Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen Politeknik Negeri Medan

(1)

POLITEKNIK NEGERI MEDAN

TESIS

Oleh

RISMAWATI

057019026/IM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Para ahli dan praktisi manajemen telah mengakui bahwa sumber daya manusia dalam organisasi merupakan faktor sentral yang perlu mendapat perhatian. Dalam paradigma masa kini, sumber daya manusia yang bekerja dalam perusahaan adalah merupakan kekayaan (asset) dan salah satu sumber keunggulan kompetitif dan elemen kunci yang penting untuk meraih kesuksesan dalam bersaing dan mencapai tujuan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas adalah melalui sistem pendidikan yang dapat dihandalkan. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, perlu diupayakan melalui pendidikan dan latihan yang diprogram dengan baik dan benar. Era globalisasi, reformasi, dan demokratisasi yang sangat dinamis, mengharuskan dunia pendidikan mengembangkan paradigma akademik baru dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mampu mengantisipasi perubahan global yang sedang terjadi. Berbagai pandangan, dasar berpikir, keputusan dan upaya pengembangan secara sistematik perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan yang akan dicapai.

Politeknik Negeri Medan adalah lembaga pendidikan tinggi yang memiliki peran strategis yang didirikan sejak tahun 1982. Hal ini karena Politeknik Negeri Medan menawarkan jalur pendidikan vokasi (kejuruan) untuk mempersiapkan tenaga trampil dan profesional yang dibutuhkan dalam proses pembangunan daerah maupun pembangunan nasional.

Peran strategis Politeknik Negeri Medan ini pelan-pelan kian memudar. Tidak seperti ketika diawal berdirinya, dimana alumni Politeknik Negeri Medan senantiasa diterima di pasar tenaga kerja. Proses belajar mengajar diterapkan dengan


(3)

disiplin yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan pasar. Sekarang kondisi ini berubah. Hal ini dapat dilihat dari misalnya: bahan ajar yang dihasilkan sangat terbatas dalam kuantitas maupun kualitas. Dari hasil kuesioner yang diberikan pada saat evaluasi yang diadakan di setiap akhir semester diperoleh pula beberapa keluhan yaitu penguasaan metodologi pembelajaran oleh dosen tidak lagi terstruktur baik, dosen mengajar cenderung satu arah, pemberian umpan balik kurang terlaksana, dan sistem evaluasi pembelajaran yang tidak lagi standard. Selain itu, dosen sering mengajar tidak tepat waktu, persentase jumlah jam mengajar per semester rata-rata hanya memenuhi batas minimal yang ditetapkan lembaga. Selain itu para dosen tidak dapat lagi berkonsentrasi untuk proses pembelajaran yang lebih baik, karena cenderung tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan persiapan, kurang memanfaatkan waktu luang yang ada, sistem monitoring yang melemah, dan tidak adanya lagi pelatihan teaching methodology yang lengkap bagi staf pengajar baru, lemahnya budaya menulis serta perubahan dalam hubungan sosial diantara sesama dosen.

Keseluruhan indikasi diatas banyak mempengaruhi kualitas alumni Politeknik Negeri Medan. Selain itu, masalah lain yang muncul adalah lembaga kurang meresponi tuntutan dosen akan perbaikan tingkat kesejahteraan sehingga motivasi mengajarnya sudah berkurang karena lembaga tidak dapat meningkatkan pendapatan para dosen sesuai dengan kebutuhannya

Dosen yang memiliki tingkat kemampuan yang baik dan didorong oleh kuatnya motivasi kerja akan dapat melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik sehingga dapat menghasilkan tamatan (alumni) yang berkualitas dan profesional sesuai dengan harapan. Proses pembelajaran yang baik sangat tergantung pada kinerja dosen. Untuk itu kinerja dosen harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk


(4)

meningkatkan kinerja itu biasanya dilakukan dengan cara memberikan motivasi. Dosen yang memiliki tingkat kemampuan yang memadai tetapi tidak memiliki motivasi kerja untuk melaksanakan tugasnya dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.

Berdasarkan ketiga unsur Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian serta Pengabdian, maka unsur Pendidikan dan Pengajaran yang menjadi perlu menjadi perhatian, karena dari data-data untuk dua unsur terakhir dari Tri Darma Perguruan Tinggi terlihat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan dari tahun ke tahun ada pertambahan bantuan dana untuk kegiatan penelitian dan pengabdian yang diberikan kepada dosen. Selain itu, beberapa jurusan yang ada di Politeknik Negeri Medan berhasil memenangkan beberapa program hibah bersaing yang diberikan Dikti, dan salah satu kegiatan yang didanai adalah kegiatan penelitian. Hal inilah yang menyebabkan unsur penelitian dan pengabdian senantiasa banyak dilakukan di Politeknik Negeri Medan.

Salah satu indikator utama yang dapat dipakai untuk menilai kurang baiknya unsur pengajaran di Politeknik Negeri Medan adalah dengan melihat rata-rata persentase jumlah kehadiran dosen yang dapat dilihat dari Tabel berikut ini:


(5)

Tabel 1.1

Rekapitulasi Rata-rata Kehadiran Mengajar Dosen Politeknik Negeri Medan Tahun Ajaran 2004/2005 dan 2005/2006

RATA-RATA KEHADIRAN MENGAJAR DOSEN

2004/2005 2005/2006 NO. JURUSAN

SEMESTER A (%)

SEMESTER B (%)

SEMESTER A (%)

SEMESTER B (%)

1. Teknik Mesin 73 70 75 80

2. Teknik Elektro 65 74 70 72

3. Teknik Sipil 76 71 72 85

4. Akuntansi 70 75 75 74

5. Administrasi Niaga 83 88 85 87

Rata-rata 73,4 75,6 75,4 79,6

Sumber: Politeknik Negeri Medan (2007)

Pada Tabel 1.1 diatas, rata-rata kehadiran dosen masih berada pada tingkat minimal yang diharapkan (75%). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata dosen hanya berusaha memenuhi standard minimal yang ditetapkan Politeknik Negeri Medan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, ditemukan bahwa dosen memperlihatkan pencapaian kinerja yang tidak memuaskan. Relatif rendahnya pencapaian kinerja dosen diakui memberikan dampak terhadap tingkat kepuasan mahasiswa.

Kondisi tersebut mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dengan mencari tahu secara mendasar faktor apa sesungguhnya yang menyebabkan pencapaian kinerja dosen di Politeknik Negeri Medan relatif rendah Dalam penelitian ini fokus utama yang dilihat adalah pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja dosen.


(6)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut: bagaimana pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan

2. Untuk mengetahui variabel mana yang paling dominan mempengaruhi kinerja dosen Politeknik Negeri Medan

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terutama:

1. Memberi masukan bagi pimpinan Politeknik Negeri Medan dalam rangka memotivasi dan menciptakan budaya organisasi yang bermanfaat untuk meningkatan kinerja dosen

2. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan khasanah ilmu pengetahuan, artinya dapat memperkuat teori-teori tentang motivasi kerja, budaya organisasi, dan kinerja, maupun untuk merespon penelitian terdahulu.

3. Menambah dan memperluas pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam bidang manajemen personalia khususnya mengenai topik motivasi, budaya organisasi dan kinerja


(7)

1.5 Kerangka Pemikiran

Dosen yang memiliki tingkat kemampuan yang baik dan didorong oleh kuatnya motivasi kerja akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga dapat menghasilkan tamatan (alumni) yang berkualitas dan profesional sesuai dengan harapan. Proses pembelajaran sangat tergantung pada motivasi kerja dosen. Untuk itu motivasi kerja dosen harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk meningkatkan motivasi kerja itu harus selalu dipikirkan. Staf pengajar yang memiliki tingkat kemampuan yang memadai tetapi tidak memiliki motivasi kerja untuk melaksanakan tugasnya dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.

Pemikiran diatas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Siagian (2002), yang menyatakan bahwa: ”motivasi sebagai keseluruhan proses pemberian motif bekerja pada karyawan sedemikian rupa, sehingga karyawan mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan”. Selanjutnya, menjadi bagian dari organisasi berarti menjadi bagian dari budayanya. Pada kaitan organisasi, maka budaya organisasi adalah nilai yang mendasar dalam cara mengelola serta mengorganisasikannya. Nilai-nilai itu merupakan keyakinan yang dipegang teguh dan kadang-kadang tidak terungkapkan. Nilai-nilai dan semangat ini merupakan suatu kunci yang sangat strategis, bahkan menjadi alat motivasi masing-masing individu dan atau organisasi dalam usaha menjawab tantangan serta usaha memanfaatkan peluang guna meningkatkan kinerja organisasi. Robbins (2002) menyatakan bahwa: ”strong cultures increase behavioral consistency”.

Bagaimana seseorang berinteraksi dalam sebuah organisasi dan asumsi dasar yang diambil adalah bagian dari budaya organisasi. Dengan perubahan situasi global seperti sekarang ini, organisasi menghadapi tantangan untuk mengadopsi budaya


(8)

organisasi yang tidak hanya harus fleksibel, tetapi juga harus sensitif terhadap berbagai perbedaan budaya yang dihadapi oleh anggota organisasi. Dosen yang sudah memahami keseluruhan nilai-nilai organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga akan menjadi kinerja individual.

Djokosantoso (2003) menyatakan bahwa: “ada keterkaitan hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja organisas. Semakin baik kualitas faktor-faktor yang terdapat dalam budaya organisasi, maka makin baik kinerja organisasi tersebut”.

Seorang Dosen yang memiliki kemampuan dalam penguasaan di bidang pekerjaannya, mempunyai minat untuk melakukan pekerjaan tersebut, serta mengerti perannya dengan jelas, maka dosen tersebut akan memiliki motivasi bekerja yang baik serta landasan yang kuat untuk berprestasi dan memiliki kinerja yang lebih baik.

Menurut Hasibuan (2001) bahwa: “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Kinerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting yaitu, kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor di atas, semakin besarlah kinerja karyawan bersangkutan.


(9)

Gambar 1.1 menjelaskan kerangka konseptual pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan.

Motivasi Kerja

Kinerja

Budaya Organisasi

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah ”motivasi kerja dan budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan”.


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Marifah (2005), melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada Unit Pelaksana Teknik Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis motivasi kerja, budaya organisasi dan kinerja pegawai serta pengaruhnya. Penelitian ini merupakan tipe penelitian eksplanatory (penjelasan) karena penelitian ini bermaksud menjelaskan variabel-variabel melalui pengujian hipotesis yang telah dirumuskan. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja sosial yang ada di UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 77 orang. Analisis data menggunakan metode regresi linear berganda (multiple regression).

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa motivasi kerja dan budaya organisasi secara partial dan simultan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai.

Penelitian Timotius (2002) yang berjudul “Hubungan Motivasi Kerja dengan Kinerja Guru SLTP Negeri Muara Lawa”. Teknik analisis data yang digunakan dalam menguji hipotesa digunakan statistik korelasi Product Moment dari Karl Pearson. Penelitian ini bermaksud untuk: (1) mengetahui motivasi kerja guru (2) untuk mengetahui kinerja guru, dan (3) untuk mengetahui hubungan motivasi kerja dengan kinerja guru. Hasil analisis menunjukkan: (1)Terdapat 90,9% guru dengan tingkat motivasi sedang, dan hanya 9,1% dengan tingkat motivasi kerja tinggi. Rata-rata motivasi kerja guru adalah 40,2 termasuk tingkat motivasi dengan kriteria ”sedang”. (2) Terdapat 95,5% guru dengan tingkat kinerja sedang, dan hanya 4,5% guru dengan tingkat kinerja tinggi. Adapun rata-rata kinerja guru adalah 49,8


(11)

termasuk tingkat kinerja dengan kriteria ”sedang”. (3) Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara motivasi kerja dengan kinerja guru SLTP Negeri Muara Lawa. Guru disarankan untuk meningkatkan motivasi kerja dan kinerjanya. Kepala sekolah diminta untuk memperhatikan faktor-faktor yang mampu meningkatkan motivasi kerja dan kinerja guru, misalnya melalui penghargaan, insentif maupun menciptakan suasana yang harmonis di sekolah, sehingga kinerja guru meningkat.

Penelitian Arnita (2002) yang berjudul “Pengaruh Budaya Organisasi Baru terhadap Motivasi dan Prestasi Kerja di PT Nusantara IV (Persero) Sumatera Utara”. Penggunaan SEM dalam penelitian ini bertujuan untuk: 1). mengetahui konstruk budaya organisasi baru terhadap motivasi kerja dan prestasi kerja dan 2). untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja terhadap prestasi kerja. Hasil analisis SEM menunjukkan: 1). terdapat pengaruh signifikan budaya organisasi baru terhadap motivasi kerja dan prestasi kerja; 2). terdapat pengaruh signifikan motivasi kerja terhadap prestasi kerja. Walaupun penelitian ini memiliki judul yang sama dengan penelitian terdahulu, namun terdapat perbedaan yang signifikan dalam beberapa hal yang dapat dilihat dari Tabel 2.1 dibawah ini:


(12)

Tabel 2.1

Mapping Perbedaan Masing-masing Hasil Penelitian

No . Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Variabel Metodologi Penelitian Hasil 1 Dewi Marifah 2005 Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Oganisasi terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Jawa Timur Motivasi kerja: - Motivasi Kekuasaan - Motivasi afiliasi - Motivasi kompetensi - Motivasi reward - Motivasi punishment

Budaya Organisasi: - Terkaitan dengan lingkungan - Hakekat kegiatan manusia

- Hakekat realitas dan kebenaran

- Hakekat waktu - Hakekat sifat manusia

- Hakekat hubungan antar manusia - Homogenity vs diversity

Kinerja:

- Faktor kualitas kerja - Faktor kuantitas - Faktor pengetahuan - Faktor keandalan - Faktor kehadiran - Faktor kerjasama Mengguna-kan analisis Regresi Berganda Semakin tinggi motivasi kerja dan semakin kuat budaya organisasi, maka semakin baik pula kinerja pekerja sosial pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Jawa Timur

2 Timotius, S.Pd 2002 Hubungan Motivasi Kerja dengan Kinerja Guru SLTP Negeri Muara Lawa Motivasi:

- Imbalan yang layak - Kesempatan untuk

promosi

- Memperoleh pengakuan - Keamanan bekerja - Lingkungan kerja yang

baik

- Penerimaan oleh kelompok

- Perasaan ikut serta - Penghargaan atas

prestasi

- Disiplin yang bijaksana - Pimpinan yang

mendukung

Kinerja: - Menguasai dan

mengembangkan metode - Menguasai bahan

pelajaran dan Menggunakan Korelasi Product Moment dari Karl Pearson Terhadap hubungan yang signifikan dan positif antara motivasi kerja dan kinerja guru SLTP Negeri Muara Lawa


(13)

menggunakan sumber belajar

- Kesetiaan

- Bertanggung jawab - Kedisiplinan - Kreativitas

- Melakukan interaksi dengan murid

- Kepribadian yang baik, jujur dan objektif - Mampu berpikir

sistematis

- Menguasai administrasi 3 Arnita Hamid 2002 Pengaruh Budaya Organisasi Baru terhadap Motivasi dan Prestasi Kerja di PT Nusantara IV (Persero) Sumatera Utara Budaya organisasi: - Profesionalisme - Orientasi pekerjaan - Dinamika kompensasi - Dinamika peluang karir - Dinamika tim kerja - Aspek kompetisi - Dinamika kebijakan perusahaan

Motivasi:

- Sikap menyatu dengan pekerjaan

- Bertanggung jawab se- Cara kreatif dan inovatif - Kemauan memperhitung kan dan menanggung resiko

- Semangat kerjasama - Optimisme berkarir - Rasa memiliki

- Keinginan umpan balik

Prestasi kerja: - Prestasi kerja - Kemampuan teknis - Kepribadian dan penam- pilan

- Kemampuan manajerial

Menggunakan alat uji statistik Stuctural Equation Modelling (SEM) Hasil analisis: 1.terdapat pengaruh signifikan budaya organisasi baru terhadap motivasi kerja dan prestasi kerja; 2.terdapat pengaruh signifikan motivasi kerja terhadap prestasi kerja.

4 Rismawati 2007 Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen Politeknik Negeri Medan di Medan Motivasi kerja: - Prestasi kerja - Pengaruh - Pengendalian - Ketergantunan - Pengembangan - Afiliasi (kerjasama)

Budaya organisasi: - Profesionalisme - Kepemimpinan - Kepercayaan kepada rekan kerj - Keteraturan - Konflik - Integrasi Mengguna kan uji statistik regresi ganda Motivasi kerja dan budaya organisasi secara serempak dan partial mempengaru hi kinerja dosen Politeknik Negeri Medan


(14)

Kinerja:

- Kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar

- Menguasai dan mengembangkan metode

- Menguasai bahan pelajaran dan menggunakan sumber belajar

- Bertanggung jawab memantau hasil belajar mengajar

- Disiplin dalam mengajar dan tugas lainnya

- Kreatif dalam pelaksanaan pengajaran - Melakukan interaksi

dengan mahasiswa untuk menimbulkan motivasi

- Memiliki kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membimbing mahasiswa - Mampu berpikir

sistematis tentang apa yang dilakukannya - Paham dalam

administrasi pengajaran


(15)

2.2 Motivasi Kerja

Orang-orang yang termotivasi akan melakukan pekerjaannya lebih baik daripada yang tidak. Namun, pernyataan ini bersifat relatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk dalam hal kebutuhan dan keinginan. Hal ini berbeda karena setiap anggota organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses yang berbeda pula. Oleh karena itu berikut ini akan dijelaskan beberapa pengertian dan teori motivasi.

2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja

Stanford dalam Mangkunegara (2002) menyatakan bahwa: ”motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu”.

Supardi dan Anwar (2004) menyatakan bahwa: ”motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan”. Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Motivasi bukanlah yang dapat diamati tetapi adalah hal yang dapat disimpulkan karena sesuatu perilaku yang tampak.

Siagian (2002) menyatakan bahwa: ”yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya pada umumnya adalah sesuatu yang mempunyai arti penting bagi dirinya sendiri dan bagi instansi”. Menurut Heidjerachman dan Husnan (2003) bahwa: “motivasi merupakan proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang agar melakukan sesuatu yang kita inginkan”. Untuk membangun produktivitas dan motivasi pekerja, ada dua hal yang harus dilakukan: pertama, pembayaran pekerjaan individual seseorang; dan kedua, pembayaran untuk setiap tugas tambahan yang diberikan sehingga baik kebutuhan instansi maupun individu tercapai (Timpe, 1999).


(16)

Menurut As'ad (2003) bahwa: ’motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan’. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat sehingga motivasi tersebut merupakan driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Lebih lanjut Wexley & Yulk dalam As'ad (2003), memberikan batasan mengenai motivasi sebagai: “the process by which behaviour is energized and directed (motivasi merupakan hal yang melatar belakangi individu berbuat untuk mencapai tujuan tertentu)”. Seseorang yang dengan sengaja mengikatkan diri menjadi bagian dari organisasi mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, salah satunya adalah agar mereka dapat berinteraksi dengan manusia lainnya dan agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi.

Hasibuan (2003) menyatakan bahwa motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti ‘dorongan atau daya penggerak’. Hasibuan mengemukakan bahwa: ”motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan”.

Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu (karyawan) mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Motivasi harus dilakukan pimpinan terhadap bawahannya karena adanya dimensi tentang pembagian pekerjaan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah dorongan, upaya dan keinginan yang ada di dalam diri manusia. Motivasi


(17)

mengaktifkan, memberi daya, serta mengarahkan perilaku untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.2.2 Teori Motivasi

Dalam pembahasan teori-teori motivasi, ada beberapa yang cukup menonjol. Robbins (2002) menyatakan bahwa ada beberapa teori motivasi, yaitu:

1. Teori motivasi higienis diajukan oleh Frederick Herzberg, dengan keyakinan bahwa hubungan individu dengan pekerjaan adalah sesuatu yang mendasar dan bahwa sikap seseorang terhadap pekerjaan akan sangat menentukan kesuksesan atau kegagalannya. Menurut teori ini motivasi ini ditekankan pada prestasi kerja, pengaruh, pengendalian, ketergantungan, pengembangan, dan afiliasi (Parrek dalam Ariadi: 2006).

Prestasi kerja, yaitu sesuatu yang dicapai oleh seorang pekerja di bawah lingkungan kerja yang sulit sekalipun. Misalnya dalam menyelesaikan tugas yang dibatasi oleh jadwal waktu (deadline) yang ketat yang harus dipenuhi, seorang pekerja dapat menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang memuaskan.

Pengaruh, yaitu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan gagasan atau argumentasi sebagai bentuk dari kuatnya pengaruh yang ingin ditanamkan kepada orang lain. Saran-saran atau gagasan yang diterima sebagai bentuk partisipasi dari seorang pekerja akan menumbuhkan motivasi, apalagi jika gagasan atau pemikiran tersebut dapat diikuti oleh orang lain yang dapat dipakai sebagai metode kerja baru dan ternyata hasilnya adalah positif dan dirasakan lebih baik.

Pengendalian, yaitu tingkat pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya. Untuk menumbuhkan motivasi dan sikap tanggung jawab yang besar dari bawahan, seorang atasan dapat memberikan kesempatan kepada


(18)

bawahannya untuk bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menumbuhkan partisipasi.

Ketergantungan, yaitu kebutuhan dari bawahan terhadap orang-orang yang berada di lingkungan kerjanya, baik terhadap sesama pekerja maupun terhadap atasan. Adanya saran, gagasan atau ide dari atasan kepada bawahan yang dapat membantunya memahami suatu masalah atau cara penyelesaian masalah akan menjadi motivasi yang positif.

Pengembangan, yaitu upaya yang dilakukan oleh organisasi terhadap pekerja atau oleh atasan terhadap bawahannya untuk memberikan kesempatan guna meningkatkan potensi dirinya melalui pendidikan ataupun pelatihan. Pengembangan ini dapat menjadi motivator yang kuat bagi karyawan. Di samping pengembangan yang menyangkut kepastian karir pekerja, pengertian pengembangan dimaksudkan disini juga menyangkut metode kerja yang dipakai. Adanya perubahan metode kerja yang dirasakan lebih baik karena membantu penyelesaian tugas juga menjadi motivasi bagi pekerja.

Afiliasi, yaitu dorongan untuk berhubungan dengan orang-orang atas dasar sosial. Keterbukaan orang-orang yang berada di lingkungan kerja yang memungkinkan hubungan antar pribadi dapat berjalan dengan baik, saling membantu masalah pribadi akan menjadi motivasi yang positif dari pekerja.

2. Abraham Maslow, membagi kebutuhan manusia dalam hirarki kebutuhan, bahwa motivasi manusia berhubungan dengan lima kebutuhan, yaitu a). kebutuhan fisik (physiological need), b). kebutuhan untuk memperoleh keamanan dan keselamatan (Security of safety need), c). kebutuhan bermasyarakat (social need),

d). kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (esteem need), dan e). kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan (self actualization need).


(19)

Abraham Maslow menyatakan bahwa proses motivasi seseorang secara bertahap mengikuti pemenuhan kebutuhan, dari kebutuhan yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling kompleks. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar, yang bersifat primer dan vital, yang menyangkut fungsi-fungsi biologis seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, kesehatan fisik, dan lain-lain. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, seperti terjaminnya keamanan, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak adil, dan lain sebagainya. Kebutuhan sosial, meliputi kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, dan sebagainya. Kebutuhan akan penghargaan, termasuk kebutuhan dihargai karena prestasi, kemampuan, kedudukan, pangkat, dan sebagainya. Kebutuhan akan aktualisasi diri, seperti kebutuhan mempertinggi potensi yang dimiliki, pengembangan diri secara maksimum, kreatifitas, ekspresi diri, dan sebagainya. Kebutuhan tertinggi menurut Maslow adalah kebutuhan transenden, yaitu kebutuhan untuk berperilaku mulia, memberi arti bagi orang lain, terhadap sesama, terhadap alam, dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang memasuki organisasi didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan, berupa penghasilan yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhannya.

3. Douglas McGregor, mengajukan dua pandangan yang berbeda mengenai manusia: seseorang itu pada dasarnya bersifat negatif, diberi nama Teori X, dan yang lainnya pada dasarnya bersifat positif, diberi nama Teori Y. Dalam teori X, terdapat empat asumsi, yaitu: a). Karyawan tidak suka bekerja dan bilamana mungkin akan berusaha menghindarinya, b). Karena karyawan tidak suka bekerja, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman


(20)

untuk mencapai tujuan yang diinginkan, c). Karyawan akan mengelakkan tanggung jawab dan sedapat mungkin hanya mengikuti perintah formal, dan d). Kebanyakan pekerja mengutamakan rasa aman (agar tidak ada alasan untuk dipecat) diatas semua faktor dan hanya menunjukkan sedikit ambisi. Dalam teori Y, juga terdapat empat asumsi yang berlawanan, yaitu: a). karyawan memandang pekerjaan sama alamiahnya dengan istirahat dan bermain, b). Seseorang yang memiliki komitmen pada tujuan akan melakukan pengarahan dan pengendalian diri, c). Seorang yang biasa-biasa saja dapat belajar untuk menerima, bahkan mencari tanggung jawab, dan d). Kreativitas – yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang baik – didelegasikan kepada karyawan secara luas dan tidak harus berasal dari orang yang berada dalam manajemen.

4. McCleland dan kawan-kawan telah mengajukan tiga motif atau kebutuhan utama yang relevan di tempat kerja:

a. Kebutuhan akan prestasi: Dorongan untuk unggul, untuk mencapai sederetan standar guna meraih kesuksesan.

c. Kebutuhan akan kekuasaan: Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara yang diinginkan

d. Kebutuhan akan afiliasi: Hasrat akan hubungan persahabatan dan kedekatan antarpersonal.

5. Teori Goal Setting (Edwin Locke) teori ini menyatakan bahwa niat yang dinyatakan sebagai tujuan, dapat menjadi sumber utama dari motivasi kerja. Kita dapat mengatakan dengan tingkat keyakinan yang tinggi, bahwa tujuan yang spesifik dapat meningkatkan kinerja dan bahwa tujuan yang sulit dicapai, bila diterima, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan yang mudah dicapai.


(21)

6. Teori Reinforcemen (B F Skinner); Teori ini memiliki pendekatan perilaku, yang menyatakan bahwa reinforcement membentuk perilaku.

7. Teori Equity atau kewajaran (Jane Pearson); Menyatakan bahwa karyawan membandingkan apa yang mereka berikan ke dalam suatu situasi kerja (input) terhadap apa yang mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut (outcome) dan kemudian membandingkan rasio input-outcome mereka dengan rasio input-outcome rekan kerja sejawatnya. Jika mereka menganggap rasio input-outcome

mereka sama dengan orang lain, keadaan tersebut dianggap adil. Jika rasio tidak sama, rasa ketidak adilan muncul; artinya karyawan cenderung melihat diri mereka sendiri kurang diberi penghargaan. Bila ketidak adilan terjadi, karyawan akan berusaha untuk melakukan koreksi.

8. Teori ekspektasi (Victor Vrooms); Pada dasarnya teori ekspektasi menyatakan bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil tertentu serta pada daya tarik hasil tersebut bagi individu. Oleh karena itu, teori ini mengemukakan tiga variabel berikut ini:

a. Daya tarik: Pentingnya individu mengharapkan outcome dan penghargaan yang mungkin dapat dicapai dalam bekerja. Variabel ini mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu yang tidak terpuaskan.

b. Kaitan kinerja-penghargaan: Keyakinan individu bahwa dengan menunjukkan kinerja pada tingkat tertentu akan mencapai outcome yang diinginkan.

c. Kaitan upaya-kinerja: Probabilitas yang diperkirakan oleh individu bahwa dengan menggunakan sejumlah upaya tertentu akan menghasilkan kinerja. Meskipun ada beberapa aktivitas manusia yang terjadi tanpa motivasi, namun hampir semua perilaku sadar mempunyai motivasi, atau sebab. Pekerjaan para


(22)

manajer adalah mengidentifikasi dan menggerakkan motif pegawai untuk berprestasi baik dalam pelaksanaan tugas atau mengurangi ketidak seimbangan. (Keith Davis, Bernard Berendoom dan Gary A Stainer dalam Sedarmayanti (2001).

2.2.3 Manfaat Motivasi Kerja

Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi, karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Ishak dan Tanjung: 2003).

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Setiap orang memerlukan 5 (lima) kebutuhan yang telah dikemukakan oleh Maslow sebagaimana diuraikan di atas sebagai sumber motivasi dalam rangka meningkatkan semangat kerjanya. Namun yang paling penting bagi seseorang adalah motivasi yang dimulai dari dalam dirinya sendiri (motivasi instrinsik), sesuai dengan pendapat G.R. Terry dalam Hasibuan (2003) bahwa “Motivasi yang paling berhasil adalah pengarahan diri sendiri oleh pekerja yang bersangkutan”.


(23)

Keinginan atau dorongan tersebut harus datang dari individu itu sendiri dan bukanlah dari orang lain dalam bentuk kekuatan dari luar”.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu perangsang keinginan dan daya gerak yang menyebabkan seseorang bersemangat dalam bekerja karena terpenuhi kebutuhannya. Karyawan yang bersemangat dalam bekerja disebabkan telah terpenuhinya kebutuhannya seperti gaji yang cukup, keamanan dalam bekerja, bebas dari tekanan dari pimpinan maupun rekan sekerja, dan kebutuhan lainnya, hal ini akan berdampak pada kepuasan kerja yang akhirnya mampu menciptakan kinerja yang baik.

Motivasi kerja adalah kekuatan yang mendorong semangat yang ada di dalam maupun diluar dirinya baik itu yang berupa reward maupun punishment, sehingga Herzberg dalam Luthans (2003) menyatakan bahwa pada manusia terdapat sepuluh faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation, yang meliputi: 1). prestasi yang diraih (achievement), 2). pengakuan oranglain (recognition), 3). tanggung jawab (responsibility), 4). peluang untuk maju (advancement), 5). kepuasan kerja itu sendiri (the work itself), 6). dan pengembangan karir (the possibility of growth). Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation meliputi, 1). kompensasi; 2). keamanan dan keselamatan kerja; 3). kondisi kerja; 4). status; 5). prosedur perusahaan; 6). Mutu dari supervisi teknis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, atasan, dan bawahan.

2.3 Budaya Organisasi

Budaya organisasi (organizational culture) akhir-akhir ini sering muncul ke permukaan dan menjadi bahan pembicaraan dan kajian, baik di kalangan praktisi maupun ilmuwan. Banyak diskusi dan seminar diadakan untuk membicarakan


(24)

hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan budaya organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi itu dirasakan penting dan memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung bagi perkembangan organisasi.

Sejak berdirinya organisasi atau perusahaan, secara sadar atau tidak pendiri meletakkan dasar bagi budaya organisasi yang didirikan. Pertumbuhan organisasi, sebagai hasil interaksi organisasi dengan lingkungannya, juga dalam mengusahakan pengembangan organisasinya, secara sadar perlu merubah nilai-nilai pokok tertentu. Budaya perusahaan perlu juga menyesuaikan diri terhadap pertumbuhan perusahaan.

Ketika orang berbicara soal budaya, maka yang dimaksudkan bukan hanya sesuatu yang “dimiliki” bersama, tapi ada makna kedalaman (kadang tidak terukur, kasat mata, dan tidak disadari).

Menurut Robbins (2002), terdapat tiga perspektif budaya organisasi, yaitu budaya yang kuat, budaya yang sesuai dan budaya yang adaptif. Budaya kuat mengacu pada nilai inti organisasi yang dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh anggota organisasi, namun budaya yang kuat tidaklah cukup untuk dapat meningkatkan kinerja. Diperlukan adanya perspektif yang ke dua, yaitu budaya yang sesuai dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan kesesuaian konteks di sini adalah kesesuaian antara budaya dengan filosofi organisasi (visi, misi, tujuan organisasi); kesesuaian dengan kondisi objektif dari lingkungan industrinya; dan kesesuaian dengan strategi yang dijalankan oleh organisasi. Budaya yang kuat namun tidak sesuai dengan konteks budaya yang seharusnya akan mengakibatkan organisasi kehilangan arah dan menimbulkan ketidak-sesuaian jalur yang semestinya ditempuh.

Kuatnya budaya organisasi akan terlihat jelas dari bagaimana karyawan memandang suatu budaya sehingga berpengaruh terhadap perilaku anggota-anggota dalam organisasi yang menggambarkan motivasi, dedikasi, kreativitas, komitmen dan


(25)

kepuasan yang tinggi. Semakin kuat budaya organisasi, semakin tinggi komitmen yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja. Oleh karenanya, keunikan karakteristik suatu organisasi yang dicerminkan oleh budaya organisasi, perlu dikembangkan dan dianut oleh anggota organisasi tersebut.

Budaya perusahaan mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan, dan pola perilaku. Budaya relatif stabil karena perubahannya sangat lamban. Budaya akan meningkatkan komitmen organisasi dasn meningkatkan konsistensi dari perilaku pegawai yang akan menuntun pegawai ke arah yang penting bagi organisasi.

2.3.1 Pengertian Budaya Organisasi

Ed Schein dari MIT, yang dikutip oleh Armstrong (1998) mendefinisikan bahwa:

”budaya perusahaan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan oleh kelompok tertentu, ditemukan atau dikembangkan untuk mempelajari cara mengatasi masalah-masalah adaptasi dari luar dan cara berintegrasi, yang telah berfungsi dengan baik atau di anggap berlaku, dan karena itu, harus diajarkan kepada para anggota baru sebagai yang benar untuk mengundang, memikirkan, dan merumuskan masalah-masalah ini.

Robbins (1998) mendefinisikan bahwa: “budaya organisasi (organization culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain”. Lebih lanjut, Robbins (1998) menyatakan bahwa:

“sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi (“a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination , a set of key characteristics that the organization values”).

Pendapat lain dikemukakan oleh Susanto (1997) yang menyatakan bahwa: “budaya organisasi adalah sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber

daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota


(26)

organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak dan berperilaku”.

Luthans (2003) menjelaskan bahwa: ”budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi”. Agar dapat diterima oleh lingkungannya, maka setiap anggota organisasi akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku pada organisasi tersebut. Jadi budaya organisasi berhubungan dengan lingkungan yang merupakan gabungan dari asumsi, perilaku, cerita, ide dan pemahaman penting untuk menentukan bagaimana seharusnya bekerja dalam suatu organisasi.

Definisi serupa diberikan oleh Van Muijen dan kawan-kawan (1997) yang menyatakan bahwa: “budaya perusahaan dapat digambarkan sebagai kumpulan dari nilai, norma, ungkapan, dan perilaku yang ikut menentukan bagaimana orang-orang dalam perusahaan saling berhubungan”. Hofstede (1994) mengemukakan bahwa pada tingkat organisas, budaya merupakan serangkaian asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai dan persepsi dari para anggota organisasi yang mempengaruhi dan membentuk sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, budaya organisasi dapat dikatakan sebagai aturan main yang ada di dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku di dalam organisasi. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam perilaku dan sikap mereka sehari-hari selama mereka berada dalam organisasi tersebut dan sewaktu mewakili organisasi berhadapan dengan pihak “luar”. Dengan kata lain, budaya organisasi mencerminkan “cara karyawan melakukan sesuatu (membuat keputusan, melayani orang, dsb.) yang dapat dilihat kasat mata dan dirasakan terutama oleh orang diluar organisasi tersebut. Orang luar sebenarnya dapat mengenali budaya sebuah organisasi begitu memasuki pintu gerbang sebuah kantor. Misalnya saja cara


(27)

petugas menerima tamu, kondisi ruangan, pakaian seragam, cara menerima telepon, dsb. Dapat juga dikatakan budaya organisasi adalah pola terpadu perilaku manusia di dalam organisasi termasuk pemikiran-pemikiran, tindakan-tindakan, pembicaraan-pembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada generasi berikutnya.

2.3.2 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

Budaya bisa dilihat sebagai “fenomena” yang mengelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan ruang lingkupnya ke tingkat organisasi atau bahkan ke kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang, dan akhirnya direkayasa, diatur, dan diubah.

Kriteria Seleksi

Manajemen Puncak

Sosialisasi

Budaya Organisasi Filosofi Pendiri

Organisasi

Sumber: Robbins (2002)

Gambar 2.1

Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

Budaya diturunkan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya itu akan mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan pegawai. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak. Bagaimana bisa disosialisasikan akan tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai pegawai baru dengan nilai-nilai organisasi.


(28)

2.3.3 Tingkatan Budaya Organisasi

Menurut Daft (2002), terdapat tiga tingkatan budaya, yaitu:

1. Artifak (artifact), adalah budaya organisasi tingkat pertama, yaitu hal-hal yang dilihat, didengar dan dirasa ketika seseorang berhubungan dengan suatu kelompok baru. Artifak bersifat kasat mata (visible), misalnya lingkungan fisik organisasi, cara berperilaku, cara berpakaian, dan lain-lain. Karena antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya artifak-nya berbeda-beda, maka anggota baru dalam suatu organisasi perlu belajar dan memberikan perhatian terhadap budaya organisasi tersebut.

2. Nilai (espoused values), merupakan alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung caranya melakukan sesuatu. Ini adalah budaya organisasi tingkat kedua yang mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi dari pada artifak. Pada tingkat ini, baik organisasi maupun anggota organisasi memerlukan tuntunan strategi, tujuan dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, untuk memahami espoused values ini, seringkali dilakukan wawancara dengan anggota kunci organisasi misalnya, atau menganalisa kandungan artifak seperti dokumen.

3. Asumsi dasar (basic assumptions), merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Asumsi ini merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula dari nilai-nilai yang didukung karena merupakan keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi seperti kepercayaan, persepsi ataupun perasaan yang menjadi sumber nilai dan tindakan. Budaya organisasi tingkat ketiga ini menetapkan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dalam sebuah organisasi, yang seringkali dilakukan lewat asumsi yang tidak diucapkan.


(29)

2.3.4 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi dalam organisasi, yaitu: (1) memberi batasan untuk mendefinisikan peran, sehingga memperlihatkan perbedaan yang jelas antar organisasi; (2) memberikan pengertian identitas terhadap anggota organisasi; (3) memudahkan munculnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dibanding minat anggota organisasi secara perorangan; (4) menunjukkan stabilitas sistem sosial; (5) memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan pedoman untuk membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi; dan (6) membantu para anggota organisasi mengatasi ketidakpastian, karena pada akhirnya budaya organisasi berperan untuk membentuk pola pikir dan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2002).

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik organisasi maupun para anggotanya, manakala suatu organisasi menerapkan budaya organisasi, dalam pengertian memberi perhatian pada sistem nilai yang dianut organisasi. Manfaat tersebut adalah: (1) memberikan pedoman bagi tindakan pengambilan keputusan; (2) mempertinggi komitmen organisasi; (3) menambah konsistensi perilaku para anggota organisasi; dan (4) mengurangi keraguan para anggota organisasi, karena budaya memberitahukan pada mereka bagaimana sesuatu dilakukan dan apa yang dianggap penting.

Memperhatikan fungsi dan manfaat budaya tersebut diatas, maka budaya dalam suatu organisasi sangat penting. Oleh karena itu budaya senantiasa dipelihara dan dikembangkan karena disadari budaya merupakan alat (tool) dalam setiap melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi serta menjadi stimulasi untuk meningkatkan kinerja organisasi.


(30)

2.3.5 Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2002), ada tujuh ciri-ciri utama yang secara keseluruhan mencakup pentingnya budaya organisasi. Ketujuh ciri-ciri tersebut adalah:

a. Inovasi dan pengembalian resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan berani mengambil resiko.

b. Perhatian terhadap detail. Sejauhmana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.

c. Orientasi terhadap hasil. Sejauhmana manajemen lebih berfokus pada hasil-hasil dan keluaran daripada kepada teknik-teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai keluaran tertentu.

d. Orientasi terhadap individu. Sejauhmana keputusan-keputusan yang diambil manajemen ikut untuk mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada dalam organisasi.

e. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan-kegiatan kerja lebih diorganisasi dalam tim, bukan secara perorangan.

f. Agresivitas. Sejauhmana agar orang-orang berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.

g. Stabilitas. Sejauhmana kegiatan-kegiatan keorganisasian lebih menekankan status quo dibandingkan dengan pertumbuhan.

O’Reilly, Chatman, dan Caldwell (1997), menemukan ciri-ciri budaya organisasi sebagai berikut:

a. Inovasi dan pengambilan resiko. Mencari peluang baru, mengambil resiko, bereksperimen dan tidak merasa terhambat oleh kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek formal.


(31)

b. Stabilitas dan keamanan. Menghargai hal-hal yang dapat diduga sebelumnya, keamanan dan penggunaan dari aturan-aturan yang mengarahkan perilaku.

c. Penghargaan terhadap orang. Memperlihatkan toleransi, keadilan dan penghargaan terhadap orang lain.

d. Orientasi hasil. Memiliki perhatian dan harapan yang tinggi terhadap hasil, capaian dan tindakan.

e. Orientasi tim dan kolaborasi. Bekerja bersama secara terkordinasi dan berkolaborasi.

f. Keagresifan dan persaingan. Mengambil tindakan-tindakan tegas menghadapi para pesaing.

2.3.6 Sumber-sumber Budaya Organisasi

Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbins:

2002), yaitu:

a. Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut memiliki kepribadian dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap diteruskan kepada karyawan baru. Akibatnya, pandangan mereka diterima oleh karyawan dalam organisasi, dan tetap dipertahankan sepanjang pendiri berada dalam organisasi tersebut, atau bahkan setelah pendirinya meninggalkan organisasi.

b. Pengalaman organisasi menghadapi lingkungan eksternal. Penghargaan organisasi terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada pengembangan berbagai sikap dan nilai.


(32)

c. Karyawan, hubungan kerja. Karyawan membawa harapan, nilai, sikap mereka ke dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang membentuk sikap dan nilai.

Jadi budaya organisasi sering dibentuk oleh pengaruh orang-orang yang mendirikan organisasi tersebut, oleh lingkungan eksternal dimana organisasi beroperasi, dan oleh karyawan serta hakekat dari organisasi tersebut.

Variabel dimensi budaya organisasi yang dijadikan dasar pengukuran diturunkan dari 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dikemukakan oleh Hofstede dalam Ariadi (2006) yang meliputi:

1. Profesionalisme, merupakan ukuran kecakapan atau keahlian yang dimiliki oleh pekerja dalam organisasi. Suatu jabatan yang ditempati oleh seorang pekerja yang profesional atau suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja yang profesional akan membuahkan hasil yang optimal. Dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai professionalisme semua pekerja akan mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan sebagai bentuk dari tanggung jawab yang harus ditunaikan. Seorang pekerja yang professional akan menyelesaikan tugas yang di berikan kepadanya tanpa banyak mengeluh, karena ia yakin bahwa dia dapat menyelesaikannya walaupun dibawah tekanan (under pressure), seperti harus memenuhi deadline

yang ketat. Untuk keyakinan dan kemampuannya menyelesaikan tugas, seorang professional cenderung akan menuntut penghasilan yang lebih baik atau reward

yang berbeda dari pekerja lainnya.

2. Kepemimpinan, yaitu tingkat keterlibatan atasan terhadap masalah-masalah di luar pekerjaan yang dialami oleh bawahan. Hubungan antar pribadi yang terbina baik akan memungkinkan terciptanya iklim kerja yang cerah. Adanya hubungan antar pribadi juga dapat mempengaruhi penilaian terhadap pekerja. Dalam hal


(33)

melakukan promosi, atau mempertahankan orang-orang yang dinilai baik bagi suatu divisi juga melibatkan hubungan antar pribadi. Seorang atasan mungkin akan mempertahankan seorang bawahan bagi divisinya yang menurut penilaiannya bertipe loyal dan mudah dibina walaupun mungkin potensinya belum tentu lebih baik dari pekerja lainnya.

3. Kepercayaan kepada rekan sekerja, yaitu interaksi yang terbina antara sesama pekerja dalam organisasi. Sikap yang terbuka, ramah dalam pergaulan dan perilaku yang menunjukkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara sesama pekeja, karena merasa senasib dan seperjuangan akan menumbuhkan kepercayaan dan perilaku yang positif. Dengan adanya rasa percaya kepada rekan sekerja yang tertanam dengan baik, masalah-masalah pekerjaan ataupun masalah pribadi akan dapat diatasi dengan perhatian dari rekan-rekan sekerja yang rela membantu mem- berikan saran.

4. Keteraturan, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menunjukkan adanya aturan-aturan atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh anggota organisasi. Tujuannya adalah untuk menjamin adanya keseragaman dalam pelaksanaan, memudahkan koordinasi dan pengawasan. Adanya aturan yang ditetapkan oleh organisasi harus berlaku sama untuk semua orang atau departemen dalam organisasi, sehingga mencerminkan adanya rasa keadilan.

5. Konflik, yaitu adanya pertentangan dan ketidak harmonisan dalam suatu organisasi yang menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja. Ini berpotensi pada penurunan motivasi kerja dan berdampak negatif terhadap perilaku pekerja. Kompetisi yang tidak sehat antar departemen dalam suatu organisasi, dimana orang-orang dalam organisasi mungkin saling merasa curiga yang menyebabkan terhambatnya komunikasi dan koordinasi serta sulitnya bergaul antar individu.


(34)

Di samping itu, karyawan baru mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat beradaptasi, diterima sebagai anggota organisasi dan merasa nyaman bekerja pada lingkungan barunya tersebut.

6. Integrasi, yaitu iklim yang terbentuk dalam organisasi dimana pekerja merasa memiliki ikatan yang kuat dengan organisasi. Dalam kondisi seperti ini, pekerja akan menunjukkan loyalitas kepada organisasi. Pekerja akan merasa bangga karena menjadi bagian dari organisasi dan merasa aman dengan pekerjaannya karena merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan ini juga didukung oleh kerjasama yang terjalin baik di antara sesama pekerja atau sesama departemen.

Nilai-nilai budaya apabila dikaitkan dengan kehidupan organisasi, seyogianya dijadikan sebagai budaya organisasi dengan peran dan fungsi antara lain: 1. Pengendalian diri masing-masing anggota organisasi

2. Perekat anggota organisasi untuk membangun kepentingan organisasi dan kepentingan bersama

3. Perekat solidaritas antara anggota organisasi untuk hidup saling menghargai, menghormati dan saling mendukung.

Budaya organisasi yang berfungsi seperti itu dalam suatu organisasi akan menjadi alat untuk menyemangati dan mendorong aktifitas-aktifitas para SDM tersebut dalam rangka mewujudkan cita-cita dan perjuangan organisasinya.

Prinsip ”saling mendukung”, dalam kehidupan organisasi tidak kalah pentingnya, oleh karena esensinya adalah terwujudnya kebersamaan dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi dan atau misi organisasi. Tanpa kebersamaan jangan diharapkan dapat terwujudnya tujuan organisasi sebagaimana telah ditetapkan.


(35)

Kebersamaan dalam organisasi, dapat dilihat dari 2 dimensi, yaitu kebersamaan terhadap intern organisasi dan kebersamaan terhadap ekstern organisasi atau pihak-pihak terkait (stakeholders). Diantara kedua dimensi itu perlu dipelihara dan dikembangkan sehingga saling bersinergi, saling mendukung yang pada akhirnya memberi manfaat terhadap peningkatan kinerja organisasi (organization performance). Apabila berbicara mengenai kebersamaan, maka tidak dapat dilepaskan dari budaya organisasi yang telah ditetapkan dan menjadi komitmen masing-masing individu atau semua pihak dalam organisasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kerjasama baik yang dituangkan dalam bentuk kerja tim, hubungan kerja sebagai akibat fungsionalisasi, maupun karena sinergisme akan sangat bermanfaat dan merupakan sarana yang handal untuk meningkatkan kinerja organisasi.

2.4 Kinerja

Penilaian kinerja karyawan adalah masalah penting bagi seluruh perusahaan. Untuk mengetahui peningkatan tentang diri karyawan dalam pelaksanaan pekerjaannya adalah melalui penilaian kinerja. Namun demikian, kinerja yang memuaskan tidak terjadi secara otomatis. Pelaksanaan penilaian kinerja harus mampu memotivasi karyawan sehingga menciptakan rasa puas dan ketenangan bekerja serta mampu menciptakan budaya kerja yang tinggi. Penilaian kinerja harus dilaksanakan secara terus menerus dan sistematis untuk memperoleh hasil penilaian kinerja yang objekif. Selain itu, diperlukan pelaksanaan penilaian kerja yang baik, sehingga program yang disusun dapat berpengaruh terhadap pegawai yang dinilai. Dengan perkataan lain, program tersebut harus dapat memotivasi peningkatan, pengembangan tanggung jawab dan meningkatkan keterikatan karyawan dalam organisasi.


(36)

2.4.1 Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance

atau job performance tetapi dalam bahasa Inggris sering disingkat menjadi performance saja. Dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan (Hasibuan: 2003). Kinerja organisasi atau kinerja perusahaan merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai dan mencerminkan keberhasilan manajer/pengusaha. Lebih tegas lagi, Lawler dan Poter dalam As’ad (2003) menyatakan bahwa: “kinerja adalah succesfull role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya”. Jadi kinerja organisasi merupakan hasil yang diinginkan organisasi dari perilaku orang-orang di dalamnya. Kinerja atau prestasi kerja (performance)

diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu.

Kinerja karyawan yang dikemukakan Mangkunegara (2002) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya’. Oleh karena itu output baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

2.4.2 Tujuan Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja memiliki sejumlah tujuan dalam organisasi (Robbins 2002), yaitu:

1. Manajemen menggunakan penilaian untuk mengambil keputusan personalia secara umum, misalnya dalam hal promosi, transfer, ataupun pemberhentian.


(37)

2. Penilaian memberikan penjelasan tentang pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, penilaian menjelaskan keterampilan dan daya saing para pekerja yang belum cukup tetapi dapat diperbaiki jika suatu program yang memadai dikembangkan.

3. Penilaian kinerja dapat dijadikan sebagai kriteria untuk program seleksi dan pengembangan yang disahkan.

4. Memenuhi tujuan umpan balik yang ada terhadap para pekerja tentang bagaimana organisasi memandang kinerja mereka.

5. Sebagai dasar untuk mengalokasikan atau menentukan penghargaan

2.4.3 Penilai Kinerja

Pihak-pihak yang dapat menilai kinerja adalah: 1. Atasan langsung

Penilaian kinerja mayoritas dilaksanakan oleh atasan langsung karena memang merekalah yang bertanggung jawab terhadap kinerja bawahannya. Sekalipun begitu, sejumlah organisasi mengakui mengalami kemunduran dalam hal ini, karena banyak juga pimpinan yang tidak memenuhi persyaratan untuk mengevaluasi. Sementara pimpinan yang lain merasa enggan saat diminta untuk menilai kinerja para pekerja mereka.

2. Rekan Kerja

Evaluasi dari rekan kerja (peers) adalah salah satu cara yang dapat dijadikan sebagai sumber data penilaian yang paling dapat dipercaya, karena: pertama, evaluasi dari rekan kerja sangat erat hubungannya dengan kegiatan. Interaksi sehari-hari memberi mereka sebuah sudut pandang pemahaman yang menyeluruh terhadap kinerja pekerjaan seorang pekerja. Kedua, evaluasi dari rekan kerja sebagai penghitung hasil akan menghasilkan beberapa penilaian yang mandiri.


(38)

3. Pengevaluasian diri sendiri

Karyawan yang mengevaluasi kinerjanya sendiri (self evaluation), konsisten dengan nilai-nilai seperti swakelola dan pemberdayaan. Evaluasi yang dilakukan sendiri memberi nilai yang tinggi bagi pekerja. Cara ini cenderung mengurangi sifat membela diri yang dilakukan karyawan saat proses penilaian, dan mereka membuat wahana yang baik untuk merangsang diskusi kinerja pekerjaan antara pekerja dengan atasan mereka.

4. Bawahan Langsung

Penilaian kinerja dilakukan oleh bawahan langsung seorang pekerja.. Evaluasi ini dapat memberikan informasi yang akurat dan rinci tentang perilaku seorang manajer karena si penilai secara khusus memiliki hubungan yang baik dengan manajer. Masalah yang muncul dengan bentuk penilaian ini adalah kekhawatiran akan tindakan balasan dari pimpinan yang dinilai tidak baik. Oleh karena itu kerahasiaan responden sangatlah penting jika evaluasi ini ingin dilaksanakan dengan akurat (Robbins: 2002).

2.4.4 Metode Penilaian Kinerja

Menurut Robbins (2002) ada enam metode penilaian kinerja karyawan:

1. Esai Tertulis, metode ini menilai kinerja dengan menulis sebuah narasi yang menggambarkan kelebihan, kekurangan, prestasi waktu lampau, potensi dan saran-saran mengenai seorang karyawan untuk perbaikan. Metode ini tidak membutuhkan bentuk format yang rumit, tetapi hasilnya sering menggambarkan kemampuan penulisnya.

2. Keadaan Kritis, metode ini memfokuskan perhatian si penilai pada perilaku-perilaku yang merupakan kunci untuk membedakan antara sebuah pekerjaan efektif atau yang tidak efektif. Si penilai menulis anekdot yang menggambarkan


(39)

apa-apa saja yang dilakukan para pekerja yang efektif atau tidak efektif. Yang menjadi kunci adalah perilaku yang sifatnya khusus. Sebuah daftar keadaan kritis memuat serangkaian contoh-contoh, dimana dengan daftar ini para pekerja dapat melihat perilaku-perilaku yang diharapkan dan perilaku-perilaku yang membutuhkan pengembangan.

3. Grafik Skala Penilaian, merupakan metode tertua dan terpopuler dalam penilaian kinerja. Dalam metode ini faktor-faktor kinerja seperti kualitas dan kuantitas kerja, tingkat pengetahuan, kerja sama, loyalitas, kehadiran, kejujuran, dan inisiatif dicatat, dan selanjutnya si penilai memeriksa daftar tersebut dan menilai setiap faktor sesuai dengan skala peningkatan berdasarkan lima poin. Metode ini sangat populer karena cara ini tidak menyediakan informasi yang mendalam sifatnya jika dibandingkan dengan metode esai atau metode keadaan kritis, dan membutuhkan sedikit waktu untuk pengembangan dan pengolahannya. Metode ini juga memberikan analisis yang kuantitatif dan analisis perbandingan.

4. Skala Peningkatan Perilaku, metode ini merupakan metode terbaru dan telah dianggap sebagai pemikiran yang hebat pada tahun-tahun terakhir ini, dimana metode ini mengkombinasikan antara metode keadaan kritis dan metode grafik skala penilaian. Si penilai menilai para pekerja berdasarkan kepada hal-hal dalam rangkaian kesatuan, tetapi poin-poinnya merupakan contoh perilaku aktual di dalam pekerjaan, bukan sekadar deskripsi atau ciri-ciri umum.

5. Perbandingan Multipersonal, metode ini mengevaluasi kinerja individu dengan membandingkan individu satu dengan individu lainnya. Cara ini bersifat relatif, bukan sebagai alat pengukur yang absolut. Tiga pembanding yang sangat populer adalah peringkat urutan kelompok, peringkat individu, dan perbandingan berpasangan. Peringkat urutan kelompok menuntut si penilai untuk menempatkan


(40)

pekerja ke dalam sebuah klasifikasi khusus, seperti yang teratas dari lima orang atau peringkat kedua dari lima orang. Pendekatan peringkat individu menggolongkan para pekerja mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk. Jika seorang manajer diminta untuk menilai 30 orang bawahan, pendekatan ini menganggap perbedaan antara pekerja pertama dengan yang kedua sama dengan perbedaan antara pekerja kedua puluh satu dengan pekerja ke dua puluh dua. Hasilnya jelas merupakan pengurutan tenaga kerja, mulai dari yang terbaik hingga yang paling jelek. Pendekatan perbandingan berpasangan membandingkan setiap pekerja dengan masing-masing pekerja lainnya dan menilai pekerja mana yang lebih baik atau lebih buruk satu dengan yang lainnya. Setelah semua perbandingan semua dibuat, setiap pekerja mendapatkan hasil ranking urutan yang dilakukan berdasarkan jumlah skor tertinggi yang mereka capai.

2.4.5 Manfaat Penilaian Kinerja

Mengenai manfaat penilaian kinerja, Handoko dalam Srimulyo (1999) mengemukakan:

1. Perbaikan prestasi kerja atau kinerja. Umpan balik pelaksanaan kerja mernungkin- kan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki

kegiatan-kegiatan mereka untuk meningkatkan prestasi.

2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi. Evaluasi prestasi keja membantu para pengambil keputusan dalam mcnentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi iainnya.

3. Keputusan-keputusan penempatan. Promosi dan transfer biasanya didasarkan atas prestasi kerja atau kinerja masa lalu.


(41)

4. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan. Prestasi kerja atau kinerja yang jelek mungkin menunjukkan perlunya latihan. Demikian pula sebaliknya, kinerja yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan. 5. Perencanaan dan pengembangan karir. Umpan balik prestasi mengarahkan

keputusan-keputusan karir, yaitu tentang jalur karir tertentu yang harus diteliti. 6. Mendeteksi penyimpangan proses staffing. Prestasi kerja yang baik atau buruk

adalah mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia.

7. Melihat ketidakakuratan informasi. Prestasi kerja yanng jelek mungkin menunjuk-kan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana sumberdaya manusia, atau komponen-komponen lain sistem informasi manajemcn personalia. Menggantungkan pada informasi yang tidak akurat dapat rnenyebabkan keputusan-kcputusan personalia tidak tepat.

8. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan. Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu men-diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.

9. Menjamin kesempatan kerja yang adil. Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi. 10. Melihat tantangan-tantangan eksternal. Kadang-kadang prestasi seseorang

di-pengaruhi oleh faktor-faktor diluar lingkungan kerja, seperti keluarga, kesehatan, dan masalah-masalah pribadi lainnya

2.4.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi


(42)

yang antara lain termasuk: kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output,

kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatif. Tampaknya dimensi lain dari kinerja mungkin tepat untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tetapi yang didata ini adalah yang paling umum, yang mengidentifikasikan elemen-elemen yang paling penting dari suatu pekerjaan. Sebagai contoh, pekerjaan sebagai dosen, memiliki kriteria pekerjaan seperti mengajar, penelitian dan pengabdian serta pelayanan.

Kriteria pekerjaan adalah faktor yang terpenting dari apa yang dilakukan orang di pekerjaannya. Kriteria pekerjaan menjelaskan yang sudah dibayar oleh organisasi untuk dikerjakan para karyawannya. Oleh karena itu, kriteria-kriteria ini penting dan harus diukur, dibandingkan dengan standar yang ada. Hasilnya harus dikomunikasikan kepada setiap karyawan. Pekerjaan hampir selalu memiliki lebih dari satu kriteria atau dimensi untuk dinilai, dan ini berarti bahwa si karyawan mungkin berkinerja lebih baik dalam satu kriteria dibandingkan kriteria lainnya. Beberapa kriteria mungkin memiliki nilai lebih penting daripada kriteria lainnya. Pembobotan adalah suatu cara untuk menunjukkan hal ini. Misalnya, di beberapa perguruan tinggi atau akademi, pengajaran yang dilakukan dosen merupakan bagian pekerjaan yang memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan dengan penelitian atau pengabdian.

Pada saat mengukur kinerja, adalah penting menentukan kriteria yang relevan. Umumnya, kriteria itu relevan ketika difokuskan pada aspek yang paling penting dari pekerjaan si karyawan. Sebagai contoh, menilai seorang petugas pelayanan kepuasan konsumen dalam suatu perusahaan dari “penampilan”, tentu saja kurang relevan dibandingkan dengan jumlah telepon yang ditanganinya. Contoh ini menekankan bahwa kriteria pekerjaan yang terpenting harus diidentifikasi dan dikaitkan dengan deskripsi pekerjaan.


(43)

Pekerjaan umumnya melibatkan beberapa tugas dan tanggung jawab. Jika penilaian kinerja mengabaikan beberapa tanggung jawab yang penting, maka penilaian menjadi tidak efisien. Sebagai contoh, jika kinerja seorang pewawancara hanya dinilai dari jumlah pelamar yang dipekerjakan, dan bukannya kualitas pelamar, maka hal ini bisa jadi tidak efisien. Jika beberapa kriteria yang tidak relevan dimasukkan, maka kriteria bisa dikatakan sudah terkontaminasi.

Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu, juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja.

Kinerja merupakan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa: “produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input)”. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (2001) antara lain: “1). sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja, etika kerja); 2). pendidikan; 3). ketrampilan; 4). manajemen kepemimpinan; 5). tingkat penghasilan; 6). gaji dan kesehatan; 7). jaminan sosial; 8). iklim kerja; 9). sarana prasarana; 10). teknologi; 11). kesempatan berprestasi”.

2.4.7 Penilaian Kinerja dosen

Penilaian dilaksanakan untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai oleh dosen. Kinerja dosen yang dicapai berupa pencapaian prestasi dosen, baik, sedang


(44)

atau kurang. Penilaian ini penting bagi setiap dosen dan berguna dalam menetapkan kegiatannya.

Adapun penilaian merupakan bentuk perhatian dosen dari atasannya sehingga dapat mendorong mereka untuk bersemangat bekerja, tentu saja asal penilaian ini dilakukan secara obyektif dan jujur serta ada tindak lanjutnya. Tindak lanjut penilaian ini memungkinkan dosen untuk memperoleh imbalan balas jasa dengan memperoleh kenaikan jabatan seperti menjadi Sekretaris Jurusan, Ketua Jurusan, Asisten Direktur, bahkan menjadi Direktur dan lain-lain, dan juga untuk modal mendapatkan kenaikan pangkat dengan sistem kredit.

Penilaian kinerja menurut Simamora (1999) adalah alat yang berfaedah tidak hanya untuk mengevaluasi kerja dari para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi kalangan karyawan. Sejalan dengan pendapat tersebut Hasibuan (2001) mengatakan: Penilaian prestasi adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya.

Pada penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai bidang tugasnya, yang semuanya itu layak untuk dinilai.

Unsur prestasi karyawan yang dinilai oleh setiap organisasi atau perusahaan tidaklah selalu sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup seperti hal-hal di atas. Demikian juga untuk menilai kinerja dosen, unsur-unsur yang telah dipaparkan di atas dapat digunakan oleh pimpinan untuk melakukan penilaian, namun tentu saja berkaitan dengan profesinya sebagai dosen dengan tugas utamanya sebagai pengajar.


(45)

Dosen dalam melaksanakan tugasnya, merupakan bagian penting dari lembaga pendidikan nasional, dan karena itu ia terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Dalam konteks profesionalisme, dosen merupakan pekerjaan profesional, sehingga dosen dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme dosen bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan juga di negara-negara maju, dan hal itu masih berlangsung hingga sekarang.

Berdasarkan jurnal pendidikan, Educational Leadership (1993) menurunkan laporan utama tentang soal ini (Supriadi: 1998). Menurut jurnal itu untuk menjadi profesional, seorang dosen dituntut untuk memiliki lima hal :Pertama, dosen mempunyai komitmen kepada mahasiswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi dosen adalah kepada kepentingan mahasiswa; Kedua, dosen menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para mahasiswa. Bagi dosen, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan; Ketiga, dosen bertanggung jawab memantau hasil belajar mahasiswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku mahasiswa sampai tes hasil belajar; Keempat, dosen mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk dosen guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap yang dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar mahasiswa; Kelima, dosen seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Ke-lima hal di atas terasa amat sederhana. Namun justru kesederhanaan akan membuat sesuatu lebih mudah dicapai. Sehubungan dengan uraian tersebut maka kinerja dosen yang diukur dalam penelitian ini merupakan penilaian yang dilakukan


(46)

oleh diri sendiri selaku dosen yang menyangkut tugasnya sebagai pengajar. Berdasarkan kajian teori di atas, hal-hal yang yang dinilai terdiri dari: 1). kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar, 2). menguasai dan mengembangkan metode, 3). menguasai bahan pelajaran dan menggunakan sumber belajar, 4). bertanggung jawab memantau hasil belajar mengajar, 5). disiplin dalam mengajar dan tugas lainnya, 6). kreativitas dalam pelaksanaan pengajaran, 7). melakukan interaksi dengan mahasiswa untuk menimbulkan motivasi, 8). memiliki kepribadian yang baik, jujur dan obyektif dalam membimbing mahasiswa, 9). mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan 10). paham dalam administrasi pengajaran .


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Politeknik Negeri Medan, Jl. Almamater No. 1 Kampus USU, Medan, dan dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Agustus 2007.

3.2 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah studi kasus yang didukung survei. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antara beberapa variabel penelitian yaitu variabel motivasi kerja dan budaya organisasi sebagai variabel predictor dengan kinerja dosen sebagai variabel criterion. Studi korelasi ini akan menggunakan analisis regresi berganda.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh dosen Politeknik Negeri Medan yang memiliki status dosen tetap yang berjumlah 297 orang. Dari populasi yang ada, ditetapkan jumlah sampel secara proportionate random sampling dari masing-masing jurusan yang ada. Menurut pendapat Arikunto (2002), jika jumlah populasi besar lebih dari 100, maka jumlah sampel yang dapat diambil adalah sebanyak 10% – 15%, atau 20% – 25%, atau lebih. Berdasarkan pendapat di atas, maka peneliti akan mengambil 25% dari jumlah populasi atau sebanyak 74 dosen. Menurut Sugiyono (2002), untuk menentukan sampel yang proporsional digunakan rumus:


(48)

ni = Ni x n N dimana:

ni = Jumlah sampel pada unit kerja Ni = Jumlah populasi pada unit kerja N = Jumlah populasi keseluruhan

n = Jumlah sampel keseluruhan yang telah ditentukan

Berdasarkan rumus tersebut diatas, maka data sampel yang dibutuhkan yang berasal dari 5 (lima) jurusan yang ada di Politeknik Negeri Medan dapat dirinci sebagai berikut:

Tabel 3.1

Jumlah Sampel Penelitian

No. Jurusan Populasi (orang) Sampel (orang)

1. Administrasi Niaga 34 34/297 x 74 = 8

2. Akuntansi 70 70/297 x 74 =17

3. Teknik Elektro 71 71/297 x 74 =18 4. Teknik Mesin 75 75/297 x 74 = 19 5. Teknik Sipil 47 47/297 x 74 = 12

T o t a l 297 74

Sumber: Politeknik Negeri Medan (2007)

Selanjutnya, pemilihan responden ditetapkan berdasarkan kriteria bahwa dosen tersebut telah bekerja di Politeknik Negeri Medan paling sedikit 5 (lima) tahun, dengan asumsi bahwa dosen yang telah bekerja paling sedikit lima tahun telah mendapatkan pengalaman yang cukup untuk diteliti dan mengenal dengan baik Politeknik Negeri Medan

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah:

1. Wawancara (interview) secara langsung kepada dosen mengenai atmosfir akademik yang dirasakan di lingkungan Politeknik Negeri Medan.


(49)

2. Daftar pertanyaan (Questionaire) yang diberikan kepada dosen Politeknik Negeri Medan yang menjadi responden. Kuesioner berisi pertanyaan mengenai persepsi dosen mengenai motivasi kerja dan budaya organisasi serta penilaian dosen terhadap dirinya sendiri mengenai kinerjanya.

3. Studi dokumentasi; mengumpulkan data berupa peraturan-peraturan yang ada, tingkat kehadiran dosen dan jumlah dosen Politeknik Negeri Medan, yang diperoleh dari data dokumentasi, baik yang ada di tingkat jurusan maupun dari bagian Administrasi Pusat.

3.5 Jenis dan Sumber Data

Data penelitian ini bersumber dari:

1. Data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan peneliti dari responden melalui wawancara (interview) dan dengan menggunakan daftar pertanyaan (questionaire).

2. Data sekunder, yaitu data yang mendukung data primer yang diperoleh peneliti dari Politeknik Negeri Medan melalui studi dokumentasi guna mendukung penelitian ini, seperti: data jumlah dosen, rekapitulasi jam kehadiran dosen tiap semester, peraturan yang berlaku, data penelitian dan pengabdian dosen, dan sebagainya.

3.6 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Variabel bebas (X) yaitu: - Motivasi kerja (X1) - Budaya organisasi (X2) 2. Variable terikat (Y) yaitu: Kinerja dosen


(50)

Definisi variabel ini merupakan pendapat peneliti yang ditulis berdasarkan teori-teori tertentu. Agar tidak terjadi kesalahan pengukuran maka variabel perlu didefinisikan dengan jelas sebab variabel berperanan sebagai penghubung antara teori dengan observasi, antara abstraksi dengan realitas. Untuk dapat memberikan penjelasan tentang permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini, yang berhubungan dengan kedua variabel, maka definisi operasional masing-masing variabel penelitian sebagai berikut:


(51)

Tabel 3.2

Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Penelitian Definisi Variabel Indikator Pengukuran Motivasi Kerja (X1)

Keadaan dalam pribadi dosen yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Meliputi: 1. Prestasi kerja 2. Pengaruh 3. Pengendalian 4. Ketergantungan 5. Pengembangan 6. Afiliasi (Kerjasama)

Likert Budaya Organisasi (X2) Asumsi, keyakinan, nilai-nilai dan persepsi dari para dosen yang mem-pengaruhi dan membentuk sikap dan perilaku. 1.Profesionalisme 2.Kepemimpinan

3.Kepercayaan kepada rekan sekerja 4.Keteraturan 5.Konflik 6.Integrasi Likert Kinerja (Y) Hasil yang dicapai oleh dosen dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

1. Kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar 2. Menguasai dan

mengembangkan metode

3. Menguasai bahan pelajaran dan menggunakan sumber belajar 4. Bertanggung jawab memantau

hasil belajar mengajar 5. Disiplin dalam mengajar dan

tugas lainnya

6. Kreatif dalam pelaksanaan pengajaran

7. Melakukan interaksi dengan mahasiswa untuk menimbulkan motivasi

8. Memiliki kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membimbing mahasiswa 9. Mampu berpikir sistematis

tentang apa yang dilakukannya 10. Paham dalam administrasi

pengajaran

Likert


(1)

terhadap peningkatan kinerja karyawan. Sedangkan pengaruh yang signifikan menunjukkan bahwa motivasi kerja berperan penting dalam peningkatan kinerja dosen Politeknik Negeri Medan .

Pada pengukuran motivasi kerja, dipergunakan beberapa indikator, diantaranya prestasi kerja, pengaruh, pengendalian, ketergantungan, pengembangan, dan afiliasi (kerjasama). Dari hasil penelitian, secara umum motivasi kerja dosen Politeknik Negeri Medan baik, yang dilihat dari rata-ratanya (274,23 dari total nilai 370). Secara empirik di Politeknik Negeri Medan , faktor yang sangat memotivasi kerja para dosen berdasarkan urutannya: 1). Ketergantungan, 2). Prestasi kerja, 3). Pengaruh, 4). Pengendalian, 5). Pengembangan, dan 6). Afiliasi (Kerjasama). Hal ini berarti bahwa yang sangat memotivasi dosen dalam melaksanakan tugasnya yang paling utama adalah orang-orang yang berada di lingkungan kerjanya, baik dengan staf administrasi, sesama dosen maupun dengan atasan. Adanya gagasan, saran ataupun ide dari orang-orang yang ada disekitarnya dapat membantunya memahami suatu masalah atau cara penyelesaian masalah sehingga dapat menjadi motivasi yang positif.

Prestasi kerja merupakan hal kedua. Ini berarti bahwa dosen Politeknik Negeri Medan menyukai pekerjaan yang menantang dan sukar, bahkan bisa mencapai suatu prestasi (target) yang telah ditetapkan dibawah lingkungan kerja yang sulit sekalipun. Ketiga, adalah faktor pengaruh, dimana saran-saran atau gagasan yang diterima dari orang-orang di lingkungan kerjanya akan menumbuhkan motivasi, apalagi jika gagasan atau pemikiran tersebut dapat diikuti dan dapat dipakai sebagai metode kerja baru dan ternyata hasilnya adalah positif dan dirasakan lebih baik. Dimensi urutan ke-empat yang memotivasi adalah pengendalian, dimana pengendalian berarti butuh pengawasan. Untuk menumbuhkan motivasi dan sikap


(2)

tanggung jawab yang besar perlu pengawasan yang disertai pemberian kesempatan kepada bawahan untuk bekerja sendiri sepanjang memungkinkan. Urutan kelima adalah pengembangan. Pengembangan ini dapat menjadi motivator yang kuat bagi dosen dengan upaya Politeknik Negeri Medan memberikan kesempatan kepada dosen meningkatkan potensi dirinya melalui pendidikan ataupun pelatihan. Selain itu pengembangan yang dimaksud juga yang menyangkut kepastian karir dosen dan perubahan sistem yang dirasakan lebih baik karena membantu penyelesaian tugas. Urutan terakhir hasil penelitian yang mampu memotivasi adalah faktor afiliasi (kerjasama), yang artinya hubungan antar pribadi orang-orang yang ada di lingkungan kerja yang berjalan baik dan saling membantu masalah pribadi akan menjadi motivasi yang positif bagi para dosen Politeknik Negeri Medan .

4.9.2 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja dosen

Budaya organisasi yang baik akan meningkatkan kinerja dosen. Keberhasilan suatu organisasi dalam mengimplementasikan nilai-nilai budaya organisasi dapat mendorong organisasi untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Demikian juga dengan Politeknik Negeri Medan . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap peningkatan kinerja dosen.

Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan diukur dengan menggunakan 5 (lima) faktor, yaitu: profesionalisme, kepemimpinan, kepercayaan pada rekan sekerja, keteraturan, konflik dan integrasi (Hofstede, et. All: 1994). Dari hasil penelitian, budaya organisasi yang ada di Politeknik Negeri Medan baik, yang dilihat dari rata-ratanya (230,83 dari total nilai 370). Dari lima faktor diatas, jika diurutkan, maka faktor kepercayaan pada rekan sekerja, merupakan faktor budaya yang sangat kuat mempengaruhi kinerja dosen Politeknik Negeri Medan . Hal


(3)

ini berarti bahwa interaksi yang terbina antara sesama dosen dalam organisasi, sikap yang terbuka, ramah dalam pergaulan dan perilaku yang menunjukkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara sesama dosen merupakan budaya organisasi di Politeknik Negeri Medan yang sangat mempengaruhi kinerja dosen. Dengan adanya hubungan yang baik ini, masalah-masalah pekerjaan ataupun masalah pribadi akan dapat diatasi dengan perhatian dari rekan-rekan sekerja yang rela membantu.

Faktor kedua dari budaya organisasi yang mempengaruhi kinerja dosen Politeknik Negeri Medan adalah keteraturan, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menunjukkan adanya aturan-aturan atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh anggota organisasi. Tujuannya adalah untuk menjamin adanya keseragaman dalam pelaksanaan kerja, memudahkan koordinasi dan pengawasan. Adanya aturan yang ditetapkan oleh Politeknik Negeri Medan harus berlaku sama untuk semua orang, sehingga mencerminkan adanya rasa keadilan.

Faktor kepemimpinan merupakan urutan ketiga dalam budaya organisasi yang mempengaruhi kinerja dosen. Hal ini berarti tingkat keterlibatan pimpinan terhadap masalah-masalah diluar pekerjaan yang dialami oleh dosen akan memungkinkan terciptanya iklim kerja yang cerah. Adanya hubungan antar pribadi juga akan dapat mempengaruhi penilaian terhadap dosen. Selain itu dalam hal melakukan promosi atau mempertahankan orang-orang yang dinilai baik juga melibatkan hubungan antar pribadi.

Integrasi dalam organisasi juga termasuk dalam budaya organisasi yang juga mempengaruhi kinerja dosen di Politeknik Negeri Medan. Perspektif ini dilihat dari iklim yang terbentuk dalam organisasi dimana dosen merasa memiliki ikatan yang kuat dengan organisasi. Dalam kondisi seperti ini, dosen akan menunjukkan loyalitas kepada organisasi. Dosen akan merasa bangga karena menjadi bagian dari organisasi


(4)

dan merasa aman dengan pekerjaannya karena merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian akan meningkatkan kinerjanya.

Profesionalisme merupakan budaya organisasi yang juga mempengaruhi kinerja dosen Politeknik Negeri Medan. Profesionalisme adalah ukuran kecakapan atau keahlian yang dimiliki oleh dosen dalam organisasi. Dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, semua dosen akan mencurahkan perhatiannya pada pekerjaannya sebagai bentuk dari tanggung jawab yang harus ditunaikan sehingga akan membuahkan hasil yang optimal.

Indikator terakhir yang mempengaruhi budaya organisasi dari hasil kuesioner adalah masalah konflik. Mayoritas responden menjawab bahwa konflik tidak merupakan hal yang sering dirasakan di lingkungan Politeknik Negeri Medan.

Berdasarkan jawaban responden terhadap motivasi dan budaya organisasi memperlihatkan bahwa mayoritas responden menjawab bahwa uraian pekerjaan dan tanggung jawab pekerjaan jelas di Politeknik Negeri Medan serta mayoritas responden juga menjawab bahwa pengembangan karir belum dikelola dengan baik oleh Politeknik Negeri Medan, sehingga perlu mendapat perhatian. Hal ini juga didukung oleh data mengenai kualifikasi pendidikan dosen, dimana mayoritas dosen masih berpendidikan S1 (231 orang atau 77,78%). Namun secara umum berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dosen yang saat ini bekerja mempunyai motivasi yang tinggi didukung oleh budaya organisasi yang baik sehingga memberikan kinerja yang tinggi.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara empiris variabel motivasi kerja dan budaya organisasi secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh postif dan sangat signifikan terhadap kinerja dosen dan budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan. Dari kedua variabel bebas yang diteliti, maka variabel yang berpengaruh dominan terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan adalah variabel motivasi kerja. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilaksanakan oleh Marifah (2005) pada sektor pekerja sosial dengan jumlah sampel, dimensi pengukuran dan periode pengamatan yang berbeda.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, guna peningkatan kinerja dosen Politeknik Negeri Medan maka disarankan sebagai berikut: mengingat motivasi kerja dan budaya organisasi memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap prestasi kerja dosen Politeknik Negeri Medan, maka pimpinan Politeknik Negeri Medan perlu melakukan peningkatan terhadap kedua faktor tersebut untuk lebih lagi meningkatkan kinerja dosennya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari beberapa beberapa dimensi yang dipakai untuk mengukur motivasi kerja dan budaya organisasi masalah pengembangan merupakan hal yang sangat perlu untuk diperhatikan. Pengembangan yang dimaksud disini adalah memberikan kesempatan


(6)

dosen untuk meningkatkan potensi dirinya melalui pendidikan dan pelatihan yang direncanakan dengan baik. serta kepastian karir di masa mendatang.