Model pengembangan perkebunan karet berkelanjutan pada kawasan transmigrasi batumarta provinsi Sumatera Selatan

(1)

BERKELANJUTAN PADA KAWASAN TRANSMIGRASI

BATUMARTA

UMAR HAMZAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Model Pengembangan Perkebunan Karet Berkelanjutan Pada Kawasan Transmigrasi Batumarta Provinsi Sumatera Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Maret 2011

Umar Hamzah P. 062024154


(3)

Umar Hamzah. 2011.Model of Sustainable Smallholder Rubber Development in Batumarta Transmigration Area, South Sumatera Province. Supervised by: Santun R.P. Sitorus, Bunasor Sanim, and Hartrisari Hardjomidjojo.

The main objectives of this research are to construct a model for sustainable smallholder rubber development within upland transmigration areas. The study was conducted at Batumarta Transmigration Area, located in Kabupaten Ogan Komering Ulu and Ogan Komering Ulu Timur, South Sumatra Province. Clasification and visual analysis was used to interprete the land use change, and descriptive analyses was used to explain people perception on the land use change. Need assessment and prospective analyses was used to analyse need of stakeholders and key factors of rubber plantation development, and dynamic system was used to analyse scenario for land utilization and strategy for implementation.The results of the study reveal that: (1) Batumarta Transmigrasion Area which is formerly planned as a Transmigration Food Crops Model has shifted smoothly to Tree Crops Model with rubber as a major commodity. It is indicated by evidence in the field that rubber plant area are increasingly huge by almost 20 times in year 2010 compared to year 1978, (2) The land use change have been influenced by internal and external factor i.e farmers earning from rubber more than food crops, accessibility of market product, farmer experience in food crops was less benefit, the increase of farmers skill in rubber plant, soils are highly suitable for rubber, man-days allocation for rubber more appropriate , rubber cost production more appropriate, and riskless, (3) the land use change from other commodities to rubber begin from land clearing, food crops farming, then rubber planting activities, (4) key factors of sustainable smallholder rubber plantation development are land suitability, farmer income, and acceptability to the commodity, (5) simulation result on small holder rubber plantation in Batumarta show that man-days work per year available from farming itself in 2009 is 6,635,125 or equal to 25,520 man-power, and potential rubber production of the area is 111,252 tons or about 86% of total actual rubber production of Kabupaten Ogan Komering Ulu and Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur in year 2009, and (6) it is required the policy of increasing rubber plantation productivity and farmers capacity in sustainable farming through commodities zoning, rubber replanting and maintenance, increasing of farmers skill and knowledge, strengthening of micro economic institution, and determining of conservation areas.


(4)

Umar Hamzah. 2011. Model Pengembangan Perkebunan Karet Berkelanjutan Pada Kawasan Transmigrasi Batumarta, Provinsi Sumatera Selatan Dibimbing oleh: Santun R.P. Sitorus, Bunasor Sanim, dan Hartrisari Hardjomidjojo

Pembangunan permukiman transmigrasi di Kawasan Transmigrasi Batumarta (Baturaja-Martapura) Kabupaten OKU Provinsi Sumatera Selatan, merupakan Pilot Project bantuan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dilaksanakan dalam dua tahap yaitu IBRD I dan IBRD III dalam jangka waktu sekitar 10 tahun. Dalam periode tersebut telah dibangun sebanyak 16 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) dengan jumlah penempatan transmigran sebanyak 6.500 kepala keluarga (KK), terdiri atas 4.500 KK yang ditempatkan pada UPT I s.d. XI (IBRD I) dan 2.000 KK pada UPT XII s.d. XVI (IBRD III). Alokasi peruntukan lahan dan luas lahan yang diberikan kepada para transmigran melalui proyek IBRD I berbeda dengan proyek IBRD III yaitu 5 Ha per KK untuk IBRD I dan 3,5 Ha per KK untuk IBRD II, dan berbeda pula dengan alokasi terhadap transmigran pada lokasi TULK yang dibiayai oleh Pemerintah Indonesia melalui APBN pada umumnya yaitu rata-rata 2 Ha per KK.

Hal yang menarik dari perkembangan permukiman transmigrasi dikawasan Batumarta adalah semula pengembangannya dirancang atau termasuk kategori permukiman transmigrasi dengan pola usaha pokok tanaman pangan, tetapi saat ini seluruh persil lahan yang dibagikan yaitu Lahan Usaha I (LU I), Lahan Usaha II (LU II), Lahan Cadangan (LC), dan termasuk Lahan Pekarangan (LP) telah berkembang menjadi areal kebun karet, disamping kebun karet seluas 1 ha yang dibangun oleh Pemerintah (Proyek) untuk transmigran pada awal Proyek.

Tujuan utama penelitian adalah untuk mengetahui model pengembangan perkebunan karet yang berkelanjutan pada permukiman Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) di Kawasan Batumarta. Untuk mencapai tujuan tersebut, secara lebih spesifik dijabarkan kedalam tujuan operasional yaitu: (1) mengetahui pola perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2)

mengidentifikasi faktor kunci pengembangan perkebunan karet yang

berkelanjutan di kawasan transmigrasi, dan (3) merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengembangan perkebunan karet yang berkelanjutan di kawasan transmigrasi.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 dan bulan Desember 2009. Penelitian dilakukan pada Kawasan Transmigrasi Batumarta, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Provinsi Sumatera Selatan

Penelitian dilakukan dengan empat tahapan yaitu: (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kawasan Transmigrasi Batumarta, (2) mengidentifikasi faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder yang terkait dengan pengembangan perkebunan karet, (3) menyusun skenario pengembangan kawasan secara dinamik, dan (4) merumuskan kebijakan pengembangan perkebunan karet di kawasan transmigrasi Batumarta.

Jenis data yang dikumpulkan dikelompokkan menurut tujuan penelitian. Citra landsat dianalisis dengan metode klasifikasi dan visual untuk menganalisis


(5)

faktor kunci, dan analisis sistem dinamik dan deskriptif untuk merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengembangan usahatani.

Berdasarkan hasil pengolahan dari seri citra satelit dapat diketahui dari tahun ke tahun luas hutan semakin berkurang. Pada tahun 1978 diperkirakan luasnya 41.960 ha tersisa sekitar 1.233 atau kurang dari 3 persen pada tahun 2009. Penambahan luas perkebunan meningkat tajam dari hanya 2.600 ha pada tahun 1978 meningkat hampir 10 kali luasnya pada tahun 2001 atau sekitar 25.776 ha, dan meningkat terus menjadi 50.375 ha pada tahun 2009, atau berarti hampir 20 kali dibandingkan dengan luas tahun 1978.

Perubahan pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal kawasan maupun eksternal kawasan. Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif terhadap data kuesioner responden dan wawancara mendalam terhadap para tokoh masyarakat dan pemerintah di kawasan transmigrasi Batumarta diketahui bahwa faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah: (1) pendapatan petani dari tanaman karet lebih besar, (2) pemasaran hasil produksi yang lebih mudah, (3) pengalaman usahatani tanaman pangan yang kurang menguntungkan, (4) meningkatnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman karet, (5) kesesuaian lahan untuk tanaman karet yang sangat sesuai, (6) kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani tanaman karet yang lebih efisien, (7) biaya produksi usahatani tanaman karet lebih rendah, dan (8) resiko kegagalan produksi relatif lebih rendah.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan stakeholder di masa mendatang terkait pengembangan perkebunan karet di kawasan Batumarta, faktor yang perlu diperhatikan adalah: (1) peningkatan keterampilan usahatani bagi petani, (2) peningkatan investasi pemerintah dan swasta dalam industri perkebunan, (3) pengembangan dan penerapan teknologi, (4) infrastruktur yang memadai, (5) penguatan kelembagaan ekonomi mikro, (6) akseptabilitas masyarakat terhadap komoditi unggulan, (7) pemberdayaan masyarakat secara terpadu, dan (8) peningkatan pengetahuan masyarakat tentang manajemen agribisnis.

Hasil analisis menunjukkan terdapat 3 faktor yang merupakan kunci pemanfaatan lahan optimal di kawasan Batumarta yaitu kesesuaian lahan , keuntungan petani, dan akseptabilitas dalam mengusahakan suatu komoditi. Hasil simulasi terhadap perkembangan perkebunan karet di kawasan Batumarta adalah sebagai berikut: 1)luas areal perkebunan akan mencapai puncaknya pada tahun 2033 yaitu seluas 59,576.6 ha untuk skenario 1 (hutan yang tersisa dikonservasi), atau tahun 2036 yaitu sebesar 60,597.7 ha untuk skenario 2 (hutan yang tersisa tidak dikonservasi), 2) areal sawah akan bertambah terus sampai dari luas 10,295 ha pada tahun 2009 menjadi 14,459 ha pada tahun 2045, 3) areal lahan terbuka/semak akan terus berkurang dan habis pada tahun 2029 (skenario 1) atau tahun 2031 (skenario 2), 4) ladang/tegalan akan terus berkurang dan habis pada tahun 2034 (skenario 1) atau tahun 2036 (skenario 2), 5) Apabila tidak ada kebijakan untuk dikonservasi, hutan yang tersisa saat ini akan tinggal 20 persen (242 ha) pada tahun 2018, 6) ketersediaan HOK di sektor primer usaha perkebunan karet pada Tahun 2009 sebesar 6.635,125 HOK setara dengan 25,520 orang tenaga kerja, akan terus meningkat sampai tahun 2007/ 2028 kemudian


(6)

86% dari jumlah produksi aktual di dua kabupaten Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ulu Timur pada tahun yang sama, cenderung meningkat sampai tahun 2012 kemudian turun sampai awal tahun 2030 dan meningkat lagi sampai tahun 2042.

Rumusan kebijakan yang disepakati adalah: peningkatan produktivitas perkebunan karet dan pengembangan kapasitas petani dalam mengelola usahatani/kebun karet secara berkelanjutan melalui strategi : (1) penetapan lahan sawah permanen dan lahan perkebunan karet agar tidak dikonversi menjadi peruntukan lainnya, (2) meningkatkan upaya pemeliharaan kebun dan melakukan

peremajaan kebun pada waktunya untuk meningkatkan produksi,

(3) meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani dalam teknik budidaya, pengolahan hasil dan pemasaran produksi tanaman karet maupun tanaman pangan, (4) melakukan penguatan kelembagaan ekonomi mikro yang menunjang sektor pertanian khususnya off-farm, dan (5) penetapan areal konservasi terutama di sempadan sungai, danau, rawa atau waduk.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

BATUMARTA

Oleh:

UMAR HAMZAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

PELAKSANAAN UJIAN

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada : 20 Desember 2010

Penguji Luar komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Guru Besar Fakultas Kehutanan, IPB

2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA

Dosen Fakultas Pertanian, IPB

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada : 31 Januari 2011

Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Son Diamar, M.Sc

Staf Senior Kementerian Dalam Negeri

2. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Guru Besar Fakultas Pertanian, IPB


(10)

Sumatera Selatan Nama : Umar Hamzah

NIM : P. 062024154

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MS Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota Anggota

Diketahui:

Plh. Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Drh. Hasim. DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(11)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT sehingga penelitian dengan judul Model Pengembangan Perkebunan Karet Berkelanjutan Pada Kawasan Transmigrasi Batumarta, Provinsi Sumatera Selatan ini dapat di selesaikan dengan sebaik-baiknya.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc dan Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh dedikasi telah memberikan bimbingan dan saran demi terselesaikannya Disertasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S dan Dr. Drh. Hasim, DEA. masing-masing sebagai mantan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan moril, fasilitas, dan kebijaksanaan selama berlangsungnya penelitian hingga penulisan Disertasi ini selesai.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada jajaran Pemerintah Kabupaten OKU dan OKU Timur beserta perangkat desa, tokoh masyarakat dan para responden yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian di lapangan.

Kepada teman-teman sekolah dan seperjuangan serta semua pihak atas bantuan dan perhatian yang telah diberikan dalam seluruh rangkaian proses penyelesaian Disertasi ini diucapkan terima kasih. Khusus kepada keluarga yang telah memberikan perhatian penuh, dukungan moril dan semangat serta menemani saya dalam setiap saat, diucapkan terima kasih.

Wassalamu ’Alaikum Wr. Wb.

Bogor, Maret 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Muara Kelingi (Sumatera Selatan) pada tanggal 17 Juli 1954 sebagai anak sulung dari pasangan Ahmad Nawawi dan Murhana. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1979. Pendidikan Pascasarjana ditempuhnya pada Program Studi Magister Manajemen Agribisnis IPB, lulus pada tahun 1998. Tahun 2003 penulis meneruskan pendidikan ke jenjang S3 pada Program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Pengalaman penulis semasa mahasiswa dan sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah IPB periode 1976 – 1978 mengikuti kegiatan praktek lapang dan study tour ke eks permukiman transmigrasi Way Jepara Provinsi Lampung dan permukiman transmigrasi di Delta Upang Provinsi Sumatera Selatan telah menarik minat penulis untuk bekerja dan berkarir di bidang ketransmigrasian. Hal itu dimulainya dengan menjadi anggota tim survei tanah, vegetasi dan topografi PT Exsa International & Associates pada Proyek Penyiapan Tanah dan Permukiman Transmigrasi (PTPT) di lokasi Morowali, Kolonodale, Sulawesi Tengah (1979), kemudian menjadi anggota tim survei dan pemetaan tanah Proyek Pengembangan Pertanian Persawahan Pasang Surut (P4S) IPB untuk lokasi Air Lalan dan Mesuji Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung (1979). Selanjutnya, sejak bulan Oktober 1979 sampai dengan September 1983, penulis bekerja sebagai konsultan (PT Trans Intra Asia) yang mengerjakan proyek-proyek transmigrasi yaitu: 1) sebagai Supervisor Proyek Penyiapan Lahan Permukiman Transmigrasi (PLPT) di Mangun Jaya, Sekayu, Sumatera Selatan (September

1979 – Desember 1980) dan Soil Conservation Specialist proyek PLPT – IBRD II

di Kubang Ujo dan Kuamang Kuning, Jambi bergabung dengan Trans Asia

Engineering Consultant (USA), 2) sebagai report editor dan counterpart team

leader pada proyek-proyek perencanaan permukiman transmigrasi di lokasi-lokasi Bangkinang, Kota Tengah, Kota Lama dan Sungai Pagar (Provinsi Riau)

bekerjasama dengan ENEX of New Zealand dan di lokasi-lokasi Bingin Teluk dan

Muara Rupit Provinsi Sumatera Selatan bekerjasama dengan Pacific Consultant International (PCI) Tokyo, Jepang.

Karir penulis sebagai Pegawai Negeri Sipil di instansi ketransmigrasian dimulai dengan menjadi Pegawai Honorer di Direktorat Bina Program PANKIM (1983 – 1985), Staf Subdirektorat Penyusunan Program Direktorat Bina Program PANKIM dan Project Officer Proyek SFSE Trans II dan Trans III serta SSDP Trans V IBRD yang berkedudukan di Merauke dan Sorong, Irian Jaya (1986 – 1991), Kepala Seksi Pengolahan Hasil Pertanian pada Direktorat Bina Usaha Ekonomi (1991 – 1994), Kepala Seksi Bimbingan Pengolahan Produksi pada Direktorat Bina Usaha Ekonomi (1994 – 1995), Kepala Seksi Penyusunan Program pada Direktorat Bina Usaha Ekonomi (1995 – 1999), Kepala Bidang Usaha Ekonomi pada Kantor Wilayah DEPNAKERTRANS dan PPH Provinsi Bengkulu (1999 – 2000), Kepala Subdirektorat Daya Tampung Lingkungan pada Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk (2000 – 2001), Kepala Subdirektorat Kawasan Tertinggal DEPNAKERTRANS (2001 – 2005)

dan Kepala Subdirektorat Pemetaan Pengembangan Kawasan


(13)

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 RuangLingkup dan Batasan Penelitian... 7

1.5 Manfaat Penelitian... 7

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 8

1.7 Kebaruan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Pembangunan Berkelanjutan dan Sistem Pertanian ... 13

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan ... 16

2.3 Sistem Usahatani Lahan Kering... 21

2.4 Pengembangan Transmigrasi Umum Lahan Kering ... 30

2.5 Pengembangan Perkebunan Karet... 35

2.6 Pendekatan Sistem... 39

2.7 Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu ... 40

III. METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 45

3.2 Tahapan Penelitian ... 46

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 46

3.4 Teknik Penentuan Responden ... 48

3.5 Teknik Analisis Data ... 49

3.5.1 Analisis Pola Perubahan Penggunaan Lahan ... 49

3.5.2 Analisis Kebutuhan Stakeholder... 50

3.5.3 Analisis Prospektif... 50

3.5.4 Analisis Sistem Dinamik... 53

IV. GAMBARAN UMUM KAWASAN TRANSMIGRASI BATUMARTA 59

4.1 Sejarah Singkat Pengembangan Kawasan Transmigrasi BATUMARTA. ... 59

4.2 Kondisi Bio-geofisik ... 64

4.2.1 Letak Geografis ... 64

4.2.2 Iklim... 64

4.2.3 Fisiografi dan Bentuk Wilayah... 65

4.2.4 Geologi dan Bahan induk... 65

4.2.5 Hidrologi ... 66

4.2.6 Tanah dan Kesesuaian Lahan... 67

4.3 Kependudukan dan Sosial Budaya... 68


(14)

4.5 Perkembangan Usaha Pertanian dan Kebun Karet... 71

4.5.1. Budidaya Tanaman Pangan dan Peternakan ... 72

4.5.2. Pengembangan Areal Kebun Karet ... 73

4.5.3. Penerapan Teknologi ... 75

4.5.4. Rasionalitas Semu... 76

4.5.5. Pendapatan Petani Dari Kebun Karet ... 77

4.5.6. Fragmentasi Lahan... 79

4.5.7. Peremajaan Karet ... 79

4.6 Prediksi dan Evaluasi Erosi ... 80

4.6.1. Cara perhitungan dan Asumsi yang digunakan... 81

4.6.2. Hasil Perhitungan ... 86

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 93

5.1 Pola Perubahan Penggunaan Lahan ... 93

5.2 Kebutuhan Stakeholder Dalam Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 107

5.3 Faktor Kunci Pengembangan Karet Berkelanjutan... 109

5.4 Pemodelan Perkebunan Karet Berkelanjutan... 110

5.4.1 Identifikasi Sistem ... 111

5.4.2 Struktur Model Penduduk ... 112

5.4.3 Simulasi ... 114

5.4.3.1. Simulasi Penduduk ... 114

5.4.3.2. Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan dan Skenario Pengembangan Perkebunan... 116

5.4.3.3. Perbandingan Keuntungan Antara Pengusahaan Tanaman Pangan, Kebun Karet dan Tumpangsari (karet+tanaman pangan) Pada Areal Simulasi ... 129

5.4.4. Validasi Model. ... 132

5.4.5. Arahan Kebijakan ... 134

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

6.1 Kesimpulan ... 137

6.2 Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139


(15)

Halaman 1 Luas dan Penyebaran Lahan Kering dengan Berbagai Kelas

Kemiringan Pada Empat Pulau Utama di Indonesia ... 22

2 Luas dan Penyebaran Lima Jenis Tanah Utama dengan Kemiringan Lereng Kurang dari 15 Persen pada Empat Pulau Utama di Luar Jawa ... 22

3 Tujuan penelitian, jenis data yang diperlukan dan cara pengumpulan data dan Teknik Analisis Data ... 47

4 Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan... 52

5 Jumlah penempatan pokok transmigran yang dirinci menurut masing- masing UPT di Batumarta Kab. OKU ... 61

6 Luasan lahan pertanian yang diberikan kepada transmigran di kawasan Batumarta ... 61

7 Wilayah Kecamatan dan Desa dalam Kawasan Transmigrasi Batumarta... 62

8 Keragaan Jumlah Penduduk di Kawasan Transmigrasi Batumarta ... 70

9 Persentase Perubahan Kepemilikan Lahan Saat Ini dan Kisaran Pendapatan Kelompok Responden di Kawasan Batumarta ... 79

10 Erosivitas Hujan Bulanan dan Erosivitas Hujan Setahun di Lokasi Penelitian ... 83

11 Kode Struktur Tanah ... 83

12 Kode Permeabilitas Profil Tanah ... 84

13 Nilai Erodibilitas Tanah (K) tanah-tanah di Lokasi Penelitian... 84

14 Penilaian kelas kelerengan (LS)... 85

15 Besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan di Lokasi Penelitian... 86

16 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi (Hammer, 1981, dalam Arsyad, 2010)... 87

17 Sebaran Indeks Bahaya Erosi (IBE) di Kawasan Batumarta Menurut Penggunaan Lahan Tahun 2009... 88

18 Tingkat bahaya erosi berdasar tebal solum tanah dan besarnya bahaya erosi (jumlah erosi maksimum, A) ... 89

19 Sebaran Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di kawasan Batumarta Menurut Penggunaan Lahan Tahun 2009... 90

20 Perubahan Penggunaan Lahan pada Kawasan Batumarta Periode Tahun 1978 – 2009 (ha) ... 95


(16)

21 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Hutan menjadi Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009

(Persentase)... 103 22 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Semak menjadi Penggunaan

Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009

(Persentase)... 104 23 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Ladang menjadi Penggunaan

Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009

(Persentase)... 104 24 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Sawah menjadi Penggunaan

Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, 2001-2009

(Persentase)... 105 25 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Lain menjadi Kebun Periode

Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009 (Persentase)... 106 26 Keragaan Pemanfaatan Lahan Pekarangan Menurut Kelompok

Responden... 106 27 Gabungan faktor penentu pengembangan perkebunan karet di

kawasan transmigrasi Batumarta ... 109 28 Proyeksi Perkembangan Penduduk sampai Tahun 2028... 115 29 Perkembangan Penduduk di 16 Desa Eks UPT Transmigrasi

Batumarta Sejak Penempatan Hingga Saat ini ... 116 30 Proyeksi Kepemilikan Kebun per KK di Kawasan Batumarta

Skenario 1 dan 2 (2009 – 2028)... 123 31 Proyeksi Ketersediaan HOK dan Produksi Karet di Kawasan

Batumarta tahun 2009 – 2045... 126 32 Proyeksi Pendapatan dari Pengusahaan Lahan Konversi dengan

Tanaman Pangan (padi+jagung), Kebun Karet, dan Kebun Karet

dengan Tumpangsari ... 131

33 Perbandingan Jumlah Penduduk Aktual dan Hasil Simulasi tahun


(17)

Halaman 1 Kerangka Pikir Penelitian... 10 2 Lokasi Penelitian... 45 3 Tahapan penelitian ... 46 4 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem

(Godet, 1999) ... 51 5 Tahapan pemodelan sistem dinamik ... 54 6 Sketsa awal rencana tata ruang permukiman dan penggunaan lahan

kawasan BATUMARTA ... 60 7 Peta Indeks Bahaya Erosi di Kawasan Batumarta ... 89

8 Peta Sebaran Tingkat Bahaya Erosi Wilayah Penelitian... 91

9 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada

Tahun 1978 ... 96

10 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada

Tahun 1992 ... 97

11 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada

Tahun 1994 ... 98

12 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta Pada

Tahun 2001 ... 99

13 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada

Tahun 2003 ... 100

14 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada

Tahun 2004 ... 101

15 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada

Tahun 2009 ... 102 16 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor kunci... 110

17 Diagram black-box pengembangan perkebunan karet di kawasan

transmigrasi Batumarta... 112 18 Diagram lingkar model penduduk... 113

19 Proyeksi perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan,

ladang/tegalan dan lahan terbuka/semak pada skenario 1 (2009

-2028)... 121

20 Proyeksi perubahan penggunaan lahan permukiman, badan air dan


(18)

21 Proyeksi perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan, ladang/tegalan dan lahan terbuka/semak pada skenario 2 (2009 –

2028)... 122

22 Proyeksi perubahan penggunaan lahan permukiman, badan air dan

sawah pada skenario 2 (2009 – 2028) ... 122

23 Proyeksi Kebutuhan HOK dari Perkebunan Karet di Kawasan

Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 1)... 127

24 Proyeksi Potensi Produksi Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009

– 2045 (Skenario 1) ... 127

25 Proyeksi Kebutuhan HOK dari Perkebunan Karet di Kawasan

Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 2)... 127

26 Proyeksi Potensi Produksi Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009

– 2045 (Skenario 2) ... 128

27 Proyeksi Penggunaan Lahan Perkebunan pada Skenario 1 dan

Skenario 2 ... 129

28 Proyeksi Pendapatan dari Pengusahaan Lahan Konversi dengan

Tanaman Pangan (padi+jagung), Kebun Karet, dan Kebun Karet

dengan Tumpangsari (padi+jagung) ... 132


(19)

Halaman

1 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di

Kabupaten OKU, Tahun 2008 ... 150

2 Jumlah Penduduk, Jumlah Desa dan Luas Kecamatan menurut

Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Tahun 2008 ... 150

3 Luas Pengunaan Tanah di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Tahun

2008 ... 151

4 Luas Penggunaan Tanah di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur,

Tahun 2008 ... 151

5 Luas Panen, Produksi, dan Rata-rata Produksi Tanaman Padi Sawah

di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Tahun 2008 ... 152

6 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Tanaman Padi Sawah

di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Tahun 2008 ... 152

7 Luas Panen, Produksi, dan Rata-rata Produksi Tanaman Padi Ladang

di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Tahun 2008 ... 153

8 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Tanaman Padi Ladang

di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Tahun 2008 ... 153

9 Luas Panen dan Produksi Kebun Karet Rakyat di Kabupaten Ogan

Komering Ulu, Tahun 2008 ... 154

10 Luas Panen dan Produksi Kebun Karet Rakyat di Kab, OKU Timur,

Tahun 2008 ... 154

11 Tabel Nilai Faktor Kedalaman 30 Sub-Order Tanah (Hammer,

1981)... 155 12 Tabel Nilai Faktor C (Pengelolaan Tanaman) ... 156

13 Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta

Tahun 1978 – 2009... 157

14 Grafik Pola Perubahan Penggunaan Lahan Hutan menjadi

Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978 – 1992, 1992 – 2001

dan 2001 - 2009 (Persentase)... 157

15 Grafik Pola Perubahan Penggunaan Lahan Semak menjadi

Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978 – 1992, 1992 – 2001

dan 2001 - 2009 (Persentase)... 158

16 Grafik Pola Perubahan Penggunaan Lahan Ladang menjadi

Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978 – 1992, 1992 – 2001

dan 2001 - 2009 (Persentase)... 158


(20)

17 Grafik Pola Perubahan Penggunaan Lahan Sawah menjadi Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978 – 1992, 1992 – 2001

dan 2001 - 2009 (Persentase)... 158

18 Grafik Pola Perubahan Penggunaan Lahan Lain menjadi Kebun

Periode Tahun 1978 – 1992, 1992 – 2001 dan 2001 - 2009

(Persentase)... 159

19 Grafik Pola Perubahan Penggunaan Lahan di Seluruh Desa dan Eks

UPT dalam Kawasan Batumarta... 159

20 Jumlah Penduduk dan Keluarga di Dalam Kawasan Batumarta ... 160

21 Data Proyeksi Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Batumarta

Tahun 2009 – 2045 (Skenario I : Hutan dikonservasi) ... 161

22 Data Proyeksi Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Batumarta

Tahun 2009 – 2045 (Skenario 2 : Hutan tidak dikonservasi) ... 162

23 Grafik Prakiraan Sebaran Umur dan Luas Tanam Karet di Kawasan

Batumarta Tahun 2009 ... 164 24 Tabel Analisis Usahatani Kebun Karet (1 ha) ... 165

25 Data Proyeksi Sebaran Umur dan Luas Tanam Karet di Kawasan

Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 1)... 168

26 Proyeksi Kebutuhan HOK dari Perkebunan Karet di Kawasan

Batumarta Tahun 2009 – 2045(Skenario 1)... 171

27 Proyeksi Potensi Produksi Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009

– 2045 (Skenario 1) ... 174

28 Data Proyeksi Sebaran Umur dan Luas Tanam Karet di Kawasan

Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 2)... 177

29 Proyeksi Kebutuhan HOK dari Perkebunan Karet di Kawasan

Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 2)... 180

30 Proyeksi Potensi Produksi Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009

– 2045 (Skenario 2) ... 183

31 Tabel Analisis Usahatani Padi Gogo per Ha di Lahan Kering (1 MT) 186

32 Tabel Analisis Usahatani Jagung Varietas Sukmaraga per Hektar (1

MT)... 187

33 Tabel Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Kelompok Tanaman

Industri / Perkebunan... 188 34 Foto-foto Lokasi Penelitian Batumarta ... 189


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi lahan kering untuk pengembangan pertanian di luar Jawa masih relatif besar, yaitu sekitar 14,7 juta hektar untuk tanaman semusim yang terletak di dataran rendah dan sekitar 43,6 juta hektar untuk tanaman tahunan (Hidayat dan Mulyani, 2005). Potensi yang besar tersebut merupakan peluang bagi pengembangan program transmigrasi di masa yang akan datang, baik untuk pengembangan permukiman transmigrasi dengan pola usaha tanaman pangan lahan kering (TPLK) maupun untuk pola usaha perkebunan, peternakan dan pola-pola lainnya.

Karakteristik lahan kering yang marjinal dengan ciri-ciri utama kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, solum dangkal sampai sedang dan mudah tererosi memerlukan pengelolaan yang tepat untuk dapat menghasilkan produktifitas lahan yang relatif tinggi secara berkelanjutan. Sementara itu, perhatian pemerintah terhadap pengelolaan lahan kering masih kurang dibandingkan dengan lahan sawah pada umumnya. Permasalahan dalam pengembangan usahatani tanaman pangan lahan kering pada umumnya adalah bagaimana mengatasi masalah kesuburan tanah yang rendah, mencegah terjadinya erosi, pemilihan komoditas dan pengaturan waktu tanaman yang tepat terutama dalam hubungannya dengan ketersediaan air bagi tanaman, kendala serangan hama dan penyakit tanaman, aksesibilitas, pasar dan pemasaran hasil.

Indikasi masih rendahnya kinerja unit-unit permukiman transmigrasi (UPT) yang mengembangkan usahatani tanaman pangan lahan kering (TPLK) dikemukakan oleh Subroto dan Hamzah (1998) antara lain : (1) Terdapat rata-rata 35 persen UPT bina tahun anggaran 1995/1996 s/d 1997/1998 dengan tingkat kesejahteraan ekonomi kurang, (2) Terdapat 32 persen Lahan Usaha I (LU I) dan 77 persen lahan usaha II (LU II) yang tidak diusahakan pada tahun anggaran 1997/1998, (3) Produktivitas rata-rata berbagai komoditas tanaman pangan utama (padi, jagung, kedelai, dan kacang tanah) di daerah transmigrasi pada umumnya lebih rendah dibandingkan produktivitas rata-rata di wilayah tersebut dan produktivitas rata-rata di luar Jawa, (4) Rata-rata tingkat pendapatan transmigran


(22)

pada UPT bina tahun 1997/1998 yang termasuk kategori tahap pengembangan berada dibawah target pendapatan yang ditetapkan, sedangkan untuk UPT yang berada pada tahap adaptasi dan pemantapan telah memenuhi target yang ditetapkan.

Rendahnya kinerja usahatani TPLK sebagaimana digambarkan oleh Subroto dan Hamzah (1998), juga digambarkan oleh Sitorus dan Pribadi (2000) yang menyatakan bahwa tingkat produktivitas rata-rata enam komoditas utama tanaman pangan UPT pola TPLK dan TPLB (tahun bina 5/ T+5) di masing-masing propinsi daerah transmigrasi umumnya lebih rendah daripada produktivitas

rata-rata di propinsi yang bersangkutan. Selanjutnya dikemukakan oleh Sitorus et al.,

(2000) bahwa pengusahaan Lahan Pekarangan, Lahan Usaha I, dan Lahan Usaha II rata-rata di 14 propinsi daerah transmigrasi secara umum belum optimal berturut-turut sebesar 0,48, 0,40, dan 0,31 ha/KK.

Peraturan Menteri Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:

PER.115/MEN/1992 Tentang Pedoman Induk Penyelenggaraan Transmigrasi menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) pola kegiatan usaha pokok permukiman transmigrasi yaitu : a) Pola Diversifikasi Pertanian (Tanaman Pangan), b) Pola Perkebunan, c) Pola Perikanan, d) Pola Hutan Tanaman Industri (HTI), e) Pola Peternakan, dan f) Pola Pertambangan. Perkembangan pelaksanaan (realisasi) pembangunan permukiman transmigrasi hingga saat ini menunjukkan bahwa dari ke-enam pola tersebut, pola tanaman pangan menempati porsi terbesar yaitu rata-rata di atas 70 persen, diikuti pola perkebunan lebih dari 20 persen, dan sisanya terdiri dari ke-empat pola permukiman lainnya. Sekitar 90% dari pola tanaman pangan merupakan sub pola tanaman pangan lahan kering (TPLK). Dengan dihentikannya kebijakan penyaluran kredit BLBI berbunga rendah berupa skim kredit PIRTRANS (INPRES 1986) dan skim kredit KKPA (Kredit Koperasi Primer bagi Anggota) sejak akhir tahun 90-an, maka pengembangan pola perkebunan yang merupakan Model Transmigrasi Swakarsa Berbantuan cenderung terus menurun dari tahun ke tahun.

Dikembangkannya pola kegiatan usaha pokok transmigrasi dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah upaya pembangunan transmigrasi melalui model investasi atau pola pengembangan permukiman transmigrasi. Jenis kegiatan


(23)

usaha pokok ditetapkan berdasarkan hasil optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan. Kegiatan usaha pokok yang berlaku bagi setiap permukiman transmigrasi adalah merupakan kegiatan usaha dominan. Selanjutnya dikemukakan bahwa penetapan kegiatan usaha pokok (Pola Permukiman) ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi kegiatan perencanaan permukiman, meskipun di dalam praktek pelaksanaannya tetap diberikan kebebasan kepada setiap individu maupun kelompok masyarakat transmigran untuk mengembangkan diversifikasi usaha.

Kegiatan usaha pokok pertanian tanaman pangan pada umumnya mempunyai tingkat kelayakan ekonomis relatif rendah, sehingga harus dilakukan usaha diversifikasi pertanian yang sedapat mungkin diarahkan bagi usaha tani terpadu. Usaha tani tersebut meliputi komoditi utama tanaman pangan, yang dikaitkan dengan pengembangan hortikultura, tanaman tahunan, perikanan, peternakan dan sebagainya.

Permukiman-permukiman transmigrasi di kawasan Batumarta (singkatan dari kata Baturaja dan Martapura), terletak pada kawasan diantara Kota Baturaja dan Martapura. Permukiman-permukiman tersebut dibangun melalui proyek pembangunan transmigrasi yang dibiayai melalui dana bantuan Bank Dunia (IBRD) sejak tahun anggaran 1976 s/d 1993, dan dirancang sebagai permukiman transmigrasi pola tanaman pangan ditambah dengan bantuan pengembangan tanaman karet seluas 1 ha. Alokasi peruntukan lahan dan luas lahan yang diberikan kepada para transmigran melalui proyek IBRD I berbeda dengan proyek IBRD III yaitu 5 ha per KK untuk IBRD I dan 3,5 ha per KK untuk IBRD III, dan berbeda pula dengan alokasi terhadap transmigran pada lokasi Transmigrasi Umum yang dibiayai oleh Pemerintah Indonesia melalui APBN pada umumnya yaitu rata-rata 2 ha per KK.

Hal yang menarik dari perkembangan permukiman transmigrasi di kawasan Batumarta adalah semula pengembangannya dirancang atau termasuk kategori permukiman transmigrasi dengan pola usaha pokok tanaman pangan. Kenyataannya saat ini seluruh persil lahan yang dibagikan yaitu Lahan Usaha I (LU I), Lahan Usaha II (LU II), Lahan Cadangan (LC), dan bahkan termasuk Lahan Pekarangan (LP) telah berkembang menjadi areal kebun karet, disamping


(24)

kebun karet seluas 1 ha yang dibangun oleh Pemerintah (Proyek) untuk transmigran.

Pengembangan kebun karet diatas LU I, LU II, LC dan LP tersebut dilaksanakan sendiri oleh para transmigran secara bertahap. Menurut Susila (1991) dengan bantuan pemerintah secara parsial, para transmigran dapat mengembangkan suatu usahatani yang layak. Dengan pola usahatani tersebut, mereka dapat melunasi segala utangnya dan meningkatkan kesejahteraannya.

World Bank (1988) menyatakan bahwa skim tanaman perkebunan (tree crop

schemes) mengakibatkan resiko yang lebih rendah bagi petani, dan pendapatan

yang lebih tinggi, serta pengembalian (return) ekonomi yang lebih baik

dibandingkan skim pengembangan tanaman pangan. Dikemukakan lebih lanjut bahwa kecenderungan penurunan harga komoditi perkebunan merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, sehingga untuk melindungi petani dari pengaruh penurunan harga komoditi perkebunan, maka penanaman tanaman pangan untuk kebutuhan subsisten harus didorong.

Pemanfaatan dan pola penggunaan lahan di kawasan transmigrasi sebenarnya telah diarahkan oleh Depnakertrans, yaitu untuk lahan pekarangan (LP) disarankan untuk ditanami tanaman pangan, hortikultura, tanaman obat ataupun kebun campuran yang diperlukan untuk pemenuhan sebagian kebutuhan sehari-hari, LU I pada pola permukiman transmigrasi Tanaman Pangan Lahan Kering/Lahan Basah (TPLK/LB) disarankan atau diprioritaskan untuk ditanami dengan tanaman pangan, sedangkan bagi LU II dapat ditanami dengan tanaman pangan atau perkebunan tergantung tingkat kesesuaian lahannya. Namun demikian seiring dengan perkembangan kawasan dan dinamika kehidupan petani, terjadi perubahan penggunaan lahan baik pada lahan pekarangan maupun lahan usaha. Perubahan ini bukan hanya terjadi pada pola pemanfaatan lahan, tetapi juga pada jenis komoditi yang diusahakan pada lahan tersebut. Perubahan ini pada umumnya terjadi secara alami, dan bagi sebagian petani tanpa memperhatikan atau memperhitungkan keberlanjutan usahatani mereka.

Berdasarkan fakta lapang tersebut diatas, yang dikaitkan dengan rancangan awal bahwa permukiman transmigrasi Kawasan Batumarta adalah permukiman transmigrasi umum Pola Tanaman Pangan Lahan Kering, penelitian ini dilakukan


(25)

untuk meneliti latar belakang dan proses perkembangan permukiman tersebut sejak awal dikembangkan hingga saat ini, sebagai bahan pembelajaran bagi pengembangan model untuk mengembangkan usaha tani lahan kering yang berkelanjutan di kawasan transmigrasi lainnya di masa yang akan datang.

1.2. Rumusan Masalah

Perkembangan permukiman transmigrasi dengan usahatani pola tanaman pangan lahan kering (TPLK) pada umumnya mengalami hambatan akibat kualitas lahan yang marginal, proses penyiapan lahan yang kurang tepat, keterbatasan input usahatani, keterbatasan tenaga kerja dan keterampilan petani, kendala musim atau ketersediaan air, produktivitas yang rendah, kendala infrastruktur dan kelembagaan, kendala pemasaran dan harga produk tanaman pangan yang pada umumnya rendah, dan penurunan kualitas (degradasi) lahan akibat erosi tanah. Kompleksnya permasalahan pengembangan pertanian tanaman pangan di lahan kering menyebabkan rendahnya kinerja atau tingkat perkembangan ekonomi masyarakat transmigran di lokasi transmigrasi dengan pola TPLK. Faktor ketersediaan tenaga kerja produktif, kondisi lahan dan ketersediaan sarana produksi sangat menentukan kemampuan petani dalam pengusahaan lahan (Sitorus et al., 2000).

Levang (2003) mengemukakan bahwa pola yang diusulkan pada transmigran di Batumarta sesuai dengan pandangan yang diidamkan, yang dominan pada tahun 70-an. Pola tersebut dimaksudkan agar pertanian terpadu dan harmonis. Diatas pekarangan seluas 0,25 ha, keluarga petani menghasilkan buah-buahan dan sayuran yang mutlak diperlukan untuk gizinya. Diatas dua petak lahan seluas 0,75 dan 1,0 hektar transmigran menjamin swa sembada pangan: beras, jagung, singkong dan kedelai. Sampai di situ tidak ada hal yang luar biasa. Temuan baru berasal dari sebuah petak lahan tanaman karet seluas 1,0 hektar yang dibuat oleh Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) X, dengan penataan perkebunan sesuai standar industri yang berlaku. PTP X mengelola perkebunan sampai masa produksi. Pada waktu pembukaan bidang sadap, pohon karet diserahkan kepada keluarga transmigran. Maka, hasil penjualan karet alam menjamin pendapatan keluarga trnsmigran secara teratur. Jika transmigran menghendaki, ia dapat


(26)

memperluas sendiri kebunnya di petak lahan kedua yang belum dibuka seluas seluas 1,0 hektar. Terakhir, sepetak lahan seluas 1,0 hektar diberikan sebagai cadangan, sehingga bila dijumlahkan, setiap keluarga memperoleh jatah lahan seluas 5,0 hektar. Untuk mempermudah pengolahan lahan pertanian dan menjamin pemeliharaan kesuburan tanah, setiap migran memperoleh seekor sapi. Sebuah pola tampaknya tidak terpadu jika tidak memasukkan peternakan ke dalam pertanian.

Dari uraian permasalahan di atas, yang menjadi pertanyaan penelitian (research question) dalam membangun model pengembangan kebun karet berkelanjutan pada permukiman Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) di Kawasan Batumarta adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di kawasan transmigrasi

Batumarta dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?

2. Bagaimana model pengembangan perkebunan karet berkelanjutan di

Batumarta yang dapat diterapkan di lokasi TULK lainnya?

3. Bagaimana rumusan kebijakan dan strategi pengembangan perkebunan karet

secara berkelanjutan di kawasan transmigrasi Batumarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah untuk mengetahui model pengembangan perkebunan karet yang berkelanjutan pada permukiman Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) di Kawasan Batumarta . Untuk mencapai tujuan utama tersebut, secara lebih spesifik dijabarkan kedalam tujuan operasional sebagai berikut:

1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan di kawasan Batumarta dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya

2. Mengidentifikasi faktor kunci pengembangan perkebunan karet yang

berkelanjutan di kawasan transmigrasi

3. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengembangan perkebunan karet


(27)

1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini lebih besifat evaluasi terhadap konsep penyelenggaraan program transmigrasi pola TULK Plus di kawasan Batumarta. Pemilihan lokasi

penelitian di kawasan Batumarta dimaksudkan sebagai benchmark bagi

penyempurnaan konsep penyelenggaraan transmigrasi pola TULK pada umumnya di masa yang akan datang, dengan mempelajari faktor-faktor yang mendukung keberhasilan atau menentukan perkembangan kawasan ini, terutama yang terkait dengan konsep pembinaannya berupa bantuan pengembangan kebun karet seluas 1 ha/KK. Adapun konsep alokasi lahan sebesar 5,0 atau 3,5 ha/KK sulit untuk dapat diterapkan di masa yang akan datang, karena lahan sudah semakin terbatas.

Penelitian lapang terkait wilayah studi lebih bersifat mengkonfirmasi data sekunder yang tersedia. Pengambilan sampel responden masyarakat terbatas pada desa eks UPT, tidak termasuk desa sekitar dalam kawasan.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan ekonomi wilayah khususnya kawasan transmigrasi, pengelolaan dan pemanfaatan lahan kering secara berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih optimal bagi masyarakat transmigran yang penghasilannya bergantung pada sumberdaya lahan kering. Manfaat yang diharapkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut:

1. Berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal membangun

model pengembangan perkebunan karet secara berkelanjutan di kawasan transmigrasi.

2. Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam

pengembangan perkebunan karet di kawasan transmigrasi.

3. Sebagai masukan bagi pengambil keputusan, baik tingkat nasional maupun

tingkat daerah, untuk membuat kebijakan yang efektif dalam pengembangan perkebunan karet berkelanjutan di kawasan transmigrasi.


(28)

1.6. Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini diawali dengan mengkaji kondisi kawasan transmigrasi Batumarta dari aspek sosial, ekonomi, pengunaan lahan, pengelolaan usahatani serta kelembagaan dalam kegiatan usahatani pola TPLK di lokasi studi. Pada pembangunan kawasan transmigrasi, komponen pembangunan fisik lahan, komponen pembangunan ekonomi dan komponen pembangunan sosial budaya saling berkait dan saling berinteraksi satu dengan lainnya sehingga penting untuk diperhatikan guna menghasilkan pembangunan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan. Apabila ketiga komponen tersebut ditinjau secara terpadu pada pembangunan kawasan transmigrasi maka akan sangat rumit dan kompleks dikarenakan terdapat komponen yang bersifat eksak seperti kondisi biofisik lahan (jenis tanah) dan komponen yang bersifat non-eksak seperti interaksi kehidupan sosial budaya antara penduduk lokal dan penduduk pendatang (transmigran) karena hanya dapat dirasakan.

Aspek biofisik (lahan), aspek ekonomi dan aspek sosial budaya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam suatu sistem yang bersifat dinamis. Perubahan suatu aspek akan mempengaruhi dinamika aspek lainnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil pembangunan kawasan transmigrasi dan tingkat perkembangannya.

Komponen sosial budaya pada pembangunan kawasan transmigrasi sangat penting, karena terdapat unsur penduduk lokal (setempat) dan penduduk pendatang (transmigran) dari berbagai daerah asal yang masing-masing mempunyai latar belakang sosial budaya yang berbeda. Karakteristik sosial budaya lokal dan pendatang yang bersifat positif sangatlah penting untuk dipertahankan. Interaksi budaya dan latar belakang kehidupan dapat saling memperkaya pengalaman dalam membentuk masyarakat baru (transmigran) yang lebih dinamis dan produktif apabila didasari dengan tenggang rasa, saling menghargai antar pendatang dengan penduduk lokal, sehingga terjadi kehidupan yang sejahtera dan harmonis secara berkelanjutan.

Dalam kaitan dengan pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering, perlu memperhatikan aspek teknologi dan kelembagaan. Hal ini karena lahan kering memerlukan perlakuan khusus untuk digunakan sebagai lahan budidaya


(29)

pertanian. Teknologi budidaya pertanian menjadi relevan apabila dikaitkan dengan pengetahuan masyarakat dalam budidaya pertanian di lahan kering. Aspek kelembagaan menjadi penting karena petani di kawasan transmigrasi memiliki budaya yang berbeda dalam berinteraksi sosial mapun ekonomi. Dengan demikian, aspek sosial masyarakat perlu diperhatikan secara lebih spesifik. Bagi kawasan transmigrasi yang relatif jauh dari pusat kegiatan wilayah, maka aspek aksesibilitas menjadi penting. Prasarana jalan merupakan prasarana vital untuk mengembangkan kawasan ini. Terbangunnya jalan kabupaten (antar kecamatan) dan antar desa akan memudahkan pengangkutan hasil pertanian, barang produksi, dan konsumsi. Selain itu, juga akan mendorong pergerakan manusia untuk berinteraksi dalam hubungan ekonomi dan sosial. Interaksi ini pula dapat mendorong alih teknologi antar penduduk.

Dalam perencanaan tata ruang kawasan transmigrasi, ketiga komponen utama tersebut harus disesuaikan dengan pola-pola perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Hal ini seperti dikemukakan oleh Sitorus (2003), bahwa dalam tahapan pembangunan, penting terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui potensi pengembangan lahan, daya dukung lahan dan manfaat lahan.

Dalam pengembangan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering dapat digunakan metode pendekatan sistem yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, teknologi, aksesibilitas, dan kelembagaan dalam suatu analisis yang runtun. Dimensi tersebut penting diperhatikan dalam pembangunan guna mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Kondisi ekonomi, ekologi, sosial budaya, teknologi, aksesibilitas, dan kelembagaan kawasan diperoleh melalui berbagai atribut sesuai dengan keadaan riil di kawasan. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui status keberlanjutan kawasan transmigrasi lahan kering. Informasi status keberlanjutan ini merupakan hal yang penting dalam perencanaan pembangunan wilayah. Dalam kaitan dengan pengembangan usahatani di lahan kering, khususnya di kawasan transmigrasi maka perlu diketahui teknologi usahatani yang dapat dimanfaatkan


(30)

secara optimal di kawasan. Selain itu, perlu pula memperhatikan kebutuhan

stakeholders untuk memudahkan implementasi kebijakan.

Sistem yang disusun dalam penelitian ini sekaligus merupakan model pengembangan yang dapat direplikasikan di kawasan transmigrasi lahan kering di wilayah yang karakteristiknya hampir sama. Secara skematis kerangka pemikiran model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

1.7. Kebaruan Penelitian

Berdasarkan hasil studi pustaka terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu, dapat dikemukakan kebaruan (novelty) penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini membangun atribut-atribut yang dapat digunakan sebagai

indikator untuk menilai tingkat keberlanjutan pengembangan perkebunan karet di kawasan transmigrasi sesuai dengan prinsip pembangunan


(31)

berkelanjutan, yaitu secara ekonomi layak, secara ekologi tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, dan secara sosial berkeadilan.

2. Merumuskan kebijakan yang dibangun atas dasar kondisi sekarang (existing condition) sesuai dengan faktor kunci yang ditemukan dengan mempertimbangkan kondisi perubahan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang (deskripsi masa depan). Pemilihan kebijakan didasarkan atas pilihan logis atas kondisi masa depan yang diinginkan.


(32)

(33)

2.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Sistem Pertanian

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan konsep

pembangunan yang sudah diterapkan di berbagai negara di dunia. Konsep ini berusaha untuk memberikan solusi optimal dari berbagai kepentingan yang berbeda dalam pelaksanaan pembangunan. Konsep pembangunan berkelanjutan

pertama kali diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and

Development (WCED) pada tahun 1987 dengan laporannya berjudul “Our Common Future” (Kay dan Alder, 1999). Laporan ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai Laporan Brundtland (The Brundtland Report). Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan pengertian ini, Beller (1990)

mengemukakan prinsip “justice of fairness” yang bermakna manusia dari berbagai

generasi yang berbeda mempunyai tugas dan tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada di dalam satu generasi.

Munasinghe (1993) mengemukakan bahwa pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup tiga penekanan, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk


(34)

meningkatkan kualitas kehidupan manusia; (2) pembangunan yang sesuai dengan lingkungan; dan (3) pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a)

intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat, menghargai hak khusus masyarakat lokal dan lain-lain; b) intergenerational equity yaitu tidak

membatasi peluang atau pilihan bagi generasi mendatang; c) international equity

yaitu memenuhi kewajiban terhadap bangsa lain dan terhadap masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global.

Sanim (2006) mengemukakan bahwa pembangunan pertanian berkelanjutan memiliki 3 (tiga) tujuan utama yang satu dengan lainnya saling terkait, yaitu: tujuan ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan), tujuan sosial (kepemilikan/keadilan) dan tujuan ekologi (kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan). Pembangunan

berkelanjutan mempunyai indikator-indikator: culture-ecology interface,

didefinisikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan fungsi yang integratif dari nilai-nilai sosial budaya yang menyatu terhadap ekosistem. Indikator yang termasuk dalam perubahan etika lingkungan, komitmen untuk menjaga keseimbangan political-cultural dan ecoturism; culture-economy interface, menggambarkan fungsi tujuan di dalam nilai-nilai non-market dan keputusan untuk menjaga konservasi lingkungan untuk tujuan budaya. Nilai-nilai kultural ekonomi lebih tinggi, demikian juga refleksinya terhadap politik, institusi

dan struktur hukum; dan economy-ecology interface, menggambarkan fungsi

tujuan dalam termin dari nilai-nilai ekonomi dan cost-benefit analysis (Rustiadi et al., 2004).

Pandangan pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Moffatt dan Hanley (2001), mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan bagian penting yang harus mengintegrasikan komponen-komponen sumberdaya, yaitu komponen ekonomi, komponen sosial budaya dan komponen lingkungan secara serasi dan seimbang. Pemanfaatan komponen-komponen sumberdaya secara serasi dan seimbang dimaksudkan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pada saat sekarang tanpa mengurangi kesempatan dan pemenuhan kehidupan generasi pada saat mendatang.


(35)

Konservasi merujuk pada pengarahan kegiatan manusia yang melibatkan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alami agar dapat dicapai maslahat berkelanjutan terbesar bagi generasi manusia masa kini sambil mempertahankan potensi sumberdaya bersangkutan memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi masa depan. Jadi inti konservasi ialah mengelola sumberdaya alami sedemikian rupa sehingga pilihan-pilihan pemanfaatannya terpertahankan bagi generasi masyarakat mendatang (Weber dan Margheim, 2000).

Nugroho (2002) mengemukakan bahwa sistem pertanian konservasi memiliki ciri–ciri yaitu (1) Sistem usahatani yang dilakukan pada lahan tersebut harmoni secara ekologi, yang artinya sistem produksi dilakukan dengan tidak menyebabkan kerusakan secara ekologi atau tidak merusak/mengganggu keseimbangan ekosistem. (2) Produksi yang dihasilkan cukup tinggi dengan menggunakan teknologi tepat guna. (3) Produksi yang dihasilkan memberikan pendapatan dan kesejahteraan secara ekonomi. (4) Sistem produksi yang dilakukan dapat diterima dan dilakukan oleh petani dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia sesuai dengan perkembangan teknologi. (5) Kerusakan akibat sistem produksi yang dilakukan dapat diminumkan, dan kerusakan tersebut juga dapat diimbangi oleh proses pemulihan sumberdaya lahan secara alami, sehingga tingkat produksi yang tinggi, pendapatan dan kesejahteraan petani dapat dipertahankan serta ditingkatkan secara berkelanjutan.

Senada dengan pendapat Nugroho (2002) tersebut, Sinukaban (1996) mengemukakan bahwa sistem pertanian berkelanjutan paling tidak harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan yaitu : 1) Pendapatan petani atau produksi usahatani harus cukup tinggi sehingga petani tersebut bergairah meneruskan usahanya, 2) Erosi dalam sistem usahatani terebut harus kecil atau lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan agar produktifitas yang tinggi dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara terus menerus/lestari dan 3) Teknologi pertanian atau sistem produksi yang dianjurkan harus dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani secara terus-menerus dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal tanpa bantuan atau intervensi dari luar secara substansi dan terus-menerus. Dengan kata lain, suatu sistem pertanian yang berkelanjutan adalah yang produktifitasnya


(36)

cukup tinggi sehingga menguntungkan petani, mempraktekan tindakan konservasi tanah dan air yang tepat dan menggunakan teknologi yang terjangkau oleh petani.

Usahatani merupakan suatu industri biologis yang memanfaatkan materi dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya yang dikemas dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem praproduksi, produksi, panen, pascapanen, distribusi, dan pemasaran (Adnyana, 2001). Suatu sistem usahatani dikatakan berkelanjutan jika dalam pengelolaannya menerapkan teknologi maju yang ramah lingkungan atau tidak menimbulkan eksternalitas negatif pada lingkungan, baik lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi, pada tingkat mikro maupun makro.

Menurut Adnyana (2001) beberapa strategi yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan sistem usahatani berkelanjutan, yaitu:

1. Sistem usahatani yang ingin dicapai sedapat mungkin diwujudkan melalui

pemanfataan sumberdaya internal untuk mensubstitusi penggunaan sumberdaya eksternal.

2. Mengurangi penggunaan pupuk buatan yang bersumber dari sumberdaya

yang tidak dapat pulih (pupuk anorganik).

3. Menekan intensitas penggunaan pestisida dan herbisida serta penerapan

pengendalian hama terpadu (PHT) secara massal.

4. Memperluas penerapan rotasi tanaman dan diversifikasi horizontal untuk

meningkatkan kesuburan tanah, pengendalian hama dan penyakit, meningkatkan produktifitas dan menekan resiko.

5. Mempertahankan residu tanaman maupun input eksternal serta penanaman

tanaman penutup tanah guna mempertahankan kelembaban dan kesuburan tanah.

2.2. Perubahan Penggunaan Lahan

Terminologi penggunaan lahan dan tutupan lahan adalah dua hal berbeda yang mendapatkan perhatian dalam studi perubahan penggunaan dan tutupan lahan. Tutupan lahan merupakan kondisi biofisik dari permukaan dan lapisan tipis di bawah permukaan bumi (Turner, et al. 1995). Penggunaan lahan merupakan suatu keadaan dan intensitas manipulasi dari atribut biofisik suatu lahan (tutupan


(37)

lahan). Manipulasi lahan diterjemahkan sebagai “untuk apa suatu lahan lahan

dikelola” (Turner, et al. 1995). Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa

penggunaan lahan merupakan pengelolaan lahan oleh manusia (Turner dan Meyer 1994).

Skole (1994) menjelaskan secara lebih luas dengan menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan pengelolaan dari suatu tipe tutupan lahan, dalam arti bahwa terdapat suatu aktivitas pengelolaan oleh manusia dalam kerangka menghasilkan suatu produksi yang ditentukan oleh kompleksitas faktor sosial ekonominya. Penjelasan yang rinci menyatakan bahwa penggunaan lahan melibatkan fungsi dan kegunaan pengelolaan suatu lahan oleh populasi manusia lokal dan dapat didefinisikan sebagai aktivitas manusia yang secara langsung berhubungan dengan lahan, memanfaatkan sumberdayanya atau melakukan penggarapan atas lahan tersebut (FAO 1995).

Dalam menganalisis perubahan lahan adalah penting memberi penjelasan tentang terminologi perubahan untuk mendeteksinya dalam dunia nyata. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai (secara kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau berkurang) dari suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan. Perlu dicatat bahwa pendeteksian dan pengukuran perubahan tergantung pada level ruang (spasial): semakin tinggi detil dari level spasial, semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam (Briassoulis 1999).

Perubahan penggunaan maupun tutupan lahan melibatkan 2 unsur penting, yaitu: (a) konversi, yaitu perubahan dari satu jenis penggunaan/tutupan ke jenis penggunaan/tutupan lainnya; dan (b) modifikasi, yaitu penggunaan atau perubahan pada lahan tertentu tanpa mengubah secara keseluruhan dari fungsi atau jenis lahan tersebut, seperti mempertinggi intensitas pemanfaatan atau perubahan dari hutan alami menjadi tempat rekreasi (tanpa mengubah kondisi tutupan). Pada perubahan tutupan lahan, biasanya merupakan hasil dari proses alami, seperti variasi iklim, erupsi vulkanik, perubahan jalur sungai atau kedalaman laut, dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan merupakan akibat dari kegiatan mengkonversi tutupan lahan atau mengubahnya menjadi kondisi lain secara kualitatif; kegiatan memodifikasi atau mengubah kondisi tanpa


(38)

mengkonversi secara keseluruhan atau kegiatan mempertahankan kondisi suatu tutupan lahan dari unsur-unsur peubah alaminya (Turner dan Meyer, 1994). Jones dan Clark (1997) menyatakan bahwa terdapat 4 tipologi kualitatif dari perubahan penggunaan lahan, yaitu: intensifikasi, ekstensifikasi, marjinalisasi, dan pengabaian.

Faktor-faktor pendorong perubahan penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu kondisi fisik dan kondisi sosial-ekonomi. Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan ketersediaan sumberdaya alam. Faktor sosial-ekonomi melibatkan persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan, serta proses-proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur industri, perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Faktor bio-fisik biasanya tidak mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara langsung, kebanyakan hanya menyebabkan terjadinya perubahan pada tutupan lahan, atau mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Keputusan pengelolaan terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor perubahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia.

Dampak perubahan penggunaan lahan secara luas dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi. Dampak yang disebutkan pertama sering lebih mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang kedua. Salah satu alasannya adalah bahwa dampak dampak sosial ekonomi lebih halus, jangka panjang, dan tidak begitu nyata (Briassoulis 1999). Akan tetapi perlu dicatat bahwa dampak ekologi dan sosial-ekonomi tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat: dampak ekologi mempengaruhi dampak sosial ekonomi dan

kembali mempengaruhi dampak ekologi (feedback).

Analisis perubahan penggunaan lahan telah memperoleh perhatian luas dari beragam disiplin ilmu yang melahirkan berbagai pendekatan teoritis. Menurut Briassoulis (1999) bahwa secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 tradisi

kategori teori yaitu: Ekonomi Kota dan Wilayah serta Ilmu Wilayah (Urban and

Regional Economics and Regional Science); Sosiologi dan Politik Ekonomi (Sociological and Political Economy); dan Ekologi-Masyarakat (Nature-Society


(39)

atau Man-Environment atau Human-Nature). Kategori ketiga, yang digunakan sebagai dasar dari penelitian ini, adalah kategori yang sangat terbuka dan bersifat multidisiplin karena: pertama, ilmu sosial yang digunakan sebagai dasar dapat didefinisikan secara sempit maupun longgar; dan kedua, beberapa teori dalam kategori pertama dan kedua yang berhubungan dengan penjelasan perilaku manusia dapat digunakan sebagai bagian dari analisisnya (Briassoulis 1999). Konstruksi dan metodologi yang digunakan ditarik dari beragam disiplin ilmu untuk menjelaskan hubungan antara manusia dan sistem ekologinya, terutama tentang keseimbangan penggunaan lahan dan manusia.

Salah satu teori dari kategori ekologi-masyarakat telah dikembangkan oleh Cocosis (1991) yang menyebutnya dengan istilah teori keseimbangan ekologi (ecological equilibrium), memfokuskan perhatian atas suatu lahan atau wilayah pada empat faktor, yaitu penduduk, sumberdaya, teknologi, dan kelembagaan yang secara konstan berada dalam keadaan keseimbangan dinamik. Pada konsep ini, perubahan penggunaan lahan merupakan hasil dari perubahan dan distribusi penduduk, inovasi teknologi dan restrukturisasi ekonomi, kebijakan dan organisasi sosial. Secara matematis, elemen dasar teori keseimbangan ekologi ini dapat ditulis sebagai I=PAT yang menghubungkan antara dampak ekologi (I =

Impact) dengan penduduk (P = Population), kesejahteraan (A = Affluence), dan teknologi (T = Technology).

Beberapa pengembangan dari teori ini dapat dilihat seperti dalam model dinamis dunia yang melibatkan interaksi unsur-unsur penduduk, produksi, polusi, dan sumberdaya (Forrester, 1971). Manning (1988) telah mengajukan kerangka analisis yang lebih detil dengan menjelaskan interaksi antara faktor-faktor bio-fisik dan sosial-ekonomi dari penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan. Pengembangan model matematis dampak ekologi yang dikhususkan pada dampak

penggunaan lahan telah digunakan dalam studi yang dilakukan oleh Turner et al.

(1990), Brouwer et al. (1991), dan Heilig (1996).

Proses penataan ruang wilayah akan sangat terkait dengan perencanaan penggunaan lahan. Hal ini karena perencanaan penggunaan lahan adalah salah satu alat pertimbangan untuk memberikan rekomendasi pada proses pemanfaatan ruang wilayah. Perencanaan penggunaan lahan adalah proses yang dimulai dari


(40)

inventarisasi kondisi lahan, penilaian terhadap faktor pembentuk tanah, memprediksi potensi pemanfaatannya, serta penilaian terhadap kesesuaian atau

kemampuan dan nilai lahan (land value) dengan mempertimbangkan faktor-faktor

pembatasnya. Analisis ini menghasilkan daya dukung lahan (kualitas lahan).

Selanjutnya daya dukung lahan ini diprediksi ke depan dengan

mempertimbangkan aspek pemanfaatannya untuk berbagai kegiatan ekonomi, sosial dan pengembangan wilayah, yang pada akhirnya dapat merekomendasikan kesesuaian lahan untuk suatu penggunaan pemanfaatan ruang.

Sitorus (2004) mengatakan pentingnya upaya perencanaan penggunaan

lahan (land use planning). Perencanaan penggunaan lahan ini sangat penting utuk

mengetahui optimasi daya dukung dan manfaat lahan setelah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaan/kondisi lahan (status), potensi, dan pembatas-pembatas suatu daerah tertentu dan sumberdayanya yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan yang lainnya yang menghendaki agar daerah tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan (ruang kegiatan) di masa yang akan datang. Keadaan ini menunjukan suatu proses analisis yang menghasilkan optimasi pemanfaatan lahan dan dapat dijadikan sebagai masukan untuk proses penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Sitorus (2003) manfaat yang mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi nilai ekonominya. Prinsip memprediksi untuk menghasilkan nilai ekonomi wilayah dimasa yang akan datang adalah prinsip perencanaan tata ruang.

Ketersediaan sumberdaya lahan sebagai ruang dimanapun selalu terbatas. Artinya berbagai unsur pembentuk lahan dan unsur pembentuk kesuburan tanah ini mempunyai keterbatasan baik kualitasnya maupun potensinya. Tingkat produktivitas sumberdaya lahan yang tersedia maupun kualitas lahan di masing-masing lokasi juga berbeda. Bila pemanfaatan sumberdaya lahan ini tidak diatur dan direncanakan dengan baik, maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat sumberdaya lahan, dan lebih jauh akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Nilai ekonomis yang diharapkan bagi pengembangan wilayah tidak akan tercapai dan yang akan terjadi justru kerusakan lingkungan (baik


(41)

renewable maupun yang non-renewable) yang justru akan menjadi pembiayaan yang lebih besar.

Sebaliknya, bila ada pengaturan dalam bentuk rencana tata ruang melalui optimasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan yang ada dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah kemudian dilakukan prediksi pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang, maka akan tercapai sinergi antar berbagai jenis kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan estetika wilayah. Pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis mengoptimasikan pemanfaatan sumberdaya alam, buatan dan lingkungan mempunyai tujuan agar terjadi pengembangan wilayah yang terus berlanjut secara berkesinambungan (Djakapermana dan Djumantri, 2002).

2.3 Sistem Usahatani Lahan Kering

Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam waktu setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani 2005). Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang penting dalam mendukung proses kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi, karena semua makhluk hidup baik hewan maupun tumbuhan memerlukan lahan untuk dapat tumbuh dan berkembang.

Menurut Sitorus (2003) sumberdaya lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Sebagai suatu ruang, lahan berfungsi sebagai habitat berbagai mahkluk hidup yang memiliki keterbatasan dalam mendukung kehidupan dan menampung berbagai limbah yang dihasilkan. Jika lahan yang tersedia tidak ditata dan dimanfaatkan secara terencana, efektif dan efisien sesuai dengan fungsi lahan tersebut maka akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup.

Berdasarkan topografi atau kelas kemiringan lahan, Djaenuddin dan Sudjadi (1987) mengemukakan terdapat sekitar 133.79 juta hektar lahan kering yang


(42)

tersebar di pulau-pulau utama diluar Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas dan Penyebaran Lahan Kering dengan Berbagai Kelas Kemiringan

Pada Empat Pulau Utama di Indonesia

Luas (juta ha)

Lahan kering menurut kelas kemiringan

Pulau Jumlah

Daratan Rawa

Lahan Kering

0-3% 3-8% 8-15% >15%

Sumatera 47,3 8,5 38,8 10,9 5,2 2,6 20,1

Kalimantan 54,0 8,7 45,3 5,1 6,1 4,1 30,0

Sulawesi 19,2 0,2 19,0 1,9 1,3 1,1 14,7

Irian Jaya 42,2 11,5 30,7 4,9 3,0 1,0 21,8

Jumlah 162,7 28,9 133,8 22,8 15,6 8,8 86,6

Sumber: Diolah dari Djaenuddin dan Sudjadi (1987)

Apabila diasumsikan hanya lahan dengan kemiringan < 15% yang sesuai untuk pengembangan tanaman pangan, berarti sekitar 47,23 juta hektar atau 35,3 persen dan lahan kering yang tersedia untuk pengembangan tanaman pangan. Sementara itu Lembaga Penelitian Tanah (1969) mengemukakan terdapat sekitar 72,2 juta hektar lahan dan 5 jenis tanah utama di Indonesia (organosol, podsolik, aluvial, podsol dan latosol) dengan kemiringan kurang dan 15 persen pada 4 pulau utama di luar Jawa seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas dan Penyebaran Lima Jenis Tanah Utama dengan Kemiringan Lereng Kurang dari 15 Persen pada Empat Pulau Utama di Luar Jawa

Luas (juta hektar) Jenis

Tanah Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian

Jaya Jumlah

Organosol 14,2 6,2 ~*) 6,7 27,1

Podsolik 9,6 10,9 1,4 5,1 27

Aluvial 2,4 4,3 0,8 6,8 14,3

Podsol 0,8 2,5 - - 3,3

Latosol 0.5 - - - 0,5

Jumlah 27,5 23,9 2,2 18,6 72,2

*) Tidak tercatat


(43)

Berdasarkan Tabel 2 di luar organosol yang termasuk kategori lahan basah, maka terdapat sekitar 45,1 juta hektar lahan dengan kemiringan kurang dan 15 persen, sedikit berada dibawah perkiraan pada Tabel 1. Hasil survei yang dilakukan oleh IBRD tahun 1974 yang dikutip oleh Collier (1979) menunjukkan bahwa dari seluruh areal kepulauan di Indonesia (tidak termasuk Irian Jaya) terdapat 59,3 juta hektar lahan yang mempunyai potensi pertanian dalam berbagai tipe medan dan tanah. Lahan seluas 59,3 juta hektar tersebut baru 17,5 juta hektar (sekitar 30 persen dan jumlah lahan yang berpotensi) yang telah diusahakan atau ditanami.

Mengikuti data atau perhitungan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa potensi lahan untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia masih cukup besar. Akan tetapi angka luas areal yang berpotensi untuk dikembangkan tersebut masih bersifat eksploratif dan sangat kasar sehingga hanya merupakan indikasi yang masih memerlukan penelitian.-penelitian lebih lanjut (Sitorus, 1989).

Pada Tabel 2 terlihat bahwa dari ketiga jenis tanah utama tipikal lahan kering yang kemiringannya kurang dari 15 persen (podsolik, aluvial, podsol dan latosol), jenis tanah podsolik adalah yang terluas yaitu 27 juta hektar. Tanah podsol pada umumnya mempunyai tingkat produktivitas yang sangat rendah. Oleh karena itu sebaiknya tidak dijadikan areal pertanian, melainkan tetap dibiarkan sebagai hutan (Sitorus, 1989). Selanjutnya dikemukakan bahwa tanah podsol sering dijumpai diatas bahan induk pasir kuarsa yang miskin unsur hara (misalnya podsol di Kalimantan Tengah).

Menurut Sitorus (1989), tanah latosol umumnya juga miskin unsur hara, bereaksi masam sampai agak masam, dan mengandung kadar bahan organik yang rendah. Akan tetapi tanah tersebut mempunyai keadaan fisik yang lebih baik dari podsolik, sehingga relatif lebih mudah untuk meningkatkan produktivitasnya, oleh karena itu tanah latosol bersama-sama dengan tanah aluvial yang relatif lebih subur pada umumnya telah diusahakan oleh petani, sehingga ketersediaannya untuk pengembangan transmigrasi sangat terbatas.

Menurut Effendi (1984), hasil survei tanah menunjukkan bahwa 90 persen dari lahan kering yang belum dimanfaatkan merupakan jenis tanah dengan tingkat


(44)

kesuburan yang rendah yaitu Podsolik Merah Kuning (PMK). Lahan kering ini dikenal dengan lahan kering beriklim basah yang mempunyai curah hujan lebih tinggi dari 2000 mm/tahun dan tidak mengalami musim kemarau yang jelas. Lahan kering beriklim basah yang terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua) pada umumnya mempunyai jenis tanah PMK dengan pH rendah, kandungan hara rendah, topografi bergelombang, lapisan tanah atas tipis dan peka terhadap erosi.

Pola usahatani yang dapat dikembangkan pada lahan kering sangat tergantung pada jenis tanah, iklim dan topografinya. Pada lahan kering beriklim basah dengan kemiringan sampai 8 persen dapat diusahakan tanaman pangan sebagai tanaman utama. Pada lahan dengan kemiringan lebih dari 8 persen perlu dilakukan penanaman secara kontur atau dibuat teras dan tidak lagi digunakan tanaman pangan sebagai tanaman utama, melainkan digunakan untuk tanaman tahunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa dan tanaman tahunan lainnya, sehingga konservasi tanah dan air dapat dilaksanakan sebaik-baiknya (Effendi, 1984).

Berdasarkan uraian diatas hanya Podsolik yang lebih besar potensinya untuk dikembangkan bagi perluasan areal pertanian lahan kering. Menurut Sitorus (1989) tanah podsolik mempunyai sifat fisik-kimia seperti pH rendah (masam), miskin unsur hara, yang pada umumnya terdapat pada berbagai jenis bahan induk seperti tufa masam, batuan pasir (sandstones) atau endapan kuarsa, dan peka terhadap erosi. Untuk mencegah terjadinya degradasi yang diakibatkan oleh erosi dan untuk mempertahankan produktivitas lahan, maka perlu dilakukan pemilihan jenis pola usaha tani/pola tanam yang tepat, serta tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai sehingga erosi yang terjadi lebih kecil dan erosi yang dapat dibiarkan. Selanjutnya dikemukakan oleh Mulyani dan Suhardjo (1994) bahwa dalam pengelolaan lahan kering marginal terutama pada lahan berlereng harus diiringi dengan tindakan konservasi tanah dan air. Penambahan bahan organik mutlak diperlukan.

Lahan kering di dataran rendah pada umumnya telah banyak digunakan terutama untuk perkebunan (24,7 juta ha), Hutan Tanaman Industri/ hutan produksi terbatas (27,8 juta ha), tegalan/ ladang/ huma (13,3 juta ha), lahan yang tidak diusahakan (10,6 juta ha) (BPS, 2003). Pola pemanfaatan lahan kering


(45)

dataran rendah dan dataran tinggi umumnya berbeda dalam jenis komoditas sesuai dengan persyaratan tumbuh masing-masing dan kondisi iklim. Jenis tanaman pangan dan perkebunan di dataran tinggi lebih terbatas, sebaliknya tanaman hortikultura lebih dominan.

Lahan kering merupakan salah satu ciri lahan, yang apabila diusahakan untuk pertanian, pengairannya hanya mengandalkan dari curah hujan untuk kelembaban tanahnya. Kondisi lahan kering mengalami periode masa kering dapat berupa kering musiman atau kering dalam satu waktu periode tertentu saja dan selanjutnya mengalami periode hujan atau basah (Barrow, 1991). Lahan kering disamping mengandalkan curah hujan untuk kelembaban tanah, juga dicirikan dengan terbatasnya kandungan unsur hara (miskin unsur hara). Ciri pertanian lahan kering diantaranya adalah jenis tanaman yang diusahakan tidak memerlukan air yang banyak, pengairannya dari air hujan dan kebutuhan airnya tergantung pada kapasitas lapang (Knapp, 1979).

Ketersediaan air di lahan kering merupakan masalah utama untuk pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Pada musim kemarau, tanaman kekurangan air, sedangkan pada musim hujan terjadi aliran permukaan dan erosi yang besar karena sedikitnya air yang dapat diinfiltrasikan ke dalam tanah. Gejala ini berkaitan dengan buruknya sifat fisika tanah, seperti tekstur kasar pada lapisan atas dan padatnya lapisan bawah. Rendahnya bahan organik pada lahan kering, menyebabkan tanah tidak gembur sehingga perakaran terganggu. Selain itu pada lapisan padat gerakan air ke dalam tanah menjadi lambat seperti terlihat dari rendahnya laju permeabilitas tanah. Dengan demikian tanah akan cepat jenuh sehingga aliran permukaan menjadi besar (Sitorus, 2002)

Karakteristik lahan kering di Indonesia mempunyai sifat sebagai tanah masam (pH<5,0) dan sekitar 69 % dari luasan lahan kering bersifat masam (Hidayat dan Mulyani 2005). Menurut Rosjid dan Subagyo (2005) lahan kering di luar Jawa terutama di Sumatera Selatan yang digunakan untuk lahan transmigrasi didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kuning (PMK), bekas hutan sekunder serta padang alang-alang. Lahan tersebut merupakan lahan bermasalah dengan kesuburan tanah yang rendah. Agar usahatani yang


(46)

diusahakan dapat menjamin kehidupan petani dalam jangka panjang, lahan tersebut harus diusahakan sesuai dengan pola usahatani terpadu.

Pola usahatani yang terbaik adalah yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan aslinya. Bila lingkungan aslinya hutan maka cabang usaha utama yang ideal adalah usahatani perkebunan. Untuk daerah lahan kering jenis PMK adalah salahsatu tanaman yang cocok adalah tanaman karet. Tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan di tanah yang kurang subur dan dapat memberikan penghasilan harian bagi petani. Pada pertanaman karet sebelum menghasilkan, dimungkinkan penanaman tanaman sela pangan maupun tanaman pakan. Setelah kanopi menutup tanaman karet tidak terlalu membutuhkan pengelolaan yang intensif sehingga sudah menjadi kebiasaan petani di Sumatera Selatan untuk mengusahakan cabang usaha tanaman pangan dan ternak sebagai usahatani pendukung di samping karet sebagai cabang usaha utama.

Pengembangan usahatani pada lahan kering yang cenderung bersifat masam di Indonesia dihadapkan pada berbagai kendala. Menurut Hakim et al. (1994) kendala utama dalam pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian adalah rendahnya kandungan bahan organik tanah dengan daya pegang air yang rendah, sehingga air tanah tidak tersedia bagi tanaman. Adanya berbagai faktor pembatas pertumbuhan seperti rendahnya kesuburan tanah dan tidak tersedianya air sepanjang tahun merupakan kendala utama rendahnya produktivitas lahan. Kebutuhan air pada lahan kering umumnya setara dengan laju evapotranspirasi potensial (pada kondisi air tanah tersedia), yang nilainya di Indonesia berkisar 2,7 - 7,0 mm/ hari.

Secara praktis berbagai pakar menetapkan kebutuhan air pada lahan kering adalah 75 - 100 mm/ bulan dengan asumsi bahwa laju evapotranspirasi hanya 2,5 - 3,0 mm/ hari (FAO, 1981). Kemudian oleh Oldeman et al. (1980), disetarakan dengan curah hujan 100-200 mm per bulan setelah mempertimbangkan peluang kejadian hujan dan tidak semua curah hujan efektif digunakan. Periode bulan-bulan yang mempunyai curah hujan lebih besar dari 100 mm per bulannya merupakan periode air tersedia bagi tanaman pangan lahan kering. Selain itu, suhu yang tinggi dan ketidak merataan curah hujan serta kerentanan tanah terhadap erosi telah menambah kompleksitas permasalahan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan


(1)

Lampiran 34 (Lanjutan)

Produksi Lateks


(2)

Lampiran 34 (Lanjutan)

Produksi Lateks


(3)

Lampiran 34 (Lanjutan)

Kios Pupuk di Desa Marga Bakti


(4)

Lampiran 34 (Lanjutan)

Pasar di Batumarta II


(5)

Lampiran 34 (Lanjutan)

Rumah Penduduk di Kawasan Batumarta


(6)

Lampiran 34 (Lanjutan)


Dokumen yang terkait

Analisis Potensi Dan Pengembangan Kawasan Wisata Taman Eden 100 Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara

4 107 116

Suatu Perbandingan Performans Reproduksi dan Produksi antara Sapi Brahman, Peranakan Ongole dan Bali di Daerah Transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan

0 60 527

Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak)

1 6 208

Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan Di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur)

2 24 203

Model pengembangan perkebunan karet berkelanjutan pada kawasan transmigrasi batumarta provinsi Sumatera Selatan

2 35 215

Suatu Perbandingan Performans Reproduksi dan Produksi antara Sapi Brahman, Peranakan Ongole dan Bali di Daerah Transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan

0 3 259

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN MUSI RAWAS PROVINSI SUMATERA SELATAN (PENDEKATAN TIPOLOGI KLASSEN)

2 19 103

PENGEMBANGAN PROGRAM PENINGKATAN KOMPETENSI MASYARAKAT TRANSMIGRASI BERBASIS POTENSI LINGKUNGAN: Studi Pengembangan Model Pelatihan Tenaga Kerja Bangunan pada Kawasan KTM Lunang Silaut Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.

0 0 70

STUDI KELAYAKAN INVESTASI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KARET DI SUMATERA SELATAN

0 0 9

DAMPAK POLA PEREMAJAAN PARTISIPATIF TERHADAP PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PROVINSI SUMATERA SELATAN

0 0 12