lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Menurut Rosita 2011 yang mengutip pendapat Rathus dan Nevid 1983, bahwa
faktor yang memengaruhi asertifitas, terdiri dari usia, jenis kelamin, harga diri self esteem, budaya, tingkat pendidikan serta situasi yang ada di sekitar seperti pola asuh
orang tua dan teman sebaya. Dengan mengacu pada konsep tersebut, ternyata hasil penelitian ini membuktikan bahwa variabel independen budaya, pola asuh, orang tua,
teman sebaya, pengetahuan, self-efficacy, dan media informasi secara bersama-sama mampu menerangkan variasi perubahan pada variabel dependen asertifitas dalam
perilaku seksual.
5.1 Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual
Pada analisis univariat didapatkan bahwa responden dengan asertifitas tinggi sebesar 57,5 dan sisanya rendah yaitu 42,5. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Rosita 2010 yang juga meneliti tentang perilaku asertif, didapatkan hasil bahwa subjek memiliki tingkat perilaku asertif yang cenderung tinggi dimana mean
empirik ME lebih besar dari mean hipotetik MH yaitu 81,44 67,5. Berdasarkan penelitian Noviasari 2011 ada hubungan negatif antara asertifitas dengan perilaku
seksual pranikah dimana semakin tinggi asertifitas semakin rendah perilaku seksualnya, diketahui sebanyak 27,1 sumbangan asertifitas terhadap perilaku
seksual dalam penelitian ini. Sejalan juga dengan penelitian Puspitorini 2006, yaitu terdapat 35,28 sumbangan asertifitas dalam perilaku seksual.
Universitas Sumatera Utara
Tingginya asertifitas remaja dalam penelitian ini juga dapat diketahui berdasarkan beberapa pernyataan yang berkaitan dengan asertifitas. Walaupun
diketahui sebanyak 44,2 responden yang membiarkan saja bibirnya dicium oleh pasangan, dan lebih dari separuh responden 54 yang jarang menolak bila
pasangan memeluk tubuhnya, namun terdapat 44,2 responden yang pergi meninggalkan pasangannya bila pasangannya tetap menyentuh alat genitalnya walau
dia sudah berusaha mengatakan tidak mau, dan lebih dari separuh responden 61,9 yang mengatakan pada pasangan tidak akan mau berhubungan seksual sebelum
menikah. Menurut Puspitorini 2006 yang mengutip pendapat Levinston 1984
mengatakan bahwa individu yang memiliki asertifitas tinggi tidak mudah terpengaruh oleh ajakan atau terprovokasi termasuk dalam mengekspresikan perilaku seksualnya.
Remaja-remaja yang mengeskpresikan perilaku seksualnya dengan membaca buku porno, berpegangan tangan, berciuman, melakukan rangsangan seksual di daerah
genital bahkan melakukan hubungan seksual merupakan remaja-remaja yang memiliki perilaku asertif rendah. Mereka adalah remaja yang mudah terpengaruh
dengan ajakan pacar atau teman, mudah dirayu, dan tidak bisa mempertahankan keyakinan atau prinsipnya.
Menurut Noviasari 2011, asertifitas yang dimiliki remaja membuat dirinya mampu mempertahankan hak-hak seksualnya tanpa merugikan orang lain, sehingga
remaja tidak takut dalam menolak pacarnya ketika pacarnya mengajak untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah, akibatnya remaja dapat terhindar dari
Universitas Sumatera Utara
perilaku seksual pranikah. Noviasari 2011 yang mengutip pendapat Imran 2000 juga mengatakan bahwa ada berbagai faktor yang memengaruhi perilaku seksual
pranikah salah satunya adalah faktor keterpaksaan, dimana ketika pacar mengajak melakukan hubungan seksual remaja tidak dapat menolaknya. Ketidakmampuan
dalam menolak ajakan untuk berhubungan seksual dengan alasan karena takut kehilangan pacarnya.
Marini dkk 2005, mengutip pendapat Hawari dkk 2002, menyatakan bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal yang negatif seperti seks bebas, salah
satunya adalah karena kepribadian yang lemah. Ciri – cirinya antara lain daya tahan terhadap tegangan dan tekanan rendah, kurang bisa mengekpresikan diri, kurang bisa
mengendalikan emosi dan agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik yang erat kaitannya dengan asertifitas.
Menurut Indrayani dan Saepudin 2008, dalam pandangan Rosenstock dan
Becker melalui teori Health Belief Model HBM 1954, remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah sehingga mengakibatkan kehamilan pranikah, lebih
disebabkan karena beberapa faktor diantaranya rendahnya pengetahuan tentang seksualitas dan kontrasepsi, pengaruh norma kelompok sebaya yang dianutnya, status
hubungan, harga diri yang rendah serta rendahnya keterampilan interpersonal khususnya perempuan untuk bersikap asertif yakni sikap tegas untuk mengatakan
tidak terhadap ajakan melakukan hubungan seks dari teman kencannya. Menurut East dan Adams 2002, ketegasan seksual atau asertif berarti
mengenali hal – hal yang tidak sesuai dalam perilaku seksual dan berpotensi dalam
Universitas Sumatera Utara
mengendalikan hubungan seksual yang dipaksakan, dan memiliki keterampilan untuk mengatakan tidak. Ini berarti memiliki hak untuk menerima pengetahuan yang
komprehensif mengenai seksualitas, yang mengajarkan tentang menentukan pilihan, dan bagi mereka yang memilih untuk aktif secara seksual, itu berarti memiliki hak
untuk melindungi diri terhadap risiko kehamilan, HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Namun, bersikap tegas dalam hubungan seksual adalah hal yang sulit dan
rumit, terutama untuk remaja. Tetapi kehidupan remaja dalam masa sekarang ini sangat membutuhkannya.
Remaja perlu diberikan pelatihan mengenai asertifitas untuk membantu melatih keberanian diri remaja dalam berperilaku asertif. Pelatihan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik assertive training. Menurut Jayanti 2012 yang mengutip pendapat Corey 2005, teknik assertive training dapat diterapkan
pada situasi-situasi interpersonal di mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang
layak atau benar. Teknik assertive training digunakan untuk membantu orang-orang yang tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya,
memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya, merasa tidak punya hak
untuk memiliki. Jayanti 2012 juga mengutip Gunarsa 2004 menyatakan bahwa latihan asertif merupakan prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih
Universitas Sumatera Utara
perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat dan haknya. Berbagai bentuk assertive training sudah pernah dilakukan
seperti yang dilakukan oleh Afiatin 2003 dengan metode AJI yang berarti Asertif, Jaya berharga dan I inovatif untuk peningkatan asertif dan harga diri pada perilaku
NAPZA, dan metode monopoli asertif yang dikembangkan oleh Elfarini dan Christiana 2013.
Memasukkan asertifitas dalam kurikulum sekolah juga dapat membantu untuk meningkatkan asertifitas remaja dalam perilaku seksual, terutama pada remaja-remaja
awal seperti remaja yang bersekolah di SMP Negeri I Hinai ini, karena asertifitas akan sangat diperlukan lebih besar pada saat nantinya remaja bertambah usia dan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
5.2 Pengaruh Budaya terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual