62 Gambar 12 Peta lokasi penangkapan sumberdaya ikan Desa Mattiro Labangeng.
5.2.2  Distribusi Pendapatan
Hasil wawancara dan perhitungan pendapatan didapatkan nilai pendapatan tiap  responden  yang  bervariasi.  Perhitungan  pendapatan  responden  didasarkan
pada  pendapatan  dan  pengeluaran  selama  melakukan  aktifitas  penangkapan. Perhitungan  ini  didasarkan  pada  jenis  dan  jumlah  alat  tangkap,  jenis  perahu,
kebutuhan  melaut,  jumlah  trip,  musim,  serta  jumlah  hasil  tangkap.  Hasil perhitungan nilai pendapatan bersih dari responden untuk jenis alat tangkap bubu
kepiting rata-rata Rp 11  jutatahun, jenis alat tangkap pancing cumi dan  pancing ikan  berkisar  Rp  6  juta  hingga  8  jutatahun.  Nilai  pendapatan  tersebut  sudah
termasuk biaya operasional, biaya penyusutan dan biaya perawatan Lampiran 5. Pendapatan  responden  berdasarkan  jenis  alat  tangkap  secara  rinci  tersaji  pada
Tabel 16. Tabel 16 Distribusi pendapatan berdasarkan jenis alat tangkap
Alat tangkap Jumlah
Responden n
Rata-rata Pendapatan
KotorTahun Rp
Rata-rata Total
BiayaTahun Rp
Rata-rata Pendapatan
BersihTahun Rp
Bubu Kepiting 11
29.054.545 17.972.327
11.082.218 Pancing Cumi
6 13.274.667
7.255.567 6.019.100
Pancing Cumi dan Ikan 7
15.751.318 5.711.245
6.776.504 Bubu Bambu
1 11.169.000
6.031.500 5.137.500
Jaring Insang Tetap 3
18.953.500 14.506.333
4.447.167
Total Rata-rata 7.997.626
Tabel 16 menunjukkan bahwa nelayan dengan alat tangkap Bubu Kepiting memiliki pendapatan tertinggi dibanding dengan alat tangkap lain. Tingginya nilai
pendapatan  ini  didukung  oleh  jumlah  alat  tangkap  yang  dimiliki  masing-masing nelayan mencapai100-500 unitnelayan, selain itu frekuensi penangkapan nelayan
Bubu  Kepiting  sangat  menentukan  jumlah  hasil  tangkapan.  Nelayan  Bubu Kepiting pada umumnya tidak dipengaruhi oleh faktor cuaca dan pemasangan alat
tangkapnya tidak jauh dari perairan Desa Mattiro  Labangeng, sehingga  memiliki pendapatan  yang  relatif  tinggi.  Berbeda  dengan  nelayan  yang  pendapatannya
rendah sangat dipengaruhi faktor alam, seperti nelayan Pancing Cumi yang sangat tergantung pada saat bulan purnama, nelayan Pancing Ikan dan Jaring Ikan  yang
sangat  tergantung  pada  faktor  cuaca.  Musim  penghujan  umumnya  ikan  cukup banyak, namun di ombak yang cukup besar pada musim ini menyebabkan nelayan
tidak  berani  menangkap  ikan.  Namun  demikian,  berdasarkan  perhitungan  Gini Ratio  Indeks
GRI  didapatkan  sebesar  0.22  Lampiran  6  diindikasikan  bahwa distribusi  pendapatan  relatif  merata  atau  tidak  adanya  ketimpangan  pendapatan
antar kelas pendapatan nelayan GRI0.3. Perhitungan  pendapatan  pada  tahun  2004  dan  2005  juga  dilakukan  untuk
melihat  perbandingan  pendapatan  antara  tahun  2004  dan  2005  sebelum  adanya penetapan DPL dengan pendapatan tahun 2010 setelah adanya penetapan DPL.
Perbandingan  pendapatan  nelayan  rata-rata  terlihat  bahwa  besaran  pendapatan pada tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil tangkapan dan nilai inflasi berturut-
turut  sebesar  Rp  1.602.600tahun  dan  Rp  1.413.500tahun.  Nilai  pendapatan  ini lebih rendah dibanding dengan nilai pendapatan nelayan rata-rata pada tahun 2010
yang  mencapai  Rp  7.997.625tahun,  sementara  nilai  upah  minimun  kabupaten UMK,  yaitu  Rp  4.320.000tahun.  Dengan  demikian,  pendapatan  rata-rata
nelayan  pada  tahun  2010  setelah  adanya  penetapan  DPL  masih  berada  di  atas upah  minimun  kabupaten  UMK  dibanding  pendapatan  nelayan  pada  2004  dan
2005 sebelum adanya penetapan DPL. Peningkatan pendapatan nelayan di Desa Mattiro  Labangeng  tersebut  mengindikasi  hasil  yang  dicapai  karena  adanya
program DPL oleh pemerintah Program COREMAP.
5.2.3  Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang
Mengintegrasikan  multi  kriteria  dalam  satu  kerangka  kerja  dapat memberikan  keuntungan  dalam  menghasilkan  suatu  analisis  benefit-cost,  dimana
analisis  benefit-cost  ini  dapat  efektif  bila  sasaran  sosial-ekonomi  mencapai  nilai maksimal,  dan  nilai  ekologi  dapat  memberikan  manfaat  Brown  et  al.  2000.
Seperti  diketahui  ekosistem  terumbu  karang  yang  ada  di  dalam  DPL  dan  di perairan  Desa  Mattiro  Labangeng  memberikan  nilai  kontribusi  yang  besar  bagi
kehidupan masyarakat setempat terutama dalam jumlah hasil penangkapannya. Jumlah  hasil  penangkapan  sangat  terkait  dengan  nilai  suatu  sumberdaya
laut ekosistem terumbu karang. Melalui pendekatan Effect on Production EOP, nilai  sumberdaya  dan  manfaat  langsung  dari  ekosistem  terumbu  karang  sebelum
adanya  pembentukan  DPL  dan  setelah  terbentuknya  DPL  di  Desa  Mattiro Labangeng  dapat  diduga.  Dengan  menggunakan  program  Maple  9.5  diperoleh
nilai utility dan konsumen surplus, seperti tersaji pada Tabel 17.
Tabel  17  Pendugaan  nilai  utility  dan  surplus  konsumen  sebelum  dan  sesudah adanya DPL dari sumberdaya ekosistem terumbu karangtahun
Waktu Pemanfaatan Rata-Rata
Penangkapan Kg
Utility Rp Surplus
Konsumen Rp
Nilai Sumberdaya
Terumbu Karang Rp
Sebelum Penetapan DPL 142.43
2.1432 x10
7
1.9425 x 10
7
4.2635 x 10
7
Setelah Penetapan DPL 1214.75
4.3993 x 10
7
2.3730 x 10
7
5.2084 x 10
7
Tabel  17  menunjukkan  bahwa  nilai  utility  terhadap  sumberdaya  ikan sebelum  adanya  DPL  sebesar  Rp  21.432.852.42tahun  dengan  konsumen  surplus
sebesar Rp19.425.986.72tahun. Sedangkan nilai utility setelah adanya penetapan DPL  sebesar  Rp43.993.552.87tahun,  dengan  konsumen  surplus  sebesar  Rp
23.730.950.27tahun.  Nilai  ini  diperoleh  dari  luas  ekosistem  terumbu  karang 36.45  ha,  dimana  rata-rata  penangkapan  sebelum  adanya  DPL  sebesar  142.43
kgtahun  dan  rata-rata  penangkapan  setelah  adanya  DPL  sebesar  1214.75 kgtahun.
Nilai  utility  dan  surplus  konsumen  sebelum  penetapan  DPL  2005 menunjukkan  kepuasan  atau  kenikmatan  yang  diperoleh  seorang  konsumen  dari
hasil  sumberdaya  terumbu  karang  sebelum  adanya  penetapan  DPL  termasuk rendah, sedangkan setelah penetapan DPL 2010 terdapat peningkatan pada nilai
utility dan  surplus  konsumen,  sehingga  apabila  dihitung  manfaat  ekonomi  atau
nilai  ekonomi  terumbu  karang  sebelum  adanya  DPL  dari  aktivitas  perikanan tangkap  sebesar  Rp  42.635.910.51hatahun,  nilai  ini  lebih  rendah  dibandingkan
setelah  ditetapkannya  DPL  yakni  nilai  ekonomi  terumbu  karang  dari  aktivitas perikanan tangkap sebesar Rp 52.084.390.18hatahun Lampiran 7 -12. Dengan
demikian  terdapat  kenaikan  nilai  sumberdaya  terumbu  karang  di  Desa  Mattiro Labangeng, Kabupaten Pangkep.
5.2.4  Ketersediaan Pasar Pemasaran  atau  pengumpul  hasil  perikanan  di  Desa  Mattiro  Labangeng
saat  ini  tersedia  2  tempat  yakni  di  Pulau  Laiya  dan  Pulau  Polewali.  Pedagang pengumpul ini mendapatkan hasil tangkapan langsung dari nelayan dan kemudian
di  bawa  ke  pengumpul  yang  ada  di  Kabupaten  Pangkep  atau  ke  Kota  Makassar.