Distribusi Pendapatan Evaluasi Indikator Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan

Tabel 17 Pendugaan nilai utility dan surplus konsumen sebelum dan sesudah adanya DPL dari sumberdaya ekosistem terumbu karangtahun Waktu Pemanfaatan Rata-Rata Penangkapan Kg Utility Rp Surplus Konsumen Rp Nilai Sumberdaya Terumbu Karang Rp Sebelum Penetapan DPL 142.43 2.1432 x10 7 1.9425 x 10 7 4.2635 x 10 7 Setelah Penetapan DPL 1214.75 4.3993 x 10 7 2.3730 x 10 7 5.2084 x 10 7 Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai utility terhadap sumberdaya ikan sebelum adanya DPL sebesar Rp 21.432.852.42tahun dengan konsumen surplus sebesar Rp19.425.986.72tahun. Sedangkan nilai utility setelah adanya penetapan DPL sebesar Rp43.993.552.87tahun, dengan konsumen surplus sebesar Rp 23.730.950.27tahun. Nilai ini diperoleh dari luas ekosistem terumbu karang 36.45 ha, dimana rata-rata penangkapan sebelum adanya DPL sebesar 142.43 kgtahun dan rata-rata penangkapan setelah adanya DPL sebesar 1214.75 kgtahun. Nilai utility dan surplus konsumen sebelum penetapan DPL 2005 menunjukkan kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen dari hasil sumberdaya terumbu karang sebelum adanya penetapan DPL termasuk rendah, sedangkan setelah penetapan DPL 2010 terdapat peningkatan pada nilai utility dan surplus konsumen, sehingga apabila dihitung manfaat ekonomi atau nilai ekonomi terumbu karang sebelum adanya DPL dari aktivitas perikanan tangkap sebesar Rp 42.635.910.51hatahun, nilai ini lebih rendah dibandingkan setelah ditetapkannya DPL yakni nilai ekonomi terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap sebesar Rp 52.084.390.18hatahun Lampiran 7 -12. Dengan demikian terdapat kenaikan nilai sumberdaya terumbu karang di Desa Mattiro Labangeng, Kabupaten Pangkep. 5.2.4 Ketersediaan Pasar Pemasaran atau pengumpul hasil perikanan di Desa Mattiro Labangeng saat ini tersedia 2 tempat yakni di Pulau Laiya dan Pulau Polewali. Pedagang pengumpul ini mendapatkan hasil tangkapan langsung dari nelayan dan kemudian di bawa ke pengumpul yang ada di Kabupaten Pangkep atau ke Kota Makassar. Jalur pemasaran ikan juga dilakukan oleh nelayan sendiri dengan langsung membawa atau menjual ikan ke Kabupaten Pangkep atau Kota Makassar. Pedagang pengumpul didesa ini masih berskala kecil dan belum bisa melayani ikan dengan jumlah puluhan ton. Pedagang pengumpul yang ada di Pulau Laiya menerima berbagai jenis ikan termasuk udang dan teripang yang ditangkap nelayan dari luar Pulau Laiya atau Pulau Polewali, sedangkan pedagang pengumpul di Pulau Polewali masih terbatas hanya melayani pembelian kepiting untuk nelayan setempat dan beberapa jenis ikan tertentu. Pomeroy et al. 2004 menyebutkan bahwa ketersediaan pasar merupakan hal yang penting dalam sektor perikanan karena berhubungan langsung dengan mata pencaharian dan pendapatan masyarakat sebagai nelayan, sehingga dapat diketahui dinamika pasar. Selain itu, ketersediaan pasar juga sangat bermanfaat untuk menentukan akses masyarakat nelayan ke dalam pasar dan modal, serta berkontribusi terhadap terbukanya peluang pekerjaan.Ketersediaan pasar untuk nelayan Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Gambar 13. a b Gambar 13 Pengumpul ikan di Pulau Laiya a dan Pulau Polewali b Desa Mattiro Labangeng.

5.2.5 Struktur Lapangan PekerjaanMata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Desa Mattiro Labangeng sebagian besar adalah nelayan 54 dari 177 pekerja pada sektor ekonomi, sehingga sangat tergantung pada sumberdaya di sekitar tempat tinggalnya. Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 80 orang dari 95 orang nelayan memanfaatkan kawasan terumbu karang di sekitar perairan Desa Mattiro Labangeng sebagai daerah penangkapan ikan, sisanya merupakan nelayan skala besar yang menangkap ikan di luar perairan desa tersebut. Kebutuhan hidup