Fungsi dan Manfaat Ekologi Terumbu Karang

cocok dipakai lagi secara luas di daerah Asia dan Fasifik sehingga digantikan dengan istilah “local marinr management”, 2 istilah “MPA” merupakan istilah formal yang dipakai oleh badan-badan nasional dan internasional legal authority yang tidak sama pelaksanaannya dengan MMA dalam suatu wilayah. Istilah MMA secara ekslusif diartikan sebagai upaya-upaya pengelolaan dan perlindungan non-formal yang dikenal sebagai legalitas MPA. Lebih lanjut Wiryawan dan Dermawan 2006, mengemukakan bahwa MMA dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan antaara kawasan konservasi laut Daerah Perlindungan LautDPL berbasis desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses pembentukan dari masing-masing DPL berbasis desa bervariasi. Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat koordinasi pengeolaan kawasan konservasi, yang mempunyai skal dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut seperti penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, industri transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen dari MMA diharapkan suatu kawsan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, karena perlindungan kepada spesies yang berimigrasi dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindungi. Nama yang digunakan untuk pengelolaan kawasan laut tingkat kampung atau desa beragam seperti, Daerah Pelindungan Laut, Kawasan Kelola Laut, Daerah Kelola Laut, Area Pengelolaan Laut, atau Taman Pelestarian Laut. Terlepas dari apa namanya yang jelas konsep tersebut berbeda dengan model inisiatif lainnya yang telah berkembang selama ini. Kawasan pelestarian jenis yang terakhir ini dikembangkan dari, untuk dan bersama masyarakat setempat dengan luas, tujuan dan cara pengaturan yang sangat beragam tergantung dari kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat pesisir setempat Afif et al. 2005. Daerah Perlindungan Laut-Berbasis Masyarakat DPL-BM merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat COREMAP 2006. DPL-BM telah diterapkan oleh banyak proyek yang disponsori oleh bank pembangunan internasional di Asia dimana komponen perlindungan laut merupakan satu dari berbagai strategi pembangunan dan pengelolaan pesisir. Sebagai contoh Program Sektor Perikanan sebesar 150 juta dolar di Filipina dan berbagai proyek bantuan luar lainnya, telah memasukkan konsep DPL berbasis masyarakat ke dalam desain proyek-proyek ini. Negara Filipina memiliki sejarah yang cukup panjang dalam pengembangan DPL berbasis masyarakat ini selama lebih dari dua dekade. DPL berbasis masyarakat ini telah menjadi pendekatan utama pengelolaan pesisir di negara ini dan dipakai sebagai bagian dari kebijakan program desentralisasi. Pada peralihan abad telah ada ratusan DPL yang tersebar hampir di semua wilayah pesisir negara tersebut Ablaza-Baluyut 1995. Pajaro et al. 1999 mencatat 439 DPL di Filipina dari berbagai jenis, dimana mayoritas dari DPL ini adalah berbentuk daerah perlindungan skala kecil yang dikelola oleh masyarakat dan berukuran kurang dari 30 hektar. Penerapan DPL-BM di Indonesia merupakan konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL-BM, demikian pula akses manusia di dalam kawasan diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa. Penerapan DPL-BM awalnya dilakukan pada DPL di 4 empat desa di Provinsi Sulawesi Utara. DPL tersebut merupakan DPL pertama yang dikembangkan di Indonesia dengan fasilitasi pemerintah dan menghasilkan capaian yang memuaskan. Hal ini terbukti bahwa berdasarkan pengalaman di 4 empat desa tersebut telah dikembangkan puluhan DPL baru di desa-desa lainnya di Provinsi Sulawesi Utara bahkan di provinsi-provinsi lain Nikijuluw 2002. Masyarakat diharapkan mengetahui persoalan-persoalan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya pesisir, khususnya pengelolaan terumbu karang, baik yang bersifat negatif maupun positif. Salah satu isu yang menjadi perhatian masyarakat desa-desa adalah degradasi lingkungan laut, seperti kerusakan terumbu karang tempat habitat ikan-ikan. Untuk mengatasi persoalan tersebut