Perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara
KECAMAT
DEPART
INS
ATAN CILINCING, JAKARTA UTARA
AGNES KRISTANDI
ARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
NSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
(2)
Perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta
Utara. Dibimbing oleh NURHAYATI H. S. ARIFIN.
Studi ini bertujuan untuk menyusun suatu perencanaan lanskap wisata sejarah
Kampung Tugu, dengan menampilkan lanskap, termasuk budaya masyarakat, yang
merepresentasikan lanskap perkampungan Portugis pada masa kolonial Belanda.
Manfaat yang diharapkan dari hasil studi ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah Jakarta Utara dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan
tersebut terutama dalam sektor kepariwisataan. Manfaat lain adalah untuk
melestarikan keberadaan peninggalan sejarah, khususnya melalui kegiatan pariwisata.
Kawasan Kampung Tugu telah dihuni sejak tahun 1661. Kawasan ini dihuni
sebanyak 23 keluarga (kurang lebih 150 jiwa) masyarakat Portugis yang mengalami
kekalahan dari Belanda, dalam perang Malaka pada tahun 1641. Asal-usul nama
Kampung Tugu sangat bervariasi, antara lain nama Tugu berasal dari kata
por tugu
ese
(Portugis), sebutan orang Portugis yang tinggal di kampung itu. Namun, ada juga
versi yang menyebutkan bahwa nama Tugu dikaitkan dengan penemuan sebuah
prasasti (tugu) batu bertuliskan huruf Pallawa dari masa kekuasaan Raja
Purnawarman, Kerajaan Taruma(negara) yang dikenal dengan nama Prasasti Tugu.
Studi mengenai perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah Kampung Tugu
dilaksanakan pada wilayah Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta
Utara. Berdasarkan wilayah administratifnya, Kelurahan Semper Barat berbatasan
dengan Jalan Raya Cilincing/Kelurahan Kali Baru di sebelah utara, Jalan Raya
Cilincing/Kelurahan Semper Timur di sebelah timur, Kali Cakung Lama di sebelah
barat, dan Kali Gubuk Genteng di sebelah selatan. Kelurahan Semper Barat memiliki
luas kawasan sebesar 159,7 ha, pada ketinggian 2 meter dari permukaan laut.
Metode studi yang digunakan adalah metode perencanaan lanskap menurut
Gold (1980) dengan pendekatan aktivitas. Tahapan perencanaan mencakup kegiatan
inventarisasi melalui pengumpulan data primer serta sekunder, analisis dengan
metode skoring, analisis spasial, dan analisis deskriptif, penyusunan konsep, sintesis,
dan perencanaan lanskap.
Kampung Tugu merupakan salah satu daerah tujuan wisata di wilayah Jakarta
Utara. Daya tarik dan objek wisata pada kawasan Kampung Tugu dapat menunjang
kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Objek wisata yang berada pada kawasan
Kampung Tugu yaitu Gereja Tugu III, Lonceng Gereja Tugu, Area bekas Gereja
Tugu I dan II, gedung Yeruel, rumah pendeta, area makam dan rumah tua
peninggalan masyarakat asli Tugu. Objek wisata ini akan dikembangkan dengan
penambahan atraksi budaya seperti Kroncong Tugu, tarian Portugis, Pakaian adat
Portugis, serta kebudayaan asli masyarakat Tugu lainnya.
(3)
ditempuh melalui kegiatan wisata sejarah yang efektif, sehingga
dapat
memperkenalkan nilai sejarah dan budaya masyarakat asli Tugu. Berdasarkan konsep
tersebut dikembangkan beberapa konsep lain seperti konsep ruang, konsep sirkulasi,
konsep aktvitas dan fasilitas wisata, konsep tata hijau, dan konsep pelestarian
kawasan.
Konsep ruang yang diterapkan merupakan konsep yang didapatkan dari hasil
overlay
antara zonasi pelestarian dan zonasi wisata sejarah. Zonasi pelestarian
maupun zonasi wisata sejarah didapatkan berdasarkan hasil skoring terhadap kawasan
studi. Berdasarkan hasil
overlay
tersebut didapatkan tiga ruang utama, yaitu ruang
inti, ruang penyangga (transisi), dan ruang pengembangan.
Ruang inti merupakan ruang yang menampung atraksi dan objek wisata utama
dari keseluruhan tapak. Peletakan objek dan atraksi diperhitungkan dengan seksama
agar dapat memberikan pengetahuan dan informasi baru bagi para wisatawan. Selain
itu, dalam pemanfaatannya ruang ini memperhatikan kelestarian objek dan atraksi
wisata.
Ruang penyangga merupakan ruang yang berfungsi sebagai pembatas ruang
inti agar dalam pengembangannya tidak rusak dan tetap terjaga kelestariannya. Pada
ruang penyangga terdapat juga ruang transisi, dimana ruang ini menghubungkan
ruang inti dengan ruang pengembangan. Adapun ruang pengembangan merupakan
ruang yang terdapat fasilitas penunjang dan fasilitas pengelolaan kawasan wisata.
Konsep sirkulasi memiliki dasar untuk menghubungkan antar ruang, serta
menghubungkan antar objek dan atraksi wisata. Sirkulasi pada tapak dibagi menjadi 3
jenis yaitu sirkulasi primer, sirkulasi sekunder, dan sirkulasi tersier. Masing-masing
sirkulasi terletak pada ruang yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan fungsi setiap
ruang. Sirkulasi berfungsi sebagai penunjang kegiatan pada setiap ruang, sehingga
kegiatan wisata dapat berjalan secara efektif dengan memberikan pengetahuan baru,
kepuasaan, dan kenyamanan kepada pengunjung.
Konsep tata hijau dikembangkan menjadi rencana tata hijau. Konsep tata hijau
akan menunjang kegiatan wisata sejarah. Tanaman yang dipergunakan sebagian besar
merupakan tanaman endemik dan tanaman yang dipergunakan pada masa
perkampungan Portugis di Kampung Tugu. Konsep vegetasi tersebut bertujuan untuk
memberikan interpretasi kepada pengunjung mengenai kondisi ruang terbuka hijau,
termasuk hutan, ladang, sawah-sawah, dan rawa di Perkampungan Portugis, serta
untuk menunjang kegiatan wisata sejarah.
Rencana fasilitas yang terdapat pada tapak disesuaikan dengan aktivitas
wisata yang dilakukan pada tiap ruang maupun pada keseluruhan tapak. Peletakan
fasilitas pada tapak disesuaikan dengan keadaan perkampungan Portugis pada
kawasan Kampung Tugu menurut denah tahun 1940 (Lampiran 1). Lokasi
rumah-rumah asli penduduk Tugu saat itu, digantikan dengan fasilitas yang sesuai dengan
(4)
Rencana jalur interpretasi dikembangkan dari konsep interpretasi berdasarkan
pada periode perkembangan sejarah dan pola kehidupan serta aktivitas masyarakat
pada kawasan Kampung Tugu. Tema interpretasi pada kawasan Kampung Tugu
diangkat dari periode perkampungan Portugis pada kawasan Kampung Tugu yang
merepresentasikan perkembangan sejarah. Sarana interpretasi yang direncanakan
adalah sarana yang dapat merepresentasikan nilai sejarah dan budaya dengan
merealisasikan keadaan perkampungan Portugis pada kawasan Kampung Tugu.
Rencana perjalanan wisata merupakan pengembangan dari rencana jalur
sirkulasi. Penyusunan rencana wisata diterapkan dalam beberapa paket wisata yang
dibuat berdasarkan pada jenis perjalanan wisata maupun jenis wisatawan. Dalam hal
ini paket wisata yang dibuat berdasarkan jenis perjalanan wisata adalah paket wisata
yang dimulai dari rumah tua (museum) dan paket wisata yang dimulai dari kawasan
Gereja Tugu. Sedangkan paket perjalanan wisata berdasarkan jenis wisatawan adalah
paket wisata bagi wisatawan yang datang secara individu (dan bagi wisatawan dalam
kelompok.
Hasil dari perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah disajikan dalam
beberapa peta, seperti peta rencana blok, peta jalur interpretasi, peta perjalanan
wisata, dan peta rencana lanskap.
(5)
KECAMATAN CILINCING, JAKARTA UTARA
AGNES KRISTANDI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
(6)
Nama : Agnes Kristandi
NRP
: A44061527
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc.
NIP. 19620121 198601 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
NIP. 19480912 197412 2 001
(7)
Agnes Kristandi dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 September 1988.
Penulis merupakan putri tunggal dari pasangan Yohanes Budiyanto dan Emmy
Budiyanto. Pendidikan yang ditempuh penulis dimulai dari TK Cor Jesu Marsudirini
Jakarta pada tahun 1995-1997, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan pada SD
Marsudirini Jakarta pada tahun 1997-2000, SMP St. Vincentius Jakarta pada tahun
2000-2003, dan SMA Fons Vitae Jakarta tahun 2003-2006.
Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan pada tahun 2007
diterima sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap melalui jalur
mayor-minor. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan dalam
kegiatan Departemen Arsitektur Lanskap maupun kegiatan Keluarga Mahasiswa
Katolik (Kemaki). Selain itu, penulis juga pernah menjadi pengurus divisi PSDM
Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap) periode 2008-2009.
Dalam bidang keprofesian, penulis pernah menjadi anggota kegiatan Pekan
Karya Ilmiah Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan pada tahun 2008, dan menjadi
peserta sekaligus
volunteer
dalam Bogor Botanical Garden International Workshop
2010. Selain dalam bidang keprofesian, penulis juga aktif sebagai asisten dosen MK.
Pelestarian Lanskap Sejarah dan Budaya tahun ajaran 2010-2011.
(8)
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi. Skripsi dengan judul
“Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata
Sejarah Perkampungan Portugis di Kampung
Tugu, Kecamatan Cilincing,
Jakarta Utara”
disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dan Minor
Kewirausahaan Agribisnis dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini terdorong oleh keinginan untuk membantu upaya
pelestarian kawasan Kampung Tugu, karena saat ini kawasan tersebut sangat kurang
pemeliharaan serta perhatian dari pemerintah daerah maupun pengelola. Selain itu,
sebagai suatu alternatif untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan menghargai sejarah
dan budaya Bangsa melalui kegiatan pariwisata.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyusunan skripsi
hingga selesai
2. Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr, Sc. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan pengarahan selama penulis menjadi mahasiswa
3. Kedua orang tua dan keluarga besar atas setiap cinta, doa, dukungan, dan
bantuannya yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam
menyelesaikan studi ini.
4. Mahro Syihabuddin atas cinta, perhatian, kesabaran, dan dukungannya.
5. Keluarga besar IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tugu), Bapak Andre J.
Michils, Bapak Arthur J. Michils, dan Bapak Johan Sopaheluwakan atas
keramahan, kemudahan, dan bantuan selama penulis melakukan
penelitian.
(9)
7. Masyarakat Kampung Tugu atas bantuannya dan kesediaannya selama
melakukan wawancara guna pengumpulan data.
8. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 43 tercinta atas persahabatan,
dukungan, dan doa.
9. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 40, 41, 42, 44, dan 45 atas
dukungannya.
10. Keluarga besar Arsitektur Lanskap (staf pengajar dan staf penunjang) atas
ilmu, bimbingan, dan bantuanya selama penulis menjadi mahasiswa.
Semoga hasil studi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang terkait dan berguna
sebagai refrensi bagi penelitian lain yang akan dilaksanakan pada masa yang akan
datang.
Bogor, Oktober 2010
(10)
DAFTAR TABEL
... xiii
DAFTAR GAMBAR
... xiv
DAFTAR LAMPIRAN
... xvii
BAB I PENDAHULUAN
...
1
1.1. Latar Belakang ...
1
1.2. Tujuan ...
3
1.3. Manfaat ...
3
1.4. Kerangka Pikir ...
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
...
5
2.1. Lanskap Sejarah ...
5
2.2. Pelestarian lanskap Sejarah...
6
2.3. Benda Cagar Budaya...
10
2.4. Pemanfaatan Lanskap Sejarah Sebagai Kawasan Wisata... 12
2.5. Perencanaan Lanskap Wisata... 14
BAB III METODOLOGI
... 16
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16
3.2. Batasan Penelitian... 17
3.3. Tahapan dan Metode Penelitian... 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
... 23
4.1. Kondisi Umum... 23
4.1.1. Lokasi... 23
4.1.2. Aksessibilitas dan Sirkulasi ... 25
4.1.3. Tata Guna Lahan...
28
4.1.4. Biofisik... 31
4.1.4.1. Klasifikasi Jenis Tanah ... 31
4.1.4.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ...
32
4.1.4.3. Kondisi Hidrologi ... 34
(11)
4.2. Kesejarahan Kawasan ...
41
4.2.1. Sejarah Kampung Tugu ... 41
4.2.2. Sejarah Gereja Tugu ...
42
4.2.3. Elemen Lanskap Sejarah... 46
4.2.3.1. Makam Gereja Tugu ... 46
4.2.3.2. Rumah Tua...
47
4.2.3.3. Peninggalan Arkeologi ... 49
4.3. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat ...
50
4.3.1. Pola Pemukiman Penduduk ... 50
4.3.2. Elemen Lanskap Budaya ... 52
4.3.2.1. Masyarakat Tugu ... 52
4.3.2.2. Kroncong Tugu ... 55
4.3.2.3. Bahasa Portugis... 58
4.3.2.4. Perayaan Natal ... 60
4.3.2.5. Rabo-rabo...
61
4.3.2.6. Mandi-mandi... 61
4.3.2.7. Festival Kampung Tugu...
62
4.3.2.8. Makanan Khas Kampung Tugu ...
64
4.3.2.9. Pakaian Tradisional Masyarakat Tugu ... 65
4.3.2.10. Tarian Portugis... 67
4.3.3. Persepsi dan Harapan Masyarakat ...
68
4.4. Kepariwisataan... 74
4.4.1. Daya tarik dan Objek Wisata ... 74
4.4.2. Benda Cagar Budaya ... 82
4.4.3. Fasilitas Penunjang ...
84
4.4.4. Aspek Legal... 90
4.4.5. Pengelolaan Kawasan... 93
(12)
BAB V KONSEP
... 111
5.1. Konsep Dasar Perencanaan Tapak... 111
5.2. Konsep Ruang ... 111
5.3. Konsep Aksessibilitas dan Sirkulasi... 114
5.4. Konsep Aktivitas Wisata ... 116
5.5. Konsep Fasilitas Wisata ... 116
5.6. Konsep Tata Hijau... 117
5.7. Konsep Pelestarian Kawasan... 119
BAB VI PERENCANAAN
... 121
61. Rencana Ruang Wisata ... 121
6.2. Rencana Sirkulasi ... 123
6.3. Rencana Jalur Interpretasi ... 124
6.4. Rencana Fasilitas ... 127
6.5. Rencana Tata Hijau ... 138
6.6. Rencana Perjalanan Wisata ... 140
6.7. Rencana Lanskap Wisata Sejarah Portugis Kampung Tugu ... 147
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
... 150
7.1. Kesimpulan ... 150
7.2. Saran ... 152
DAFTAR PUSTAKA
... 153
(13)
1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian... 17
2. Kelompok, Jenis dan Sumber Data... 19
3. Data Iklim ... 36
4. Objek Wisata pada Tapak ... 77
5. Atraksi Budaya yang Terdapat pada Tapak ...
78
6. Kriteria Penilaian Zonasi Wisata Sejarah ...
80
7. Kriteria Penilaian Zonasi Pelestarian... 102
8. Jumlah Pengunjung Objek Wisata Jakarta Utara... 104
9. Analisis dan Sintesis Tapak ... 106
10. Hubungan Ruang dan Tanaman... 119
11. Daya Tampung dan Total Pengunjung Setiap Ruang ... 120
12. Las Area yang Direncanakan pada Tapak ... 123
13. Rencana Ruang, Aktivitas, dan Fasilitas Wisata ... 137
14. Rencana Ruang, Jenis Tanaman, dan Fungsi Tanaman... 139
15. Rencana Paket Perjalanan Wisata Individu ... 143
(14)
1. Kerangka Pikir Penelitian ...
4
2. Lokasi Penelitian...
16
3. Tahapan Perencanaan Lanskap ... 18
4. Peta Lokasi Kawasan Penelitian ... 23
5. Lokasi Penelitian...
25
6. Peta Aksessibilitas Menuju Tapak ... 26
7. Peta Tata Guna Lahan Kelurahan Semper Barat ... 29
8. Peta Tata Guna Lahan Kawasan Kampung Tugu ... 31
9. Peta Jenis Tanah... 32
10. Kondisi Hidrologi Kawasan Kampung Tugu ...
34
11. Intensitas Curah Hujan DKI Jakarta ... 37
12. Vegetasi pada Tapak ...
39
13. Kebaktian di dalam Gereja Tugu III ... 43
14. Sekolah Tugu ... 43
15. Perkembangan Gereja Tugu... 45
16. Lonceng Gereja Tugu ...
45
17. Piring-piring Logam dan Mimbar Tua...
46
18. Makam tua di kawasan Gereja Tugu ... 47
19. Rumah Tua Peninggalan Masyarakat Asli Tugu ... 48
20. Bagian Depan Rumah Tua ... 48
(15)
24. Alat Musik Kroncong Prounga, Macina, dan Jitera... 56
25. Acara Mandi-mandi ...
62
26. Penampilan Krontjong Toegoe pada Festival Kampung Tugu 2008... 63
27. Pameran Foto Etnografi masyarakat Tugu ...
63
28. Tarian Tradisional Portugis pada Festival Kampung Tugu ...
64
29. Pakaian Tradisional Portugis ... 66
30. Pakaian Pemain Kroncong... 67
31. Tarian Tradisional Portugis ... 68
32. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Asli Tugu...
69
33. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Asli Tugu ...
69
34. Peran Serta Masyarakat Asli Tugu dalam Aktivitas Wisata...
70
35. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang ...
71
36. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang ...
72
37. Peran Serta Masyarakat Pendatang dalam Aktifitas Wisata ...
72
38. Objek Wisata Pada Tapak... 76
39. Zonasi Wisata Sejarah ...
81
40. Pintu ... 85
41. Pos Jaga... 86
42. Tempat Sampah ... 87
43. Area Parkir pada Kawasan Gereja Tugu...
88
(16)
47. Zonasi Pelestarian ... 103
48. Analisis dan Sintesis ... 110
49. Konsep Ruang... 112
50. Rencana Blok ... 115
51. Peta Jalur Interpretasi... 126
52. Ilustrasi Gerbang Utama pada Tapak... 128
53. Ilustrasi Area Parkir Mobil Tipe Tegak Lurus 90
0... 129
54. Ilustrasi Papan Interpretasi Sejarah... 130
55. Ilustrasi Papan Penunjuk Arah... 131
56. Ilutrasi
Name Sign
... 132
57. Ilustrasi Pusat Registrasi Dan Penjualan Tiket ... 132
58. Ilustrasi Perpustakaan ... 134
59. Ilustrasi
Site Furniture
... 136
60. Peta Perjalanan Wisata... 142
61. Rencana Lanskap ... 148
(17)
1. Denah Rumah Keluarga Tugu Tahun 1940 ... 156
2. Keterangan Denah... 157
3. Kuesioner ... 158
(18)
1.1. Latar Belakang
Pada masa kolonial, Indonesia pernah dijajah oleh beberapa negara sebelum
pada akhirnya merdeka. Negara-negara yang pernah berkuasa di Indonesia
diantaranya adalah Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol dan Jepang. Pada masa
pemerintahannya, mereka memusatkan pemerintahan mereka di wilayah Jakarta,
yang dahulu dikenal dengan Sunda Kelapa yang akhirnya berganti nama menjadi
Batavia setelah ditaklukkan oleh Jan Pieterszoon Coen pada masa pemerintahan
Belanda di Indonesia.
Periode penjajahan memberikan warna baru bagi perkembangan sosio-kultural
di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai peninggalan sejarah baik
peninggalan asli maupun hasil akulturasi antara bangsa penjajah dengan pribumi.
Semua peninggalan tersebut memberikan ciri dari setiap periode kolonial. Bangsa
Belanda yang memiliki periode terlama pada masa kolonial tentunya memberikan
warna yang lebih dibandingkan bangsa lainnya. Namun demikian hal tersebut tidak
menutup kemungkinan adanya bukti sejarah asli maupun hasil akulturasi dari bangsa
lainnya, seperti beberapa peninggalan yang berhubungan dengan orang pribumi,
orang Tionghoa, imigran Arab dan India.
Salah satu peninggalan dari masa kolonial adalah Kampung Tugu. Nama
Kampung Tugu berasal dari penemuan salah satu peninggalan arkeologis tertua, yaitu
prasasti Tugu. Tugu berarti tiang atau batu peringatan, dimana prasasti ini merupakan
pembuktian adanya pengaruh Hindu di Jawa Barat sejak abad ke-5. Pada masa
pemerintahan Belanda di Indonesia, Kampung Tugu merupakan tempat tinggal bagi
orang Portugis yang merupakan bekas tawanan perang atau budak-belian yang
dibawa oleh Belanda dari daerah Portugis di sekitar Malaka, dari India dan Sri Lanka.
Kemudia
n, pada tahun 1661, berkat campur tangan dari
‘Gereja Portugis di dalam
Kota’, sebagian wilayah Tugu dijatahkan kepada dua puluh tiga keluarga Kristen.
(19)
Dalam perkembangannya orang Portugis yang semula merupakan tawanan Belanda
kemudian dibebaskan, dan mereka mengembangkan kebudayaan Portugis pada
kawasan tersebut (Heuken, 1997).
Saat ini, Kampung Tugu merupakan salah satu dari beberapa kampung khas
dan daerah pemukiman dengan gedung-gedung yang menonjolkan serta mencirikan
nilai arsitektural bersejarah sebagai kawasan yang dilindungi menurut
Undang-undang No. 5 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah DKI Jakarta No. 9 tahun 1999
tentang benda cagar budaya. Kawasan ini termasuk ke dalam salah satu benda cagar
budaya yang berada di wilayah Jakarta Utara. Oleh sebab itu, kawasan ini dilestarikan
dan terintegrasi secara utuh dalam rencana pembangunan. Bila hal ini tidak dapat
terealisasi maka Jakarta akan menjadi suatu kota yang tidak dapat memberikan
inspirasi bagi penduduknya akan kekayaan warisan budaya dan sejarahnya.
Kawasan Kampung Tugu telah direncanakan sebagai salah satu objek wisata
dalam kegiatan wisata pesisir oleh Pemerintah Daerah Jakarta Utara. Dalam
pemanfaatannya sebagai objek wisata, kawasan Kampung Tugu seharusnya dapat
memperkenalkan kekayaan sejarah dan budaya yang merupakan peninggalan periode
kolonial kepada masyarakat Jakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Pemanfaatan kawasan Kampung Tugu sebagai salah satu dari objek wisata
pesisir memiliki beberapa permasalahan umum, dimana permasalahan tersebut dapat
menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan ini sebagai kawasan wisata.
Adapun beberapa permasalahan umum yang terdapat pada kawasan Kampung Tugu,
yaitu kurangnya peran serta Pemerintah Daerah Jakarta Utara maupun pengelola
kawasan dalam promosi dan pemeliharaan kawasan, kurangnya sarana dan prasarana
pendukung kegiatan wisata, fasilitas yang telah ada kurang memperhatikan ukuran
standar, undang-undang maupun peraturan mengenai pelestarian kawasan tidak
diperhatikan, dan vegetasi tidak tertata dengan baik. Maka dari itu, dalam studi ini
akan dibuat perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah yang sesuai dengan kondisi
kawasan Kampung Tugu dan memperhatikan kelestarian kawasan, sehingga kegiatan
(20)
wisata yang akan dilaksanakan dapat berjalan secara efektif dan dapat memberikan
kenyamanan bagi pengunjung.
1.2. Tujuan
Kegiatan studi ini adalah menyusun suatu perencanaan lanskap wisata sejarah
Kampung Tugu, agar aktifitas wisata sejarah dapat berjalan efektif dan menjaga
kelestarian karakterisitik historiknya, dengan tetap mempertahankan aktifitas dan
budaya masyarakat serta karakter unik dari lanskap Kampung Tugu.
1.3. Manfaat
Hasil studi diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
daerah dalam merencanakan dan mengembangkan daerahnya terutama dalam sektor
kepariwisataan dan melestarikan keberadaan peninggalan sejarah, khususnya melalui
kegiatan pariwisata.
1.4. Kerangka Pikir
Lanskap Kampung Tugu, Jakarta Utara, terdiri dari tiga lanskap utama, yaitu
lanskap sejarah, lanskap wisata, dan lanskap permukiman. Lanskap sejarah terdiri
dari nilai sejarah dari setiap objek serta atraksi yang terdapat pada tapak, kebutuhan,
dan upaya pelestarian kawasan khususnya pada benda cagar budaya serta benda
bernilai sejarah. Lanskap wisata sangat ditentukan oleh daya tarik dari setiap objek
dan atraksi wisata, interpretasi yang dapat ditangkap oleh pengunjung, daya dukung
yang sesuai bagi setiap objek dan kawasan tujuan wisata, dan kenyamanan yang
diharapkan pengunjung. Lanskap permukiman merupakan lanskap yang didominasi
oleh permukiman masyarakat sehingga dalam pengembangan wisata diperlukan
persepsi masyarakat mengenai kawasan dan kegiatan wisata, serta partisipasi
masyarakat pada kegiatan wisata yang akan dikembangkan.
Lanskap sejarah, lanskap permukiman, dan lanskap wisata memiliki pengaruh
serta berhubungan erat dengan perencanaan lanskap kawasan Kampung Tugu sebagai
kawasan wisata. Selain itu, terdapat pula faktor lain yang akan mempengaruhi
perencanaan kawasan Kampung Tugu, yaitu aspek legal yang mengatur kegiatan
(21)
Perencanaan lanskap wisata sejarah Kampung Tugu untuk mendukung upaya pelestarian dan optimalisasi interpretasi bagi pengunjung
(22)
2.1. Lanskap Sejarah
Lanskap sejarah (
historical landscape
) menurut Harris dan Dines (1988),
secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu (
landscape
of the past
), yang terdiri dari informasi fisik tentang keberadaan manusia pada suatu
tempat. Lanskap sejarah mampu bertahan hingga keadaan masa kini namun tetap
menampilkan keadaan pada masa lalu secara berkelanjutan, serta mengikuti
perkembangan pembangunan. Lanskap sejarah juga memiliki fokus kepada lanskap
budaya, diantara kontribusi manusia terhadap keadaan awal suatu tempat.
Lanskap sejarah merupakan bagian dari bentuk suatu lanskap budaya yang
memiliki dimensi waktu didalamnya, yang juga dapat dinyatakan sebagai suatu
kawasan geografis yang merupakan objek atau susunan (
setting
) atas suatu kejadian
atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia
(Nurisyah dan Pramukanto, 2001).
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), suatu bentukan lanskap dikatakan
memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria dan/atau alasan sebagai
berikut:
1. Etnografis, yang merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial
suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini
yaitu
rural landscape
(lanskap pedesaan) dan
urban landscape
(lanskap
perkotaan).
-
Rural landscape,
merupakan suatu model atau bentuk lanskap yang dapat
merupakan cerminan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan
pedesaan; dan
(23)
-
Urban landscape
, yaitu bentuk lanskap yang berhubungan dengan
pembangunan kota dan kehidupan perkotaan
2. Associative
, suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat
dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis,
estetika, dan sebagainya.
3.
Adjoining
, adalah bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit
tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu.
2.2. Pelestarian Lanskap Sejarah
Nurisyah dan Pramukanto (2001), mengungkapkan bahwa pelestarian lanskap
sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau
melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari
berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya atau nilai yang
dimilikinya.
Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan lanskap, Harris dan Dines
(1988) mengajukan 4 (empat) hal utama dilakukannya tindakan preservasi untuk
pelestarian lanskap sejarah ini, yaitu:
(1) Untuk menyelamatkan karakter estetik dari suatu areal, wilayah atau properti
a. Untuk menekan kesinambungan antara masa lalu dengan masa sekarang
b. Untuk melengkapi struktur kesejarahan
c. Untuk menahan degradasi karakter lingkungan
d. Untuk menginterprestasikan kehidupan sejarah dari seseorang, suatu
kejadian, dan suatu tempat
(2) Untuk mengkonservasi sumberdaya
a. Untuk mempertahankan pepohonan, tanaman-tanaman semak, dan
berbagai jenis tanaman lainnya
b. Untuk memperpanjang umur kehidupan dari suatu
site features
c. Untuk memperbaiki dan merehabilitasi berbagai hal atau bahan yang
sudah tidak diproduksi lagi
(24)
d. Untuk mengurangi kegiatan pemeliharaan
(3) Untuk memfasilitasi pendidikan lingkungan
a. Untuk mengilustrasikan nilai, cita rasa, proses, dan teknologi yang telah
dimiliki pada masa yang lampau
b. Untuk mengevaluasi keterpakaian dari teknologi tempo dulu untuk
digunakan pada saat sekarang
(4) Untuk mengakomodasi perubahan-perubahan kebutuhan akan hunian, baik
yang terdapat dalam kawasan perkotaan, di tepi kota, maupun di kawasan
pedesaan.
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), kriteria untuk melakukan tindakan
pelestarian atau preservasi didasarkan atas pertimbangan faktor-faktor:
(1) Makna sejarah (
Historical significance
)
-
Pertimbangan didasarkan pada kepentingan relatif dari makna kesejarahan dan
keunikannya
(2) Extant historic resources
-
Pertimbangan didasarkan pada jumlah dan tipe dari
features
utama yang
terkait dengan periode sejarah tapak tersebut
-
Integritas historikal dari beberapa sumberdaya yang dapat dipertahankan
keberadaannya (
Historical integrity of surviving resources
)
(3) Kondisi sumberdaya sejarah
-
Kondisi struktural
-
Kondisi material tanaman
(4) Seleksi periode sejarah
-
Kepentingan dari asosiasi sejarah
-
Ketersediaan sumberdaya eksisting (saat ini)
-
Keterpaduan dari sumberdaya tersedia
(25)
-
Keterkaitan antar sumberdaya eksisting dengan keterkaitan sejarah
-
Kondisi sumberdaya saat ini
-
Ketersediaan informasi sejarah pada periode yang otentik untuk upaya
restorasi
Bangunan dan daerah bersejarah tertentu dikatakan sebagai unsur kualitas
perkotaan yang positif. Perlindungan (pemeliharaan) terhadap kawasan bersejarah
tidak hanya mempunyai nilai intrinsik, melainkan juga mempunyai dampak
ekstrensik sehingga dapat mendorong perbaikan daerah di sekitarnya. Menurut
Catanese dan Snyder (1988), terdapat beberapa kategori perlindungan terhadap benda
bersejarah, yaitu:
-
Daerah alami
Daerah ini biasanya berbentuk daerah pantai, perkebunan, hutan, lereng
perkebunan, dan lokasi-lokasi arkeologis. Kelompok pemelihara setempat
biasanya bertindak sebagai konservator pada daerah lanskap.
-
Skyline dan pemandangan koridor
Pada bangunan-bangunan tinggi diberlakukan pengendalian dan pembatasan
ketinggian. Bentuk serta ketinggian skyline berada di bawah pengawasan
secara seksama. Pembatasan tersebut ditujukan untuk menjamin bahwa
pemandangan-pemandangan dari tempat lain serta dari bangunan-bangunan
penting dan bersejarah dilindungi dari kerusakan.
-
Wilayah
Kategori wilayah yang dilindungi biasanya merupakan daerah-daerah dengan
konsistensi stylistis atau suatu tempat tradisional. Tempat-tempat tersebut
dilindungi dari pembongkaran dan pengaruh orang luar atau
perubahan-perubahan baru. Perhatian sebaiknya diberikan tidak hanya untuk memelihara
daerah berciri arsitektur, tetapi juga ciri kehidupannya.
-
Bentang jalan
Pada bagian dari bentang jalan diberikan perhatian yang serius untuk
(26)
hasil dari suburbanisasi banyak pusat perdagangan yang memburuk dan
kehilangan perannya. Dalam beberapa kasus, usaha untuk memlihara jalan
utama telah berada pada skala daerah dan mencakup rencana bagian arah
pergerakan kendaraan dan tempat parkir. Namun, dalam kasus lain, sebagian
besar perhatiannya dicurahkan bagi pemeliharaan penampilan tradisional jalan
utama sebagai kenangan masa lalu.
-
Bagian depan suatu gedung
Telah umum ditemukan beberapa gedung sejarah yang tetap mempertahankan
bagian depan dari gedung tersebut, sementara perkembangan pembangunan
terhadap gedung tersebut, seperti penyisipan bangunan yang lebih besar
biasanya dilakukan pada bagian belakang gedung. Hal tersebut meupakan
upaya dari perlindungan benda bersejarah, dengan dua tujuan utama, yaitu: (1)
mempertahankan ciri jalan yang berada di bagian depan gedung bersejarah,
dan (2) memungkinkan eksploitasi nilai lahan baru melalui konstruksi
bangunan terhadap pasar real estate. Sasaran kritik terhadap metode
pemeliharaan bersejarah ini mungkin melebihi dibandingkan pada bagian lain,
karena makna (spirit) dari bangunan asli sering hilang bila dipenuhi dengan
konstruksi baru dengan ciri dan skala yang berbeda.
-
Bangunan
Pemeliharaan bangunan perorangan (individual) mempunyai sejarah paling
lama dan merupakan tindakan pemeliharaan paling umum. Ini disebabkan
adanya pola hak milik, bangunan tersendiri lebih mudah untuk dikendalikan
dibandingkan dengan sekelompok bangunan. Hal ini juga dikarenakan pola
dasar pemeliharaan yang hanya mengidentifikasikan bangunan bernilai tinggi,
paling banyak, paling baik, paling tua untuk penyelamatan.
-
Benda dan bagian bangunan (fragmen)
Skala paling kecil dari pemeliharaan meliputi bagian-bagian bangunan,
misalnya sisa pemboman, atau bagian dari bekas dinding kota, dan
benda-benda yang mempunyai nilai estetis dan historis.
(27)
2.3. Benda Cagar Budaya
Benda cagar budaya memiliki dua definisi berdasarkan Undang-undang
tentang Cagar Budaya No. 5 tahun 1992, yaitu:
1. Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak bergerak yang
merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya,
yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa
gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh)
tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.
2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan
Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, menjabarkan tolok
ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya, yaitu:
1. Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan,
ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan pada
tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
3. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana
lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di
dalamnya.
4. Tolok ukur tengeran atau
landmark
dikaitkan dengan keberadaaan sebuah
bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan simbol dan
wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran
lingkungan tersebut.
5. Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang
menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.
(28)
Kepemilikan benda cagar budaya berdasarkan Undang-undang RI No. 5 tahun
1992 Bab III pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa benda cagar budaya tertentu dapat
dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya
dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang.
Kegiatan pemugaran pada Benda Cagar Budaya harus sangat diperhatikan,
terutama dari keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak. Berikut
adalah prasyarat kegiatan pemugaran benda cagar budaya (Suantra, 2010):
1). Keaslian Bentuk
Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang
ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi
teknis.
2). Keaslian Bahan
a). Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan
asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula.
b). Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan
perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali
c). Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan
baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya.
3). Keaslian Tata Letak
a). Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan
pemetaan
b). Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan
lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula.
4). Keaslian Teknologi Pengerjaan
Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap
dipertahankan. keaslian teknologi ini antara :
(29)
a). Teknologi pembuatan
b). Teknologi konstruksi
Benda cagar budaya yang termasuk ke dalam bangunan museum memiliki
beberapa persyaratan pendirian, diantaranya adalah dalam hal pendirian bangunan
dimana berdasarkan bangunannya museum dapat dikelompokan menjadi dua
kelompok, yaitu bangunan pokok (pameran tetap, pameran temporer, auditorium,
kantor, laboratorium konservasi, perpustakaan, bengkel preparasi, dan ruang
penyimpanan koleksi) dan bangunan penunjang (pos keamanan, museum shop, tiket
box, toilet, lobby, dan tempat parkir). Selain dapat dikelompokan bangunan museum
juga dapat berupa bangunan baru atau dapat juga memanfaatkan bangunan lama,
dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi (Direktorat Permuseuman, 2000).
2.4. Pemanfaatan Lanskap Sejarah Sebagai Kawasan Wisata
Wisatawan menurut Yoeti (1996) adalah setiap orang yang berpergian dari
tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan tujuan menikmati
perjalanan dan kunjungannya itu. Sedang pariwisata adalah suatu perjalanan yang
dilakukan untuk sementara waktu untuk menikmati perjalanan dan kunjungan itu
(Yoeti, 1996).
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2009), wisata merupakan rangkaian
kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan
persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di
luar dari lingkungan tempat tinggalnya. Kegiatan tersebut didorong oleh berbagai
keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap.
Selain informasi dan promosi kawasan, untuk mengembangkan suatu kawasan
wisata maka faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah ketersediaan dari objek dan
atraksi wisata, pelayanan wisata, dan transportasi pendukung. Objek dan daya tarik
wisata merupakan andalan utama untuk pengembangan kawasan wisata. Keduanya
didefiniskan sebagai suatu keadaan alam dan perwujudan dari ciptaan manusia, tata
hidup, seni budaya serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk
(30)
dikunjungi wisatawan; dan atraksi wisata adalah segala perwujudan dan sajian alam
serta kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati
wisatawan di suatu kawasan wisata (Gunn, 1993).
Menurut Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa permintaan
akan pariwisata tergantung pada ciri-ciri wisatawan, seperti penghasilan, umur,
motivasi, dan watak. Masing-masing dari ciri-ciri tersebut akan mempengaruhi
kecenderungan orang untuk berpergian mencari kesenangan, kemampuannya untuk
berpergian, dan pilihan tempat tujuan perjalanannya. Permintaan juga ditentukan oleh
sifat-sifat dan ciri-ciri tempat tujuan perjalanan, daya tariknya, harga dan efektif
tidaknya kegiatan memasarkan tempat tujuan. Kebijaksanaan dan tindakan
pemerintah dapat mendorong atau menurunkan permintaan akan pariwisata secara
langsung dan sengaja, dan secara tidak langsung melalui faktor-faktor yang penting
bagi wisatwan, seperti keamanan. Selain itu, faktor-faktor sosial dapat mempengaruhi
permintaan, seperti sikap penduduk setempat pada para wisatawan dan minat yang
dibangkitkan oleh budaya setempat.
Selain itu, menurut Allen, Long, Perdue dan Keiselbach (1988) dalam Ross
(1994), terdapat tujuh aspek fungsi masyarakat: pelayanan umum, faktor ekonomi,
faktor lingkungan, pelayanan kesehatan, peran serta warga, pendidikan formal dan
pelayanan rekreasi bersama dan pembangunan pariwisata. Dimana dari ketujuh faktor
tersebut peran serta warga, pelayanan umum dan lingkungan merupakan hal-hal yang
paling peka dalam perkembangan pariwisata.
Menurut Pendit (2002), terdapat tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi
oleh suatu daerah untuk menjadi tujuan wisata:
(1) Memiliki atraksi atau objek menarik
(2) Mudah dicapai dengan alat-alat kendaraan
(3) Menyediakan tempat untuk tinggal sementara
(31)
Sedangkan, untuk daerah tujuan wisata sejarah, termasuk didalamnya adalah
kota-kota bersejarah yang mempunyai bangunan-bangunan bergaya arsitektur unik,
monumen, balairung, teater, dan sebagainya.
Black (1990) dalam Ross (1994), mengatakan bahwa bangunan bersejarah
memainkan peranan penting dalam memikat wisatawan dan sudah terbukti banyak
pemasukan yang dapat diperoleh dari upaya pelestarian. Salah satunya adalah dengan
menyesuaikan bangunan bersangkutan sehingga mempunyai nilai ekonomi.
2.5. Perencanaan Lanskap Wisata
Dalam kegiatan perencanaan lanskap, proses perencanaan dinyatakan sebagai
suatu proses yang dinamis, saling terkait, dan saling mendukung satu dengan lainnya.
Proses ini merupakan suatu alat terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk
menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lahan/tapak/bentang
alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta
cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang
diinginkan tersebut (Nurisyah dan Pramukanto, 2009).
Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa dalam perencanaan
pariwisata dibutuhkan pertimbangan berdasarkan tiga unsur dasar yang merupakan
sendi model pariwisata, pertama wisatawan dan perjalanan, artinya orang yang
melakukan perjalanan dan bermalam dan tempat tujuan. Kedua adalah organisasi dan
fasilitas yang dinikmati wisatawan, karena pariwisata itu rumit, luas, dan membawa
dampak. Ada lagi dampaknya pada ‘Pihak Lain’ atau pihak
-pihak seperti pemerintah,
masyarakat, ekonomi, dan orang-orang lain yang terlibat secara tidak langsung.
Menurut Gold (1980), perencanaan wisata dapat diklasifikasikan melalui
lingkup perencanaan, orientasi, area geografi, atau pengguna. Dalam konteks
perkotaan, perencanaan wisata telah dirubah dari identitas sumberdaya dan
perencanaan fasilitas menjadi identitas kota dan perencanaan lingkungan, dalam
konteks desain lingkungan. Komponen dari perencanaan rekreasi harus dapat disukai
oleh populasi - populasi khusus, seperti orang cacat. Perencanaan wisata juga dapat
(32)
diklasifikasi melalui pengguna, area perencanaan atau level dari pelayanan
pemerintah. Perbedaan ini dijelaskan melalui orientasi, skala analisis, dan produk dari
perencanaan wisata.
Perencanaan suatu kawasan wisata juga membutuhkan perencanaan
fasilitasnya, dimana seharusnya fasilitas wisata tersebut dikelompokkan menjadi satu
wilayah. Selain itu, wilayah-wilayah khusus harus dibangun untuk menunjang
keberadaan fasilitas wisata. Pembangunan fasilitas wisata harus lebih daripada
sekedar menempatkan bangunan-bangunan, karena sebagian dari daya tarik wisata
biasanya terletak pada pusat kota, tempat dengan nilai sejarah, dan sebagainya, dan
biasanya dibangun dengan lokasi yang ditujukkan untuk faktor-faktor yang berbeda
(Law, 1993).
Perencanaan wisata merupakan aliran sistematik dari antisipasi, sebab
pelestarian maupun pengawasan terhadap perubahan yang berhubungan dengan
kepentingan umum dan kepuasan pribadi. Perencanaan wisata juga merupakan proses
yang berkelanjutan dari perubahan dalam respon terhadap nilai sosial, pola
kehidupan, teknologi, legislasi, dan melihat ketersediaan dari sumberdaya.
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2009), merencanakan suatu kawasan
wisata adalah upaya untuk menata dan mengembangkan suatu areal dan jalur
pergerakan pendukung kegiatan wisata sehingga kerusakan lingkungan akibat
pembangunannya dapat diminimumkan tetapi pada saat yang bersamaan kepuasan
wisatawan dapat terwujudkan.
(33)
(34)
(35)
Gambar 3. Tahapan Perencanaan Lanskap
Tahapan penelitian dalam proses perencanaan Kawasan Wisata Sejarah
Kampung Tugu, Jakarta Utara ini dapat diuraikan, sebagai berikut:
1. Inventarisasi
Tahap ini merupakan tahap pengambilan data, berupa pengumpulan data
primer melalui survei lapang dan pengumpulan data sekunder berdasarkan jenis
data yang terkait dengan konsep perencanaan Kawasan Kampung Tugu melalui
Perkampungan Portugis Kampung Tugu Jakarta Utara
Lanskap Sejarah Aspek Wisata
Kondisi Lanskap: - Kondisi fisik alami - Pola Pemukiman - Elemen bersejarah - Pola RTH - Sosial-budaya
masyarakat - Landform, landuse
Kesejarahan: - Sejarah kawasan
Kampung Tugu - Kondisi dan elemen
yang mengandung nilai sejarah dan budaya
- Sistem pengelolaan/ pelestarian
Kondisi Fisik Penunjang Wisata: - Aksessibilitas - Sirkulasi - Fasilitas wisata
Kondisi Sosial-Ekonomi-Budaya: - Demografi dan
karakteristik penduduk
- Aktivitas sosial-ekonomi penduduk - Persepsi, harapan dan
pengaruh masyarakat sekitar
- Karakter pengunjung - Aktivitas pengunjung - Preferensi
pengunjung - Data pengunjung
Kebijakan/ Aspek Legal: - Tata ruang - Pengemb angan kawasan
1. Identifikasi Unit Lanskap Sejarah (Arsitektur Bangunan, Pola Pemukiman, Pola RTH) 2. Penilaian Daya Tarik Objek dan Atraksi WIsata
3. Kebijakan yang Mendukung 4. Keinginan Masyarakat
1. Konsep Pelestarian Lanskap 2. Konsep Pengembangan Wisata
Rencana Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Kampung Tugu, Jakarta Utara (Zonasi Ruang Wisata, Jalur Interpretasi, Fasilitas dan Uitilitas Wisata, Sarana dan
Prasarana Wisata, Ruang Aktivitas, Tata Hijau, Aksessibilitas, Dan Sirkulasi) Inventarisasi
Analisis
Sintesis Perencanaan
Konsep Perencanaan Lanskap Wisata Sejarah
(36)
berbagai pihak antara lain pengelola kawasan Kampung Tugu, Ikatan Keluarga
Besar Tugu (IKBT), serta beberapa dinas terkait, seperti sub dinas Kebudayaan
Jakarta Utara, BMKG, Dinas Tata Ruang DKI Jakarta, BAPEDA DKI Jakarta,
Balai Penelitian Tanah, dan Kelurahan Semper Barat.
Data yang diambil meliputi aspek lanskap sejarah, yaitu data pola pemukiman
masyarakat Tugu di masa lalu serta pola pemukiman masyarakat asli Tugu di
masa sekarang, fasilitas dan elemen bersejarah, sosial-budaya masyarakat, pola
RTH, kesejarahan, serta pengelola atau pelestarian. Sedangkan data aspek wisata,
meliputi kondisi fisik kawasan, kondisi sosial (pengunjung dan masyarakat), serta
kebijakan atau aspek legal. Data dapat berbentuk data primer, yaitu data yang
diperoleh secara langsung baik melalui survei lapang maupun wawancara, dan
data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka (Tabel 2).
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan
pengembangan tapak, seperti pengelola kawasan dan pemerintah daerah Jakarta
Utara. Berdasarkan wawancara diperoleh informasi tentang kehidupan sosial dan
ekonomi, aktivitas yang biasa dilakukan, serta keinginan atau preferensi
pengunjung maupun masyarakat sekitar. Sedangkan, studi pustaka dilakukan
untuk memperoleh data biofisik, kesejarahan, aspek legal, serta sosial-ekonomi
masyarakat.
Tabel 2. Kelompok, Jenis dan Sumber Data
Kelompok Data Jenis Data Sumber
Lanskap Sejarah 1. Pola Pemukiman - Tata Letak - Bentuk Pemukiman 2. Fasilitas/Elemen Bersejarah - Jumlah
- Jenis - Letak - Kondisi Fisik 3. Pola RTH
- Tata Letak Vegetasi - Pola Penanaman
4. Sosial-Budaya Masyarakat 5. Sejarah Kawasan Kampung Tugu 6. Pengelolaan/Pelestarian
- Struktur Organisasi
- Jadwal Kegiatan Pengelolaan
Survei, Studi Pustaka Survei, Studi Pustaka
Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Survei
Survei, Studi Pustaka
Survei, Wawancara, Studi Pustaka Pengelola, Studi Pustaka
Wawancara, Studi Pustaka Wawancara
(37)
Kelompok Data Jenis Data Sumber - Tenaga Kerja
- Metode Kerja
Wawancara, Survei Wawancara, Survei Wisata 1. Biofisik
- Letak - Batas Tapak - Aksessibilitas - Luas - Iklim
a. Temperatur b. Curah Hujan c. Kelembapan - Tanah - Topografi - Hidrologi a. Kualitas b. Letak - Sirkulasi - Tata Guna Lahan - Kependudukan
a. Jumlah b. Kelompok Etnis c. Pola Penyebaran 2. Pengunjung - Jumlah - Perilaku
- Aktivitas Pengunjung - Lama Berkunjung - Keinginan Pengunjung 3. Masyarakat - Sosial-Ekonomi - Aktivitas
- Persepsi Dan Keinginan Masyarakat 4. Kebijakan/Aspek Legal
- Peraturan Tata Ruang
- Peraturan Pengembangan Wilayah
Kelurahan Semper Barat Kelurahan Semper Barat Survei PEMDA
Kelurahan Semper Barat BMKG
BMKG BMKG
Balai Penelitian Tanah
Kelurahan Semper Barat, Pengelola Survei
Survei Survei
Dinas Tata ruang DKI Jakarta Kelurahan Semper Barat Kelurahan Semper Barat Wawancara, Studi Pustaka Pengelola, Survei Survei
Survei, Wawancara Pengelola, Survei Wawancara
Kelurahan Semper Barat Survei
Wawancara
Sub Dinas Kebudayaan, Studi Pustaka Sub Dinas Kebudayaan, Studi Pustaka
2. Analisis
Tahap ini merupakan tahap pengolahan data yang telah terkumpul. Analisis
yang dilakukan meliputi metode skoring, analisis spasial, dan analisis deskriptif.
-
Analisis dengan metode skoring dilakukan untuk menentukan titik lokasi
dengan nilai tertinggi dan objek yang potensial sebagai kawasan perencanaan.
Faktor penilaian yang digunakan meliputi penilaian zonasi pelestarian dan
zonasi wisata sejarah. Faktor penilaian zonasi pelestarian antara lain keaslian
objek, keunikan/kelangkaan objek, nilai sejarah/arkeologi, keutuhan objek,
tata guna lahan, dan aktifitas pelestarian. Sedangkan faktor penilaian zonasi
(38)
wisata sejarah antara lain keterkaitan zonasi dengan sejarah masyarakat Tugu,
jumlah objek, tata guna lahan, pengaruh kepadatan penduduk, fasilitas wisata,
dan variasi kegiatan.
Perhitungan analisis melalui metode scoring:
Interval Kelas (IK)
= Skor maksimum (SMA)
–
Skor minimum (SMI)
Jumlah Kategori (3)
= 12
–
0
3
= 4
Kategori :
A. Tinggi
= (SMI + 2.IK + 1) sampai SMA
= (0 + 2.4 + 1) sampai 12
= 9 sampai 12
B. Sedang
= (SMI + IK + 1) sampai (SMI + 2.IK)
= (0 + 4 + 1) sampai ( 0 + 2.4)
= 5 sampai 8
C. Rendah
= SMI sampai (SMI + IK)
= 0 sampai ( 0 + 4)
= 0 sampai 4
-
Analisis spasial merupakan tahapan analisis untuk menentukan tata ruang
wisata dan tata ruang pelestarian sesuai dengan analisis skoring.
-
Analisis deskriptif untuk mengetahui potensi dan kendala dari tapak dengan
membuat deskripsi dari karakter lanskap pada tapak penelitian.
Hasil analisis yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi dan peta. Hasil ini
selanjutnya akan diolah melalui tahapan sintesis.
3. Konsep
Konsep yang dipilih untuk perencanaan kawasan Kampung Tugu adalah suatu
konsep pelestarian lanskap sejarah melalui kegiatan wisata serta pengenalan
(39)
nilai-nilai dan elemen-elemen sejarah dan budaya masyarakat asli Tugu, dengan
memanfaatkan atraksi budaya melalui hubungan antar zona kesejarahan.
4. Sintesis
Pada tahap ini dilakukan integrasi dari hasil-hasil analisis yang telah diperoleh
dengan konsep yang akan dikembangkan. Hasil dari tahap sintesis adalah
didapatkan tata ruang yang dikembangkan sebagai kawasan wisata sejarah
Kampung Tugu. Tata ruang tersebut dikembangkan dalam bentuk konsep dasar,
konsep ruang, konsep sirkulasi, konsep aktivitas dan fasilitas wisata, konsep
vegetasi, konsep pelestarian kawasan, konsep interpretasi, dan konsep jalur
wisata.
5. Perencanaan
Pada tahap perencanaan akan dihasilkan rencana detail tata letak fasilitas yang
akan dikembangkan pada masing-masing zona, rencana tata ruang, sistem
sirkulasi, jalur interpretasi, dan pola vegetasi. Hasil tahap ini adalah rencana
tertulis dan tergambar (
Landscape Plan
), yaitu perencanaan lanskap Kawasan
Wisata Sejarah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
(40)
4.1.1. Lokasi
Kawasan penelitian ini terletak pada wilayah Jakarta Utara, Kecamatan Cilincing, Kelurahan Semper Barat, Kampung Tugu (Gambar 4). Kelurahan Semper Barat memiliki batas wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Jalan Raya Cilincing/Kelurahan Kali Baru, sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya Cilincing Kelurahan Semper Timur, sebelah barat berbatasan dengan Kali Cakung Lama dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kali Gubuk Genteng. Kelurahan Semper Barat memiliki luas kawasan sebesar 159,7 ha, yang terdiri dari 17 RW dan 245 RT. Kelurahan ini berada pada ketinggian 2 meter dari permukaan laut, dan berjarak 25 km dari pusat pemerintahan propinsi DKI Jakarta, 10 km dari pusat pemerintahan kotamadya, dan berjarak 5 km dari kecamatan.
Gambar 4. Peta Lokasi Kawasan Penelitian Sumber : Dinas Tata Kota DKI Jakarta
(41)
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang mengalami pemekaran wilayah kelurahan pada November 1986. Daerah ini yang semula termasuk pada wilayah administratif Kelurahan Tugu, setelah pemekaran terpecah menjadi tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Tugu Utara, Kelurahan Tugu Selatan, dan Kelurahan Semper Barat (Dinas Museum dan Sejarah, 1993). Kawasan Kampung Tugu yang menjadi objek studi ini berada pada daerah administratif Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing.
Berdasarkan S. K. Gubernur Nomor Cb. 11/1/12/72, kawasan Gereja Tugu sebagai benda cagar budaya memiliki zona perlindungan dalam radius 600 meter. Namun, saat ini keberadaan kawasan disekitar Kawasan Gereja Tugu, tidak memungkinkan untuk diberlakukan sebagai zona perlindungan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pemukiman penduduk, kawasan industri, serta kawasan perkantoran, sehingga tidak memperlihatkan karakter Portugis yang menjadi karakter khas dari kawasan ini. Begitu juga dengan keberadaan elemen bersejarah pada kawasan perlindungan, elemen yang terdapat saat ini hanya kawasan Gereja tugu dan kawasan Rumah Tua. Pemukiman penduduk asli Tugu yang dahulu berada di sekeliling Gereja Tugu saaat ini telah bercampur dengan penduduk lain, sedangkan karakter Portugis telah hilang karena perubahan arsitektur rumah serta pemukiman yang telah padat penduduk.
Oleh karena itu, kawasan penelitian yang memperlihatkan karakter masyarakat Portugis berdasarkan denah Keluarga Tugu (Lampiran 1) yang terdapat pada sekitar kawasan Gereja Tugu sampai dengan kawasan rumah tua (Gambar 5). Adapun, kawasan industri berupa garasi truk kontainer akan diubah fungsinya agar dapat menunjang kegiatan wisata, hal ini sesuai dengan penertiban kawasan tersebut yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jakarta Utara1.
1
Wawancara dengan Kepala Sub Dinas Kebudayaan Jakarta Utara, Nanny Ophir Yani (April 2010)
(42)
4.1.2. Aksessibilitas dan Sirkulasi
Aksessibilitas pada kawasan penelitian dapat ditempuh melalui beberapa jalur sirkulasi. Jalur sirkulasi utama yang terdapat pada kawasan ini adalah Jalan Raya Tugu (Gambar 6). Untuk mencapai jalur sirkulasi utama ini dapat ditempuh hanya menggunakan jalur darat, karena transportasi air yang pernah ada pada kawasan ini, yaitu Kali Cakung sudah tidak berfungsi lagi dikarenakan oleh kondisi Kali Cakung yang sudah tercemar.
Jalur sirkulasi darat dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan umum, baik berupa bus patas, metromini, mikrolet, koperasi wahana kalpika (KWK), ojek dan becak, maupun dengan menggunakan kendaraan pribadi. Sarana transportasi menuju kawasan penelitian memiliki jalur yang jelas serta mudah untuk diakses.
Sarana transportasi umum yang menuju kawasan Kampung Tugu memudahkan bagi para pengunjung, karena sarana transportasi ini tersedia mulai dari terminal-terminal besar di Jakarta, seperti Terminal Bus Senen, Terminal Bus Pulo Gadung, dan Terminal Bus Tanjung Priok.
Bagi wisatawan yang berangkat dari Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Utara, dapat melanjutkan perjalanan menuju kawasan Gereja Tugu dengan angkutan kota bernomor 01 arah jalur Cakung-Cilincing. Setelah itu, berhenti di jalan Raya Tugu,
Gambar 5. Lokasi Penelitian Sumber : Googlemap danSiteplanGereja Tugu
(43)
Gambar 6. Peta Aksessibilitas Menuju Tapak ✆
(44)
kemudian tinggal berjalan kaki, dengan jarak sekitar 250 meter. Jika berangkat dari Terminal Bus Senen, maka dapat menggunakan angkutan umum yaitu Metromini bernomor 07 arah jalur Senen-Semper dan selanjutnya berhenti di Pasar tugu untuk melanjutkan dengan KWK nomor 02 yang akan melewati Jalan Raya Tugu. Begitu juga dengan wisatawan yang berangkat dari Terminal Bus Pulo Gadung, dapat menggunakan angkutan umum, yaitu Metromini bernomor 41 arah jalur Pulo Gadung-Tanjung Priok, selanjutnya berhenti di Pasar Tugu dan melanjutkan dengan KWK bernomor 02.
Wisatawan yang ingin berkunjung ke kawasan Kampung Tugu dengan menggunakan kendaraan pribadi dapat melalui Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok, dan selanjutnya menuju ke arah Semper melalui Pasar Ular Plumpang, setelah melalui perlimaan Semper, mengambil jalur ke arah Pasar Tugu dan selanjutnya melalui Jalan Raya Tugu.
Perkembangan jaman, menjadikan kawasan ini mengalami perubahan fungsi menjadi kawasan industri, terutama karena letaknya yang dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Perubahan fungsi ini juga berpengaruh terhadap jalur sirkulasi menuju kawasan Kampung Tugu. Jalur sirkulasi menuju kawasan ini padat dan seringkali terjadi kemacetan, terutama pada pagi dan sore hari. Permasalahan sirkulasi menuju tapak juga terdapatnya kerusakan pada beberapa bagian jalur sirkulasi berupa jalan yang berlubang maupun jalan yang bergelombang. Maka, seharusnya jalur sirkulasi pada kawasan ini lebih diperhatikan seperti menertibkan kegiatan industri dan pembuatan jalur khusus bagi truk-truk besar agar tidak terjadi kepadatan dan tidak menganggu aktivitas wisata yang nantinya akan dikembangkan.
Kawasan Kampung Tugu merupakan salah satu kawasan cagar budaya yang terdapat di Indonesia dan dilestarikan secara khusus. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah memperhatikan jalur sirkulasi yang berada disekitar kawasan Gereja Tugu maupun aksessibilitas menuju kawasan Kampung Tugu, dengan memberikan penunjuk jalan yang jelas serta dapat dimengerti dengan baik. Hubungan antara transportasi dan tata guna lahan sangatlah penting. Bermacam-macam pola pengembangan lahan menghasilkan bermacam-macam kebutuhan akan transportasi, sebaliknya bentuk susunan sistem transportasi
(45)
mempengaruhi pola pengembangan lahan. Pada lingkungan perkotaan, sistem transportasi dan pola tata guna lahan saling berpengaruh, dengan berubahnya salah satu dari bagian tersebut akan menghasilkan perubahan pada bagian yang lain. Maka dari itu, harus dilakukan perbaikan terhadap sistem transportasi, salah satunya data dilakukan dengan Transportation System Management (TSM). Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam daftar TSM, meliputi: perbaikan arus kendaraan, perlakuan istimewa bagi kendaraan berpenumpang banyak, mengurangi periode puncak perjalanan, manajemen parkir, perbaikan angkutan
(kota) dan “angkutan pinggiran”, pembatasan penggunaan kendaraan atau
menggunakan kendaraan berpenumpang banyak, strategi manajemen angkutan, dan manajemen perjalanan yang lebih baik yang berkenaan dengan pekerjaan. 4.1.3. Tata Guna Lahan
Berdasarkan data statistik wilayah DKI Jakarta tahun 2005, pengunaan lahan pada kawasan Kecamatan Cilincing sebagian besar merupakan lahan terbangun, antara lain pemanfaatan sebagai lahan pemukiman penduduk sebanyak 32.68%, lahan industri sebanyak 25.59%, kantor dan pergudangan sebanyak 4.81%. Sedangkan, lahan tidak terbangun pemanfaatannya hanya sebagai lahan pertanian sebanyak 15.28%, serta terdapat pemanfaatan lahan lainnya sebanyak 21.64% (Gambar 7).
(46)
Kelurahan Semper Barat merupakan kawasan dengan penggunaan lahan sebesar 82.7% merupakan lahan terbangun. Dimana pemanfaatan lahan terbangun sebagian besar merupakan kawasan pemukiman penduduk, pemanfaatan lain adalah sebagai areal industri, perkantoran, dan pergudangan. Sedangkan untuk penggunaan lahan yang merupakan lahan terbuka terdiri dari sungai, ruang terbuka hijau, lahan pertanian, dan lahan kosong.
Kondisi penggunaan lahan pada Kelurahan Semper Barat mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang menempati kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi kawasan DKI Jakarta yang semakin padat penduduk, sehingga semakin banyak lahan pertanian dan lahan terbuka hijau lainnya yang semakin berkurang dan digantikan dengan lahan pemukiman. Kawasan rawa dan hutan yang semula berada pada kawasan ini, saat ini sudah hilang dan digantikan dengan lahan terbangun. Perkembangan penggunaan lahan
Gambar 7. Peta Tata Guna Lahan Kelurahan Semper Barat Kelurahan
(47)
terbangun sebagai lahan industri dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga banyak dibangun gudang penyimpanan peti kemas serta garasi bagi truk-truk pengantar barang.
Kampung Tugu yang pada mulanya termasuk salah satu daerah pertanian yang menghasilkan padi yang cukup potensial, sekarang sudah memasuki era pembangunan. Sebagian daerah pertanian telah berkembang menjadi daerah pemukiman dan daerah industri. Sawah-sawah yang tersisa, walaupun masih dipakai sebagai tanah garapan, sudah tidak diolah lagi. Selanjutnya daerah persawahan yang masih ada akan dijadikan daerah pemukiman dan industri sesuai dengan rencana induk pembangunan Pemerintah DKI Jakarta. Di sepanjang jalan raya sekarang tidak lagi kita jumpai pohon-pohon yang rindang atau padi yang sedang menguning, melainkan sudah menjadi tempat pemukiman, pertokoan, bengkel, dan gudang-gudang.
Lingkungan disekitar kawasan Kampung Tugu terdiri dari lahan terbangun antara lain pemukiman pendudut yang rapat, kawasan industri sebagai garasi bagi truk-truk container, dan lahan terbangun lainnya. Namun terdapat pula lahan terbuka, seperti kawasan terbuka hijau, Kali Cakung, dan lahan tidak terbangun (Gambar 8).
Kawasan industri yang berada di sekitar kawasan penelitian sangat tidak sesuai bagi kegiatan wisata. Ketidaksesuaian tersebut terutama karena banyaknya debu dan polusi yang disebabkan oleh padatnya kegiatan lalu lalang kendaraan serta keadaan lingkungan yang kering dan sangat jarang terjadi hujan. Kawasan industri akan lebih baik jika direlokasi menjadi satu kawasan khusus dan digantikan dengan peruntukan lahan yang dapat menunjang kegiatan wisata.
Keberadaan lahan pemukiman yang padat penduduk di sekitar kawasan penelitian dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata, yaitu dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang kegiatan wisata maupun dengan mempertahankan kegiatan sosial yang dapat mendukung kegiatan wisata. Namun lahan pemukiman juga harus diperhatikan perkembangannya agar tidak semakin mengurangi lahan terbuka yang berada di sekitar kawasan dengan melakukan pembatasan terhadap perkembangan lahan pemukiman.
(48)
4.1.4. Biofisik
4.1.4.1. Klasifikasi Jenis Tanah
Kawasan Gereja Tugu berada dalam Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Berdasarkan peta jenis tanah (Gambar 9), kawasan Jakarta Utara memiliki jenis tanah dengan simbol Ujung Petang (UPG).
Tanah dengan simbol UPG termasuk jenis tanah dengan taksonomi Ustipsamments dan Tropaquents. Berdasarkan taksonomi tersebut dapat diketahui bahwa tanah dengan symbol UPG merupakan tanah dengan jenis entisol.
(49)
Tanah entisol merupakan jenis tanah yang baru mulai berkembang yang dicirikan oleh belum terjadinya perkembangan horizon tanah. Jenis tanah ini penyebarannya sangat bervariasi di Indonesia, namun sebagian besar daerah penyebarannya merupakan kawasan pantai dan rawa. Tekstur tanah entisol cenderung berpasir baik pada lapisan tanah bagian atas maupun bagian bawahnya (Soepardi, 1983).
Jenis tanah entisol yang biasanya dipergunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan (Hardjowigeno, 2003). Hal ini memperkuat keadaan Kampung Tugu yang dahulu merupakan daerah sawah, rawa, dan hutan.
4.1.4.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan untuk peruntukan pertanian, perkebunan, maupun peruntukan lainnya dipengaruhi oleh jenis tanah dan geologinya. Kesesuaian lahan berdasarkan tipe penggunaan lahan tertentu, pada kawasan Kecamatan Cilincing dapat dibagi menjadi peruntukan lahan untuk pekarangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, peternakan, perikanan air payau, pengairan pasang surut, tanaman perdagangan, perhutan tanian, dan penghutanan kembali.
UPG
Gambar 9. Peta Jenis Tanah Sumber : Balai Penelitian Tanah
(50)
Jenis tanah entisol yang terdapat pada kawasan Kecamatan Cilincing merupakan jenis tanah yang kurang baik dan kurang subur, karena jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang baru berkembang sehingga kesuburannya kurang. Penggunaan lahan pada jenis tanah entisol hanya sesuai bagi peruntukan lahan penghutanan kembali. Sedangkan bagi penggunaan lahan untuk pekarangan, termasuk dalam sistem lahan yang tidak sesuai yang mempunyai faset kecil sesuai didalamnya. Tipe penggunaan lahan lain tidak sesuai karena penggunaan lahan pada kawasan ini tidak memungkinkan untuk dipakai secara tetap (Turkandi T., Sidarto, D. A. Agustyanto, dan M. M. P. Hadiwidjojo, 1992).
Berdasarkan kelas kesesuaian lahan menurut Jawatan Pengawetan Tanah dan Air Amerika Serikat dikenal delapan kelas kesesuaian lahan. Dari kelas kesesuaian lahan tersebut jenis tanah pada Kecamatan Cilincing, termasuk kedalam kelas VIII, dimana lahan yang termasuk ke dalam kelas ini merupakan lahan yang tidak boleh dipakai untuk produksi tanaman secara komersial. Penggunannya hanya terbatas pada kegiatan rekreasi, cagar alam, sumber air dan tujuan-tujuan keindahan. Biasanya tanah yang termasuk ke dalam kelas VIII adalah pantai berpasir, tonjolan batu, dan daerah luapan sungai.
Kesesuaian lahan yang berada pada kawasan Kecamatan Cilincing disesuaikan dengan pengunaannya untuk kegiatan wisata yang akan direncanakan pada kawasan Kampung Tugu, seperti kemampuan untuk menunjang sarana dan prasarana wisata. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kondisi tanah yang sangat sering dilalui oleh kendaraan-kendaraan berat. Kawasan Jakarta Utara merupakan kawasan rawan banjir, karena letaknya yang merupakan tempat bermuara sembilan sungai dan dua banjir kanal. Hal ini perlu dipertimbangkan, khususnya bagi kegiatan wisata, agar kegiatan wisata dapat tetap berlangsung tanpa terganggu oleh kemungkinan bencana banjir.
Keadaan kawasan Kampung Tugu saat ini sudah sangat memprihatinkan, terutama dalam hal penggunaan lahan untuk menunjang bangunan-bangunan bersejarah, banyak bagian bangunan yang mengalami keretakan dan bangunan mengalami perubahan khususnya dalam hal kemiringan bangunan yang berubah akibat dari tanah yang sudah tidak mampu lagi mendukung bangunan tersebut.
(51)
b. Drainase a. Kali Cakung
Perubahan dan kerusakan yang terjadi pada bangunan-bangunan tersebut, tidak lepas dari permasalahan kendaraan-kendaraan berat yang melalui kawasan ini, Maka sebaiknya pemerintah daerah memperhatikan hal tersebut dengan melindungi kawasan bersejarah dan kawasan penting lainnya dari kawasan industri.
4.1.4.3. Kondisi Hidrologi
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang dikelilingi oleh sumber air yang potensial sebagai sarana transportasi air, yaitu Kali Cakung. Selain itu, hidrologi yang berada pada kawasan Kampung Tugu juga berasal dari drainase besar yang berada pada sisi-sisi Jalan Raya Tugu (Gambar 10).
Drainase yang terdapat pada sisi Jalan Raya Tugu memiliki lebar 1 m dan kedalaman 1 m, dengan bahan dasar semen yang dibentuk sesuai ukuran lebar dan kedalaman drainase. Lokasi dari drainase tersebut adalah di sebelah utara dan barat tapak yang berbatasan langsung dengan pagar yang membatasai kawasan Gereja Tugu, dan juga pada sisi kiri serta kanan Jalan Raya Tugu. Fungsi saluran drainase ini adalah untuk mengalirkan air yang berasal dari Jalan Raya Tugu menuju Kali Cakung. Kondisi drainase kurang baik, karena air yang mengalir pada saluran drainase ini sangat kotor, berwarna keruh, dan banyak terdapat sampah, namun alirannya sangat lancar.
(52)
Kali Cakung dapat dimanfaatkan kembali sebagai sarana transportasi air bagi masyarakat sekitar maupun bagi para wisatawan yang berkunjung ke kawasan Gereja Tugu. Kali Cakung sebagai sarana transportasi air juga dapat mendukung kegiatan wisata, karena dapat menghubungkan Gereja Tugu dengan kawasan wisata lain di Jakarta Utara, seperti Jakarta Islamic Center dan Rumah Si Pitung, karena Kali Cakung juga mengalir melalui kawasan-kawasan tersebut. Namun pengembalian fungsi Kali Cakung sebagai transportasi air tidaklah mudah, membutuhkan program pembersihan kondisi Kali Cakung yang tepat, agar dapat tercipta kondisi yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai sarana transportasi yang nyaman. Pemerintah dapat bekerja sama dengan warga sekitar Kali Cakung untuk melakukan pembersihan Kali Cakung serta pengembalian kondisi air Kali Cakung agar tidak berbau serta tidak berwarna dan jauh dari sampah.
4.1.4.4. Kondisi Iklim
Kawasan Gereja Tugu termasuk kedalam wilayah Jakarta Utara yang merupakan kawasan pantai beriklim panas. Suhu udara rata-rata pada kawasan ini 28.660C, dengan suhu udara maksimum 33.950C, dan suhu udara minimum 23.630C. Sedangkan curah hujan rata-rata pada daerah ini sebesar 149.99 mm3/bln, tekanan udara 1009.86 mb, kecepatan angin 3.60 knot, penyinaran matahari 54.75%, dan kelembapan udara rata-rata sebesar 73.88% (Tabel 3).
(53)
Kondisi iklim pada kawasan studi ini merupakan kawasan dengan iklim pantai yang panas. Iklim pantai yang panas menyebabkan kawasan ini menjadi kawasan kering dan memiliki curah hujan yang rendah sehingga menyebabkan banyaknya debu pada kawasan Kampung Tugu dan sekitarnya. Berdasarkan pengamatan langsung di lapang, didapatkan hasil bahwa kenyamanan pada kawasan penelitian sangat kurang khususnya dari segi iklim. Banyaknya debu dan kendaraan yang lewat menyebabkan debu tersebut berterbangan dan menganggu para pejalan kaki. Menurut Gambar 11. Intensitas hujan BMKG DKI Jakarta, dapat dilihat bahwa kawasan Jakarta Utara termasuk kedalam kawasan dengan intensitas hujan yang rendah, maka dari itu, keadaan curah hujan yang rendah pada kawasan penelitian harus dipertimbangkan khususnya untuk pemilihan vegetasi yang akan ditanam dan untuk menunjang kenyamanan kegiatan wisata.
Tabel 3. Data Iklim
(54)
Pengaruh keadaan iklim terhadap kenyamanan thermal yang merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh manusia bukan oleh benda, binatang, dan arsitektur, tetapi dikondisikan oleh lingkungan dan benda-benda sekitar arsitekturnya (Surjamanto, 2000).
Keberadaan tapak yang berada pada kawasan pantai dengan sinar matahari yang cukup menyengat dapat dilakukan dengan mengurangi radiasi matahari yang masuk ke tapak dengan menggunakan sun shading (pembayangan matahari), dimana pembayangan ini memiliki tiga tipe, antara lain pembayangan vertikal, pembayangan horizontal, dan kombinasi pembayangan vertikal dan horizontal. Tipe pembayangan yang terakhir adalah tipe yang paling efektif, karena sekaligus dapat menyelesaikan arah sinar matahari vertikal dan horizontal.
4.1.4.5. Kondisi Vegetasi dan Satwa
Vegetasi memiliki peranan penting untuk mengontrol runoff, erosi, stabilitas kemiringan tanah, iklim mikro, dan bising. Di dalam sebuah perencanaan tapak vegetasi tidak hanya digunakan untuk mengontrol lingkungan, tetapi juga untuk menambah keindahan, bingkai ruang, mempengaruhi perilaku pedestrian, dan mengontrol pembatas.
Gambar 11. Intensitas Curah Hujan DKI Jakarta (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika)
(55)
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang terletak di sekitar pantai utara Jakarta, sehingga iklim, tanah, serta kondisi fisik yang berada pada kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pantai. Begitu juga dengan vegetasi yang berada pada kawasan ini, sebagian besar merupakan pepohonan besar yang dibiarkan tumbuh tanpa pola tertentu dan terdapat pula beberapa vegetasi khas dan dominan berada pada kawasan sekitar Kampung Tugu.
Vegetasi khas secara budaya dan sejarah yang terdapat pada kawasan Kampung Tugu, antara lain sawo kecik, sengon, dan ketapang (Gambar 12). Selain vegetasi khas tersebut, terdapat pula beberapa vegetasi lain yang ditanam pada kawasan ini seperti pohon asem yang sudah tumbuh rimbun dan besar, pohon asem ini konon menurut narasumber2 disebutkan bahwa ditanam oleh puteri mantan presiden Indonesia kedua, yaitu ibu Siti Hardianti Rukmana. Pohon ini ditanam bersamaan dengan pohon sawo kecik. Hanya saja, sawo kecik sudah tidak terdapat lagi pada kawasan Kampung Tugu.
Vegetasi yang terdapat pada kawasan Gereja Tugu, antara lain kamboja yang banyak terdapat disekitar kuburan, cemara yang terdapat di luar pagar pembatas kawasan Gereja Tugu, sengon, sawo Belanda, dan akasia yang banyak terdapat di sekitar tempat parkir.
2
(56)
Beberapa vegetasi y terdapat pada tapak seperti ketapang (Terminalia catap
juga merupakan vegetasi kh pantai.
Selain vegetasi yang besar merupakan serangga kupu-kupu, belalang, capung
Vegetasi serta satwa kawasan Kampung Tugu ataupun mengurangi keindah ini berada kurang diperhatik endemik yang dapat emper dilakukan penataan vegetasi dapat menambah keindahan digunakan pepohonan yang seperti yang telah ada pada kenyamanan.
Ga (a) Pohon Asem (Tamar
i yang merupakan vegetasi pada masa kolonial m rti pohon asem (Tamarindus indica). Selain itu, p
tappa) yang merupakan vegetasi eksisting pada khas pada kawasan dan menandakan vegetasi kawa
ng beragam terdapat pula beberapa satwa, yang seb a yang banyak terdapat di sekitar pepohonan, se ng, nyamuk, semut dan ulat.
wa yang beragam dapat memberikan pengaruh terh u sebagai kawasan wisata, karena dapat mena
ahan serta kenyamanan pengunjung. Vegetasi yang tikan penataannya, serta kurang memperhatikan veg erkuat identitas Kampung Tugu. Akan lebih baik asi baik dari segi fungsi, bentuk, maupun letaknya, an dan kenyamanan pengunjung. Selain itu, dapat ang rindang dan pepohonan yang mengurangi p da bagian luar pagar pembatas tapak, untuk mena Gambar 12. Vegetasi pada Tapak
marindus indica) (b) Pohon Sengon (Albazia fal
l masih , pohon a tapak awasan ebagian seperti erhadap nambah ang saat egetasi aik jika ya, agar at juga polusi nambah
(57)
4.1.5. Kependudukan
Kawasan Kampung Tugu termasuk ke dalam wilayah administrasi Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kelurahan Semper Barat terdiri dari 245 RT dan 17 RW. Jumlah penduduk kelurahan Semper Barat pada tahun 2009 berjumlah 61.583 jiwa atau 13.312 KK, dengan jumlah penduduk laki-laki 29.971 orang dan jumlah penduduk perempuan 31.574 orang.
Kelompok umur produktif manusia secara ekonomi (15 – 64 tahun) pada Kelurahan Semper Barat berjumlah 44.423 jiwa. Tingginya jumlah masyarakat produktif dapat membantu kegiatan pariwisata yang akan dilaksanakan pada Kelurahan Semper Barat, dengan berpartisipasi sebagai pengelola kawasan maupun kegiatan promosi kawasan wisata.
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang pada jaman dahulu dihuni oleh masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan keturunan Portugis. Namun saat ini mayoritas penduduk pada kawasan tersebut beragama Islam, yaitu sebanyak 41.661 orang atau 67.65%, dengan etnis yang beragam.
Data yang didapat dari monografi Kelurahan Semper Barat, jumlah penduduk yang memiliki mata pencaharian sebanyak 24.166 orang atau 39.24 % dari keseluruhan penduduk Kelurahan Semper Barat. Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk di Kelurahan Semper Barat sebagian besar belum memiliki pekerjaan atau belum memiliki pekerjaan yang tetap. Permasalahan tersebut dapat ditanggulangi melalui langkah-langkah yang tepat dari pemerintah untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan memperhatikan kesejahteraan warganya. Salah satu lapangan pekerjaan yang dapat diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk adalah dalam bidang pariwisata, dengan memanfaatkan kemampuan masyarakat dalam aktivitas yang mendukung kegiatan wisata.
Tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Semper Barat cukup tinggi. Sebanyak 9.498 (82.65 %) penduduk kelurahan Semper Barat berpendidikan, baik yang tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, hingga yang tamat akademi. Tingkat pendidikan yang baik dan banyaknya masyarakat produktif dapat mendukung
(1)
(2)
Lampiran 3
Dalam rangka penelitian skripsi saya yang berjudul ’’Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara’’, saya mohon kesediaan bpk/ibu/sdr/i untuk berkenan memberikan jawaban pada angket pertanyaan di bawah ini. Atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Nama/NRP :Agnes Kristandi/A44061527 Departemen Arsitektur Lanskap
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
LEMBAR KUESIONER
Nama :
Jenis Kelamin : L/P
Umur : ... tahun
Pekerjaan :
a. Pelajar d. PNS
b. Mahasiswa e.
Lainnya...
c. Karyawan swasta
(3)
a. Tidak sekolah d. SMA
b. SD e. Sarjana
c. SMP
Apakah Anda?
a. Masyarakat asli b.
Masyarakat pendatang
Berapa lama Anda telah tinggal di kawasan ini?
a. < 5 tahun d. 21-30 tahun
b. 5-10 tahun e. 31-40 tahun
c. 11-20 tahun f. > 40 tahun
Apakah terdapat perubahan jika dibandingkan dengan waktu pertama Anda tinggal?
a. Sangat banyak berubah c.
Sedikit berubah
b. Sangat Berubah d. Tidak
berubah sama sekali
Apakah dampak dari perubahan tersebut?
a. Menjadi sangat nyaman d.
Menjadi tidak nyaman
b. Menjadi nyaman e. Menjadi
sangat tidak nyaman
c. Menjadi kurang nyaman
Apakah hal yang paling banyak berubah dari kawasan ini?
a. Lingkungan d. Sosial dan
budaya masyarakat
b. Aktivitas masyarakat e.
(4)
c. Sarana dan prasarana f. Lainnya...
Apakah Anda setuju dengan perubahan yang terjadi?
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
Apakah Anda mengetahui tentang keadaan kawasan ini di masa lalu?
a. Ya b. Tidak
JikaYa, apakah Anda setuju jika kawasan ini dikembalikan seperti keadaan di masa lalu?
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
Apakah Anda mengetahui tentang sejarah kawasan ini?
a. Sangat tahu c. Tidak tahu
sama sekali
b. Sedikit tahu
JikaTahu, darimana Anda mengetahuinya?
... ... ... ...
Menurut Anda apakah keberadaan kawasan ini dapat mewakili sejarah Kampung Tugu?
a. Ya b. Tidak
Menurut Anda kawasan ini:
(5)
b. Indah e. Sangat tidak indah
c. Kurang indah
Menurut Anda keberadaankawasan wisatapada kawasan ini:
a. Sangat pentingd. Tidak penting
b. Penting e. Sangat tidak
penting
c. Kurang penting
Apakah pengaruh keberadaan kawasan wisata pada kawasan ini terhadap aktivitas Anda sehari-hari?
a. Sangat mendukung aktivitas d.
Menganggu aktivitas
b. Mendukung aktivitas e. Sangat
menganggu aktivitas
c. Kurang mendukung aktivitas
Menurut anda, apakah kawasan ini sudah sesuai untuk kawasan wisata?
a. Ya,
alasan...
b. Tidak,
alasan... Apakah Anda bersedia mendukung kegiatan wisata di kawasan ini?
a. Ya b. Tidak
JikaYa, partisipasi apa yang akan Anda lakukan?
a. Mempromosikan kawasan d.
Memperkenalkan sejarah
b. Memperkenalkan kebudayaan
(6)
c. Menjaga kawasan Kampung
Tugu f. Lainnya...
Apakah kawasan ini perlu dilestarikan?
a. Ya,
alasan...
b. Tidak,
alasan...
JikaYa, apakah Anda bersedia berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian kawasan ini?
a. Ya b. Tidak
Komentar/saran umum:
... ... ... ... ... ... ... ...