kegiatan wisata. Sebagian penduduk dapat dimanfaatkan untuk membantu kegiatan wisata di sekitar kawasan Kelurahan Semper Barat.
Peran serta masyarakat antara lain sebagai pihak yang menjelaskan kegiatan wisata pada kawasan pariwisata, pihak yang mempromosikan kawasan,
dan juga sebagai pihak pengelola kawasan wisata. Selain itu, kegiatan wisata juga diharapkan dapat memberikan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar
dan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk Kelurahan Semper Barat.
4.2. Kesejarahan Kawasan 4.2.1. Sejarah Kampung Tugu
Kampung Tugu terletak kurang lebih 4 km sebelah tenggara pelabuhan Tanjung Priok. Jika dilihat dari keadaan geografisnya, Kampung Tugu merupakan
dataran rendah. Pada jaman dahulu kawasan ini merupakan daerah persawahan yang cukup luas dan irigasi yang baik dengan diselingi rawa-rawa. Hal tersebut
dapat dilihat dari adanya kali buatan atau irigasi tersier yang berinduk pada Kali Cakung.
Semula masyarakat yang berada pada kawasan Kampung Tugu adalah orang Portugis yang merupakan bekas tawanan perang atau budak-belian, yang
dibawa oleh Belanda dari daerah Portugis di sekitar Malaka, dari India dan Sri Lanka.
Kawasan ini telah dihuni sejak tahun 1661, ketika sebanyak 23 keluarga kurang lebih 150 jiwa dipindahkan dari Kampung Bandan ke tempat yang
sekarang disebut Kampung Tugu. Setelah selama 20 tahun sejak kekalahan Portugis dari Belanda dalam perang Malaka pada tahun 1641, mereka dijadikan
budak oleh Belanda. Perpindahan ini dilakukan oleh gereja di Batavia, dengan persetujuan VOC, setelah terlebih dahulu para budak ini dimerdekakan Heuken,
1997. Oleh penguasa pada saat itu mereka disebut Mardika atau Mardijkers yang berarti orang yang dimerdekakan. Tetapi kemerdekaan ini harus mereka bayar,
Belanda tidak semudah itu melepaskan mereka, nama Portugis mereka harus menjadi nama yang berbau Belanda. Belanda juga mengharuskan mengganti
agama mereka, yakni dari katolik menjadi protestan, sedapat mungkin mereka
menghilangkan pengaruh Budaya Portugis pada mereka, dari mulai bahasa dan adat kebiasaan mereka. Sejak saat itulah mereka disebut orang Tugu.
Asal-usul nama Kampung Tugu sangat bervariasi. Sejarawan Belanda, De Graff, menyebut nama Tugu berasal dari kata por tugu ese Portugis, sebutan
orang Portugis yang tinggal di kampung itu. Namun terdapat juga versi yang menyebutkan bahwa nama Tugu dikaitkan dengan penemuan sebuah prasasti
tugu batu bertuliskan huruf Pallawa dari masa kekuasaan Raja Purnawarman, Kerajaan Tarumanegara, di sekitar perkampungan tersebut. ‘Tugu‘ sendiri
berarti ‘tiang‘, ‘batu bersurat‘, atau ‘batu peringatan‘. Prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Tugu.
Oleh masyarakat sekitar, penduduk yang menempati Kampung Tugu disebut ‘orang Tugu‘, atau juga disebut ‘orang Serani‘, dengan identifikasi agama
Nasrani Kristen yang dipeluk oleh mayoritas penduduknya. Selain itu, Kampung Tugu juga disebut sebagai Tanah Merdeka, karena diolah oleh kelompok
mardijkers sebagai masyarakat merdeka. Seiring semakin berkembangnya jaman telah banyak perubahan yang terjadi. Akan tetapi sejarah wilayah ini harus tetap
terjaga dan dilestarikan, agar Kampung Tugu atau Kampung Srani atau Kampung Mardijkers tidak hanya sekedar nama, tetapi tetap memiliki arti sesuai dengan
sejarahnya.
4.2.2. Sejarah Gereja Tugu
Pada tahun 1661, saat para mardijkers menempati kawasan Tugu, Gereja Tugu belum didirikan. Kebaktian minggu secara bergilir dilakukan di rumah-
rumah anggota komunitas Nasrani Tugu, yang pada waktu itu berjumlah sekitar 132 jiwa. Hal ini berlangsung selama tidak kurang dari 17 tahun. Gereja Tugu
merupakan sebuah Gereja Protestan, namun liturginya masih menggunakan bahasa Portugis. Pelayanan ibadahnya dikoordinasi oleh Portugeesche Binnenkerk
di Batavia dengan mengutus pendeta Belanda yang dapat berbahasa Portugis untuk melayani kebaktian minggu Gambar 13.
Gereja Tugu adalah organisasi yang dibentuk pada masa VOC tahun 1678, organisasi ini secara khusus ditujukan bagi kesejahteraan kehidupan rohaniah para
keluarga mardijkers Nasrani yang mendiami Kampung Tugu. Pembangunan Gereja Tugu pertama oleh Ds.Melchior Leydecker, gedung gereja tersebut sangat
sederhana dan terbuat dari kayu. Selain sebagai tempat ibadah, gedung gereja juga digunakan sebagai sekolah, setingkat sekolah rakyat yang merupakan sekolah
pertama yang ada diluar batavia. Sekolah ini bernama Escola Papia Christao Gambar 14.
Di gereja ini, Ds.Melchior Leydecker untuk yang pertama kali menerjemahkan alkitab dari bahasa Belanda kedalam bahasa Melayu sampai
Efesus 6 : 6. Pada tahun 1701 beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Tugu. Makam beliau saat ini sudah tidak ada karena hanya ditandai dengan batu.
Gambar 13. Kebaktian di dalam Gereja Tugu III Tugu Collection
Gambar 14. Sekolah Tugu Tugu Collection
Pekerjaan penerjemahan ini kemudian dilanjutkan oleh Ds.Petrus Van De Vorm, yang menyelesaikan pekerjaannya pada tahun itu juga.
Seiring berjalanannya waktu, keadaan Gereja Tugu I mengalami banyak kerusakan. Karena keadaan yang sudah tidak mungkin dipergunakan lagi, maka
Gereja Tugu I pun direnovasi secara total. Pada tahun 1738 gedung Gereja Tugu I dirobohkan dan dibangun gedung gereja yang baru serta ditahbiskan oleh Ds Dirk
Van Der Tijd. Gereja ini dikenal sebagai Gereja Tugu II. Pada tahun 1740, saat pemerintahan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier
1737-1741, terjadi pemberontakan orang-orang China China Onlusten yang meluas sampai ke Tugu. Mereka merusak dan membakar gedung Gereja Tugu II,
sehingga orang-orang Tugu tidak lagi memiliki gedung gereja. Empat tahun kemudian, diangun gedung gereja baru atas bantuan Justinus
Vinc, yang merupakan tuan tanah Cilincing, yang juga menguasai Tanah Abang, Waltervreden dan Pejambon. Gedung gereja tersebut dibangun secara permanen
dan diberikan kepada orang-orang Tugu yang berjemaat di tempat itu, setelah terlebih dahulu mendapat izin dari Gubernur Jendral yang berkedudukan di
Batavia. Pembangunannya dilakukan secara bergotong-royong oleh segenap warga Tugu, yang menghabiskan waktu selama tiga tahun. Pembangunan ini
dimulai pada tahun 1744 dan selesai pada tahun 1747. Pada tanggal 28 Juli 1748, gedung gereja ditahbiskan oleh Ds Joan
Mauritius Mohr. Arsitektur bangunan dari gedung Gereja Tugu yang baru amat sederhana dengan jendela yang berbentuk melengkung, menurut gaya arsitektur
Gothic Belanda. Terdapat pendapat lain mengenai gaya dan arsitektur pada Gereja Tugu, seperti gaya arsitektur Belanda abad ke 18 Masehi. Selain itu, terdapat pula
pendapat yang mengatakan bahwa arsitektur Gereja Tugu menyerupai bentuk gereja Evora Santome di dekat Lisabon. Di bagian depan bangunan gereja dibuat
teras yang saat itu berfungsi untuk duduk-duduk bagi tuan tanah Justinus van der Vinck bila sedang berkunjung ke daerah Tugu Gambar 15.
Lonceng gereja adalah lonceng yang dibangun bersamaan dengan Gereja Tugu. Setelah pembangunan Gereja Tugu ketiga selesai, lonceng gereja yang
berasal dari Gereja Tugu kedua tetap digunakan dengan membangun menara lonceng pada sisi kanan gedung. Namun, lonceng tersebut mengalami kerusakan
dari tahun 1747. Lonceng yang berasal dari Gereja Tugu kedua saat ini masih disimpan oleh staf rumah tangga dari pengurus GPIB Tugu yang diletakkan di
belakang gedung serba guna Yeruel. Sampai dengan tahun 1880, tiang lonceng masih terbuat dari kayu, kemudian diganti dengan pilar batu. Lonceng yang saat
ini dipergunakan adalah lonceng yang baru dengan tiang yang terbuat dari pilar batu Gambar 16.
Gambar 15. Perkembangan Gereja Tugu
Gambar 16. Lonceng Gereja Tugu a Keadaan Gereja Tugu III Pada
Awal Pembangunan b Keadaan Gereja Tugu Saat Ini
Nilai sejarah yang pada Gereja Tugu, tidak hanya gedung gereja dan lonceng. Terdapat peninggalan sejarah lain yang terletak pada bagian dalam
gereja, yaitu bangku diakon, piring-piring logam, dan mimbar tua Gambar 17.
4.2.3. Elemen Lanskap Sejarah
Lanskap yang berada pada kawasan Kampung Tugu, memiliki nilai sejarah dan budaya tersendiri. Nilai sejarah yang terdapat pada lanskap kawasan
Kampung Tugu dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, dengan menonjolkan nilai sejarah kawasan serta memperkenalkan kekhasan budaya
kawasan dan masyarakat Kampung Tugu. Beberapa elemen lanskap sejarah yang berada pada kawasan Kampung Tugu, antara lain Gereja Tugu, Prasasti Tugu,
rumah tua peninggalan masyarakat Tugu, makam Gereja Tugu, dan situs bersejarah lain yang berada di sekitar kawasan Kampung Tugu.
4.2.3.1. Makam Gereja Tugu
Makam yang terletak tepat bersebelahan dengan Gereja Tugu merupakan makam yang telah dipergunakan oleh masyarakat Tugu sejak bertahun-tahun lalu
sebagai tempat pemakaman anggota keluarga mereka yang telah meninggal Gambar 18. Makam tersebut hingga saat ini masih dipergunakan dan dirawat
keberadaannya. Makam ini dikhususkan penggunaannya untuk masyarakat Tugu, khususnya mereka yang masih merupakan keturunan masyarakat Portugis dan
terdapat pula beberapa tokoh bersejarah. Gambar 17. Piring-piring Logam dan Mimbar Tua Heuken, 1997
Berdasarkan wawancara
4
, keterbatasan
luas area
pemakaman menyebabkan Pemerintah Daerah Jakarta Utara berencana untuk menghentikan
penggunaan makam dan penambahan makam, serta menjadikan makam tersebut tempat berziarah dan sebagai salah satu tempat bersejarah di kawasan Kampung
Tugu.
4.2.3.2. Rumah Tua
Berdiri sejak sekitar tahun 1850, rumah ini telah diwarisi dari generasi ke generasi Gambar 19. Menurut wawancara
5
rumah ini pernah ditempati oleh Andreas Andries yang selanjutnya ditempati oleh Lucas Andries. Seiring dengan
berkembangnya jaman, rumah ini telah mengalami perubahan, semula dindingnya terbuat dari bilik saat ini telah menjadi dinding tembok. Walaupun terdapat
perubahan, rumah ini masih dijaga keasliannya dengan mempertahankan keberadaan bagian depan rumah dan sebagian dari atap rumah Gambar 20.
4
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Dinas Kebudayaan Jakarta Utara, Nanny Ophir Yani April 2010
5
Hasil wawancara dengan Ketua Ikatan Keluarga Besar Tugu IKBT, Andre J. Michils Maret 2010
Gambar 18. Makam tua di kawasan Gereja Tugu
Kekhasan lain dari rumah ini adalah lambang khusus pada bagian atap rumah, yaitu lambang bintang segi delapan, yang merupakan sebuah simbol atau
lambang dari kepercayaan pemilik rumah Gambar 21.
Arsitektur rumah tua merupakan arsitektur yang disesuaikan dengan keadaan Kampung Tugu saat itu dengan kebudayaan Betawi yang terdapat pada
Gambar 19. Rumah Tua Peninggalan Masyarakat asli Tugu
Gambar 20. Bagian depan rumah tua
Gambar 21. Lambang pada atap rumah tua
lingkungan tersebut. Bahan dasar yang digunakan berasal dari hutan dan pepohonan di sekitar rumah. Saat ini, rumah tua tersebut telah dilestarikan sebagai
salah satu benda cagar budaya dan dijadikan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Tugu yang tergabung dalam orkes Krontjong Toegoe.
4.2.3.3. Peninggalan Arkeologi
Terdapat nilai sejarah lain pada kawasan Kampung Tugu, yaitu sejarah yang berasal dari jaman awal masehi yang ditemukan dalam bentuk peninggalan-
peninggalan arkeologi Gambar 22.
Penemuan-penemuan arkeologi pada kawasan Kampung Tugu dan sekitarnya berasal dari masa neolitik dan masa perunggu-besi. Penemuan tersebut
antara lain pecahan dan kepingan keramik yang berasal dari zaman prasejarah dimana benda tersebut ditemukan bersama dengan keramik Tionghoa dari masa
yang berbeda-beda. Selain itu ditemukan sebilah kapak dari zaman perunggu dan sebuah beliung dari zaman neolitik Heuken, 1997. Berdasarkan penemuan
Gambar 22. Peta Penemuan Barang Prasejarah di Wilayah Jakarta Raya Heuken, 1997
tersebut, dapat dibuktikan bahwa kawasan Kampung Tugu telah dihuni hampir selama 2000 tahun.
4.3. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat 4.3.1. Pola Permukiman Penduduk