dalamnya terdapat orang yang meninggal; di antaranya ongkos penyelenggaraan jenazah sampai kuburan; termasuk biaya pengobatan waktu
sakit yang membawa kepada kematiannya.
29
2. Syarat Kewarisan
Untuk membuktikan warisan, disyaratkan tiga hal; matinya orang yang mewariskan, hidupnya orang yang mewarisi dan mengetahui arah kekerabatan.
a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan harus
dibuktikan, bisa secara haqiqi, hukmi, atau taqdiri dengan cara menganalogikan orang-orang yang mati.
30
Mati haqiqi adalah tidak adanya kehidupan, adakalanya dengan melihat, seperti seseorang disaksikan telah meninggal, diberitakan telah meninggal, atau
dengan suatu bukti.
31
Mati haqiqi mati sejati, yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud ada padanya. Kematian ini dapat disaksikan
oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
32
Mati hukmy mati menurut putusan hakim, yaitu suatu kematian disebabkan adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih
hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.
33
29
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. IV, h. 208.
30
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349.
31
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349.
32
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
33
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
Mati taqdiry mati menurut dugaan, yaitu suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dengan keyakinan yang kuat.
34
Mati taqdiri adalah menyamakan seseorang dengan orang-orang yang telah mati, dalam perkiraan taqdiri.
35
b. Hidupnya orang yang mewarisi : Hidupnya orang yang mewarisi setelah
kematian orang yang mewariskan harus terwujud juga, bisa dengan kehidupan hakiki dan tetap atau disamakan dengan orang-orang yang masih hidup dengan
perkiraan taqdiri.
36
Hidup haqiqi adalah hidup yang stabil, tetap pada orang yang disaksikan setelah matinya orang yang mewarisi.
Taqdiri adalah hidup yang tetap karena diperkirakan. c.
Mengetahui arah warisan. Ketiadaan halangan – yaitu tiadanya halangan warisan
– bukanlah syarat warisan. Syarat hanyalah dua hal pertama. Sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang Mesir, di mana dalam pasal dua
hanya dinyatakan dua syarat pertama saja.
37
34
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
35
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 350.
36
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 350.
37
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 350.
D. SEBAB-SEBAB DAN PENGHALANG KEWARISAN
1. Sebab-Sebab Terjadinya Kewarisan
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam sebab seseorang itu mendapat warisan dari si mayit dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
38
a. Hubungan perkawinan
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri. Kriteria suami istri tetap saling mewarisi
disamping keduanya telah melakukan akad nikah secara syah menurut syariat, juga antara suami istri belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari
keduanya meninggal dunia.
39
Adapun kedudukan istri-istri yang dicerai raj’i
40
dan suami lebih berhak untuk merujuknya perceraian pertama dan kedua selama masa iddah
41
, maka iapun berhak menerima warisan.
42
b. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahli waris yang disebabkan oleh faktor kelahiran. Dalam kedudukan hukum Jahiliyah,
kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki yang telah dewasa, kaum perempuan dan anak-anak tidak mendapat bagian. Setelah
38
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1999, h. 53.
39
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, h. 29.
40
Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri
dalam masa iddah. Lihat Pasal 118 KHI.
41
Masa Iddah adalah masa menunggu bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya, baik karena cerai hidupcerai mati. Lihat Pasal 153 KHI.
42
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 30.
Islam datang merevisi tatanan Jahiliyah, sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan sama dalam mewarisi, tak terkecuali pula anak yang masih dalam
kandungan. Adapun dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak yang sama :
ا . 0ِا.و 2ال ..ē.تلæ. 10مل ,ب2ي 0ğ.ل 0لæ.ج10ēل0 ل0
ل لæ 0مل . 2وب.ē2 ل.َ2ا.ل 0 ل . 0ِا.و 2ال ..ē.تلæ. 10مل ,ب2ي 0ğ.ل
ِ æ .س01نل0 .ل . 2وب.ē2 ل.َ2ا.
له2ۡ0مل . ل.ُ.ك2ل.ا
سنالæ +ض 2 ē2 .ملæب2ي 0ğ.ل ءæ
ل ل:
۷
Artinya : “Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak
menurut yang telah ditentukan”. QS. An-Nisa’4: 7
ل. : æ óَالهل 0 لæ.ت0كل 0ِل -Ġ2ع.ب0بلىل2ل.ال2مه ض0ع.يل0لæ.ح2 .َ2ا2و 2لا
ل ۷۷
Artinya : “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya di dalam kitab Allah”. QS. An-
Nisa’4: 78 c.
Hubungan memerdekakan budak al-Wala’ Al-
Wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong, namun sepertinya
sebab hubungan memerdekakan budak ini jarang dilakukan atau malah tidak ada sama sekali.
Adapun para fuqaha membagi hubungan wala’ menjadi 2 bagian :
1. Walaaul ‘Itqi atau hubungan antara yang memerdekakan mu’tiq
dengan yang dimerdekakan ‘atieq. Menurut jumhur fuqaha menetapkan