Pengaruh Budaya terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual

perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat dan haknya. Berbagai bentuk assertive training sudah pernah dilakukan seperti yang dilakukan oleh Afiatin 2003 dengan metode AJI yang berarti Asertif, Jaya berharga dan I inovatif untuk peningkatan asertif dan harga diri pada perilaku NAPZA, dan metode monopoli asertif yang dikembangkan oleh Elfarini dan Christiana 2013. Memasukkan asertifitas dalam kurikulum sekolah juga dapat membantu untuk meningkatkan asertifitas remaja dalam perilaku seksual, terutama pada remaja-remaja awal seperti remaja yang bersekolah di SMP Negeri I Hinai ini, karena asertifitas akan sangat diperlukan lebih besar pada saat nantinya remaja bertambah usia dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

5.2 Pengaruh Budaya terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual

Pada analisis univariat didapatkan bahwa responden dengan budaya mendukung sebesar 58,4 dan sisanya tidak mendukung yaitu 41,6. Pengaruh budaya terhadap asertifitas dalam perilaku seksual didapat bahwa dari 66 siswi yang berbudaya tinggi terdapat 69,7 yang memiliki asertivitas dalam perilaku seksual yang tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,002 artinya ada pengaruh yang signifikan antara budaya terhadap asertivitas dalam perilaku seksual. Hasil analisis multivariat terdapat pengaruh yang signifikan budaya terhadap asertivitas dalam perilaku seksual dengan nilai p = 0,014 α=0,05 dan OR 2,97 dengan 95 CI=1,24- 7,07. Kemungkinan responden yang memiliki budaya mendukung memiliki asertifitas Universitas Sumatera Utara dalam perilaku seksual 2,97 kali lebih tinggi dibanding responden dengan yang budayanya tidak mendukung setelah dikontrol dengan variabel harga diri, pola asuh, teman sebaya, self-efficacy, pengetahuan dan media informasi. Namun hasil penelitian tersebut, tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hidayah 2010 di dua sekolah di Kota Medan, dimana diperoleh nilai p sebesar 0,401 p0,05 yang artinya tidak ada perbedaan asertifitas yang signifikan ditinjau dari suku bangsa. Hal ini terjadi dikarenakan kota madya Medan merupakan kota yang sangat heterogen bahwa kota medan ini bila dilihat dari tipe penggolongan kota di Indonesia merupakan kota yang dihuni oleh sejumlah suku bangsa yang mendominasi kebudayaan dari ibukota tersebut. Sehingga sudah sangat membaur antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain, antara satu suku dengan suku lain dimana unsur yang di bawa dari faktor kebudayaan tersebut sudah tidak tampak lagi. Rakos 1991 mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan bahwa pada suatu budaya suatu perilaku dipandang asertif dan sesuai dengan budaya setempat. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir oleh masyarakat dengan latar belakang budaya lain. Berdasarkan hasil penelitian Novianti dan Tjalla 2008, yang meneliti perilaku asertif pada tiga orang remaja awal, dimana diketahui bahwa remaja 1 yang memiliki ayah dari suku Jawa dengan ibu dari suku Sunda. Remaja 2 yang memiliki ayah dari Suku Padang dengan ibu dari suku Betawi, dan remaja 3 memiliki kedua orang tua dari suku yang sama, suku Sunda. Pada kasus remaja 1 dan 3, terlihat Universitas Sumatera Utara bahwa subjek merasa bahwa kebudayaan mempengaruhi perilakunya. Pada kasus remaja 2 dapat dilihat subjek merasa kebudayaan tidak mempengaruhi perilakunya dan dapat dilihat bahwa remaja 1 dan 3 merasa akan mendapatkan akibat negatif apabila mereka mengabaikan sisi kebudayaan mereka. Menurut Laura dan Syifa 2006 yang mengutip Emmons 1995, asertifitas dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, usia serta pekerjaan. Budaya yang membeda-bedakan kedudukan antara pria dan wanitanya dapat menjadikan wanita tersebut tidak asertif. Budaya negara Indonesia yang ramah tamah, saling menghormati, dan penuh basa basi membuat kebanyakan orang menjadi enggan untuk bersikap asertif. Perasaan takut mengecewakan orang lain, berbuat tidak sopan, dan takut tidak disukai atau tidak diterima lingkungan adalah perasaan yang paling dominan timbul ketika seseorang akan bersikap asertif. Keinginan untuk tetap mempertahankan kelangsungan hubungan membuat seringkali orang membiarkan dirinya untuk bersikap non asertif memendam perasaan, perbedaan pendapat. Mangunsong 2009 mengatakan pengertian kultural atau budaya yang dapat digunakan bergantian, dengan arti yang sama mengacu pada perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu masyarakat tertentu. Kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok manusia merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang mengarahkan perilaku kelompok tersebut. Mangunsong 2009 juga mengutip Nahavandi 2000 mengatakan bahwa kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan belief dan hubungan interpersonal seseorang. Mangunsong 2009 mengutip Universitas Sumatera Utara pendapat Triandis 1994, mengatakan bahwa keluarga adalah aparat dasar dari masyarakat. Perkembangan anak, proses sosialisasi, introjeksi nilai-nilai masyarakat dan pembentukan identitas, kepribadian dilakukan dalam keluarga. Proses internalisasi dari kultur melalui berbagai pengalaman dan situasi mengaktifkan proses psikologis yang menyebabkan suatu perilaku terbiasa untuk dilakukan. Lingkungan kultural memiliki identitas, peran-peran, sistem sosial yang memberikan pedoman yang mengarahkan persepsi, sikap dan perilaku dari anggota kelompok masyarakatnya. Berdasarkan karakteristik responden, mayoritas responden dalam penelitian ini adalah suku Jawa 54,9. Herdiana 2007 melalui penelitiannya tentang budaya asertif pada anak-anak dengan kultur Jawa, menguraikan bahwa secara umum anak- anak dengan latar belakang kultur Jawa masih memperlihatkan tingkat perilaku asertif yang terbatas. Mereka kebanyakan masih sangat bergantung pada orang tua, terutama ibu untuk menentukan keinginan-keinginannya. Keluarga masih memiliki kekhawatiran akan terkikisnya kearifan budaya lokal mereka jika anak terlalu diberikan kebebasan. Anak banyak belajar keterbukaan bahkan dari lingkungan di luar rumah, seperti sekolah dan lingkungan bermain. Tetapi hal tersebut dapat juga tidak sesuai bila kita hubungkan dengan yang dijelaskan Laura dan Syifa 2006 yang mengutip pendapat Handayani 2004 bahwa karakter wanita jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diamkalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri Universitas Sumatera Utara tinggiterkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi dan setialoyalitas tinggi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suseno dan Reksusilo 1983 yang mengatakan bahwa budaya Jawa juga mengajarkan untuk melakukan pengekangan. Istilah “ngono yo ngono ning ojo ngono” begitu ya begitu namun jangan begitu menunjukkan agar seseorang tidak mengungkapkan pikiran perasaan apa adanya kepada orang lain, tetapi harus dikemas dengan bahasa yang pas. Beberapa ciri tersebut sangat berkaitan dengan asertifitas seseorang. Menurut Alberti dan Emmons 2002, asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Sikap tegas membuat seseorang mampu menyatakan pikiran, perasaan dan nilai-nilai mengenai sesuatu secara terbuka dan langsung, dengan tetap menghormati perasaan dan nilai – nilai pihak lain. Jadi dapat kita asumsikan bahwa asertifitas yang tinggi pada responden dalam penelitian karena dipengaruhi mayoritas suku bangsa yang dimiliki oleh responden. Selanjutnya menurut Destari dan Andrianto 2005 yang mengutip pendapat Reputrawati 1996 mengatakan bahwa asertivitas merupakan keterampilan sosial yang sangat bermanfaat dalam pengembangan diri seseorang, dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang dialami individu dalam lingkungan sepanjang hidupnya yang berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu budaya dan lingkungan yang melingkupi dimana seorang individu berkembang akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan asertivitasnya. Universitas Sumatera Utara

5.3 Pengaruh Harga Diri terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual