Pengaruh Self Efficacy terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual

mempengaruhi perilaku asertif. Dalam penelitian ini pengetahuan tidak berpengaruh terhadap asertifitas, dikarenakan pernyataan pengetahuan yang diberikan lebih fokus pada perilaku seksual daripada perilaku asertif. Sehingga pemahaman remaja tentang asertifitas belum begitu jelas. Hal ini juga dapat dilihat pada hasil tabulasi silang bahwa terdapat responden yang memiliki pengetahuan baik tetapi asertifitasnya rendah yaitu 39,7. Menurut Ali dan Asrori 2011, bahwa perkembangan intelektual dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan. Keluarga sebagai lingkungan yang dekat dengan remaja memberikan intervensi berupa memberikan pengalaman kepada remaja dalam memperoleh informasi. Salah satu cara yang digunakan, misalnya mendorong keingintahuan anak dengan jalan menyediakan bacaan, alat-alat keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan kreativitas anak. Namun proses ini menuntut perhatian orang tua yang besar pada anak. Dalam penelitian ini pola asuh tidak memberikan pengaruh terhadap asertifitas, hal ini juga yang mendasari mengapa pengetahuan juga tidak memberikan pengaruh terhadap asertifitas remaja.

5.7 Pengaruh Self Efficacy terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual

Pengaruh self-efficacy dengan asertivitas dalam perilaku seksual didapat bahwa dari 76 responden dengan self-efficacy baik terdapat 64,5 yang asertivitas dalam perilaku seksual tinggi. Terdapat 43,2 responden dengan self-efficacy kurang tetapi memiliki asertivitas dalam perilaku seksual tinggi. Hasil uji statistik Universitas Sumatera Utara menunjukkan nilai p = 0,032 artinya ada pengaruh yang signifikan antara self-efficacy terhadap asertivitas dalam perilaku seksual. Namun, menurut analisis multivariat tidak terdapat pengaruh yang signifikan self efficacy terhadap asertivitas dalam perilaku seksual dengan nilai p = 0,186 α=0,05 dan OR 1,83 dengan 95 CI=0,75-4,49. Kemungkinan responden yang self- efficacy baik memiliki asertivitas dalam perilaku seksual 1,83 kali lebih tinggi dibanding pada kelompok responden yang self-efficacy kurang baik setelah dikontrol dengan variabel budaya, harga diri, dan teman sebaya. Santrock 2007 menyatakan bahwa konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura 1986. Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. Muharrini 2012 yang mengutip pendapat Baron dan Byrne 2000 mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Remaja perlu keterampilan dalam menghadapi transisi kehidupannya untuk menjadi dewasa. sehingga dalam melewati masa remaja menuju dewasa, remaja dapat bertahan menghadapi tantangan, hambatan, serta dapat memanfaatkan peluang yang ada dihadapannya. Santrock 2007 mengutip pendapat Scheer dan Unger 1994, bahwa bertanggung jawab pada diri sendiri dan mengambil keputusan secara mandiri Universitas Sumatera Utara merupakan hal yang penting untuk mencapai status dewasa. Asertifitas merupakan salah satu bentuk dari pengambilan keputusan. Peilouw dan Nursalim 2013 mengutip pendapat Noorderhaven 1995 mengatakan bahwa faktor-faktor dalam diri individu yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan antara lain adalah kematangan emosi, kepribadian, intuisi, dan umur, Bandura dan Jourden 1991 berpendapat bahwa pengambilan keputusan dapat dipermudah atau dihambat oleh adanya selfefficacy. Hasil penelitian Peilouw dan Nursalim 2013 menunjukkan h ubungan antara pengambilan keputusan dengan self-efficacy yang bernilai 0,255 menunjukkan arah hubungan yang positif, artinya sebesar 25,5 dari variasi pengambilan keputusan dapat diprediksikan melalui self- efficacy. Arah hubungan positif berarti bahwa semakin tinggi self-efficacy individu, maka semakin tinggi pula pengambilan keputusannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah self-efficacy individu maka semakin rendah pula pengambilan keputusannya. Pada penelitian ini self-efficacy tidak berpengaruh secara signifikan pada analisis multivariat, karena adanya pengaruh harga diri yang lebih tinggi terhadap asertifitas dalam perilaku seksual remaja. Hal ini juga dapat dilihat dari pemeriksaan kolinearitas antar variabel independen yang masuk dalam kandidat model multivariat dimana analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara harga diri dengan self- efficacy dengan nilai p = 0,001 α=0,005. Dalam situasi yang sama tidak semua individu memberikan respon yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh tipe kepribadian seseorang. Dengan tipe kepribadian Universitas Sumatera Utara tertentu seseorang akan bertingkah laku berbeda dengan individu dengan tipe kepribadian lain. Harga diri dapat menumbuhkan keyakinan seseorang yang turut memengaruhi kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan, sementara itu Self efficacy persepsi seseorang terhadap kompetensi mereka yang juga diperlukan dalam menghadapi lingkungan, hal inilah yang menyebabkan walaupun self-efficacy tinggi, tetap tidak kuat memengaruhi asertivitas dalam perilaku seksual dikarenakan adanya harga diri yang tinggi. Mandala 2009 yang mengutip pendapat Bandura 1997, menyatakan bahwa kognisi adalah tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita memengaruhi tingkah laku, dan self-efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin yakin seseorang untuk melakukan suatu tingkah laku, dan akan melakukan suatu usaha yang lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk bertahan melakukan perilaku tersebut.

5.8 Pengaruh Media Informasi terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual