Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat 1. Pola Permukiman Penduduk

tersebut, dapat dibuktikan bahwa kawasan Kampung Tugu telah dihuni hampir selama 2000 tahun. 4.3. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat 4.3.1. Pola Permukiman Penduduk Kampung Tugu merupakan permukiman masyarakat Portugis yang ada di Indonesia sejak masa kolonial. Pada kawasan ini tidak terdapat pola permukiman khusus namun lebih merupakan pola permukiman yang disesuaikan dengan keadaan saat itu. Wilayah Kampung Tugu pada saat masyarakat Tugu menempati pertama kali, yaitu pada tahun 1661, merupakan sebuah kawasan terpencil dan terisolasi dari daerah lain. Daerah Kampung Tugu pada masa itu merupakan daerah rawa dan hutan tanpa permukiman satu pun dan masih banyak terdapat nyamuk malaria. Kawasan kosong tersebut diolah oleh masyarakat Tugu menjadi sebuah kawasan permukiman sebagai tempat mereka hidup. Berdasarkan denah rumah keluarga Tugu tahun 1940 Lampiran 1, pada setiap rumah terdapat kebun yang sesekali diselingi oleh sawah, dengan jarak antar rumah yang cukup jauh antara rumah yang satu dengan lainnya. Kawasan Kampung Tugu pada saat itu dikelilingi oleh sawah-sawah penduduk, yang berada pada bagian utara dan selatan kawasan. Walaupun terdapat banyak marga pada keluarga Tugu, namun berdasarkan pola permukiman tidak terdapat pengelompokan khusus, mereka bermukim secara menyebar pada Kawasan Kampung Tugu. Kali Cakung merupakan jalur transportasi utama dan irigasi pada kawasan ini, sehingga sebagian besar permukiman penduduk berada di sekitar Kali Cakung. Kali ini dahulu menghubungkan kawasan Gereja Tugu, kawasan Jakarta Islamic Centre, dan kawasan Rumah Si Pitung di Marunda. Kali Cakung dibangun oleh raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5. Transportasi air melalui Kali Cakung ditempuh dengan menggunakan sampan-sampan kecil. Kali Cakung juga merupakan sumber air yang digunakan sebagai tempat mencuci pakaian oleh masyarakat sekitar, karena aliran airnya yang lancar dan airnya yang sangat bersih, dan disela-sela waktu mencuci pakaian mereka pergunakan untuk berbincang-bincang dan mempererat hubungan antar warga 6 . Gereja Tugu I dan II yang saat itu didirikan diantara pemukiman penduduk, saat ini telah menjadi Gereja Katolik Salib Suci. Sedangkan Gereja Tugu III yang ada pada tahun 1940 didirikan diantara rawa-rawa dan taman pemakaman, dimana saat ini rawa tersebut sudah tidak ada lagi dan telah berubah menjadi perkerasan. Keberadaan Gereja Tugu, dimulai dari Gereja Tugu I hingga Gereja Tugu III, selalu berada pada bagian tengah pemukiman penduduk, hal ini merupakan suatu bukti bahwa pada saat itu masyarakat Kampung Tugu yang sebagian besar beragama Kristen, menjadikan Gereja Tugu sebagai pusat pemukiman mereka. Banyaknya sawah dan kebun yang terdapat pada pemukiman masyarakat Tugu merupakan suatu bukti bahwa masyarakat Tugu pada saat itu memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Kebun dan sawah yang terdapat di sekitar pemukiman masyarakat Tugu merupakan sumber bahan pangan utama, karena pada saat itu kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang terisolasi. Selain sawah, kebun, dan hutan, terdapat pula empang yang berada kawasan yang disekitar Kali Cakung, yang merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Tugu sebagai nelayan. Pola pemukiman masyarakat Tugu yang memiliki kekhasan sebagai masyarakat dengan mata pencaharian sebagai nelayan, pemburu, dan petani, saat ini sudah berubah seluruhnya. Sawah, kebun, empang, dan rawa saat ini sudah berganti dengan pemukiman penduduk dan kawasan industri yaitu tempat garasi bagi truk-truk kontainer. 6 Wawancara dengan Masyarakat Asli Tugu, Yulia Afifa Yunus April 2010 4.3.2. Elemen Lanskap Budaya 4.3.2.1. Masyarakat Tugu Keberadaan masyarakat keturunan Portugis di Indonesia tidak lepas dari faktor direbutnya Malaka oleh Belanda pada 14 Januari 1641 dari tangan Portugis. Pada masa gubernur jenderal Antonio Van Diemen, yang berkuasa di Batavia tahun 1636 – 1645, selama 130 tahun Malaka dikuasai Portugis, tepatnya setelah Alburqueque menduduki daerah tersebut sejak 10 Agustus 1511. Seperti lazimnya daerah yang ditaklukan, maka Belanda membawa orang- orang Portugis beserta keluarganya ke Batavia sebagai tawanan perang. Para budak dan tawanan tersebut terdiri dari orang-orang Portugis dan orang-orang dari daerah yang diduduki oleh Portugis kala itu, seperti Goa, Malabar, Bengal, dan Colomander. Rata-rata, mereka ini beragama Katolik dan menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa percakapan Gambar 23. Setelah memerdekakan para tahanan dan budak Portugis kaum Mardjiker, pengurus Gereja Batavia dengan persetujuan VOC memindahkan kaum Mardjiker ke sebuah kampung yang berjarak sekitar 20 kilometer sebelah tenggara Batavia pada tahun 1661 M. Sejak itu, para Mardjiker menetap di Kampung Tugu dan melakukan perkawinan dengan suku-suku lain yang beragama Kristen. Orang Belanda pada saat itu lebih suka menyebut para peranakan kaum Mardjiker ini dengan nama mustisa mestiezen, yang berarti campuran mestizo. Pada tahun 1949 pasca agresi militer Belanda ke II, situasi di Kampung Tugu sangat tidak nyaman. Beberapa masyarakat di Kampung Tugu membentuk laskar-laskar perjuangan, seperti Laskar Rakyat, Hizbullah di bawah pimpinan Gambar 23. Sepasang Mardijker di Batavia dengan latar belakang Gereja, lukisan F. Dancx dari pertengahan abad ke-17 Heuken,1997 Kyai Nur Ali, Barisan Keamanan Rakyat BKR, Beruang Merah, dan TKR. Mereka menganggap masyarakat Tugu keturunan Portugis sebagai orang-orang Belanda, karena agama yang dianut adalah Kristen. Maka, laskar-laskar perjuangan tersebut berusaha untuk membunuh masyarakat keturunan Portugis di Kampung Tugu dan juga ingin membakar kawasan sekitar tempat mereka tinggal. Akhirnya, karena merasa terancam, maka salah satu orang Tugu menghubungi sisa-sisa tentara Belanda yang masih ada di Jakarta untuk meminta perlindungan. Desember 1949 masyarakat Tugu keturunan Portugis berangkat ke Penjambon dan selanjutnya ke Papua pada bulan Januari 1950. Saat di Papua, masyarakat Tugu dimintai pendapatnya untuk mengikuti Republik Indonesia atau Belanda, maka masyarakat Tugu terbagi dua dan sebagian besar pindah ke Belanda, dimana di wilayah tersebut juga dinamai Kampung Tugu. Pada tahun 1840, dengan Besluit Pemerintah No. 2 tanggal 14 Januari tahun 1840, orang-orang Tugu dijadikan Inheemse Kristenen Kristen Bumi Putra, sampai saat ini orang Tugu masuk dalam etnis Betawi yang beragama kristen. Walaupun pemerintah Belanda melarang orang-orang Tugu menggunakan bahasa Portugis, tetapi mereka tetap menggunakannya baik dalam ibadah gereja, maupun dalam bahasa sehari-hari. Sampai dengan tahun 1940-an, orang-orang Tugu masih menggunakan bahasa Portugis, tetapi hanya sebatas percakapan yang dicampur dengan bahasa Melayu dan Belanda. Saat ini bahasa Potugis nyaris tidak pernah terdengar lagi. Bahasa Portugis yang digunakan hanya terbatas pada lagu-lagu yang dinyanyikan dalam musik Kroncong Tugu dan dalam penggunaan kata sapaan, seperti bung dari kata bu untuk kakak laki-laki, cici untuk kaka perempuan, dan koseng untuk menyapa kaka sepupu. Hal tersebut terjadi, karena ketidakmampuan penguasaan bahasa dan sekaligus untuk mengerti artinya. Selain itu, keadaan Kampung Tugu yang sudah sangat terbuka, sehingga beragam suku bangsa tinggal di Tugu dan memberikan sedikit banyaknya pengaruh terhadap pola pikir masyarakat Tugu. Kurangnya minat anak-anak muda tugu untuk tahu budaya mereka sendiri juga menjadi salah satu penyebab semakin menghilangnya bahasa Portugis, karena bagi mereka terasa aneh jika mereka berbicara dalam bahasa Potugis. Beberapa orang yang merupakan masyarakat asli Tugu dan masih mencintai sejarah serta budaya masyarakat mereka, akhirnya membentuk sebuah ikatan. Organisasi ini diharapkan dapat mempererat hubungan antar keluarga Tugu dan melestarikan serta mengembangkan sejarah dan kebudayaan Tugu. Ikatan tersebut adalah Ikatan Keluarga Besar Tugu IKBT. IKBT terbentuk pada tanggal 2 Mei 1976. Ikatan ini terbentuk karena banyaknya komunitas pribumi tugu yang meninggalkan Kampung Tugu sejak tahun 1946. Maka dari itu, sebagian kecil komunitas Tugu yang masih menetap di Kampung Tugu, mendambakan kembalinya suasana kehidupan dalam semangat kekeluargaan seperti masa lampau. Untuk itulah pada tahun 1974 muncul wacana untuk menghimpun kembali komunitas Tugu kedalam wadah organisasi, dengan tujuan agar masyarakat Tugu yang telah tercerai-berai dapat tetap berkomunikasi dan tetap memiliki ikatan satu dengan yang lainnya. Adapun anggota dari IKBT yang ada saat ini, berjumlah sekitar 400-500 KK, yang terbanyak bermukim di negeri Belanda. Marga Tugu yang masih ada hingga saat ini adalah 6 keluarga besar, yakni : Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Quiko dan Broune. Broune sendiri adalah keturunan Jerman. Akibat perkawinan campuran, keluarga yang masih membawa nama keluarga asli Tugu ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya. Komunitas Tugu menganut sistem Patrilineal, karenanya ada beberapa keluarga asli Tugu yang sudah punah, seperti : Hendriks, Salomons, Seymons dan sebagainya. Selain masyarakat Tugu keturunan Portugis, anggota IKBT juga masyarakat Tugu yang berasal dari daerah lain, namun telah memenuhi beberapa persyaratan sebagai anggota IKBT. Beberapa persyaratan menjadi anggota IKBT adalah orang Tugu asli, kawin-mengawin dengan orang Tugu, dan berdomisili lebih dari 25 tahun dengan catatan mengikuti aturan ADART yang dibuat oleh IKBT dengan aturan yang mengikat.

4.3.2.2. Kroncong Tugu

Kroncong berarti sejenis musik yang khas. Musik ini berasal dari suku- suku Berber-Arab di Afrika Utara, yang pernah menduduki Portugal antara abad ke-8 dan ke-12. Suku-suku “Moor” ini membawa musik mereka ke Portugal dan dari sana musik tersebut dibawa ke Goa India dan selanjutnya ke Tugu. Lalu kroncong menjadi sejenis musik yang terkenal di Indonesia. Kroncong Tugu telah dimainkan sejak tahun 1661 M. Menurut wawancara dengan narasumber 7 , dikatakan bahwa Kroncong Tugu lahir karena keadaan yang membuat mereka menciptakan sebuah alat musik. Dahulu kawasan Kampung Tugu dan sekitarnya merupakan kawasan hutan dan kawasan tersebut masih sangat sepi, sehingga mereka membutuhkan suatu hiburan. Saat itu orang Tugu hanya memiliki alat musik yang terbatas, yaitu biola, gitar, dan cello gesek. Keterbatasan alat musik tersebut mendorong mereka untuk menciptakan beberapa alat baru dari pohon kayu yang tumbang yaitu kayu wares dan kayu kembang kenanga. Alat tersebut selalu berdawai 5 yang terbuat dari benang kasur senar yang disebut bonding. Kayunya tidak diplitur atau dicat dan tidak dilem, tetapi dibobok, sehingga merupakan satu kesatuan. Pada jaman dahulu, Kroncong Tugu biasanya dimainkan pada saat beristirahat di sela-sela waktu mereka berladang maupun setelah pulang dari menjala ikan dan berburu di hutan. Mereka memainkan musik yang waktu itu belum dikenal sebagai musik kroncong secara bersama-sama, dan masing-masing dari mereka membawa alat musik sendiri. 7 Hasil wawancara dengan Humas Ikatan Keluarga Besar Tugu IKBT, Arthur J. Michils April 2010 Pada saat memainkan alat musik tersebut, masyarakat disekitar mendengarnya dan akhirnya menyebut musik tersebut sebagai musik kroncong. Disamping menciptakan lagu, orang-orang Tugu sampai dengan tahun 1970-an, masih membuat alat musik sendiri. Tercatat beberapa nama yang mahir membuat alat musik itu, seperti : Lucas Andries, Ferdinand Abrahams, Leonidas Salomons, Ismail Salomons, dll. Sayangnya, hasil karya mereka sudah tidak ada lagi, karena dibeli oleh turis mancanegara yang berkunjung ke Tugu, atau dijual oleh mereka ke toko musik Tio Tek Hong di Pasar Baru. Alat musik yang mereka buat yaitu Macina kroncong berdawai lima berukuran kecil yang berbunyi nyaring, Prounga kroncong berdawai lima berukuran sedikit lebih besar yang berbunyi medium, dan Jitera berukuran lebih kecil dari gitar dan berdawai lima Gambar 24. Sulitnya mendapatkan bahan kayu dan keterbatasan keahlian dalam membuat alat-alat musik tersebut, menyebabkan saat ini tidak ada lagi orang- orang Tugu yang membuat alat-alat musik kroncong. Dalam perkembangan selanjutnya, baik alat musik maupun jumlah pemain alat musik menjadi bertambah, yakni dengan dipakainya alat musik lain seperti suling, gendang rebana, mandolin, cello kempul, biola, triangle besi segi tiga. Lagu-lagunya yang semula hanya 4 buah, Moresco, Nina Bobo, Prounga, dan cafrinju bertambah dengan Irama Stambul dan Irama Melayu. Gambar 24. Alat Musik Kroncong Prounga, Macina, dan Jitera Ganap, 2006 Kroncong lama Nina Bobo yang dapat dinyanyikan semua orang adalah sebuah lagu buaian cradle song. Kata ‘nina’ merupakan bentuk ringkas kata Portugis ‘menina’ yang berarti ‘seorang gadis kecil’. Sedangkan, Kroncong Moressco, artinya kroncong yang berasal dari suku bangsa Moor. Jenis ini mengingatkan ‘mornas’ lagu-lagu dari cabo Verde Afrika, yang irama dasarnya dipakai sebagai latar belakang sebagian music modern di Indonesia. Lagu kroncong Tugu lainnya adalah Prounga yang berasal dari istilah Portugis proungo, yang artinya ‘untuk seorang penyanyi’. Lagu Prounga pada masa VOC amat digemari khususnya oleh komunitas mestizo dan mardijkers yang berdiam di Kampung Bandan. Cafrinju diduga merupakan iringan tarian ‘cafre’, sebuah tarian negro dengan kostumnya yang penuh hiasan, dan gerakan tari yang melompat-lompat. Nama lagu cafrinju selanjutnya diabadikan menjadi nama OK Cafrinho tugu pimpinan Samuel Quiko. Musik kroncong saat ini masih sering didengar, pada saat Natal orang- orang Tugu, rabo-rabo, mandi-mandi, atau acara-acara lainnya, seperti : pesta nikah, dan menyambut tamu. Saat ini di Tugu terdapat beberapa grup musik kroncong, yakni : Moresco Tugu, Krontjong Toegoe, dan Cafrinho Tugu. Hanya saja, kendala yang dihadapi dalam melestarikan kroncong tugu adalah kesulitan dalam mendidik anak-anak muda Tugu untuk bermain kroncong karena desakan budaya luar. Tingginya biaya pengadaan dan pemeliharaan alat-alat musik merupakan kendala lain dalam mempertahankan kelestarian musik ini. Dahulu kesenian ini masih disebut kroncong asli, karena jenis irama yang masih dipengaruhi Kroncong Portugis. Namun, seiring perkembangan zaman, kroncong ini telah banyak mengadopsi beberapa elemen yang membuatnya berbeda. Hal ini misalnya dapat dilihat pada jenis iramanya yang lebih cepat dan rancak, dikarenakan suara ukulele yang dimainkan dengan cara menggaruk keseluruhan senar secara cepat 8 .

4.3.2.3. Bahasa Portugis

Masyarakat asli Kampung Tugu merupakan masyarakat yang berasal dari orang-orang berbahasa Portugis dari berbagai koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Koromandel, Goa dan Ceylon Sri Lanka . Keberadaan mereka di kawasan Kampung Tugu yang saat itu merupakan kawasan tertutup dan terisolasi dari daerah lain, menyebabkan mereka mampu mempertahankan bahasa dan kebudayaan mereka. Bahasa Portugis pada saat itu masih merupakan bahasa sehari-hari, dimana bahasa tersebut pada akhirnya diwariskan secara turun-temurun kepada anak-anak mereka. Fungsi bahasa diikuti oleh perkembangan struktur bahasanya baik terjadi secara tiba-tiba dalam satu generasi atau secara berangsur yang melibatkan generasi-generasi selanjutnya, proses ini disebut proses kreolisasi. Istilah kreol berasal dari bahasa Prancis créole atau dari bahasa Spanyol criollo yang bermakna ‘bawaan lahiriah’. Bahasa Portugis dalam perkembangannya di Indonesia bercampur dengan bahasa Melayu. Hal ini disebabkan karena Bangsa Belanda yang saat itu menjajah Indonesia, dalam politik bahasanya terkenal enggan untuk mengembangkan bahasa Belanda kepada pribumi karena alasan ekonomi dan politik, sehingga mereka membiarkan bahasa Portugis dan bahasa Melayu sama-sama berkembang di tengah komunitas bahasa resmi mereka, bahasa Nederduits. Pendeta Benkhoff di Depok 1884 menyebut bahasa Kreol Portugis Kampung Tugu dengan bahasa Portugis Suratminto, 2008. 8 “ Kampung Tugu, kenangan, sejarah atau …..?”, Arthur J. Michils Februari 2007 Keberadaan Bahasa Portugis di Indonesia sudah tentu memberikan dampak terhadap perkembangan Bahasa Indonesia. Hal tersebut terlihat dari penggunaan Bahasa Portugis yang bercampur dengan Bahasa Indonesia dengan terdapatnya beberapa kosa kata yang berasal dari Bahasa Portugis, seperti armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, tinta , maco. Ada juga kosa kata yang mengalami perubahan ucapan, misalnya: algojo algoz, bangku banco, bantal avental, bendera bandeira, biola viola, bolu balo, boneca boneca, jendela janela. Bahasa Kreol Portugis yang terdapat pada kawasan Kampung Tugu, merupakan salah satu nilai budaya dan sejarah masyarakat Tugu. Namun sangat disayangkan keberadaan bahasa tersebut kian hari kian berkurang. Semula Bahasa ini pada tahun 1940 masih dipakai oleh sekitar 300 masyarakat Tugu. Pada jaman penjajahan Jepang pengguna bahasa ini semakin bertambah menjadi sekitar 400 orang pengguna bahasa kreol Portugis. Saat ini pengguna bahasa kreol Portugis semakin berkurang menjadi sekitar 40 hingga 50 orang. Mereka yang masih menggunakan bahasa ini sebagian besar merupakan masyarakat Tugu yang sudah berumur lanjut. Berkurangnya penggunaan bahasa Portugis dikarenakan keengganan dan kesulitan yang dirasakan kaum muda untuk menggunakan serta mempelajari bahasa ini. Semakin punahnya penggunaan bahasa Portugis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tugu disebabkan juga oleh semakin terbukanya kawasan Kampung Tugu bagi masyarakat pendatang serta terjadinya kawin campur dengan masyarakat yang berasal dari luar kawasan Kampung Tugu. Bahasa Portugis yang terdapat pada masyarakat Kampung Tugu merupakan salah satu nilai sejarah dan budaya yang harus dijaga kelestariannya. Ikatan Keluarga Besar Tugu IKBT, menyadari hal tersebut dan berupaya untuk tetap menjaga keberadaan bahasa Portugis di Kampung Tugu dan di kalangan masyarakat Tugu agar tidak punah. Upaya pelestarian bahasa Portugis oleh IKBT adalah dengan mengadakan pelajaran Bahasa Portugis setiap hari Sabtu di kawasan Gereja Tugu. Kegiatan tersebut merupakan bentuk nyata dalam pelestarian nilai sejarah dan budaya masyarakat Tugu, akan lebih baik jika masyarakat Tugu ikut berperan serta secara aktif untuk melestarikan kekayaan sejarah dan budaya mereka.

4.3.2.4. Perayaan Natal

Masyarakat Tugu memiliki cara yang khas untuk merayakan Natal, khususnya pada masa saat mereka masih berada pada kawasan yang terisolasi dari daerah luar. Masyarakat Tugu merayakan natal dengan mendatangi satu per satu rumah keluarga Tugu pada saat Malam Natal, untuk selanjutnya mengucapkan ucapan selamat natal dalam bahasa Portugis, yaitu: “ Bi singku dia Desember, nasedu di nos sior, nos sior jabina mundu. Libra nos pekador, unga annti di kinta ferra assi klar kuma dia unga anju di nos sior assi grandi di allegria. ashi mes ku bosso ter. dies Lobu sua da bida kompredu lo- dapang kria so podeer, santu justru ”, yang bermakna: “Pada tanggal 25 Desember, Tuhan telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal yaitu Juru Selamat agar supaya barang siapa yang percaya akan Dia jangan binasa, melainkan hidup yang kekal, dan hendaknya kita boleh menaruh harap pada- Nya”. Pada setiap rumah disajikan kue-kue Natal dan minuman tidak berakohol. Pada saat kawasan Kampung Tugu masih berupa kawasan yang terisolasi, keadaan kawasan ini masih gelap tanpa penerangan, sehingga perjalanan dari satu rumah ke rumah yang lain dilakukan hanya dengan menggunakan penerangan berupa obor yang menambah khusyuk acara Malam Natal. Acara ini terus dilakukan hingga pagi hari dan diakhiri dengan perayaan Natal di gereja. Saat ini kegiatan setiap Malam Natal sudah tidak dilakukan lagi, karena keadaan yang semakin tidak memungkinakan, terutama karena perubahan kawasan Kampung Tugu dan semakin berkurangnya masyarakat asli Tugu. Akan tetapi, masih terdapat kegiatan lain yang menggantikan acara malam natal, yaitu acara berziarah ke makam yang terdapat pada kawasan Gereja Tugu yang dilakukan setiap malam Natal oleh masyarakat asli Tugu. Kegiatan yang dilakukan pada malam Natal ini akan berlangsung hingga tengah malam, dimana mereka melakukan ziarah makam dengan penerangan lilin sehingga menambah nuansa syahdu dan khusyuk.

4.3.2.5. Rabo-rabo

Rabo-rabo merupakan salah satu perayaan budaya masyarakat Tugu yang diadakan secara khusus pada waktu tertentu. Rabo merupakan bahasa Portugis yang berarti mengekor. Perayaan ini dirayakan pada tanggal 1 Januari yang merupakan Perayaan Tahun Baru. Acara rabo-rabo dimulai dengan bermain dan bernyanyi kroncong dari satu rumah ke rumah lain. Setiap kali sampai ke satu rumah, mereka mengucapkan selamat tahun baru yang diiringi dengan musik kroncong. Pada setiap rumah yang dikunjungi, tuan rumah akan menyediakan makanan dan minuman yang berakohol. Pada saat rombongan meninggalkan satu rumah, maka tuan rumah yang berasal dari rumah sebelumnya akan ikut serta bersama rombongan untuk mengucapkan selamat tahun baru kepada keluarga tugu lain. Hal ini menyebabkan rombongan yang ada semakin bertambah panjang dan mengekor. Acara saling mengunjungi rumah Keluarga Tugu ini terus berlanjut hingga seluruh keluarga dikunjungi. Maka dari itu, acara rabo-rabo dapat berlangsung hingga berhari-hari, bahkan dapat berlangsung selama seminggu. Jika selama seminggu acara ini belum selesai, maka akan dilanjutkan dengan acara mandi- mandi. Namun, saat ini acara rabo-rabo hanya dilakukan selama sehari karena keterbatasan waktu, maka pada pekan berikutnya akan dilanjutkan dengan acara mandi-mandi.

4.3.2.6. Mandi-mandi

Acara mandi-mandi dilakukan seminggu setelah acara Tahun Baru atau acara rabo-rabo Gambar 25. Acara ini dimaksudkan untuk memenuhi kehidupan di tahun yang baru dengan membersihkan diri dari segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah dibuat pada tahun yang lalu, serta memaafkan satu orang dengan yang lain dengan menghilangkan marah dan dendam. Pada jaman dahulu, kegiatan mandi-mandi dimaksudkan untuk memberi semangat baru bagi mereka yang bekerja sebagai petani maupun nelayan, agar mereka dapat melakukan pekerjaan mereka dengan hati yang senang di tahun yang baru. Acara mandi-mandi dimulai dari satu rumah keluarga Tugu dengan mengadakan kebaktian. Setelah kebaktian selesai akan diadakan acara makan siang yang selanjutnya akan dilanjutkan dengan acara mandi-mandi. Pada acara mandi-mandi, semua orang yang hadir saling mengoleskan bedak cair yang merupakan perlambang bahwa “kesalahan kamu telah saya maafkan dan kesalahan saya harus kamu maafkan”. Acara ini juga tidak lepas dari musik kroncong dan minuman berakohol.

4.3.2.7. Festival Kampung Tugu

Festival Kampung Tugu merupakan kegitan pelestarian sekaligus sebagai kegiatan promosi kawasan Kampung Tugu untuk kegiatan pariwisata, serta memperkenalkan nilai sejarah dan budaya masyarakat Tugu. Kegiatan ini baru diadakan pada tahun 2008, yang merupakan kerja sama antara Masyarakat Tugu dan Pemerintah Daerah Jakarta Utara. Kegiatan ini melibatkan kedutaan besar yang berbahasa Portugis, yaitu Republik Portugal, Kerajaan Belanda, Republik Brasil, Republik Mozambik, dan Republik Timor Leste. Kedatangan dari kedutaan besar berbahasa Portugis merupakan bentuk dari solidaritas mereka terhadap masyarakat asli Tugu yang sebagian besar keturunan Portugis. Kegiatan ini direncanakan akan diadakan setiap tahun, namun pada tahun 2009 tidak diadakan Festival Kampung Tugu, karena sedang dilakukan renovasi gedung Gereja Tugu. Adapun acara pagelaran budaya dan sejarah pada Festival Kampung Tugu berupa pertunjukan Krontjong Toegoe Gambar 26, kolaborasi antara tarian Portugis dengan tarian Betawi, perkenalan makanan khas Tugu, dan pameran foto Gambar 25. Acara mandi-mandi Tugu Collection sejarah masyarakat Tugu Gambar 27. Terdapat pula penampilan dari kedutaan besar yang hadir, yaitu tarian tradisional Portugal yang dibawakan oleh masyarakat muda Kampung Tugu Gambar 28, seni bela diri khas Brazil yaitu capoeira, dan Republik Timor Leste yang mengerahkan para mahasiswanya yang sedang belajar di Indonesia. Gambar 26. Penampilan Krontjong Toegoe pada Festival Kampung Tugu 2008 Gambar 28. Tarian Tradisional Portugis pada Festival Kampung Tugu Gambar 27. Pameran Foto Etnografi masyarakat Tugu Kegiatan yang diadakan pada acara Festival Kampung Tugu ini dapat mengalami perubahan. Akan tetapi makna dari acara yang terdapat pada Festival Kampung Tugu tetap sama yaitu ajang untuk memperkenalkan kekayaan sejarah dan budaya Kampung Tugu terhadap masyarakat umum.

4.3.2.8. Makanan Khas Kampung Tugu

Masyarakat Tugu memiliki beberapa makanan khas yang berbeda dengan makanan yang berbeda dengan daerah lain. Makanan khas masyarakat Tugu, menurut wawancara dengan narasumber 9 merupakan makanan yang dibuat sendiri oleh masyarakat Tugu. Makanan khas ini merupakan campuran antara makanan khas Portugis dengan makanan khas Betawi. Beberapa dari makanan khas ini juga merupakan hasil dari mata pencaharian masyarakat Tugu jaman dahulu yaitu sebagai pemburu, nelayan, dan petani. Makanan khas masyarakat Tugu, yaitu gado-gado siram, dodol tugu, pindang srani, spet, dendeng tugu, kue pisang udang, ketan, apem putih, cendol tugu, kue talam, putu wayang, pecel lele, buras, laduk, dan geplak. Gado-gado siram yang merupakan salah satu makanan khas Tugu, sebenarnya merupakan makanan Eropa yang dikenal sebagai salad, namun disesuaikan dengan 9 Hasil wawancara dengan Humas Ikatan Keluarga Besar Tugu IKBT, Arthur J. Michils April 2010 keadaan masyarakat Tugu saat itu. Jika di Eropa makanan tersebut dicampur dengan minyak zaitun, maka masyarakat Tugu membuat makanan dari berbagai macam sayuran yang dicampur sehingga menyerupai salad dan disebut dengan gado-gado. Gado dalam bahasa Portugis berarti binatang, karena gado-gado merupakan makanan yang bercampur aduk dan terkesan sebagai makanan binatang. Minyak zaitun yang biasa digunakan sebagai campuran salad di Eropa sulit ditemui di kawasan Tugu, maka diganti dengan bumbu kacang dan disiramkan pada gado-gado. Adapun makanan khas Tugu lainnya adalah pindang srani yang merupakan masakan ikan pindang yang dicampur dengan kecap. Kampung Tugu saat itu dikenal juga sebagai Kampung Srani, maka pindang kecap ini dikenal sebagai pindang srani. Kue pisang udang merupakan kue pisang yang dibungkus dengan daun dan dibentuk segitiga. Dendeng Tugu merupakan daging hasil berburu dari masyarakat Tugu untuk keperluan acara pada saat Natal maupun tahun Baru, dan jika daging tersebut berlebih maka akan dibuat daging dendeng. Dendeng tugu dapat dicampur dengan ketumbar dan kecap dan dikenal sebagai dendeng tugu manis atau dapat pula dicampur dengan garam sebagai dendeng tugu asin, daging pada dendeng tugu juga ada yang dicampur dengan ragi. Cendol tugu merupakan minuman cendol dimana gula yang digunakan sebagai campuran dalam minuman ini berasal dari bahan dasar buah durian. Saat ini banyak dari makanan khas Tugu yang mulai punah. Hal tersebut dikarenakan ketidakmampuan masyarakat Tugu sebagai generasi penerus untuk membuat maupun tidak tersedianya bahan dasar pembuatan makanan khas Tugu.

4.3.2.9. Pakaian Tradisional Masyarakat Tugu

Masyarakat Tugu yang menempati kawasan Kampung Tugu hingga pertengahan abad ke-20, masih dapat mempertahankan identitas mereka sebagai masyarakat keturunan Portugis, karena kondisi Kampung Tugu saat itu yang merupakan daerah yang terisolasi. Masyarakat Tugu menggunakan pakaian hitam dan topi model Portugis hingga akhir abad ke-20. Pakaian hitam yang mereka gunakan merupakan pakaian khas dari masyarakat Portugis yang biasa digunakan dalam kegiatan sehari-hari, karena masyarakat Portugis pada jaman dahulu biasa menggunakan pakaian berwarna gelap atau berwarna hitam, sedangkan pakaian berwarna cerah hanya digunakan pada acara-acara khusus. Saat ini, masyarakat Tugu yang tergabung dalam Ikatan Besar keluarga Tugu IKBT berupaya untuk menghidupkan kembali budaya dari nenek moyang mereka di masa lalu, yaitu dengan memperkenalkan pakaian masyarakat Portugis. Pakaian tradisional ini biasanya dikenakan pada acara-acara khusus, seperti saat menari tarian tradisional Portugis. Pakaian tradisional yang digunakan oleh pria biasanya berupa celana panjang bahan berwarna gelap, baju baggy berwarna putih, topi khas Portugis atau dapat juga menggunakan topi baret atau topi koboi, dan rompi. Sedangkan, pakaian yang biasa digunakan oleh wanita berupa baju terusan panjang dengan rok mengembang dengan bagian atasan berwarna putih dan rok berwarna cerah, ditambahkan dengan rompi berwarna cerah yang biasanya senada dengan warna rok yang digunakan Gambar 29. Masyarakat Tugu tidak hanya menggunakan pakaian tradisional yang berasal dari Portugis. Mereka juga menggunakan pakaian khusus, yang merupakan hasil asimilasi budaya Eropa dengan Betawi. Biasanya pakaian ini digunakan pada saat pertunjukan kroncong, dan biasa digunakan oleh para pemain kroncong. Pakaian yang merupakan hasil asimilasi budaya pada masyarakat Tugu ini berupa baju sadariah dan celana batik yang berasal dari Betawi digabungkan dengan syal dan topi pet yang berasal dari Eropa Gambar 30. Gambar 29. Pakaian Tradisional Portugis Pakaian khas masyarakat Tugu merupakan bukti bahwa terdapat banyak keistimewaan budaya pada masyarakat Tugu, dimana budaya tersebut tidak hanya berasal dari kebudayaan Portugis yang berada di Eropa, namun juga kebudayaan Betawi yang merupakan tempat tinggal mereka saat ini.

4.3.2.10. Tarian Portugis

Kebudayaan Portugis lain yang saat ini sedang dikembangkan oleh masyarakat Tugu adalah tarian tradisional Portugis Gambar 31. Tarian yang diajarkan langsung oleh salah satu dosen yang berasal dari Portugis, merupakan salah satu bentuk kepedulian dan bentuk kerjasama antara masyarakat Tugu dengan kedutaan besar Republik Portugal. Tarian tradisional Portugis ini biasa dipertunjukan saat terdapat acara khusus, dengan maksud untuk memperkenalkan tarian ini terhadap masyarakat umum. Tarian ini biasa diiringi dengan musik waltz dengan gerakan melingkar, gerakan berputar, dan berpindah-pindah pasangan. Gerakan dalam tarian tersebut merupakan gerakan yang sangat umum dan biasanya terdapat pada semua jenis tarian tradisional Portugis. Gambar 30. Pakaian Pemain Kroncong

4.3.3. Persepsi dan Harapan Masyarakat

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan pada kawasan permukiman di sekitar lokasi penelitian, didapatkan hasil berupa pendapat dan harapan masyarakat mengenai kawasan Kampung Tugu dan rencana pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata. Persepsi dan harapan masyarakat, terbagi menjadi persepsi dan harapan masyarakat asli Tugu serta persepsi dan harapan masyarakat pendatang. Masyarakat asli Tugu sebagian besar tinggal pada kawasan Kampung Tugu sejak mereka dilahirkan. Hal tersebut membuat mereka lebih mengetahui mengenai perubahan serta sejarah kawasan. Sebanyak 67 masyarakat menilai bahwa kawasan Kampung Tugu telah sangat banyak berubah dan memberikan dampak yang kurang nyaman Gambar 32. Perubahan yang paling banyak terjadi berupa perubahan lingkungan Gambar 33. Perubahan lingkungan antara lain semakin meningkatnya pemukiman penduduk, perubahan kondisi transportasi, serta keadaan kawasan sekitar Kampung Tugu yang telah mengalami perubahan. Keadaan lainnya yang mengalami perubahan adalah kondisi sarana dan prasarana, serta sosial dan budaya masyarakat. Gambar 31. Tarian Tradisional Portugis 66.67 20 13.30 Sangat banyak berubah Sangat berubah Sedikit berubah Tidak berubah sama sekali 80 13.30 20 20 6.67 Lingkungan Aktivitas masyarakat Sarana dan prasarana Sosial dan budaya Vegetasipepohonan Sebanyak 87 dari masyarakat asli Tugu masih mengetahui keadaan Kampung Tugu pada masa lalu. Mereka setuju dengan perubahan kawasan yang menyerupai kondisi pada masa lalu, seperti keadaan kawasan yang jauh dari keberadaan kawasan-kawasan industri, kawasan yang memiliki lingkungan yang nyaman, serta perbaikan kembali transportasi air melalui Kali Cakung. Hal ini menunjukkan kepedulian masyarakat Tugu terhadap kondisi kawasan Kampung Tugu. Sejarah mengenai kawasan Kampung Tugu masih diketahui oleh sebagian besar dari masyarakat asli Tugu. Sejarah tersebut didapatkan melalui pengalaman pribadi, cerita keluarga secara turun-temurun, buku-buku dan literatur sejarah. Gambar 32. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat asli Tugu Gambar 33. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat asli Tugu 24.10 34.50 13.80 20.70 10.30 6.90 Mempromosikan kawasan Memperkenalkan kebudayaan Menjaga kawasan Memperkenalkan sejarah Mengelola kawasan Pengetahuan yang dimiliki mereka mengenai sejarah kawasan membuktikan bahwa masyarakat asli Tugu sangat menghargai nilai sejarah yang terdapat pada masyarakat mereka. Penilaian masyarakat asli Tugu mengenai keberadaan kawasan wisata, sebagian besar dari mereka menilai bahwa keberadaan kawasan wisata pada kawasan Gereja Tugu dinggap sangat penting. Hubungan kegiatan wisata dengan sejarah yang telah terdapat pada kawasan serta dengan aktivitas masyarakat di sekitar kawasan, dinilai dapat mendukung kegitan mereka sehari-hari. Kegiatan wisata pada kawasan ini dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, karena dapat menjadi sumber pendapatan baru baik bagi kawasan Kampung Tugu dan sekitarnya. Mereka juga bersedia turut aktif dalam mendukung kegiatan wisata, dengan berperan dalam berbagai kegiatan. Sebagian besar dari masyarakat Tugu lebih tertarik untuk turut aktif dalam kegiatan memperkenalkan kebudayaan asli tugu Gambar 34. Bagi masyarakat pendatang kawasan Kampung Tugu mengalami banyak perubahan Gambar 35. Mereka menilai bahwa perubahan tersebut memberikan kenyamanan bagi mereka, karena semakin memudahkan dalam hal transportasi dengan semakin banyaknya kendaraan umum, serta semakin banyak fasilitas umum pendukung lainnya yang telah berkembang di sekitar kawasan. Gambar 34. Peran Serta Masyarakat Asli Tugu dalam Aktifitas Wisata 26.70 40 26.70 6.70 Sangat banyak berubah Sangat berubah Sedikit berubah Tidak berubah sama sekali 73.30 6.70 6.70 20 Lingkungan Aktivitas masyarakat Sarana dan prasarana Sosial dan budaya Perubahan yang paling besar adalah faktor lingkungan, dengan perkembangan kawasan-kawasan baru di sekitar kawasan Kampung Tugu Gambar 36. Sebagian dari masyarakat pendatang yang mengetahui keadaan kawasan di masa lalu merupakan masyarakat pendatang yang telah tinggal cukup lama pada kawasan ini. Mereka setuju jika kawasan Kampung Tugu dikembalikan seperti kondisi kawasan di masa lalu, menurut mereka kondisi kawasan di masa lalu lebih nyaman jika dibandingkan kondisi sekarang. Pengetahuan masyarakat pendatang mengenai sejarah kawasan masih sangat kurang. Mereka yang mengetahui sejarah kawasan Kampung Tugu dari cerita masyarakat asli Tugu, Ikatan Keluarga Besar Tugu IKBT dan buku Gambar 35. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang Gambar 36. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang 33.30 13.30 26.70 13.30 13.30 Mempromosikan kawasan Memperkenalkan kebudayaan Menjaga kawasan Memperkenalkan sejarah Mengelola kawasan sejarah. Berdasarkan pengetahuan sejarah yang mereka dapatkan, mereka berpendapat bahwa kawasan Gereja Tugu saat ini telah cukup mewakili nilai sejarah yang telah ada. Perkembangan kawasan Gereja Tugu sebagai kawasan wisata dinilai penting dan dapat mendukung aktivitas mereka sehari-hari. Mereka juga bersedia turut berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan wisata pada kawasan ini, melalui berbagai kegiatan Gambar 37. Perbedaan persepsi antara masyarakat asli Tugu dengan masyarakat pendatang, antara lain terdapat pada pengaruh perubahan kawasan. Masyarakat asli Tugu sebagian besar tidak setuju dengan perubahan tersebut, sedangkan sebagian masyarakat pendatang setuju. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat pendatang tentang kondisi masa lalu dari kawasan Kampung Tugu. Perbedaan pendapat juga terdapat pada pengetahuan tentang sejarah kawasan Kampung Tugu. Namun, secara keseluruhan baik masyarakat asli maupun pendatang mendukung kegiatan pelestarian, serta bersedia berperan serta dalam kegiatan wisata. Gambar 37. Peran Serta Masyarakat Pendatang dalam Aktifitas Wisata 4.4. Kepariwisataan 4.4.1. Daya Tarik dan Objek Wisata