Kajian efektivitas pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Mattiro labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan

(1)

KAJIAN EFEKTIVITAS

PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

DESA MATTIRO LABANGENG

KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN

SULAWESI SELATAN

DAFIUDDIN SALIM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Dafiuddin Salim NRP. C252080121


(3)

Sanctuary in Mattiro Labangeng Village, Pangkajene Kepulauan District of South Sulawesi. This work was under supervision of YUSLI WARDIATNO and LUKY ADRIANTO.

One of the Marine Sanctuary or Daerah Perlindungan Laut (DPL) in the Pangkajene Kepulauan (Pangkep) district is located at Mattiro Labangeng village. It was founded as an effort to save coral reef ecosystems and to prosper the rural community; especially the local fishermen. However, the existence of this DPL does not automatically solve problems that arose out of coral reef ecosystem management. Few initiatives are therefore needed to restore the original condition gradually. In order to investigate the roles and benefits of the presence of DPL in the conservation of coral reef ecosystem, an assessment is necessary in evaluating the success of the effectiveness of the management of DPL at Mattiro Labangeng village. By this regards, the study intends to evaluate indicators of the effectiveness and to assess how effective is the management of DPL at Mattiro Labangeng village. The research was conducted both in April and September 2010. It was done in territorial waters closed to Mattiro Labangeng village as well as among the villagers of this village, which is located in the Liukang Tupabbiring Utara subdistrict of Pangkep district. Methods applied for this research was field observation, semi-structured interviews and library search over secondary data. Field observation was conducted to obtain ecological data. Each data are collected by different methods: Point Intercept Transect (PIT) method was used to collect data on the condition of coral reefs; Underwater Visual Census (UVC) method was utilized to observe reef fish; and in situ observation method was deployed to collect data of water quality. For institutions and socio-economic information, data collection was conducted in several stages beginning from observation, semi-structured interviews and survey. Evaluative analysis on the management of DPL at Mattiro Labangen village is done in two phases, namely (1) Determining the effectiveness of selected indicators through stakeholder analysis based on the International Union for Conservation of Nature (IUCN), (2) Describing the effectiveness of DPL at Mattiro Labangeng village by analyzing several indicators above based on Amoeba, which was obtained from a technique of measuring the value of each indicator compared to the CTV (Critical Threshold Value). Based on all of indicators can be considered as the management of the DPL at Village Mattiro Labangeng effective. Strategic approaches in managing the DPL at Mattiro Labangeng village effectively can be done by several integrated plans with a full attention remained paid to ecological, socio-economic and institutional issues. These strategies include protecting DPL areas, upgrading capacity and their understanding of coral reef ecosystems.


(4)

RINGKASAN

DAFIUDDIN SALIM. Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO danLUKY ADRIANTO.

Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) dimaksudkan untuk melindungi terumbu karang beserta komunitas invertebrata yang berasosiasi didalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pulau akan hidup yang lebih baik. Salah satu DPL di Kabupaten Pangkep yang telah berdiri sebagai salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem terumbu karang dan diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat desa, khususnya para nelayan adalah DPL Desa Mattiro Labangeng. Keberadaan DPL tersebut tidak secara langsung dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan DPL yang dapat memulihkan kondisi tersebut secara bertahap. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana tujuan program Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng ini dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal untuk mendapatkan perubahan dan manfaat adanya DPL baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar peran, manfaat dan keberadaan DPL terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang perlu dilakukan kajian efektivitas dalam menilai keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengkaji kondisi ekologi perairan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng, 2) Mengkaji kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng, 3) Mengevaluasi indikator efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng, 4) Menilai efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng, dan 5) Menyediakan strategi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan hasil.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan September 2010 di Desa Mattiro Labangeng Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep. Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan langsung di lapangan (observasi), semi-struktur wawancara dan penelusuran data sekunder. Pengamatan lapangan dilakukan untuk pemenuhan data ekologi, yaitu pendataan kondisi terumbu karang dengan metode Point Intercept Transek (PIT), pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode Underwater Visual Census

(UVC) dan data parameter kualitas perairan melalui pengamatan in situ. Metode pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan dilakukan beberapa tahap yakni observasi, semi-struktur wawancara, dan survei. Data yang terkumpul digunakan untuk menganalisis efektivitas Daerah Perlindungan Laut di lokasi penelitian. Analisis evaluasi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu (1) Menentukan indikator efektivitas terpilih melalui analisis stakeholder berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN); (2) Menggambarkan efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng menggunakan analisis terhadap beberapa indikator di atas menggunakan teknik

Amoeba yang diperoleh dari nilai setiap pengukuran indikator yang dibandingkan dengan CTV (Critical Threshold Value).


(5)

Efektivitas pengelolaan DPL Mattiro Labangeng dalam penelitian ini dapat diketahui melalui penilaian dan evaluasi terhadap indikator-indikator yang dipilih stakeholder, yaitu indikator ekologi (kondisi tutupan karang, kelimpahan ikan target), indikator sosial-ekonomi (pendapatan, nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang, tingkat sikap masyarakat tentang DPL), dan indikator kelembagaan berupa tingkat pelatihan stakeholder. Berdasarkan evaluasi indikator-indikator tersebut, kondisi ekosistem terumbu karang menjadi semakin baik setelah adanya DPL. Hal ini juga terlihat pada indikator sosial ekonomi yang menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan, kenaikan pemanfaatan sumberdaya meski belum melewati nilai ambang batas kritis (CTV) dan dukungan masyarakat terhadap keberadaan DPL yang mencapai 86,66%. Selain itu, keberadaan DPL juga memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pengelolaan DPL yang merupakan indikator kelembagaan.

Pengelolaan DPL yang efektif tidak lain adalah tercapainya maksud dan tujuan pengelolaan DPL itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut dan evaluasi indikator yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng saat ini sangat efektif. Hal ini ditunjukkan dari semua nilai indikator sesudah adanya DPL memiliki nilai lebih baik dari sebelum adanya DPL, dan nilai-nilai tersebut tidak melewati ambang batas kritis (critical threshold values/CTV). Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif dapat dilakukan beberapa strategi secara terpadu dengan tetap memperhatikan isu-isu baik secara ekologi, sosial-ekonomi maupun kelembagaan. Strategi ini meliputi rehabilitasi dan mengoptimalisasi areal DPL, peningkatan keterampilan dan kesejahteraan masyarakat, serta pemahaman masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang.


(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

SULAWESI SELATAN

DAFIUDDIN SALIM

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(8)

(9)

Nama Mahasiswa : Dafiuddin Salim Nomor Pokok : C252080121

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(10)

PRAKATA

Terucap syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang menghantarkan Penulis menyelesaikan Tesis dengan judul Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih Penulis atas selesainya Tesis ini dihaturkan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc (Ketua Komisi Pembimbing), Bapak Dr.

Ir. Luky Adrianto M.Sc (Anggota Komisi Pembimbing) dan Dr. Handoko Adi Susanto S.Pi, M.Sc (Penguji Luar Komisi) atas segala arahan, bimbingan, pengertian, masukan, kritik dan saran demi penyempurnaan tesis ini baik dari segi substansi maupun penulisan Tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya. 3. Ayahanda (Alm) Prof. Dr. H. Abd.Muin Salim atas doa sampai akhir hayat,

Ibunda Arhamy Dappung, M.Pd yang mencurahkan seluruh restu, kakak-kakak dan adik terutama Keluarga kakak Arskal Salim PhD, juga Keluarga besar Syahril Syamsuddin atas doa, dukungan dan perhatian kepada Penulis.

4. Keluarga besar M. Arif Manompo, Anita Setianingsih S.Pi, M.Si dan Zul Janwar S.Kel, M.Si (SPL Sandwich 2008), Kepala Dusun dan Kepala Desa, Ketua LPSTK Desa Mattiro Labangeng, Bapak Sofyan (Fasilitator), Bapak Najamuddin (Motivator Desa), Keluarga dg Ngewa, Makka dan Sdr. Ramli S.Kel atas kerjasama dan penyediaan data penelitian.

5. Keluarga A. Muh Hijaz Jalil S.Kel, Nuramin Syafri S.Kel, Irham Rapy S.Kel, Yusran Nurdin Massa S.Kel, Muh Ridwan Salim S.Kel, Suharto S.Kel, Ramlan Jamal S.Kel, Syamsul Bahri S.Kel, Amadhan Takwir S.Kel, Ikhsan S.Hut, M.Si atas bantuan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

6. Masayu Maulinna Wardhani, S.Kel, M.Si atas bantuan dan dukungan kepada Penulis selama penyusunan Tesis ini.

7. Rekan-rekan seperjuangan di SPL angkatan XV tahun 2008 (Yar Johan, Adi, Asep, Moko, Mas Heri, Tiwi, Nidya, Yunus, Luky, Bang Tony, Linna, Pak Hasyim), Al Mudzni, Ashar dan Afif terima kasih atas semua bantuan, spirit, kontribusi pemikiran dan idenya. Semoga komunikasi, persaudaraan, perjuangan dan idealisme yang terbangun tidak menjadi sesuatu yang sia-sia. 8. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis sadar memiliki keterbatasan pemikiran dan memungkinkan terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam Tesis ini, sehingga kritik, saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaannya. Penulis berharap Tesis ini bermanfaat dan bisa menjadi sumber informasi yang berguna. Insya Allah.

Bogor, Juli 2011

Penulis


(11)

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 25 Juni 1978 dari pasangan Abd Muin salim dan Arhamy Dappung. Penulis merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara.

Riwayat pendidikan formal Penulis diawali di SD Negeri Cenderawasih I (1985 – 1991), SMP Negeri 1 Makassar (1991 – 1994) dan SMU Negeri 3 Makassar (1994 – 1997). Pendidikan S1 ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (1999 – 2003). Tahun 2008 Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata-2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains, Penulis melakukan penelitian dengan judul “Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN... ... xxvii

1 PENDAHULUAN……… ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran... .... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA... ... 7

2.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 7

2.1.1 Fungsi dan Manfaat Ekologi Terumbu Karang... ... 7

2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekonomi Terumbu Karang... ... 8

2.2 Daerah Perlindungan Laut .. ... 9

2.2.1 Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut... ... 12

2.2.2 Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut... ... 13

2.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 13

2.3.1 Indikator Efektivitas Daerah Perlindungan Laut... ... 14

2.3.2 Indikator Ekologi Daerah Perlindungan Laut... ... 16

2.3.3 Indikator Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut... 17

2.3.3.1 Valuasi Ekonomi dalam Sumberdaya... ... 17

2.3.3.2 Pendekatan Valuasi Ekonomi... ... 18

2.3.4 Indikator Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut... 21

2.4 Evaluasi Efektivitas ... 22

3 METODOLOGI PENELITIAN... ... 25

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 25

3.2 Peralatan Penelitian ... 25

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 25

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 27

3.4.1 Pengumpulan Data Responden... .... 27

3.4.2 Pengumpulan Data Komponen Ekologi ... 28

3.4.2.1 Data Komunitas Karang... ... 28

3.4.2.2 Data Ikan Karang dan Megabentos... ... 28

3.4.2.3 Data Kualitas Perairan... ... 29

3.4.3 Pengumpulan Data Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan.. ... 30

3.5 Analisis Data ... 31

3.5.1 Analisis Data Ekologi... ... 31

3.5.1.1 Persentase Tutupan Karang... ... 31

3.5.1.2 Kelimpahan Ikan Karang dan Megabentos... . 31

3.5.1.3 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Komunitas Ikan Karang dan Megabentos... .. 32


(13)

3.5.2.3 Metode Effect on Production ... ... 34

3.5.2.4 Metode Likert’s Summeted Rating... ... 35

3.5.3 Analisis Efektivitas Daerah Perlindungan Laut ... 36

3.5.3.1 Penentuan Indikator Efektivitas Terpilih Berdasarkan Stakeholder ... 36

3.5.3.2 Evaluasi Efektivitas Daerah Perlindungan Laut... 38

3.5.3.3 Analisis Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL... ... 38

4 SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA MATTIRO LABANGENG ... 41

4.1 Kondisi Umum Desa Mattiro Labangeng ... 41

4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi... ... 41

4.1.2 Penutupan Lahan ………... 41

4.1.3 Pemanfaatan Sumberdaya Laut ……… 43

4.2 Kondisi Sistem Ekologi DPL Desa Mattiro Labangeng ... 44

4.2.1 Kondisi Terumbu Karang……… ... 44

4.2.2 Kondisi Perairan………. ... 44

4.3 Kondisi Sistem Sosial-Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Mattiro Labangeng ... 44

4.3.1 Kependudukan………... .... 44

4.3.2 Umur………. ... 45

4.3.3 Pendidikan………... ... 46

4.3.4 Sosial Budaya………... ... 46

4.4 Pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng ... 47

4.4.1 Penetapan dan Batasan Daerah Perlindungan Laut ... 47

4.4.2 Struktur Pengelola Daerah Perlindungan Laut ... 47

4.4.3 Visi dan Misi Daerah Perlindungan Laut .. ... 48

4.4.4 Larangan di Kawasan Daerah Perlindungan Laut... 49

4.4.5 Sanksi Pelanggaran... ... 49

4.4.6 Monitoring dan Evaluasi ... 49

5 HASIL DAN PEMBAHASAN... ... 51

5.1 Evaluasi Indikator Ekologi ... 51

5.1.1 Kondisi Tutupan Karang Hidup... ... 51

5.1.2 Perubahan Komposisi Komunitas ……… ... 54

5.1.2.1 Komunitas Ikan Karang... ... 54

5.1.2.2 Komunitas Megabentos... ... 57

5.1.3 Kondisi Kualitas Perairan ………... ... 59

5.2 Evaluasi Indikator Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan ... 60

5.2.1 Produksi Perikanan Tangkap……… ... 60

5.2.2 Distribusi Pendapatan ……… ... 63

5.2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang …………. .... 64

5.2.4 Ketersediaan Pasar ………... ... 65

5.2.5 Struktur Lapangan Pekerjaan/Mata Pencaharian . ... 66

5.2.6 Persepsi, Sikap, dan Partisipasi Masyarakat tentang DPL... 67


(14)

5.2.6.2 Sikap……….. .... 69

5.2.6.3 Partisipasi………... 70

5.2.7 Tingkat Pelatihan bagi Stakeholder/Pengelola………... ... 71

5.2.8 Tingkat Partisipasi Stakeholder/Pengelola…………... ... 73

5.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 74

5.3.1 Analisis Stakeholder... ... 74

5.3.2 Indikator Efektivitas Terpilih dan Dampaknya... ... 75

5.3.3 Analisis Efektivitas... ... 76

5.3.4 Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL. ... 80

5.3.5 Strategi Pengelolaan DPL Berdasarkan Hasil... ... 81

6 KESIMPULAN DAN SARAN... ... 85

6.1 Kesimpulan ... 85

6.2 Saran ... ... 86

DAFTAR PUSTAKA... ... 87


(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem wilayah pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan non-hayati. Komponen-komponen ini secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Ekosistem pesisir ini merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya ini meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang dikelilingi ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Tipologi ekosistem pesisir ditinjau dari daratan menuju kearah laut lepas diawali oleh ekosistem mangrove yang kemudian diikuti oleh padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Masing-masing ekosistem ini memiliki fungsi dan peran yang saling terkait satu sama lain (Yulianda et al. 2009). Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, dan umumnya tumbuh di daerah tropis, serta mempunyai produktivitas primer yang tinggi. Tingginya produktivitas primer ini menjadikan terumbu karang sebagai tempat berkumpulnya beraneka biota pesisir dan laut seperti ikan, udang, mollusca, dan lainnya (Supriharyono 2007).

Kondisi terumbu karang di Indonesia sebagian besar sangat memprihatinkan karena dalam beberapa dekade terakhir mengalami kerusakan yang signifikan. Hasil pengamatan yang dilakukan di bagian barat dan di bagian timur Indonesia menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang hanya 6.48% berada dalam kondisi sangat baik, 24.23 % kondisi baik, 29.22% kondisi rusak dan 40.14% rusak berat (Suharsono 1995). Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia (anthropogenic) termasuk pengerukan batu dan pasir untuk industri konstruksi dan penambangan karang untuk produksi kapur atau batu ekstraksi, praktek penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan bahan peledak dan sianida, muroami, pengambilan karang, dan efek samping dari pariwisata (Jameson et al. 1995; Cesar 1996).


(16)

Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) merupakan wilayah kepulauan yang memiliki 117 pulau dan umumnya berukuran kecil, 80 pulau di antaranya berpenghuni. Luas daratan pulau-pulau kabupaten ini adalah 351.5 km², sedangkan luas wilayah lautnya sekitar 17.000 km², dengan sumberdaya alam yang paling utama adalah ekosistem terumbu karang yang berbentuk fringing reefs dan diperkirakan mempunyai luas sebesar 36.000 ha (Jompa 1996). Tingkat kerusakan terumbu karang di Kabupaten Pangkep umumnya tergolong tinggi. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh tingginya tingkat sedimentasi dan pencemaran, serta aktivitas nelayan yang menggunakan jenis alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak, sianida, dan alat tangkap destruktif lainnya. Berdasarkan data COREMAP-PSTK (2002), dilaporkan bahwa dari total luas keseluruhan terumbu karang yang ada di Kabupaten Pangkep, 74.26% dalam kondisi rusak dan hanya 25.74% dalam kondisi baik. Kondisi ini sangat memprihatinkan sehingga produktivitas terumbu karang semakin menurun. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah pencegahan kerusakan dan penerapan sistem pengelolaan yang baik, agar kondisi sumberdaya alam di kawasan kepulauan ini bisa memberi harapan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat terutama kepada mereka yang menggantungkan hidupnya dari ketersediaan sumberdaya alam terumbu karang.

Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem terumbu karang di wilayah kepulauan Kabupaten Pangkep adalah dengan membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) di setiap desa yang diinisiasi oleh Kementerian Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP II) pada tahun 2006. Desa Mattiro Labangeng merupakan salah satu desa yang menerima dampak dengan adanya pembentukan DPL. DPL merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat (COREMAP 2006). Menurut Christie et al. (2002), pembentukan DPL dimaksudkan untuk melindungi terumbu karang dan komunitas invertebrata yang berasosiasi didalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pulau akan hidup yang lebih baik. Program pengelolaan DPL yang diterapkan di Desa Mattiro Labangeng diharapkan dapat


(17)

mensejahterakan masyarakat desa,khususnya para nelayan. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar peran, manfaat dan keberadaan DPL terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang perlu dilakukan kajian efektivitas dalam menilai keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Penilaian efektivitas ini menurut Pomeroy et al. (2004) didasarkan pada indikator ekologis, sosial-ekonomi dan kelembagaan dengan tujuan DPL yang ada

1.2 Perumusan Masalah

DPL merupakan salah satu alternatif konservasi suatu kawasan laut di tingkat desa yang diyakini akan memiliki dampak penting jangka menengah dan panjang dalam upaya melestarikan sumberdaya alam laut dan sekaligus meningkatkan kondisi sosio-ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan (Parks et al. 2006 in Carter 2011). Beberapa daerah yang telah dikonservasi, tujuan dan sasarannya tidak berjalan seperti yang diharapkan dan menghasilkan metode dan objek studi yang relatif tidak relevan dengan kondisi yang ada. Beberapa masalah lain yang dihadapi adalah kurangnya koordinasi pada tingkatan level antara satu

stakeholder dan stakeholder lainnya. Walaupun ada maksud peningkatan daerah perlindungan sebagai jaringan antara beberapa daerah yang ada di sekitarnya, faktanya daerah perlindungan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan (Pomeroy

et al. 2004). Dengan demikian diperlukan tinjauan dan memahami sejauh mana upaya pengelolaan DPL berjalan secara efektif dan memenuhi tujuan-tujuannya serta bagaimana cara terbaik untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan DPL (Hockings et al. 2006).

Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, program pengelolaan DPL di Desa Mattiro Labangeng telah berjalan kurang lebih dari tiga tahun. Namun, keberadaan DPL di Desa Mattiro Labangeng tidak secara langsung dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan DPL yang dapat memulihkan kondisi tersebut secara bertahap. Disamping itu, sejauh manakah tujuan program DPL Desa Mattiro Labangeng ini dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal untuk mendapatkan perubahan dan manfaat adanya DPL baik dari segi ekologi maupun ekonomi.


(18)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji kondisi ekologi perairan DPL Desa Mattiro Labangeng.

2. Mengkaji kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar DPL Desa Mattiro Labangeng.

3. Mengevaluasi indikator efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng.

4. Menilai efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng.

5. Memberikan alternatif strategi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan hasil.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai kajian ilmiah dari hasil penelitian yang dapat menjadi acuan dalam penentuan kebijakan akan keberadaan DPL.

2. Sebagai informasi tentang efektivitas Daerah Perlindungan Laut , khususnya DPL Desa Mattiro Labangeng, Kabupaten Pangkajene Kepulauan..

3. Sebagai langkah positif untuk mengatur dan memperbaiki pengelolaan DPL sehingga mencapai tujuan dan sasaran yang lebih efektif dan efisien.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan sumberdaya laut yang merupakan common property selalu akan menerima tekanan dan berdampak pada kerusakan sumberdaya itu sendiri, bila tidak mengikuti kaidah ramah lingkungan. Adanya DPL dapat mengembalikan fungsi ekologis, sosial, ekonomi sumberdaya dan lingkungan laut menuju ke pemanfaatan yang optimal dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya tersebut. Penetapan DPL merupakan salah satu metode pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan untuk menjamin agar sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Penetapan DPL juga dianggap sebagai intstrumen yang terkait dengan aspek ekologis dan kelembagaan/hukum secara bersamaan, selain itu pemanfaatan yang berkelanjutan juga mensyaratkan adanya keuntungan sosial-ekonomi bagi masyarakat.


(19)

Efektivitas pengelolaan adalah tingkat sejauh mana kegiatan pengelolaan mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan oleh suatu DPL. Tinjauan berulang terhadap efektivitas pengelolaan juga dapat membantu para pengelola untuk mendokumentasikan kinerja upaya-upaya pengelolaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan DPL dan memberikan gambaran tentang kemajuannya kepada para pengambil-keputusan dan pemangku kepentingan (Pomeroy et al. 2004; Carter 2011). Dalam kaitan ini, dengan adanya DPL pada Desa Mattiro Labangeng harusnya telah memberikan manfaat kepada masyarakat setempat dan keberlangsungan daerah perlindungan itu sendiri. Untuk mengetahui tercapainya efektivitas dari DPL perlu diidentifikasi tujuan dari pembentukan DPL yang selanjutnya dilakukan analisis beberapa indikator ekologi, sosial-ekonomi dan kelembagaan terkait tujuan pembentukan DPL tersebut.

Tujuan pembentukan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan Peraturan Desa Mattiro Labangeng Tentang Daerah Perlindungan Laut Tahun 2007 adalah (a) Menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap habitat biota perairan desa; (b) Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa; (c) Meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa.

Beberapa indikator digunakan untuk menggambarkan secara kuantitatif atau kualitatif fenomena yang secara tidak langsung mudah diukur dan dipantau terus menerus. Indikator juga digunakan untuk menilai efektivitas dari kegiatan dan kebijakan dengan mengukur kemajuan sasaran yang diharapkan. Namun, sebelum seleksi dan memilih indikator perlu jelas mendefinisikan hubungan sebab-akibat dari indikator-indikator yang dipilih. Dari kerangka pemikiran ini, dilakukan langkah-langkah dan analisis beberapa indikator untuk mengetahui efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng seperti yang disajikan pada Gambar 1.


(20)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. Tidak

feedback

Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng

Mengidentifikasi Indikator-Indikator Berdasarkan Tujuan Pembentukan DPL

Indikator Ekologi

Indikator Kelembagaan Indikator

Sosial-Ekonomi

Evaluasi Indikator Ekologis, Sosial-Ekonomi, dan Kelembagaan

Analisis Efektivitas

Revisi PengelolaanDPL

Efektif?

Ya

Memelihara dan Mempertahankan Pengelolaan DPL Tujuan Daerah Perlindungan Laut


(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

Menurut Veron (1995) terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh suhu dan sirkulasi permukaan air. Sementara itu, penyebaran secara longitudinal sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah

stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe: (1) terumbu karang tepi, (2) terumbu karang penghalang, dan (3) terumbu karang cincin atau atol.

Terumbu karang Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan hayati laut yang beranekaragam. 51% terumbu karang di Asia Tenggara dan 18% terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia. Saat ini lebih dari 480 jenis karang batu di dunia yang telah dideskripsikan. Selain itu keanekaragaman ikan karang tertinggi di dunia ditemukan di Indonesia, dengan lebih dari 1650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur saja (Burke et al. 2002).

2.1.1 Fungsi dan Manfaat Ekologi Terumbu Karang

Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang sering tidak memperhatikan keberlanjutan secara ekologis, hal ini tidak disadari bahwa ada banyak manfaat ekologi dari ekosistem terumbu karang dalam memenuhi


(22)

kebutuhan ekonomi yang memiliki nilai untuk berkontribusi demi kesejahteraan manusia. Keanekaragaman jenis terumbu karang memiliki manfaat secara ekologi dalam mendukung kehidupan masyarakat. Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang paling kompleks dan paling produktif, serta ekosistem yang atraktif bila dibandingkan dengan ekosistem lain di dunia (Spurgeon 1992). Secara ekologi terumbu karang menjadi tempat mencari makan (feeding

grounds), tempat berkembang biak (breeding grounds), daerah asuhan (nursery grounds) dan tempat berlindung berbagai jenis ikan dan avertebrata laut lainnya (Spalding et al. 2001). Terumbu karang khususnya karang tepi dan karang penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut, sebagai penyediaan makanan, tempat tinggal dan perlindungan bagi biota laut. Selain itu terumbu karang mendukung secara biologi kepada ekosistem lamun, mangrove dan laut terbuka. (Bengen 2000). Ekosistem terumbu karang mempunyai banyak manfaat yang beranekaragam, manfaatnya tidak hanya berbentuk sebagai barang tetapi juga sebagai jasa. Manfaat dalam bentuk barang diantaranya sebagai sumber makan, bahan obat-obatan, sedangkan dalam bentuk jasa dari ekosistem terumbu karang diantaranya sebagai objek wisata dan penahan gelombang (Moberg dan Folke 1999).

2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekonomi Terumbu karang

Terumbu karang memegang peranan penting dan sangat potensial terutama dalam sektor perikanan, pariwisata dan kesehatan karena diperkirakan lebih dari 12% perikanan dunia merupakan perikanan karang (Lim 1998). Terumbu karang memiliki manfaat yang beragam berupa barang dan jasa bagi kehidupan biota yang berasosiasi maupun bagi manusia. Terkait barang dan jasa ekosistem terumbu karang terbagi ke dalam empat kategori berdasarkan jasa yang disediakan oleh ekosistem terumbu karang yaitu jasa penyedia, jasa pengontrol, jasa kebudayaan dan jasa pendukung (Burke et al. 2008).

Terumbu karang menjadi daya tarik utama dalam sektor pariwisata bahari terutama wisata selam, beberapa studi melaporkan bahwa lebih dari 40% wisatawan dunia melakukan penyelaman (Green dan Donelly 2003). Menurut Kenchington et al. 2003, pariwisata merupakan sektor yang menjadi sumber pendapatan utama di beberapa negara berkembang dan seringkali melebihi nilai


(23)

perikanan negara tersebut. Di Australia misalnya, Great Barrier Reff menarik sekitar 1.8 juta turis dilihat dengan industry bernilai dari US$ 1 milliar per tahun, dibandingkan dengan perkiraan US$ 359 juta untuk nilai tahunan Great Barrier Reff untuk perikanan. Lebih lanjut Burke et al. (2002), mengemukakan bahwa potensi keuntungan bersih pertahun per km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara di estimasi mencapai US$ 20000 – US$ 151000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai, sedangkan untuk potensi pariwisata dan estetika mencapai US$ 23100 - US$ 270.000.

Pesatnya perkembangan wisata bahari khusus penyelaman memberikan kontribusi ekonomi cukup besar dalam sejarah pariwisata. Namun beberapa studi melaporkan bahwa aktifitas penyelaman menyebabkan kerusakan terumbu karang secara fisik, biologi, dan kimia seperti kehancuran karang, pemutihan karang dan hancurnya fragmen karang (Anthony et al. 2004). Cesar et al 1996 mengukur kerugian yang ditimbulkan akibat pariwisata adalah US$ 2600 – US$ 435600 per km2.

2.2 Daerah Perlindungan Laut

Mengacu pada IUCN (1994), istilah Marine Protected Area (MPA) adalah daerah-daerah paparan intertidal atau subtidal beserta perairannya yang berasosiasi dengan flora, fauna, sejarah dan budaya yang dilindungi oleh hukum atau semacamnya sebagai upaya melindungi ebagian atau seluruh lingkungan kawasan tersebut. Menurut Kenchington et al. (2003), Marine Protected Area

(MPA) merupakan area wilayah laut yang terutama diperuntukkan bagi perlindungan laut dan perlindungan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan kultural dan dikelola dengan baik demi keberlanjutan sumberdaya.

Menurut Wiryawan dan Dermawan (2006), definisi tersebut sangat luas menyangkut beberapa tipe pengelolaan laut yang berbeda dan aktivitas perlindungan laut. Berdasarkan definisi tersebut, Marine Protected Area (MPA) hanya merupakan bagian dari Marine Management Area (MMA) atau sebagai

aerah “permanen reserve” (no take area) yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, istilah Marine Protected Area (MPA) tidak digunakan dalam menjelaskan aktivitas pengelolaan laut lokal. Kesepakatan ini


(24)

cocok dipakai lagi secara luas di daerah Asia dan Fasifik sehingga digantikan

dengan istilah “local marinr management”, 2) istilah “MPA” merupakan istilah

formal yang dipakai oleh badan-badan nasional dan internasional (legal authority) yang tidak sama pelaksanaannya dengan MMA dalam suatu wilayah. Istilah MMA secara ekslusif diartikan sebagai upaya-upaya pengelolaan dan perlindungan non-formal yang dikenal sebagai legalitas MPA.

Lebih lanjut Wiryawan dan Dermawan (2006), mengemukakan bahwa MMA dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan antaara kawasan konservasi laut (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses pembentukan dari masing-masing DPL berbasis desa bervariasi. Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat koordinasi pengeolaan kawasan konservasi, yang mempunyai skal dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut seperti penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, industri transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen dari MMA diharapkan suatu kawsan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, karena perlindungan kepada spesies yang berimigrasi dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindungi.

Nama yang digunakan untuk pengelolaan kawasan laut tingkat kampung atau desa beragam seperti, Daerah Pelindungan Laut, Kawasan Kelola Laut, Daerah Kelola Laut, Area Pengelolaan Laut, atau Taman Pelestarian Laut. Terlepas dari apa namanya yang jelas konsep tersebut berbeda dengan model inisiatif lainnya yang telah berkembang selama ini. Kawasan pelestarian jenis yang terakhir ini dikembangkan dari, untuk dan bersama masyarakat setempat dengan luas, tujuan dan cara pengaturan yang sangat beragam tergantung dari kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat pesisir setempat (Afif et al.

2005).

Daerah Perlindungan Laut-Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat


(25)

(COREMAP 2006). DPL-BM telah diterapkan oleh banyak proyek yang disponsori oleh bank pembangunan internasional di Asia dimana komponen perlindungan laut merupakan satu dari berbagai strategi pembangunan dan pengelolaan pesisir. Sebagai contoh Program Sektor Perikanan sebesar 150 juta dolar di Filipina dan berbagai proyek bantuan luar lainnya, telah memasukkan konsep DPL berbasis masyarakat ke dalam desain proyek-proyek ini. Negara Filipina memiliki sejarah yang cukup panjang dalam pengembangan DPL berbasis masyarakat ini selama lebih dari dua dekade. DPL berbasis masyarakat ini telah menjadi pendekatan utama pengelolaan pesisir di negara ini dan dipakai sebagai bagian dari kebijakan program desentralisasi. Pada peralihan abad telah ada ratusan DPL yang tersebar hampir di semua wilayah pesisir negara tersebut (Ablaza-Baluyut 1995). Pajaro et al. (1999) mencatat 439 DPL di Filipina dari berbagai jenis, dimana mayoritas dari DPL ini adalah berbentuk daerah perlindungan skala kecil yang dikelola oleh masyarakat dan berukuran kurang dari 30 hektar.

Penerapan DPL-BM di Indonesia merupakan konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL-BM, demikian pula akses manusia di dalam kawasan diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa. Penerapan DPL-BM awalnya dilakukan pada DPL di 4 (empat) desa di Provinsi Sulawesi Utara. DPL tersebut merupakan DPL pertama yang dikembangkan di Indonesia dengan fasilitasi pemerintah dan menghasilkan capaian yang memuaskan. Hal ini terbukti bahwa berdasarkan pengalaman di 4 (empat) desa tersebut telah dikembangkan puluhan DPL baru di desa-desa lainnya di Provinsi Sulawesi Utara bahkan di provinsi-provinsi lain (Nikijuluw 2002).

Masyarakat diharapkan mengetahui persoalan-persoalan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya pesisir, khususnya pengelolaan terumbu karang, baik yang bersifat negatif maupun positif. Salah satu isu yang menjadi perhatian masyarakat desa-desa adalah degradasi lingkungan laut, seperti kerusakan terumbu karang tempat habitat ikan-ikan. Untuk mengatasi persoalan tersebut


(26)

dilakukan penetapan kawasan laut menjadi daerah yang tertutup bagi kegiatan eksploitatif, yaitu sebagai daerah perlindungan laut atau marine sanctuary

(Crawford dan Tulungen 1998; Kasmidi et al. 1999). 2.2.1 Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan, bahkan pedagang ikan. Namun, di kalangan masyarakat pesisir sendiri, pelaku ekonomi di subsistem produksi primer-nelayan dan pembudidaya ikan seringkali menemui sejumlah masalah, diantaranya ketidakadilan harga, lemahnya tekhnologi dan modal, terbatasnya SDM, terbatasnya akses sumberdaya, serta lemahnya organisasi, sehingga posisi mereka pun lemah diantara pelaku-pelaku usaha lainnya (Satria 2009).

Standar hidup di masyarakat nelayan pesisir sebagian besar langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perikanan skala kecil. Karakteristik masyarakat perikanan skala kecil umumnya memiliki hubungan tradisi yang kuat, pendidikan yang rendah, usia dewasa dengan pemikiran pendek, masih memiliki pengaruh adat istiadat dan budaya yang besar, marginalisasi dalam perekonomian dan pendapatan yang rendah. Dengan karakteristik yang dimiliki tersebut, sering kali hak ekslusif masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan dibatasi (Berkes et al. 2001; Jimenez-Badillo 2008).

Masyarakat nelayan sendiri terjadi interaksi antara individu dan interaksi ini mengakibatkan terjadinya kompetisi. Saling berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya terumbu karang akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengelolaan terumbu karang yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya dan kemiskinan. Keinginan masyarakat yang saling berkompetisi merupakan sifat alamiah. Namun sifat ini merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang efektif dan dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat itu sendiri menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan sendiri.


(27)

Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya terumbu karang adalah upaya mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya yang dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup mereka sendiri-sendiri (Hulu 2009). 2.2.2 Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut

Kelembagaan adalah gabungan dari norma dan tingkah laku yang berlangsung lama dengan tujuan dan maksud yang bernilai untuk pelayanan bersama. Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai lembaga atau organisasi kelembagaan, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Komponen utama dari suatu organisasi kelembagaan adalah adanya tujuan, aturan, sarana dan prasarana, serta adanya sumber daya manusia yang menjalankan organisasi kelembagaan tersebut (Winardi 2003). Menurut Mensah dan Antwi (2002), kelembagaan adalah aspek lain yang harus dihadirkan dalam komunitas masyarakat pesisir (nelayan), hal ini akan menjadikan lebih baik karena nelayan dilibatkan dalam asosiasi yang efektif. Di dalam partisipasinya dapat memberikan pengaruh dalam mendesain dan pelaksanaan kebijakan dalam program yang ditetapkan.

Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dilakukan oleh Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Kelembagaan ini terbentuk oleh adanya kolaborasi pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat setempat ( Co-Management). LPSTK ini bertugas untuk mengawasi kegiatan yang berdampak pada ekosistem terumbu karang sehingga tidak terjadi upaya pemanfaatan yang tidak bijaksana seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak maupun menggunakan racun sianida. Lembaga ini juga berfungsi mensosialisasikan kepada kelompok masyarakat dan masyarakat lainnya untuk sadar akan pentingnya terumbu karang (COREMAP II 2007).

2.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Efektivitas pengelolaan merupakan tingkat dimana pengelolaan mencapai tujuan dan sasarannya, untuk itu proses monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan DPL perlu dilakukan (Pomeroy et al. 2004). Monitoring yang


(28)

dilakukan di dalam dan di sekitar DPL memiliki tiga dasar manfaat yang saling terkait, yakni 1) pemahaman yang lebih baik tentang DPL yakni bagaimana DPL dirancang dan memberikan biaya-manfaat secara ekologi dan sosial ekonomi, 2) pengetahuan yang lebih dalam tentang ekosistem laut dan aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi ekositem, dan 3) mengembangkan dan menerapkan metode pengelolaan kelautan yang efektif dalam mencapai tujuan tertentu. Monitoring merupakan komponen integral dari pengelolaan kawasan laut, dengan monitoring dapat memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi perubahan dalam ekosistem laut sebagai akibat dari pelaksanaan program konservasi, terutama daerah dikategorikan sebagai daerah perlindungan laut. Evaluasi sangat penting dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas, meningkatkan desain, dan memberikan informasi tentang kemajuan kepada para pemangku kepentingan. Monitoring didasarkan pada evaluasi atribut spesifik ekosistem secara periodik dan kondisi sosial ekonomi saat ini atau relevan pada DPL (Houde et al. 2001).

DPL di Filipina dan Pasifik Selatan telah terbukti efektif dalam menjaga atau melindungi ekosistem terumbu karang, meningkatkan jumlah ikan di dalam daerah perlindungan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL (Alcala 1988; Russ dan Alcala 1994). Daerah Perlindungan Laut juga efektif dalam meningkatkan hasil perikanan dibandingkan dengan pendekatan pengelolaan secara tradisional, DPL dapat lebih sederhana, lebih murah (cost efective) dan merupakan pendekatan yang lebih tepat, khususnya konservasi bagi ekosistem terumbu karang (Hasting dan Botsford 1999).

2.3.1 Indikator Efektivitas Daerah Perlindungan Laut

Indikator merupakan sebuah unit informasi yang diukur dan dimonitoring sepanjang waktu dan dapat menberikan informasi perubahan spesifik pada DPL secara periodik. Indikator berfungsi sebagai alat ukur terhadap sesuatu yang tidak dapat langsung diukur atau sesuatu yang sangat sukar untuk diukur, seperti efektivitas. Oleh karena efektivitas merupakan konsep multidisiplin, maka indikator digunakan untuk mengkaji fungsi program DPL. Indikator ini dapat memberikan informasi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran dari sebuah daerah perlindungan (Pomeroy et al. 2004). Tinjauan indikator dapat 1) menggambarkan efektivitas pengelolaan; 2) memberikan pengetahuan tambahan dan pengertian


(29)

dari kelemahan dan kelebihan dari aksi pengelolaan yang diterapkan; 3) bagi pengelola dan pelaksana dapat menggunakan indikator ini sebagai perubahan rencana pengelolaan dan manajemen yang lebih adaptif; dan 4) memberi pengetahuan tentang dampak terhadap sumberdaya yang ada di daerah tersebut.

Menurut IUCN (1994) beberapa indikator untuk mengukur efektivitas pengelolaan dalam kawasan konservasi laut antara lain:

a. Kriteria ekologis

Keanekaragaman hayati sumberdaya ikan yang masih terjaga keaslian dengan baik.

Peningkatan kondisi ekologi, termasuk komunitas biologi dan lingkungan fisik dalam suatu sistem ekologi.

Perwakilan dari ekosistem tertentu produktif dan keunikan.

Keberadaan habitat, daerah pemijahan, alam lokal dan daerah migrasi jenis ikan yang memiliki nilai pentingnya konservasi.

b. Kriteria sosial-ekonomi

Dukungan dan komitmen dari masyarakat dan/atau kepentingan para pemangku kepentingan di sekitar kawasan.

Potensi konflik pemanfaatan ruang dan potensi ancaman polusi lingkungan lainnya, sedimentasi, pembangunan di kawasan pesisir.

Pemanfaatan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan dari daerah yang relatif kecil.

Dukungan untuk adat dan kearifan lokal sejalan dengan norma-norma konservasi.

Nilai manfaat di bidang perikanan dan peluang pengembangan pariwisata perairan.

Nilai estetika dan kesehatan lingkungan yang dapat mendukung pelestarian sumberdaya ikan.

Kemudahan akses ke daerah-daerah seperti ketersediaan infrastruktur jalan dan transportasi.

Indikator-indikator dapat didefinisikan sebagai sebuah variabel yang dapat digunakan untuk mengukur status atau kondisi suatu sistem. Informasi yang didapatkan dari indikator sangat penting karena indikator-indikator ini saling


(30)

berhubungan satu sama lain dan akibatnya dampak dari suatu indikator dapat mempengaruhi keberlanjutan baik secara langsung maupun tidak langsung (Adrianto et al. 2004). Indikator-indikator dapat digunakan pada sejumlah tingkatan yang berbeda untuk tujuan penelitian, pembuat kebijakan, dan sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum. Dengan kata lain, tingkatan yang berbeda ini membutuhkan juga indikator-indikator sesuai dengan kebutuhannya. Untuk tujuan riset, menempatkan metodologi yang konsisten dan data yang bervariasi dan comparable, sedangkan pada pembuat kebijakan menekankan pada indikator pengembangan yang berkelanjutan, jelas, dan mudah dalam menentukan suatu strategi dan pengaplikasiannya (Hanley et al. 1999).

2.3.2 Indikator Ekologi Daerah Perlindungan Laut

Empat kategori informasi yang dimasukkan dalam program monitoring yakni 1) struktur komunitas biota laut (kelimpahan, struktur, keanekaragaman jenis, dan distribusi spasial); 2) habitat pemeliharaan atau pemulihan; 3) kualitas air atau kerusakan lingkungan (pencemaran); dan 4) atribut dampak sosial ekonomi. Tiap kategori-kategori ini sangat penting dalam program monitoring daerah perlindungan laut dan untuk menguji apakah daerah perlindungan efektif sesuai dengan tujuannya, maka perlu diadakan pemantauan di beberapa daerah yang melakukan program DPL. Idealnya, jenis metode survei harus cukup ketat untuk mendeteksi 10-25% perubahan biomassa, kepadatan, atau kelimpahan spesies yang ada pada daerah perlindungan laut (Houde et al. 2001). Sebagai contoh, dalam survei ekonomis biota snail di Kenya, ditemukan bahwa terjadi peningkatan populasi dari tujuh menjadi sembilan spesies yang ada pada daerah perlindungan laut (McClanahan 1995 in Houde et al. 2001).

Kondisi dan status habitat pada daerah perlindungan laut dan sekitarnya, perlu dimonitor untuk mengevaluasi potensi dan komunitas produksi perikanan. Sebagai contoh, tingkat dan kondisi substrat, lamun, karang, dan bentos, serta kualitas air, harus dipantau secara berkala untuk menentukan trend kondisi daerah perlindungan laut. Terdapat banyak variabel ekologi, biologi yang dapat dimasukkan dalam proses pemantauan misalnya, cuaca, masukan air tawar, sirkulasi, produksi primer, zooplankton, dan komunitas benthik masyarakat. Beberapa penelitian sebelumnya telah banyak melakukan pemantauan indikator


(31)

lingkungan. Indikator yang relevan dengan daerah perlindungan meliputi oksigen terlarut dan nutrisi untuk menilai eutrofikasi, beban kontaminan untuk polutan kimia beracun, salinitas dan kekeruhan untuk menilai run off, dan klorofil untuk produktivitas primer. Penggunaan indikator tergantung pada lokasi daerah perlindungan. Di Florida Keys pemantauan yang dilakukan adalah memantau persentase tutupan karang hidup dan suhu air untuk mengevaluasi kondisi terumbu karang. Di daerah lain, mungkin ada yang lebih spesifik, monitoring spesies dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk perubahan dalam kualitas lingkungan (Houde et al. 2001).

2.3.3 Indikator Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut

Keberlanjutan sosio-ekonomi berfokus pada tingkat makro, yaitu menjaga atau meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi jangka panjang. Kesejahteraan sosial-ekonomi ini didasarkan pada perpaduan indikator ekonomi dan sosial, dengan fokus pada manfaat berkelanjutan, distribusi manfaat antara pelaku perikanan, dan pemeliharaan sistem kelangsungan hidup secara keseluruhan dalam ekonomi lokal dan global. Keberlanjutan sosio-ekonomi paduan antara kriteria ekonomi (tingkat rent sumber daya) dan kriteria sosial (distribusi ekuitas), kriteria ini tidak terpisahkan juga pada tingkat kebijakan (Adrianto et al. 2004).

Indikator ekonomi dimonitoring akan memberikan informasi dalam menentukan bagaimana nilai perikanan dipengaruhi oleh daerah perlindungan laut atau bagaimana kerangka waktu daerah perlindungan laut dapat menguntungkan jika properti ekosistem ditingkatkan dan produktivitas perikanan diperbaiki baik dalam skala lokal maupun regional. Dalam kondisi sosial dan budaya, isu-isu kepuasan juga dapat dimonitoring, terutama melalui survei partisipasi dalam sektor perikanan. Hasil pemantauan (ekologi dan sosial ekonomi) harus teratur untuk memastikan bahwa nelayan mengetahui tentang kinerja daerah perlindungan laut (Houde et al. 2001).

2.3.3.1 Valuasi Ekonomi Sumberdaya

Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang terkandung didalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi, karena


(32)

hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Beberapa kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala, pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat dan kerugian (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (Adrianto 2006).

Mempertahankan sebuah kawasan ekosistem sebagai kawasan preservasi, maka pengambil keputusan perlu mempertimbangkan biaya-biaya langsung yang diperlukan untuk menjaga kawasan tersebut ditambah dengan potensi hilangnya manfaat pembangunan, apabila kawasan tersebut di konversi. Total biaya (costs) inilah yang kemudian menjadi basis bagi pengambilan keputusan dan dapat didekati dengan metode valuasi ekonomi. Dengan demikian tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada di kawasan. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konteks nilai manfaat masyarakat bersih (net gain to society) tidak dipertimbangkan dalam term

economic efficiency. Oleh karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (Ledoux dan Tuner 2002 in Adrianto 2006).

2.3.3.2 Pendekatan Valuasi Ekonomi

Terdapat beberapa pendekatan metodologi untuk melakukan penilaian (valuasi) dari sebuah ekosistem atau sumberdaya alam. Sebagian besar dari pendekatan tersebut berbasis pada pendekatan biaya (cost-approach) dengan alasan bahwa pendekatan manfaat (benefit-approach) relatif lebih sulit diprediksi (Grigalunas dan Congar 1995 in Adrianto 2006). Menghitung manfaat ekonomi


(33)

sumberdaya yang berada di kawasan konservasi laut berbeda dengan perhitungan di luar kawasan konservasi laut. Untuk menghitung manfaat ekonomi dan pengelolaan berbasiskan konservasi ada beberapa metode, diantaranya adalah model valuasi ekonomi dan model bioekonomi. Kedua model tersebut bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian jika kondisi data tidak memadai. Selain untuk mengevaluasi kawasan konservasi, model valuasi ekonomi penting digunakan dalam perencanaan pembangunan konservasi laut, diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nilai dari sumberdaya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi pembangunan kawasan konservasi tersebut dan juga sebagai bahan masukan bagi stakeholder apakah bernilai membangun suatu kawasan konservasi laut di kawasan tersebut (Fauzi dan Anna 2005).

Boquiren (2006) mengatakan bahwa pendekatan produktifitas merupakan teknik valuasi berdasarkan hubungan fisik antara lingkungan dengan produksi barang dan jasa dari pasar (market good and service). Teknik ini digunakan untuk melihat perbedaan output (produksi) sebagai dasar perhitungan jasa dari terumbu karang. Pendekatan produktifitas sering digunakan untuk mengukur nilai dari sektor perikanan dan pariwisata (surplus produsen) dan juga untuk menilai perubahan nilai dari output sebelum dan sesudah adanya suatu kejadian atau ancaman atau intervensi pengelolaan. Perubahan produksi dalam perikanan digunakan untuk mengkalkulasi hilangnya nilai dari sektor perikanan karena adanya ancaman dan gangguan terhadap terumbu karang seperti penambangan karang, atau bertambahnya nilai perikanan karena adanya intervensi pengelolaan seperti diberlakukannya kawasan konservasi laut (Cesar dan Chong 2004).

Suatu ekosistem mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menyediakan produk akhir berupa barang maupun jasa. Sebagai contoh, ekosistem terumbu karang secara ekologi mampu menyediakan produk akhir berupa ikan, udang, kepiting, dan sebagainya. Produk-produk akhir tersebut dalam konteks ini merupakan produktivitas ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode effect on production fungsi ekosistem terumbu karang sebagai penyedia produk tersebut secara ekonomi dapat divaluasi. Secara konseptual, pendekatan produktivitas beranjak dari pemikiran bahwa apabila ada gangguan terhadap sistem sumberdaya alam (misalnya polusi), maka kemampuan


(34)

sumberdaya alam untuk menghasilkan aliran barang atau jasa menjadi terganggu (injured). Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, yang pada akhirnya akan mengubah pula perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006).

Menurut Grigalunas dan Congar (1995) in Adrianto (2006) pendekatan produktivitas sangat berguna apabila produk final dapat secara relatif mudah dinilai dan informasi tentang aliran barang dan jasa dari SDA yang dinilai relatif tersedia. Namun terkadang, konsumen tidak terlalu perhatian terhadap aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, sehingga bagian ini menjadi yang terpenting dalam proses valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan produktivitas ini. Pendekatan produktivitas memandang sumberdaya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, langkah pertama dari pendekatan ini adalah menentukan aliran jasa dari sumberdaya alam yang dinilai kemudian dianalisis hubungannya dengan produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Barton (1994) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa EOP diukur dengan menggunakan harga bayangan yang dihitung berdasarkan harga pasar yang telah dijustifikasi dengan menggunakan faktor distorsi market atau ekuitas sosial seperti harga FOB apabila komoditas final produknya diekspor, harga tenaga kerja oportunitas apabila menggunakan tenaga kerja domestik. Pendekatan EOP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena pendekatan ini lebih memfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumberdaya alam yang dinilai. Menurut Hufschmidt et al. (1983) in Adrianto (2006) memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EOP adalah mengidentifikasi input sumberdaya, output dan residual sumberdaya dari sebuah proyek; melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumberdaya; melakukan kuantifikasi keterkatian antar sumberdaya alam; melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi.

Metode pendekatan surplus merupakan pengukuran manfaat sumberdaya alam yang tepat karena pemanfaatan sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif


(35)

penggunaan terbaiknya (Green 1992 in Fauzi 2010). Konsep surplus konsumen merupakan selisih manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi sumberdaya alam dan jumlah yang dibayarkan untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Surplus konsumen terjadi jika harga yang dibayarkan oleh konsumen terhadap suatu barang lebih tinggi dari harga pasarnya. Surplus konsumen akan terus naik jika konsumen terus membeli produk sampai unit tertentu dan menghentikannya, karena jika diteruskan konsumen tidak akan mendapatkan surplus lagi. Nilai utility dianggap bahwa ukuran kemampuan barang/jasa untuk memuaskan kebutuhan. Besar kecilnya nilai utility yang dicapai konsumen tergantung dari jenis barang atau jasa dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi. Dengan demikian, bila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi nilai guna atau utility sumberdaya, sebaliknya semakin rendah kepuasan dari suatu barang maka utilitynya semakin rendah pula (http://www.ramaalessandro2. multiply. com/journal/item/2).

2.3.4 Indikator Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut

Salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah adanya sistem kelembagaan. Kelembagaan ini sangat penting peranannya, karena terdiri dari banyak pihak baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan adanya sistem kelembagaan, diharapkan rangkaian tugas, tanggungjawab dan wewenang masing-masing unit beserta jajarannya dapat disinergikan secara jelas dan tidak tumpang tindih guna mencapai tujuan pengelolaan secara efektif dan efisien. Dalam pengelolaan terumbu karang diperlukan keterlibatan pihak-pihak terkait (stakeholder) demi tercapainya misi dan tujuan sesuai yang diharapkan dari program yang diciptakan oleh pemeritah pusat untuk dilaksanakan di daerah. Kegiatan dan pengelolaan terumbu karang akan berhasil apabila berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergi oleh semua pihak yang terkait dilibatkan dalam program tersebut. Keberhasilan pelaksanaan program ditentukan antara lain oleh adanya kelembagaan di pusat maupun daerah (COREMAP II 2006).

Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefenisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung


(36)

jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya lautnya. Dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat adalah 1) konsensus yang jelas bagi 3 stakeholder utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir dan peneliti (sosial, ekonomi dan sumber daya) dan 2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing stakeholder utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat (Dahuri 2003; Nikijuluw 2002). Menurut Carter (1996), Community-based resource Management (CBRM) didefenisikan sebagai salah satu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi (kelembagaan) dalam masyarakat di daerah tersebut.

Kegiatan kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang diperlukan beberapa rencana pengelolaan seperti sekretariat pengelola yang memberi dukungan dan mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan daerah perlindungan laut, termasuk penggalangan partisipasi dan stakeholder. Selain sekretariat sebagai penguatan kelembagaan, pelatihan-pelatihan bagi kelompok masyarakat perlu juga dilaksanakan seperti pelatihan administrasi, pelatihan budidaya laut, pelatihan selam, pelatihan sistem pengawasan ekosistem terumbu karang dan pelatihan rehabilitasi terumbu karang (transplantasi). Monitoring dan evaluasi kelembagaan perlu dilakukan untuk melihat sejauhmana keberhasilan penguatan kelembagaan telah diterapkan. Evaluasi dan monitoring ini dilakukan setiap bulan/tahun sehingga dapat diketahui perkembangannya untuk mencari solusi yang terbaik dalam mencapai tujuan kelembagaan yang diharapkan (Farchan dan I Nyoman 2008).

2.4 Evaluasi Efektivitas

Evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak program kegiatan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan obyektif. Evaluasi ini bertujuan untuk menerangkan

“apakah” output, efek maupun dampak program/kegiatan tercapai atau tidak.

Kegiatan utama evaluasi adalah untuk melihat secara menyeluruh pelaksanaan dan dampak dari suatu program/kegiatan sebagai landasan bagi penyusunan


(37)

kebijaksanaan dan rancangan program/kegiatan yang akan datang (DKP 2009). Hal yang sama dinyatakan oleh Adrianto (2007), tujuan dari evaluasi adalah analisis mendalam terhadap hasil dan keluaran dari program serta menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan program, hasil dari evaluasi ini digunakan untuk perencanaan masa depan.

Pelaksanaan kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada saat program/kegiatan telah dirancang namun belum diimplementasikan, pada saat program/kegiatan masih atau sedang berlangsung dimana indikator kerja diidentifikasi dan dikembangkan dengan tujuan program, dan pada saat program/kegiatan telah berakhir dan menunjukkan dampak (Adrianto 2007; DKP 2009). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) in Adrianto (2007) ada beberapa pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu, pendekatan evaluasi kinerja, evaluasi proses, identifikasi kapasitas pengelolaan, dan evaluasi hasil (outcomes).

Ada 4 (empat) manfaat utama dari pelaksanaan evaluasi, yakni: (1) sebagai sarana bantu manajemen dan komunikasi, yang memungkinkan para pengelola atau tim dapat memantau perkembangan pencapaian tujuan, output, dan hasil-hasil dari suatu kegiatan, serta melakukan modifikasi metode dan intervensi, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan dan tim kinerja pengelola, (2) sebagai bagian dari akuntabilitas penggunaan dana masyarakat secara tepat sasaran dan efisien, (3) sebagai umpan balik dan koreksi kebijakan, dengan adanya review atas pelaksanaan kegiatan diharapkan dapat memberikan umpan balik dalam rangka perbaikan intervensi atau kebijakan, (4) beberapa hal dalam pelaksanaan evaluasi merupakan suatu prasyarat atau keharusan dari penyedia dana (funding) (DKP 2009).


(38)

(39)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan September 2010di Desa Mattiro Labangeng Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkepyang terletak antara 04°48‟13.2”-04°50‟53.9” Lintang Selatan (LS) dan

119°23‟45.0”-119°26‟38.3” Bujur Timur (BT). Pengamatan biofisik perairan dilakukan di Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng.Lokasi penelitian Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Gambar 2.

3.2 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut,

Tabel 1 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian

No Alat Penelitian Kegunaan/Keterangan

1 Floating drough (cm/dtk) mengukur kecepatan arus 2 Thermometer (°C) mengukur suhu perairan 3 Secchi disk(%) mengukur kecerahan 4 Depth gauge(m) mengukur kedalaman 5 Handrefraktometer(o/oo) mengukur salinitas perairan

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

DO meter(ppm) Scuba

Global Positioning System Tape recorder

Kapal bermotor Alat tulis bawah air

Camera underwater Roll meter (50 m) Kuisioner

Buku Identifikasi Karang dan Ikan Karang (Suharsono 2008; Kuiter dan Tonozuka 2001)

mengukur oksigen terlarut alatpenyelaman

penentuan posisi merekam data responden alat transportasi

alat tulis bawah air

dokumentasi gambar di bawah air pengukuran transek

panduan dalam wawancara

mengidentifikasi karang dan ikan karang

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian melalui observasi, survei dan wawancara langsung dengan masyarakat dan stakeholder terkait, sedangkan data sekunder merupakan jenis data yang diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansi terkait dalam bentuk laporan dan publikasi. Jenis data primer dan sekunder ditampilkan pada Tabel 2.


(40)

(41)

Tabel 2 Jenis data primer dan sekunder

Kebutuhan data Jenis Data Sumber Data

Ekologi

- Tutupan benthik

- Kelimpahan spesies ikan karang dan megabentos - Kedalaman - Kecerahan - Arus - Suhu - Salinitas - Oksigen terlarut

primer primer primer primer primer primer primer primer insitu insitu insitu insitu insitu insitu insitu insitu Sosial-Ekonomi - Tipologi responden - Hasil tangkapan

- Distribusi hasil tangkapan - Sikap - Persepsi - Partisipasi primer/sekunder primer/sekunder primer primer primer primer

insitu dan koleksi

insitu dan koleksi

insitu insitu insitu insitu

Kelembagaan

- Frekuensi pelaksanaan pelatihan - Partisipasi stakeholder

primer/sekunder primer

insitudan koleksi

insitu

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Pengumpulan Data Responden

Penentuan responden dilakukan secara non-probability sampling, yakni

purposive samplingdan accidental sampling (Adrianto 2005). Metode ini dipilih dengan alasan bahwa sifat penelitian spesifik untuk pengelolaan DPL, sehingga responden yang menjadi sumber data adalah responden yang terkait dengan DPL Desa Mattiro Labangeng. Penentuan jumlah responden populasi nelayan representatif digunakan dengan rumus sebagai berikut (Hutabarat et al. 2009):

2……….……….………... (1)

Keterangan:

n = jumlah contoh yang akan diukur

p = proporsi kelompok yang akan diambil contoh-nya q = proporsi sisa dalam populasi contoh

Z= nilai tabel Z dari 1/2α, dimana α=0.05 maka Z=1.96

b = persentase perkiraan kemungkinan kesalahan dalam menentukan ukuran contoh


(42)

Jumlah penduduk Desa Mattiro Labangeng adalah 1028 jiwa (BPS Kabupaten Pangkep 2009) dan sebanyak 80 orang adalah populasi nelayan yang memanfaatkan daerah terumbu karang dan sekitar perairan Desa Mattiro Labangeng. Berdasarkan hasil rumus penentuan responden populasi nelayan dalam penelitian ini adalah sebanyak 28 responden. Pengambilan responden juga diambil berdasarkan kelompok masyarakat lainnya dengan tujuan mengetahui persepsi, sikap dan partisipasi terhadap keberadaan DPL.

3.4.2 Pengumpulan Data Komponen Ekologi 3.4.2.1 Data Kualitas Perairan

Parameter kualitas air yang dibutuhkan sebagai data pendukung diukur untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam tentang kondisi terkini DPL Desa Mattiro Labangeng. Parameter yang diukur diantaranya adalah kedalaman, kecerahan, arus, suhu, oksigen terlarut dan salinitas.

3.4.2.2 Data Komunitas Karang

Sampling data komunitas karang dilakukan 1 (satu) kali pada Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng. Pengamatan ini dilakukan secara langsung dengan metode Point Intercept Transek (PIT). Sebelum pemasangan transek garis, terlebih dahulu menentukan keberadaan posisi transek permanen yang dipasang sebelumnya oleh LIPI sebagai pemantauan dengan menggunakan

Global Positioning System (GPS) dan metode manta tow. Pada stasiun penelitian, transek garis dibentangkan sepanjang 25 meter dan diusahakan tetap berpedoman pada garis transek permanen yang ada. Pengamatan dilakukan dengan pengulangan sebanyak 2 kali dan mencatat komponen dasar komunitas karang pada tiap-tiap poin yang dilewati. Pencatatan data komunitas karang hidup dengan metode PIT dapat dilihat pada Gambar 3 (Manuputty dan Djuwariah 2009).


(43)

Biota lain dan komponen abiotik lainnya juga dicatat yang menyinggung transek garis (roll meter) (English et al. 1997). Penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan metode PIT dan kode-kodenya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3Komponen dasar metode PIT dan kodenya

Kategori Kode Keterangan

Dead Coral DC Karang mati yang masih berwarna putih

Dead Coral Alga DCA Karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga filamen

Acropora AC Karang Acropora Non Acropora NA Karang Non-Acropora Soft Coral SC Karang bentuk lunak

Rubble R Patahan karang bercabang (mati)

Rock RK Substrat dasar yang keras (cadas)

Sand S Pasir

Silt SI Pasir Lumpuran yang halus

Alga A Jenis-jenis Makro Alga

Sumber: English et al. 1997; Manuputty dan Djuwariah 2009 3.4.2.3 Data Ikan Karang dan Megabentos

Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode Underwater Visual Census (UVC), yaitu pengamatan yang dilakukan 1 (satu) kali di Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng pada transek garis permanen sepanjang 25 meter yang sebelumnya dipasang transek garis (roll meter) dengan pengulangan sebanyak 2 kali. Spesies ikan dan kelimpahannya dicatat pada 2.5 meter ke kiri dan ke kanan dari transek garis seperti yang ditampilkan pada Gambar 4 berikut (Manuputty dan Djuwariah 2009),

Gambar 4 Pengamatan ikan karang dengan metode UVC.

Pengamatan ikan karang yang dilakukan pada transek garis dibiarkan selama 5 menit dengan tujuan ikan yang bersembunyi di karang pada saat pemasangan transek garis keluar dari persembunyiannya, kemudian dicatat seluruh spesies ikan yang ada. Untuk kemudahan pengamatan, spesies ikan dibagi atas tiga kelompok utama, yaitu: 1) ikan mayor, kelompok ikan ini diantaranya terdiri dari famili Pomacentridae, Labridae, Apogonidae, dan Pempheridae; 2)


(1)

27.Apakah adanya program ini, pelaku destruktif fishing semakin berkurang? a. Sangat setuju d. Kurang setuju

b. Setuju e. Tidak setuju

c. Biasa saja

28.Apakah adanya program ini, dapat meningkatkan keterampilan dan usaha ekonomi anda?

a. Sangat setuju d. Kurang setuju

b. Setuju e. Tidak setuju

c. Biasa saja

V. SIKAP TENTANG PROGRAM DPL ... (isi nama desa) 11.Apakah program DPL di desa ini perlu dilanjutkan?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

12.Apakah saudara mendukung pelatihan dan bimbingan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

13.Apakah saudara mengembangkan usaha berdagang atau warung sebagai usaha mata pencaharian alternatif?

a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja

14.Apakah saudara memiliki sikap untuk terlibat dalam mengawasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang?

a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja

15.Apakah saudara setuju dengan setiap program dan kegiatan dalam program DPL ini?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

16.Apakah saudara setuju dengan sosialisasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja


(2)

17.Apakah saudara setuju dengan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

18.Apakah saudara setuju dengan pembelajaran dan kegiatan pengelolaan terumbu karang pada keluarga anda?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

19.Apakah saudara setuju dengan hukuman bagi pelaku destruktif fishing? a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

20.Apakah saudara setuju untuk memberikan informasi kepada keluarga tentang larangan destruktif fishing?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

VI. PARTISIPASI TENTANG PROGRAM DPL ... (isi nama desa) 17.Apakah saudara berpartisipasi dalam kegiatan program DPL di desa ini?

a. Sangat aktif d. Tidak aktif

b. Aktif e. Sangat tidak aktif c. Biasa saja

18.Apakah saudara berpartisipasi dalam pengembangan program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang?

a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja

19.Apakah kegiatan program DPL ini mengganggu waktu kerja anda? a. Sangat tidak mengganggu d. Menggenggu

b. Kurang mengganggu e. Sangat mengganggu c. Biasa saja

20.Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan kelembagaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja


(3)

21.Apakah saudara diberi kesempatan dalam mengeluarkan pendapat atau pertanyaan pada pelatihan-pelatihan program DPL ini?

a. Sangat diberi kesempatan d. Kurang diberi kesempatan b. Diberi kesempatan e. Sangat tidak kesempatan c. Biasa saja

22.Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya terumbu karang?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

23.Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pendapatan?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

24.Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan kesempatan dalam mengembangkan usaha mata pencaharian alternatif?

a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja

25.Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja

26.Apakah saudara berpartisipasi untuk tidak terlibat dalam destruktif fishing? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja

27.Apakah saudara berpartisipasi dalam mengawasi dan memonitoring sumberdaya terumbu karang desa?

a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja

28.Apakah saudara berpartisipasi dalam menyukseskan program DPL di desa ini?

a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja


(4)

29.Apakah saudara berpartisipasi dalam mengikuti semua pelatihan-pelatihan yang diadakan program pemerintah?

a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja

30.Apakah saudara berpartisipasi ikut memasarkan hasil tangkapan nelayan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja

31.Apakah saudara berpartisipasi dalam rangka pengembangan pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa?

a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi

b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja

32.Sebutkan berapa kali anda telah mengikuti pelatihan dan pertemuan yang diadakan?

... ... ... ... ... ...


(5)

Lampiran 20 Kuisioner tingkat keterpentingan stakeholder

KUISIONER TINGKAT KETERPENTINGAN STAKEHOLDER IDENTITAS STAKEHOLDER*)

1. Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2. COREMAP Phase II (pusat)

3. Dinas Perikanan dan Kelautan 4. LSM

5. Akademisi 6. Publik figur 7. Kelompok nelayan 8. Sektor privat 9. Nelayan 10.Aparat desa 11.Anggota LPSTK 12.Pengumpul

Berilah tanda (√) pada kolom tingkat keterpentingan untuk menentukan tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh pada seluruh kegiatan di kawasan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkep.

No Tingkat Kepentingan Tingkat Keterpentingan

1 2 3 4 5 6 7 1 Alat Tangkap

2 Daerah Perlindungan Laut 3 Rehabilitasi dan konservasi

4 Distribusi hasil dan harga tangkapan 5 Mata pencaharian alternatif

6 Pengawasan kelembagaan

No Tingkat Pengaruh

1 Status daerah perlindungan laut 2 Pendapatan Asli Daerah

3 Alokasi dana untuk pengelolaan 4 Ketersediaan lapangan kerja 5 Peningkatan pendapatan nelayan Keterangan: *) Lingkari

Sangat penting (7), penting (5), sedang (3), kurang penting (1), rata-rata (2,4,6) (Saaty 1991)


(6)

Lampiran 21 Kuisioner penentuan indikator terpilih oleh stakeholder KUISIONER PENETAPAN INDIKATOR TERPILIH

IDENTITAS STAKEHOLDER*) 1. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2. COREMAP Phase II (pusat)

3. LSM

4. Kelompok nelayan 5. Nelayan

6. Aparat desa 7. Anggota LPSTK

Kriteria Indikator yang ditawarkan Unit

Tingkat keterpentinga

n**)

1 2 3

Ekologi Kondisi Tutupan Karang Hidup %

Kelimpahan Ikan Karang (Target) Individu/125 m2

Kondisi Kualitas Perairan -

Sosial-ekonomi Produksi Perikanan Tangkap Ton/thn

Pendapatan Rp. Ribu/thn

Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang

Rp. Juta/ha/thn

Ketersediaan pasar Jumlah

Struktur Lapangan Pekerjaan/Mata

Pencaharian %

Persepsi Masyarakat tentang DPL %

Sikap Masyarakat tentang DPL %

Partisipasi Masyarakat tentang DPL % Kelemba

gaan

Tingkat Partisipasi bagi Stakeholder

(Pengelola) %

Tingkat Pelatihan Stakeholder

(Pengelola) Jumlah/thn

*)

Lingkari