkatkan dan memeratakan pembangunan daerah. Ketiga transmigrasi harus mampu menjadi sarana untuk memperkukuh kesatuan
persatuan bangsa. Tujuan transmigrasi sudah mengakomodasi dan sesuai dengan azas desentralisasi. Sasarannya adalah masyarakat dan kawasan transmigrasi
secara ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan melalui: peningkatan kemampuan dan produktivitas masyarakat
transmigran, pembangunan kemandirian, serta integrasi masyarakat di permukiman transmigrasi.
31 Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan
sebagai pendekatan
untuk mendukung
pembangunan daerah,
melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan
kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung maupun tidak langsung. Kebijakan
transmigrasi diarahkan pada tiga hal pokok yaitu: 1 Penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat
tinggal yang layak; 2 Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja; 3 Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan
perpindahan penduduk Anharudin et al., 2003. Menurut UU Nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan PP
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, kegiatan penyelenggaraan transmigrasi yang menyebar diseluruh wilayah nusantara
merupakan bagian dari pembangunan daerah, utamanya dalam bidang pertanian dalam arti luas dengan mewujudkan desa-desa pertanian dan suatu pusat
pertumbuhan wilayah baru, atau untuk mendukung percepatan perkembangan pusat pertumbuhan yang telah ada atau yang sedang berkembang. Masing-masing
desa pertanian dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung, dan saling berhubungan dalam tatanan jaringan jalan, yang tersimpul pada pusat
pertumbuhan sehingga akan membentuk Satuan Kawasan Pengembangan yang menjadi wilayah pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya dengan terciptanya
kesempatan kerja dan peluang usaha, baik usaha di sektor primer, sekunder maupun tersier dengan pola usaha yang sesuai akan dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitar, yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan harkat, martabat dan kualitas hidup
bangsa Indonesia. Kebijakan transmigrasi seperti yang tertuang dalam UU dan PP tersebut masih relevan di era otonomi daerah ini, meskipun dalam pelaksanaannya
diperlukan adanya penyesuaian agar sejalan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang ditetapkan tujuh tahun kemudian.
Pembangunan kawasan transmigrasi pada dasarnya melibatkan tiga matra yang saling berinteraksi, yaitu matra ruang, matra sumberdaya manusia, dan matra
kegiatan usaha. Interaksi ketiganya diharapkan akan menghasilkan peningkatan
32 kesejahteraan penduduk, keseimbangan pertumbuhan ekonomi, penduduk,
lingkungan, harmonisasi-sosial serta keserasian-budaya antar wilayah, baik secara regional maupun nasional. Dalam lingkup lokal, pembangunan kawasan
transmigrasi dapat mendorong perkembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang sudah ada atau membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Secara umum kawasan transmigrasi memiliki pengertian: kawasan budidaya intensif untuk menampung perpindahan penduduk secara menetap
dalam jumlah besar dengan susunan fungsi-fungsi sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, sosial dan kegiatan ekonomi untuk menumbuhkan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Dalam pelaksanaannya, kawasan transmigrasi memiliki pengertian: 1 satu kesatuan hamparan lahan dalam kawasan budidaya
dalam wilayah otonom, 2 terdiri atas permukiman transmigrasi yang ada PTA, permukiman transmigrasi yang telah diserahkan PTD, permukiman
transmigrasi baru PTB, permukiman desa setempat PDS dan areal potensial sebagai permukiman transmigrasi cadangan PTC, 3 berpotensi untuk
pengembangan komoditi unggulan yang memenuhi skala ekonomi, 4 terhubungkan dalam satu kesatuan jaringan transportasi yang dapat merangsang
tumbuhnya pusat pertumbuhan ekonomi, dan 5 tersedianya sarana dan prasarana penunjang ekonomi, sosial dan budaya. Permukiman transmigrasi merupakan satu
kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman yang diperuntukkan bagi tempat tinggal dan tempat usaha transmigran.
Visi pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi adalah terwujudnya kawasan transmigrasi sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di
daerah, sesuai kebutuhan pengembangan daerah yang bersangkutan secara berkesinambungan dan peduli lingkungan. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka
ditetapkan misi pembangunan kawasan transmigrasi: 1 membangun kawasan transmigrasi yang cepat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, 2
memberdayakan masyarakat di kawasan transmigrasi, 3 mempercepat pembangunan ekonomi perdesaan yang berbasis masyarakat, dan 4 membantu
pengentasan kemiskinan. Mengacu pada Undang-undang No. 15
Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1999 tentang
33 penyelenggaraan
transmigrasi, dapat
dikemukakan sasaran
dan arah
penyelenggaraan transmigrasi. Sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah 1 meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat transmigrasi, 2
membangun kemandirian dan 3 mewujudkan integrasi di permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan
berkembang secara berkelanjutan. Arah penyelenggaraan transmigrasi adalah: 1 penataan persebaran penduduk yang serasi dan seimbang dengan daya dukung
alam dan daya tampung lingkungan, 2 peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan 3 perwujudan integrasi masyarakat.
Beberapa hal pokok yang menjadi konsep pengembangan kawasan transmigrasi dalam konteks menjalankan misi pembangunan transmigrasi, yaitu:
1 pengembangan akan meliputi seluruh unit permukiman dalam kawasan, baik permukiman transmigrasi, permukiman penduduk tempatan dan areal potensial
sebagai calon permukiman, 2 mewujudkan kemudahan interaksi antar unit-unit permukiman, dan dari unit-unit permukiman ke pusat pertumbuhan ekonomi yang
diusulkan, baik langsung maupun secara berjenjang, 3 mengembangkan komoditi potensialunggulan di seluruh kawasan dengan pendekatan sistem
agribisnis melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan menarik investor kemitraan untuk pengembangan komoditi yang memerlukan investasi besar, 4
mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada melalui: pembukaan lahan usaha II yang masih merupakan lahan tidur, pembukaan lahan tidur penduduk desa sekitar,
dan membuka areal produksi baru pada areal potensial dengan memperhatikan prinsip clean and clear dan catur layak, layak huni, layak usaha, layak
berkembang dan layak lingkungan dan 5 setiap program pemberdayaan transmigran selalu melibatkan masyarakat desa sekitar.
Beberapa kebijakan mengenai pemberdayaan sumberdaya kawasan transmigrasi antara lain adalah : pengembangan kawasan transmigrasi tidak
merupakan kegiatan yang enclave melainkan memiliki keterkaitan fungsional dengan kawasan lain; pendekatan sosial budaya untuk mewujudkan keserasian
kehidupan antar pendatang dengan penduduk setempat merupakan pertimbangan dasar dalam seluruh proses pembangunan dan pengembangan kawasan
transmigrasi; pembangunan kawasan transmigrasi dilaksanakan melalui
34 pendekatan pembangunan kawasan terpadu integrated area development;
pembangunan kawasan transmigrasi dikemas dengan strategi pembangunan perdesaan yang dipercepat melalui pengembangan kegiatan usaha yang berbasis
masyarakat ekonomi kerakyatan seperti pengembangan agribisnis dan atau aquabisnis berdasarkan potensi sumberdaya alam masing-masing; dan
pengembangan dan pembangunan kawasan transmigrasi tidak lagi menerapkan perlakuan standardisasi untuk setiap lokasi.
Kawasan kawasan transmigrasi yang telah dikembangkan di seluruh pelosok Indonesia luar Jawa dan Bali sebagian kecil diantaranya sudah
berkembang dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru tetapi sebagian besar masih memerlukan upaya penanganan agar dapat berkembang menjadi sentra-
sentra produksi dan memiliki keterkaitan kegiatan hulu-hilir yang selanjutnya dapat menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru, sesuai dengan cita-cita
pembangunan transmigrasi seperti tercantum pada UU nomor 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian dan PP nomor 2 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
transmigrasi, yang
menyebutkan bahwa
peningkatan dan
pemerataan pembangunan daerah diwujudkan melalui pembangunan pusat pertumbuhan
wilayah baru. Kedepan kinerja pembangunan transmigrasi perlu terus ditingkatkan
dengan menuntaskan berbagai masalah yang masih melekat pada berbagai lokasi yang ada serta melaksanakan pembangunan lokasi baru yang keberhasilannya
lebih terjamin dengan cara: 1
Memperbaiki dan meningkatkan kondisi UPT yang telah ada khususnya UPT yang bermasalah dalam bentuk pemenuhan paket standar pembangunan dan
pembinaan permukiman, rehabilitasi dan peningkatan kualitas prasarana dan sarana maupun upaya-upaya lain yang berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat termasuk penyelesaian masalah tanah yang memiliki kekuatan hukum keputusan pengadilaninstansi berwenang.
2 Mendorong terwujudnya pengembangan permukiman transmigrasi dalam
satuan kawasan, dengan pengembangan manajemen di tingkat kawasan, pengembangan prasarana, sarana dan berbagai fasilitas untuk kepentingan
pengembangan berbagai kegiatan usaha dari hulu sampai hilir.
35 3
Mendorong pelaksanaan kewenangan dan tanggung-jawab yang lebih besar pada pemerintah kabupaten dalam proses pembangunan
4 Perencanaan pemberdayaan masyarakat disusun dengan pendekatan
kewilayahan secara terpadu yang diarahkan kepada pengembangan komoditi unggulan.
Berlakunya otonomi
daerah menuntut
tatacara penyelenggaraan
transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip
demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah Anharudin et al.,
2003. Pembangunan transmigrasi pada masa otonomi daerah lebih diutamakan
kearah pembangunan dan pengembangan wilayah pembangunan kewilayahan dengan upaya membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Karena pembangunan transmigrasi berkaitan dengan upaya pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam lahan, maka transmigrasi dipandang sebagai sektor
pembangunan yang secara langsung berkaitan dengan upaya pembentukan pusat- pusat pertumbuhan ekonomi wilayah.
Konsep pertumbuhan wilayah, atau pengembangan wilayah mengacu pada kemajuan, dan indikator kemajuan itu sendiri sangat luas. Kemajuan suatu
wilayah ditandai dengan banyak hal, tapi yang paling penting adalah semakin banyaknya kegiatan usaha dan produktifitas masyarakatnya, yang kemudian
berimplikasi pada peningkatan pendapatan, daya beli, dan akumulasi kapital, baik pada tingkat lokal maupun regional. Kemajuan ekonomi ini kemudian membawa
implikasi pada kemajuan sosial dan kultural, yang ditandai oleh semakin bertambahnya infrastruktur dan layanan jasa masyarakat Saleh, 2005. Tahap
akhir dari rangkaian kegiatan penyelenggaraan transmigrasi adalah pemberdayaan masyarakat transmigrasi, sehingga seringkali dijadikan sebagai tolok ukur
keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi. Penekanan pemberdayaan masyarakat transmigrasi adalah pada kegiatan ekonomi dan sosial budaya yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui tingkat pendapatan yang layak untuk hidup di unit permukiman transmigrasi, masyarakat hidup secara harmonis
36 tumbuh dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan atau kawasan ekonomi
sehingga mampu memberi konstribusi bagi pembangunan dan pengembangan wilayah Tulie, 2001.
Berbagai penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut telah dilakukan oleh Pusat Litbang Ketransmigrasian, antara lain studi kualitas sumberdaya
manusia di unit permukiman transmigrasi Priyono et al., 2001, studi penetapan kriteria keberhasilan transmigrasi Wibowo et al., 2001, dan studi kontribusi
transmigrasi terhadap pembangunan daerah Santoso et al., 2003. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa indikator yang dapat dijadikan petunjuk
pencapaian sebagian tujuan transmigrasi. Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan indikator keberhasilan unit permukiman transmigrasi UPT melalui
Keputusan Menteri No. 06 tahun 1999 tentang tingkat perkembangan unit permukiman transmigrasi.
Dalam rangka desentralisasi, mulai tahun 2003 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Depnakertrans mengembangkan pengelolaan keuangan
dengan azas perbantuan menyusul azas dekonsentrasi yang sudah berjalan hingga tahun 2002. Dengan azas dekonsentrasi, Depnakertrans telah melimpahkan
sebagian kewenangannya beserta pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN ke daerah yang mempunyai program ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian melalui Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sedangkan dalam kerangka azas perbantuan, Depnakertrans melimpahkan
sebagian kewenangannya beserta pengalokasian APBN langsung kepada pemerintah kabupaten dan kota yang mempunyai program ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian. Pengembangan kawasan transmigrasi tidak dapat dilaksanakan hanya oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, namun perlu didukung oleh sektor- sektor terkait, masyarakat serta investor. Untuk pengembangan kawasan
transmigrasi yang melibatkan seluruh stakeholders diperlukan beberapa strategi, agar pengembangannya dapat lebih partisipatif, holistik dan berkesinambungan,
diantaranya : 1. Pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi diarahkan sebagai
pusat produksi pertanian dan pusat agribisnis yang berorientasi pada kekuatan
37 pasar market driven. Orientasi pengembangan perlu dirancang untuk dapat
berperan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat menembus tingkat pasar, yang terdiri dari pasar lokal kabupatenkota, regional
provinsi dan sentral negara, dan pasar ekspor global. Pengembangan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat agar mampu mengembangkan
usaha komoditi unggulan berdasarkan kesesuaian agroklimat dan kondisi sosial budaya daerah. Pemberdayaan masyarakat tidak saja diarahkan pada
upaya peningkatan produksi komoditi pertanian unggulan, tetapi juga pada pengembangan usaha agribisnis lainnya, misalnya yang mendukung usaha
agribisnis hulu agroinput, agribisnis hilir pemasaran, pengolahan hasil, sortasi dan grading serta industri jasa dan pelayanan.
2. Pengembangan sarana dan prasarana, kawasan yang dibutuhkan untuk peningkatan produksi dan pelayanan masyarakat, seperti jaringan jalan,
pengairan irigasi, penyediaan air bersih untuk permukiman, sistem transportasi, telekomunikasi, pasar, gudang, dan kegiatan-kegiatan untuk
memperlancar pengangkutan hasil pertanian ke pasar secara efisien dengan resiko minimal.
3. Deregulasi yang berhubungan dengan penciptaan iklim kondusif bagi pengembangan usaha, pengembangan ekonomi daerah dan wilayah.
Kota Terpadu Mandiri KTM adalah desa atau kawasan yang tumbuh dan berkembang sebagai pusat koleksi, pengolahan hasil, distribusi dan jasa dari
Wilayah Pengembangan Transmigrasi WPT yang didesain sebagai arahan pengembangan terstruktur dari unit-unit pemukiman transmigrasi dan desa-desa
sekitar dalam satu satuan jaringan infrastruktur dan satuan ekonomi wilayah, yang dalam operasionalnya dibangun secara terencana dan terpadu dengan melibatkan
lintas sektor terkait, baik Pemerintah maupun Pemerintah Daerah Provinsi dan KabupatenKota.
Konsep tata ruang kawasan KTM tidak terlepas dari tata ruang wilayah belakangnya yang merupakan pendukung tumbuhnya KTM, sehingga konsep tata
ruang kawasan KTM akan menyeluruh dan terpadu, serta terintegrasi dengan WPT. Secara garis besar tata ruang kawasan KTM akan dibentuk melalui tiga
hirarki pusat pelayanan, yaitu pusat KTM, desa utama dan pusat desa. Ketiga
38 pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan dibentuk dan berfungsi sesuai hirarkinya.
Pusat-pusat tersebut dilengkapi berbagai fasilitas yang mendukungnya, yaitu: pusat desa terdiri dari, gudang pengumpul, kios tani, lantai jemur demplot, KUD,
warungtokokios, TK, SD, balai pengobatan, rumah ibadah, listrik, telepon, air bersih, kotak pos dan ruang terbuka hijau.
Desa utama terdiri dari : fasilitas perbankan, test farm, seed farm, pasar pengumpul, koperasi, pergudanganpabrikasi barang mentah sampai setengah
jadi, tempat pembuangan limbah, industri rumah tangga, kios tani, gudang saprotan, bengkel, toko, pasar, penginapan, puskesmaspustu, TK, SD, SLP,
rumah ibadah, sarana olah raga dan ruang terbuka hijau, kantor pos pembantu, listrik, telepon, air bersih, sub terminal, perkantoran dan balai pertemuan.
Pusat KTM terdiri atas: pusat penjualan produk, pusat informasi, galeri, ruang pamer, perbankan, terminal umum dan terminal agribisnis, industri
pengolahan, pergudangan, tempat pembuangan limbah, perbengkelan, pertokoan, pasar grosir, pasar harian, hotelpenginapan, puskesmasrumah sakit tipe C, TK,
SD, SLP, SLA, balai latihan dan perpustakaan umum, listrik, telepon, rumah ibadah, sarana air bersih sarana, olah raga dan ruang terbuka hijau, perkantoran,
ruang rapat dan balai pertemuan. Proses pemberdayaan kawasan, akan terlaksana secara bertahap dengan
mengintegrasikan desa setempat yang berada di dalam kawasan yang diarahkan kepada pengembangan komoditi unggulan yang memiliki skala ekonomi, serta
mengembangkan keterkaitan dari hulu sampai hilir.
2.4 Konsep Pemodelan