Analisis Efektivitas Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

terumbu karang DPL berdasarkan kelompok ikan target. Hal ini dikarenakan kelompok ikan tersebut memiliki nilai ekonomis dan merupakan target tangkapan nelayan. Kenaikan ikan target pada tahun 2010 ini juga masih berada diatas nilai kritisnya 25 ekor, sehingga dari indikator ini kondisi kelimpahan ikan karang berdasarkan kelompok ikan target dapat dikatakan lebih baik dari tahun sebelumnya maupun jumlah ideal yang telah ditetapkan.

b. Kriteria Sosial-Ekonomi

Tingkat sikap masyarakat Pemahaman masyarakat Desa Mattiro Labangeng terhadap keberadaan DPL sangat ditentukan oleh informasi yang mereka dapat tentang nilai-nilai penting dari ekosistem terumbu karang tersebut. Analisis pemahaman ini didasarkan pada jawaban yang diberikan responden dan hanya dilakukan pada tahun 2010 sebagai bentuk evaluasi keberadaan DPL dengan batas kritis sebesar 25. Tingkat sikap masyarakat nelayan menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendukung keberadaan DPL, hal ini ditunjukkan dengan nilai persentase sikap dukungan masyarakat yang mencapai sebesar 86.66. Dengan demikian, indikator tersebut dapat dikatakan sebagai penentu keberhasilan dalam pengelolaan DPL. Pendapatan Kondisi perekonomian nelayan Desa Mattiro Labangeng diukur melalui pendapatan per tahun yang dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten UMK sebagai nilai batas kritis. Sebelum penetapan DPL pada tahun 2005 rata- rata pendapatan nelayan Desa Mattiro Labangeng adalah Rp 1.413.500tahun. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding dengan nilai pendapatan rata-rata nelayan setelah adanya DPL pada tahun 2010 yang mencapai Rp 7.997.625tahun dengan nilai batas kritis dari UMK sebesar Rp. 4.320.000tahun. Pendapatan nelayan pada tahun 2005 masih berada di bawah UMK, sedangkan pada tahun 2010 rata-rata pendapatan nelayan melebihi nilai UMK. Dengan demikian, berdasarkan peningkatan nilai pendapatan nelayan ini dapat dikatakan bahwa kondisi perekonomian nelayan Desa Mattiro Labangeng juga mengalami peningkatan menjadi lebih baik. Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang digunakan untuk melihat perubahan nilai ekosistem terumbu karang setelah adanya gangguan, dalam hal ini adanya penetapan sebagian perairan Desa Mattiro Labangeng sebagai daerah yang dilindungi. Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya terumbu karang, yang pada akhirnya akan mengubah perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut Adrianto 2006. Berdasarkan grafik Amoeba menunjukkan adanya perubahan nilai ekosistem terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap. Nilai ekosistem terumbu karang sebelum adanya penetapan DPL sebesar Rp 42.635.910.51hatahun, nilai ini lebih rendah dibandingkan setelah ditetapkannya DPL yakni sebesar Rp 52.084.390.18hatahun. Jika dibandingkan dengan nilai CTV maka nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang sebelum dan sesudah adanya penetapan DPL tidak melebihi nilai idealnya. Nilai kritis CTV yang menjadi pembanding adalah Rp 225.000.000hathn Modifikasi Munro 1984 in Cesar 1996. Nilai CTV ini merupakan nilai maksimum sustainable yield MSY dari sumberdaya ikan dan invertebrata yang dapat dikonsumsi Munro 1984 in Cesar 1996. Hal ini juga berarti nilai sebelum dan setelah adanya DPL menunjukkan perikanan tangkap yang masih dalam batas normal dan tidak menunjukkan penangkapan yang lebih overfishing.

c. Kriteria Kelembagaan

Tingkat pelatihan stakeholder Kemandirian stakeholder dalam menghadapi tantangan-tantangan DPL dimasa akan datang ditentukan melalui jumlah pelatihan yang dilaksanakan dan diikuti. Pelatihan bagi stakeholder sebelum dan sesudah adanya DPL dilakukan 4 kali dalam setahun.Hal ini juga merupakan program pemerintah COREMAP II dalam hal ini tersedianya budget untuk pelaksanaan pelatihan dan juga disesuaikan dengan kebutuhan stakeholder yang ada di daerah. Jika dibandingkan dengan nilai CTV 1 untuk pelaksanaan pelatihan, maka jumlah pelatihan yang didapatkan oleh stakeholder tiap tahun telah cukup untuk pengembangan diri maupun kelembagaan di daerahnya masing-masing.