Ijtihad Para Ulama DASAR HUKUM KEWARISAN ISLAM

Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan ulama Hanafiyah. 26 Ulama fikih lain mengemukakan rumusan yang berbeda dengan yang dirumuskan di atas. Bagi mereka warisan itu ialah segala apa yang ditinggalkannya pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk harta atau hak- hak. 27 Bila diperhatikan rumusan yang dikemukakan ulama selain Hanafi sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa menurut mereka tidak berbeda antara harta warisan dan harta peninggalan. Namun kalau diperhatikan dalam pelaksanaan selanjutnya, bahwa sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dahulu wasiat dan utangnya, sebagaimana dituntut Allah SWT dalam ayat 11 dan 12 surat an- Nisa’. Dengan demikian, maka jelas bahwa dua kelompok ulama tersebut hanya berbeda dalam perumusan, sedangkan yang menyangkut substansinya sama saja. 28 Dalam pembahasan di atas telah dinyatakan bahwa harta yang menjadi harta warisan itu harus murni dari hak orang lain di dalamnya. Di antara usaha memurnikan hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan wasiat dan membayarkan utang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran utang dan wasiat itu dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di 26 Ibnu Abidin, Hasyiyatul Radd al-Mukhtar, Mesir: Mustafa al-babiy, 1966, cet. VI, h. 759 27 Hasanin Makhluf Muhammad, al-Mawaritsu fi al- Syari’st al-Islamiyah, Majelis al- A’la li Syuun al-Diniyah, 1971, h. 11. 28 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. IV, h. 208. dalamnya terdapat orang yang meninggal; di antaranya ongkos penyelenggaraan jenazah sampai kuburan; termasuk biaya pengobatan waktu sakit yang membawa kepada kematiannya. 29

2. Syarat Kewarisan

Untuk membuktikan warisan, disyaratkan tiga hal; matinya orang yang mewariskan, hidupnya orang yang mewarisi dan mengetahui arah kekerabatan. a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan harus dibuktikan, bisa secara haqiqi, hukmi, atau taqdiri dengan cara menganalogikan orang-orang yang mati. 30 Mati haqiqi adalah tidak adanya kehidupan, adakalanya dengan melihat, seperti seseorang disaksikan telah meninggal, diberitakan telah meninggal, atau dengan suatu bukti. 31 Mati haqiqi mati sejati, yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud ada padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. 32 Mati hukmy mati menurut putusan hakim, yaitu suatu kematian disebabkan adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. 33 29 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. IV, h. 208. 30 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349. 31 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349. 32 Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62. 33 Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.