Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL

yang lebih baik dibanding DPL Desa Mattiro Labangeng. Penandaan batas DPL oleh masyarakat Desa Mattiro Deceng dilakukan sejak terbentuknya DPL pada tahun 2006. Penandaan berupa pelampung ini sangat berguna sebagai informasi bahwa di zona tersebut merupakan zona larang ambil atau tidak ada lagi aktivitas perikanan. Pengelolaan DPL yang bijaksana dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, seperti DPL Kelurahan Pasar Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara Hulu 2009 dan Kawasan Kelola Laut KKL di Pulau Saponda Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara Subhan 2010. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengelolaan DPLKKL yang efektif di kedua lokasi tersebut, hal ini dapat dilihat karena adanya peningkatan nilai indikator baik secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara rinci perbandingan indikator beberapa DPL di Indonesia ditampilkan pada Tabel 23. Tabel 23 Perbandingan keragaanindikator DPL yang ada di Indonesia Nama DPL KeragaanIndikator Sebelum DPL Sesudah DPL Pustaka KKL Pulau Saponda Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara Tutupan Karang 25.08 40.37 Subhan 2010 Kelimpahan Ikan Target Individu250 m 2 65 404 Kelimpahan Ikan Indikator Individu250 m2 6 14 Pendapatan Rpbulan 885500bulan 1127700bulan DPL Desa Mattiro Deceng Kabupaten Pangkajene Provinsi Sulawesi Selatan Tutupan Karang 45 54 Setianingsih 2010 Kelimpahan Ikan Target Individu250 m 2 40 114 Kelimpahan Ikan Indikator Individu250 m 2 5 3 DPLKelurahan Pasar Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara Tutupan Karang 39.31 44.84 Hulu 2009 Kelimpahan Ikan Target Individu250 m2 251 370 Kelimpahan Ikan Indikator Individu250 m 2 41 21 Pendapatan Rpbulan 500000bulan 3000000bulan DPL Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Provinsi Sulawesi Selatan Tutupan Karang 20 36 Salim 2011 Kelimpahan Ikan Target Individu250 m2 24 79 Kelimpahan Ikan Indikator Individu250 m 2 4 6 Pendapatan Rpbulan 1.508.050 7.997.625 Keberhasilan dari kegiatan pengelolaan juga sangat bergantung pada kesiapan dan partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu penyiapan lembaga pengelola di masyarakat sangat penting dan perlu ditingkatkan dengan cara melakukan koordinasi antar lembaga desa dan lembaga di luar desa, membentuk jaringan kerja dan pendampingan untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif. Pengelolaan DPL yang efektif tidak lain adalah tercapainya maksud dan tujuan pengelolaan DPL itu sendiri. Pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng dapat pula dikembangkan dalam sebuah kerangka kerja yang menyeluruh sesuai dengan Martinez et al. 2009 yang didasarkan pada pendekatan pengelolaan spesies, habitat, ekosistem secara keseluruhan, potensi konflik kepentingan, serta keragaman stakeholder. Hal ini ditujukan untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan lembaga yang berkepentingan dalam sebuah konsep kerangka kerja agar DPL tersebut berkelanjutan. Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif dapat dilakukan beberapa strategi secara terpadu dengan tetap memperhatikan isu-isu baik secara ekologi, sosial-ekonomi maupun kelembagaan. Strategi ini meliputi perlindungan areal DPL, peningkatan kualitas matapencaharian, dan peningkatan kapasitas masyarakat. Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif disajikan pada Gambar 19. Keterangan: Gambar 19 Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Pelaksanaan pelatihan untuk pelatih TOT tentang ekosistem terumbu karang Pelatihan pengelolaan DPL berbasis masyarakat Tujuan Pengelolaan DPL Indikator Ekologi Indikator Kelembagaan Indikator Sosial-Ekonomi Fungsi dan Manfaat Sosial Fungsi dan Manfaat Ekologi Fungsi dan Manfaat Ekonomi PerlindunganDPL Pengembangan ekowisata kepulauan Alternatif budidaya perikanan sebagai mata pencaharian Menjalin hubungan kerjasama dengan pihak lain yang memberi kontribusi ekonomi. Monitoring Menjaga tanda batas DPL Transplantasi karang Pengadaan rumpon Penguatan Pengelola DPL Pengelolaan DPL Efektif Peningkatan Kualitas Mata Pencaharian Peningkatan Kapasitas Masyarakat Goal Indikator Isu Kegiatan Strategi 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Kondisi ekologi di perairan Daerah Perlindungan Laut DPL Desa Mattiro Labangeng digambarkan melalui persentase penutupan karang hidup dan kelimpahan ikan target termasuk dalam kategori sedang, kelimpahan megabentos menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis serta jumlah individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama, dan parameter kualitas air berupa suhu perairan, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, kedalaman, dan oksigen terlarut secara umum dapat dikatakan dalam kondisi baik. 2. Sosial ekonomi masyarakat sebagai nelayan di sekitar DPL Desa Mattiro Labangeng digambarkan melalui perikanan tangkap yang dipasarkan di Pulau Laiya dan Pulau Polewali, yaitu ikan pelagis, cumi-cumi, sotong, kepiting, rajungan dan ikan-ikan karang yang secara keseluruhan rata-rata produksi pada tahun 2010 mengalami peningkatan produksi per tahun dengan nilai pendapatan rata-rata per tahun per nelayan juga melebihi Upah Minimum Kabupaten UMK, sehingga berdasarkan data tersebut didapatkan peningkatan pada nilai ekonomi terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap. 3. Berdasarkan indikator ekologi menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang dan kelimpahan ikan target menjadi semakin baik setelah adanya DPL. Hal ini juga terlihat pada indikator sosial-ekonomi yang menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan, kenaikan pemanfaatan sumberdaya dan dukungan masyarakat terhadap keberadaan DPL. Selain itu, keberadaan DPL juga memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pengelolaan DPL yang merupakan indikator kelembagaan. 4. Efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng menunjukkan hasil efektif yang ditunjukkan dari semua nilai indikator sesudah adanya DPL memiliki nilai lebih baik dari sebelum adanya DPL, dan nilai-nilai tersebut tidak melewati ambang batas kritis critical threshold valuesCTV. 5. Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif dapat dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan isu-isu secara ekologi, sosial-ekonomi maupun kelembagaan. Strategi ini meliputi perlindungan areal DPL, peningkatan kapasitas masyarakat, dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang..

6.2 Saran

1. Indikator efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng dapat disempurnakan melalui penilaian parameter kualitas perairan secara komprehensif kimia, fisika dan biologi. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut berbatasan langsung dengan daratan Kabupaten Pangkep yang memungkinkan run-off dari daratan mencemari perairan dan merusak habitat di perairan Desa Mattiro Labangeng. 2. Bentuk penilaian efektivitas DPL tingkat desa dapat diterapkan dan disempurnakan pada pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD yang baru terbentuk di Kabupaten Pangkep. DAFTAR PUSTAKA Ablaza-Baluyut E. 1995. The Philippine fisheries sector program. In: Coastal and Marine Environmental Management: Proceedings of a Workshop. Bangkok, Thailand, 27-29, March, 1995. Asian Development Bank. 156- 177pp. Adrianto L, Yoshiaki M, Yoshiaki S. 2004. Assessing Local sustainability of Fisheries System: a multi-criteria participatory approach with the case of Yoron Island, Kagoshima prefecture, Japan. Mar Pol 29: 9-23. Adrianto L. 2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Dept. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fak.Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Bogor. Adrianto L. 2007. Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Marginal Fisheries ommunity Development 2004-2006. [Working Paper]. Kerjasama Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan Badan Perencanaan Pembagunan Nasional. Afif S A, S N Hodijah, Imran M A, Christien I. 2005. Kajian Kebijakan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia : Desentralisasi dan Peran serta Masyarakat di Era Otonomi Daerah. Yayasan KEHATI. Jakarta. Alcala A C. 1988. Effects of marine reserves on coral fish abundance and yields of Philippine coral reefs. Ambio 173: 194-199. Anthony B, Inglis J. 2004. Increased Spatial and Temporal Variability in Coral Damage Caused by Recreational Scuba Diving. Ecol Appl. 122: 427-440. Bengen D G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Berkes F, Mahon R, McConney P, Pollnac R, Pomeroy R. 2001. Managing Small- scale Fisheries: Alternative Directions and Methods. Ottawa, Canada: International Development Research Centre, 320pp. Boquiren A C. 2006. Towards a Framework for Valuation or Environmental Resources: Monetization and Ingtangibles. Artikel. Dept. of Economics and Political Science. College of Social Science. University of the Phillipines-Baguio. 11pp. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. 2009. Kecamatan Liukang Tupabbiring Dalam Angka Tahun 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Sulawesi Selatan. Brink Ten B J E, Hosper S H, Colin F. 1991. A quantitative method for description and assessment of ecosystems: the AMOEBA-approach. Mar Pollut Bull 23: 265 –270. Brower J E, Zar J H, Von Ende. 1990. General Ekology, Field and Labaoratory Methods for General Ecology. Ed Ke-3. Iowa: America W M. C. Brow Company Publisher Dubugue. Brown K, W Neil Adger, Emma T, Peter B, David S, Kathy Y. 2000. Trade-off Analysis For Marine Protected Area Management. [Papers Series]. CSERGE. Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Reef at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute. Burke L, Greenhalgh S, Prager D, Cooper E. 2008. Coastal Capital-Economic Valuatioan of Coral Reefs In Tobago and St. Lucia. World Resource Institute. 76pp. Carter E, A Soemodinoto, A White. 2011. Panduan untuk Meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia. Bali- Indonesia: Program Kelautan The Nature Conservancy Indonesia. Carter J A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management Training Manual. Pusat Penelitian Sumber daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan dan Pusat Penelitian Sumber daya Manusia dan Lingkugan Universitas Indonesia, Jakarta; Dalhousie University, Environmental Studies Centres Development in Indonesia Project. Cesar H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. The World Bank and Environmental Sustainable Development Vice Presidency. Jakarta. Cesar H, Chong C K. 2004. Economic Valuation and Socioeconomics of Coral Reef: Methodological Issues and Three Case Studies. Worldfish Center Contribution No. 1721. 27pp. Christie P, A White, E Deguit. 2002. Starting Point or Solution?Community-based marine protected areas in the Philippines. J Envir Manag 66:441-454. [COREMAP-PSTK] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II. 2002. Final Report: Ecological Assessment of the Spermonde Archipelago, South Sulawesi. PSTK-Unhas. Sulawesi Selatan. [COREMAP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II. 2006. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. Vol. 2. Dir. Jend. Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. [COREMAP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II. 2006. Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat. Dir. Jend. Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. [COREMAP II-PPTK UNHAS] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II-Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang RPTK Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep. Sulawesi Selatan.