Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan

(1)

KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH

PERLINDUNGAN LAUT DI DESA MATTIRO DECENG,

KABUPATEN PANGKEP, PROPINSI SULAWESI SELATAN

ANITA SETIANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

Anita Setianingsih NIM C252080294


(3)

ABSTRACT

ANITA SETIANINGSIH. Implementation Study of Marine Reserve Management in Mattiro Deceng Village, Pangkep District, South Sulawesi Province. Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and TARYONO.

Marine reserve is one of models for marine and coastal management to protect coral reef ecosystem. Marine reserve is banned for destructive activities, except for research, education and tourism (snorkeling and diving). The goals of this research were to describe (1) the implementation of marine reserve management, (2) the impact on coral reef ecosystem and economic community and (3) factors that influence the success of marine reserve management. This research was conducted at Mattiro Deceng Village (Badi and Pajjenekang Islands) on April-Mei 2010. Point Intercept Transect (PIT) and Underwater Visual Cencus (UVC) were used to observe the condition of coral condition and reef fish at Badi Island. Likert range was used to see the impacts on economic and social aspects. Principal Component Analysis (PCA) was used to classify factors that influence the success of marine reserve management. The steps for implementation were socialization, field check, formalization, demarcation, training and cross visit, establishment of management board, surveillance, monitoring and evaluation. Live coral cover increased by 12% and there was decreasing of coral mortality index for 2 years. Research found 45 species from 18 families and its abundance was 456 ind/250 m2 with a high diversity and eveness index. There was increasing of fish abundance from 2009. There was no fish dominate ecosystem. Marine reserve has not been able to increase community income and catches. The impacts on social aspect were a fairly good of community perception and government role and low level of community participation. There were 9 factor groups that influence the success of marine reserve management: (i) government roles in marine reserve establishment and management, (ii) community participation in marine reserve establishment, (iii) community participation in marine reserve management, (iv) community perception to resources and marine reserve, (v) output of marine reserve for ecotourism and education, (vi) output of marine reserve for ecology and community income, (vii) community conflict, (viii) output of marine reserve to community catches and (ix) budget.

Keywords: coral reef ecosystem, marine reserve, reef fishes, economic and social impact


(4)

RINGKASAN

ANITA SETIANINGSIH. Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Taryono, S.Pi, M.Si.

Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah larang ambil, tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat destruktif, kecuali untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam). Adanya DPL ini dinilai penting demi menunjang terwujudnya perbaikan ekosistem, khususnya terumbu karang dan mempertahankan produksi perikanan.

DPL Desa Mattiro Deceng di Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu DPL yang berkembang di Indonesia. Kondisi karang dan ikan karang diharapkan tetap terjaga bahkan meningkat dengan upaya konservasi melalui pembentukan DPL. Disamping untuk keberlanjutan keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menggambarkan implementasi DPL dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, 2) mengetahui dampak adanya

DPL terhadap ekosistem terumbu karang dan ekonomi masyarakat dan 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan

DPL. Manfaat yang diharapkan antara lain: 1) memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang dampak pengelolaan DPL dan 2) memberikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dengan memperhatikan nilai ekologi, sosial, ekonomi dan budayanya.

Metode yang digunakan antara lain: 1) wawancara dan studi literatur untuk mengetahui gambaran implementasi DPL, 2) metode PIT (Point Intercept Transect) untuk melihat kondisi karang, 3) metode UVC (Underwater Visual Census) untuk pengamatan ikan karang, 4) metode pendekatan persepsi pendapatan dan hasil tangkap untuk mengetahui dampak DPL terhadap ekonomi masyarakat, 5) metode kuisioner dan wawancara untuk pengamatan dampak DPL terhadap sosial masyarakat (persepsi masyarakat, partisipasi masyarakat dan peran pemerintah), 6) metode kuisioner dan wawancara untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL dan 7) analisis stakeholder untuk mengetahui peranan masing-masing stakeholder dalam pengelolaan DPL. Skala Likert digunakan untuk melihat dampak DPL terhadap aspek ekonomi dan sosial. PCA (Principal Component Analysis) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL.

Penelitian dilaksanakan di Desa Mattiro Deceng (Pulau Badi dan Pajjenekang) pada bulan April-Mei 2010. Tahapan implementasi pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng meliputi sosialisasi awal pembentukan DPL, survei lokasi calon DPL dan penetapan lokasi DPL, penetapan Perdes, pemasangan tanda


(5)

batas DPL, penyelenggaraan pelatihan dan studi banding, pembentukan kelompok pengelola, pengawasan DPL, monitoring dan evaluasi dampak DPL.

Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang dilakukan di DPL Pulau Badi. Tutupan karang hidup mengalami peningkatan 12% dan indeks mortalitas karang mengalami penurunan selama 2 tahun. Famili ikan yang ditemui sebanyak

18 famili meliputi 45 spesies. Kelimpahan ikan saat penelitian adalah 456 ind/250 m2. Terdapat kenaikan kelimpahan jika dibandingkan dengan

kelimpahan tahun 2009. Kelimpahan famili tertinggi pada famili Pomacentridae yaitu 249 ind/250 m2. Kelimpahan ikan tertinggi pada Chromis ternatensis, yaitu sebesar 80 ind/250 m2. Indeks keanekaragaman ikan menunjukkan 3.05. Ini berarti bahwa keanekaragaman ikan tinggi. Indeks keseragaman ikan menunjukkan 0.8. Ini berarti bahwa keseragaman antarspesies seragam atau jumlah individu masing-masing spesies relatif seragam/sama. Indeks dominansi ikan menunjukkan 0.08. Ini berarti bahwa tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya sehingga komunitas dalam keadaan stabil.

Berdasarkan pendekatan persepsi pendapatan dan hasil tangkapan masyarakat, keberadaan DPL belum dapat meningkatkan pendapatan dan jumlah tangkapan masyarakat. Dampak DPL terhadap sosial masyarakat antara lain menunjukkan tanggapan masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL adalah cukup bagus, partisipasi masyarakat yang masih rendah dan tanggapan masyarakat terhadap peran pemerintah adalah cukup bagus dalam mendukung pembentukan dan pengelolaan DPL.

Hasil analis faktor diperoleh 9 kelompok faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, yaitu (1) peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL, (2) partisipasi masyarakat dalam pembentukan DPL, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL, (4) persepsi masyarakat terhadap potensi sumberdaya dan DPL, (5) output/manfaat DPL untuk ekowisata dan penelitian, (6) output/manfaat DPL terhadap kondisi ekologi dan pendapatan,

(7) konflik masyarakat, (8) output/manfaat terhadap hasil tangkapan dan (9) pendanaan.

Stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi pengaruh tinggi terdiri dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah yang sangat kuat dan penting dalam pengelolaan DPL. Karenanya persepsi masyarakat terhadap peran pemerintah menjadi cukup bagus dan menyebabkan capaian yang dicapai baik karena turun tangan pemerintah dan belum memberdayakan masyarakat (tingkat partisipasi rendah).

Kata kunci: ekosistem terumbu karang, DPL, ikan karang, dampak ekonomi dan sosial


(6)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(7)

KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH

PERLINDUNGAN LAUT DI DESA MATTIRO DECENG,

KABUPATEN PANGKEP, PROPINSI SULAWESI SELATAN

ANITA SETIANINGSIH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

Judul Tesis : Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan

Nama : Anita Setianingsih

NRP : C252080294

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Taryono, S.Pi, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis yang berjudul Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan dapat diselesaikan. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing (Pembimbing I) atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis 2. Taryono, S.Pi, M.Si selaku Pembimbing II atas bimbingan dan arahan yang

diberikan kepada penulis

3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku Dosen penguji pada sidang tesis

4. Dr. Ir. Yusli Wardiatno selaku Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB

5. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana IPB

6. Suami (Ali Rahmat Iman Santoso, S.St.Pi, M.Si) dan putri tercinta (Alya Kayyisah Santoso), orang tua dan kakak serta adik-adik penulis atas doa, dukungan, perhatian, cinta dan kasih sayang yang selalu dan tiada henti diberikan kepada penulis

7. Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M.Eng, Dipl.Ing, Sekretaris Jenderal Kementrian Kelautan dan Perikanan (2008-2010) atas dukungan dalam menempuh Sekolah Pascasarjana di IPB

8. Ir. Agus Dermawan, M.Si (Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan), Ir. Yaya Mulyana (Direktur COREMAP II periode 2003 – 2009), Ir. M. Eko Rudianto, MBus (IT) (Direktur Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), Prof. Jamaluddin Jompa (Sekretaris Eksekutif COREMAP II) dan Ir. Elfita Nezon, MM atas dukungan dalam menempuh Sekolah Pascasarjana di IPB

9. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB atas ilmu dan bantuan serta kemudahan dalam perkuliahan dan penyelesaian Sekolah Pascasarjana

10. Seluruh Dosen dan Staf ZMT – Universitas Bremen atas ilmu yang diberikan kepada penulis

11. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep atas bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam penelitian

12. Keluarga besar Ir. Parmanto Mitrosudarmo, MM atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis

13. Rekan-rekan COREMAP II dan keluarga besar Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal KP3K, KKP atas doa dan bantuan yang diberikan dalam penyelesaian Sekolah Pascasarjana

14. Keluarga besar M. Arif Manompo (SPL Sandwich), rekan-rekan COREMAP II Kabupaten Pangkep, Kepala Desa Mattiro Deceng, Ketua LPSTK Desa


(11)

Mattiro Deceng, Bapak Ikhsan Machfud (SETO), Bapak Sofyan (Fasilitator), Bapak Najamuddin (Motivator Desa), Bapak Santa, Sdr. Ramli (Unhas) dan Sdr. Dafiuddin Salim (SPL IPB) atas bantuan dan kerjasamanya selama ini 15. Rekan-rekan seperjuangan di Program Studi SPL Sandwich IPB atas kerja

sama dan kebersamaan dalam penyelesaian Sekolah Pascasarjana 16. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan tesis ini. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun sangat diharapkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Semoga tesis ini bermanfaat khususnya dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng dan bagi kita semua pada umumnya.

Bogor, September 2010 Anita Setianingsih


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karanganyar, Jawa Tengah pada tanggal 2 Mei 1981 dari Bapak Kasmani dan Ibu Siti Ngaliatul Marwiyah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Riwayat pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Tuban III (1986 – 1992), SMP Negeri 1 Gondangrejo (1992 – 1996) dan SMU Negeri 5 Surakarta Jawa Tengah (1996 – 1999). Pendidikan S1 ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (1999 – 2003). Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB bekerja sama dengan Tropical Marine Ecology (ZMT) - Universitas Bremen diperoleh pada tahun 2008 melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari COREMAP II, Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Riwayat pekerjaan penulis diawali sebagai tenaga honorer pada COREMAP II (2003 – 2004). Tahun 2005 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementrian Kelautan dan Perikanan dan ditempatkan sebagai full time staff COREMAP II di bawah Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul “Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan”. Penulis dinyatakan lulus pada tahun 2010.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Kerangka Pemikiran ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Terumbu Karang ... 9

2.1.1 Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya ... 9

2.1.2 Distribusi Terumbu Karang ... 12

2.1.3 Makroalga ... 13

2.1.4 Ikan Karang ... 14

2.2 Model-model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan ... 17

2.2.1 Government-based Management ... 18

2.2.2 Community-based dan Co-management ... 19

2.3 Daerah Perlindungan Laut ... 20

2.3.1 Pengertian, Maksud dan Tujuan Pembentukan DPL ... 20

2.3.2 Indikator Keberhasilan DPL ... 21

2.3.3 Manfaat DPL ... 24

2.3.4 DPL Desa Mattiro Deceng ... 26

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.2 Pengumpulan Data ... 29

3.2.1 Jenis dan Sumber Data ... 29

3.2.2 Pengamatan Ekologi Terumbu Karang ... 30

3.2.2.1 Pengukuran Kualitas Perairan ... 31

3.2.2.2 Pengamatan Tutupan Karang Hidup ... 32

3.2.2.3 Pengamatan Ikan Karang ... 32

3.2.3 Pengumpulan Data Ekonomi dan Sosial Masyarakat ... 34

3.2.4 Inventarisasi Data Stakeholder... 34

3.3 Analisis Data ... 36

3.3.1 Analisis Data Ekologi ... 36

3.3.1.1 Kondisi Karang ... 36

3.3.1.1.1 Persentase Tutupan Karang Hidup ... 36

3.3.1.1.2 Indeks Mortalitas Karang ... 36


(14)

3.3.1.2.1 Kelimpahan Ikan ... 37

3.3.1.2.2 Indeks Keanekaragaman (H’) ... 37

3.3.1.2.3 Indeks Keseragaman (E) ... 38

3.3.1.2.4 Indeks Dominansi (C) ... 38

3.3.2 Analisis Persepsi Ekonomi ... 39

3.3.3 Analisis Data Sosial ... 39

3.3.3.1 Uji Validitas Kuisioner ... 39

3.3.3.2 Uji Reliabilitas Kuisioner ... 41

3.3.3.3 Analisis Persepsi Masyarakat ... 42

3.3.3.4 Analisis Partisipasi Masyarakat ... 42

3.3.3.5 Analisis Peran Pemerintah ... 44

3.3.4 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL ... 45

3.3.4.1 Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Input Pengelolaan DPL ... 45

3.3.4.2 Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Proses Pengelolaan DPL ... 45

3.3.4.3 Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Output Pengelolaan DPL ... 46

3.3.4.4 Analisis Faktor ... 47

3.3.5 Analisis Stakeholder ... 48

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

4.1 Keadaan Umum Desa Mattiro Deceng ... 51

4.1.1 Kondisi Administrasi dan Geografis ... 51

4.1.2 Kondisi Sosial ... 51

4.1.2.1 Jumlah Penduduk ... 51

4.1.2.2 Tingkat Pendidikan ... 52

4.1.2.3 Budaya/Tradisi ... 52

4.1.2.4 Kelembagaan Desa ... 53

4.1.2.5 Hubungan Ponggawa Sawi ... 55

4.1.3 Kondisi Ekonomi ... 56

4.1.4 Potensi Pesisir dan Kelautan ... 56

4.1.4.1 Perhubungan ... 56

4.1.4.2 Sarana dan Prasarana ... 57

4.1.4.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap ... 57

4.1.4.4 Terumbu Karang ... 58

4.2 Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 58

4.3 Dampak DPL terhadap Ekologi Terumbu Karang ... 64

4.3.1 Parameter Kualitas Perairan ... 64

4.3.2 Tutupan Karang Hidup ... 65

4.3.3 Indeks Mortalitas Karang ... 67

4.3.3 Ikan Karang ... 67

4.4 Dampak DPL terhadap Ekonomi Masyarakat ... 71

4.5 Dampak DPL terhadap Sosial Masyarakat ... 73

4.5.1 Persepsi Masyarakat terhadap Sumberdaya dan DPL ... 73

4.5.2 Partisipasi Masyarakat ... 74


(15)

4.6 Keterkaitan antara Ekologi, Ekonomi dan Sosial Masyarakat ... 78

4.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL ... 79

4.7.1 Tanggapan Masyarakat terhadap Input, Proses dan Output Pengelolaan DPL ... 79

4.7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL ... 80

4.8 Analisis Stakeholder ... 86

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

5.1 Kesimpulan ... 95

5.2 Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 

1. Data yang dikumpulkan selama penelitian ... 30

2 . Kode pencatatan kategori biota ... 32

3. Variabel dalam kuisioner ... 35

4 . Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan persepsi masyarakat ... 43

5 . Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan partisipasi masyarakat .... 43

6 . Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan peran pemerintah ... 44

7 . Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan input pengelolaan DPL ... 45

8 . Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan proses pengelolaan DPL . 46

9 . Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan output pengelolaan DPL . 47

10. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin ... 52

11. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur ... 52

12. Mata pencaharian penduduk ... 56

13. Sarana dan Prasarana Desa Mattiro Deceng ... 57

14. Koordinat titik penempatan tanda batas DPL Pulau Badi ... 60

15. Data kualitas perairan di DPL Pulau Badi ... 64

16. Jumlah individu famili ikan/250 m2 DPL Pulau Badi (2010) ... 69

17. Persepsi hasil tangkap nelayan pada musim barat dan timur ... 71

18. Variabel faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL .... 81

19. Kelompok faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL 82

             


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 7

2. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1997) ... 10

3. Contoh sketsa DPL di sekitar pulau kecil (Tulungen et al. 2002) ... 21

4. DPL sebagai terumbu karang sumber dan penampung (Tulungen et al. 2002) ... 26

5. Peta lokasi penelitian ... 29

6. Ilustrasi teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang ... 32

7. Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan karang ... 33

8. Tata hubungan kelembagaan di desa ... 54

9. Tanda DPL Pulau Badi ... 61

10. Tanda DPL Pulau Pajjenekang ... 61

11. Persentase tutupan karang hidup DPL Pulau Badi (2008-2010) ... 66

12. Persentase jumlah individu ikan/250 m2 di DPL Pulau Badi (2010) 67

13. Kelimpahan ikan/250 m2 di DPL Pulau Badi (2009-2010) ... 68

14. Hasil analisis stakeholder ... 87

       

                   


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 

1. Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 ... 107

2. Hasil uji validitas dan reliabilitas ... 116

3. Gambar kondisi terumbu karang DPL ... 118

4. Famili dan spesies ikan karang DPL ... 119

5. Perhitungan Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi (C) Ikan ... 121

6. Persentase skor persepsi masyarakat ... 123

7. Persentase skor partisipasi masyarakat ... 124

8 . Persentase skor peran pemerintah ... 125

9. Persentase skor input pengelolaan DPL ... 126

10. Persentase skor proses pengelolaan DPL ... 127

11. Persentase skor output pengelolaan DPL ... 128

12. Hasil analisis faktor dengan metode ekstraksi PCA ... 129

12a. Indeks KMO dan uji statistika Bartlett’s ... 129

12b. Nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) variabel ... 130

12c. Varian total yang dikonstribusikan 35 faktor ... 131

12d. Matriks komponen/faktor ... 132

12e. Matriks rotasi komponen/faktor ... 133

12f. Varian total yang dikonstribusikan setiap faktor setelah rotasi ... 134

12g. Nilai communalities variabel faktor ... 135

12h. Scree plot ... 136

     


(19)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya dengan menyusun Agenda 21 nasional. Salah satu hal yang disoroti adalah pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan teknologi dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu. Beberapa konsensus internasional terkait isu konservasi, yakni CBD (Convention on Biological Diversity), Ramsar Convention on Wetlands of International Importance, WHS (World HeritageSite) dan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), termasuk kerja sama regional seperti Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Bismarc Solomon Marine Ecoregion (BSME) telah diratifikasi. Meskipun kepentingan nasional terlihat lebih menonjol dalam percaturan di dunia internasional, kawasan konservasi pesisir dan lautan tidaklah bersifat sentralistik lagi oleh pemerintah pusat, melainkan mengalami perubahan menjadi desentralistik dengan ditandai adanya pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) oleh pemerintah daerah.

Disamping hal tersebut, sistem penzonasian juga mengalami modifikasi, yakni adanya zona perikanan berkelanjutan dimana zona ini tidak dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sistem penzonasian ini merupakan salah satu rujukan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (kemudian dilakukan perubahan dengan diterbitkannya UU No. 45 Tahun 2009) dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Adapun penzonasian umum pada kawasan konservasi antara lain zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona inti diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi,


(20)

penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona perlindungan, zona rehabilitasi dan sebagainya. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan dapat menghindari konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya bagi para nelayan yang berpandangan bahwa penzonasian pada kawasan konservasi dapat menghalangi akses nelayan terhadap sumberdaya, terutama zona inti sebagai zona larang ambil.

Pada umumnya, zona inti suatu kawasan ditetapkan pada Daerah Perlindungan Laut (DPL), yaitu kawasan tersebut ditetapkan dan diatur sebagai daerah larang ambil, tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat destruktif, kecuali untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam). Pembentukan DPL tersebut merupakan suatu upaya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang. Mengingat saat ini kondisi terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kritis, yaitu 5.47% sangat baik, 25.48% baik, 37.06% cukup baik dan 31.98% kurang baik (Suharsono 2008).

Selain perbaikan ekosistem, upaya konservasi ini ditujukan untuk menunjang keberlanjutan produksi perikanan. Data yang dikumpulkan FAO (2007) dalam Satria et al. (2009) mengindikasikan telah terjadi gejala tangkap lebih (overfishing) pada skala internasional yang semakin meluas, yaitu 16% overexploited dan 44% fully exploited. Sedangkan di Indonesia, telah terjadi kenaikan produksi perikanan tangkap di laut sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2.74% (DKP 2007). Jika dibandingkan dengan jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, maka produksi tahun 2006 telah mencapai 87.27% dari JTB.

Daerah Perlindungan Laut di Indonesia, pertama kali dikembangkan di Desa Blongko, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Pembentukan DPL di Desa Blonko diinisiasi oleh Pemerintah Pusat melalui Proyek Pesisir dan diharapkan keberlanjutan pengelolaan DPL dilaksanakan oleh masyarakat. DPL juga dikembangkan di Pulau Sebesi,


(21)

Lampung. Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi mengalami peningkatan dari tahun 2002 – 2005 setelah dibentuk DPL, antara lain indeks mortalitas karang keras mengalami penurunan dan keanekaragaman karang keras yang ditemukan mengalami peningkatan pada tahun 2005 yaitu 22 genus dari 19 genus pada tahun 2002 dengan karang genus Acropora mempunyai penyebaran yang merata di semua DPL (Muttaqin 2006). Sedangkan pembelajaran dari Philiphina, antara lain adanya peningkatan tutupan karang 119% dalam 5 tahun di Balicasag’s sanctuary (Christie et al. 2002), peningkatan biomassa ikan di luar DPL Pulau Apo dan peningkatan hasil tangkapan nelayan setelah 18 tahun DPL ditetapkan (Russ et al. 2004). Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masing-masing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk.

Salah satu DPL di Indonesia yang dikembangkan antara lain DPL Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Pembentukan DPL ini diinisiasi oleh Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II atau yang lebih dikenal dengan COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II). Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pembentukan DPL untuk mendukung pembentukan KKLD. Desa ini terdiri dari dua pulau, yaitu Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Desa Mattiro Deceng termasuk dalam kawasan Kepulauan Spermonde dan merupakan salah satu wilayah penyebaran terumbu karang yang secara administratif terbagi ke dalam 3 wilayah, yaitu Kotamadya Makassar, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Barru.

Pembentukan DPL di Desa Mattiro Deceng dikukuhkan dengan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut. Tujuan pembentukan DPL adalah untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan

melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga

dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam


(22)

DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata.

Studi baseline di DPL telah dilakukan sejak tahun 2008 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Persentase tutupan karang hidup DPL Mattiro Deceng di Pulau Badi menunjukkan 42% dan termasuk kategori sedang atau cukup baik. Sedangkan ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili. Untuk melihat keberhasilan kinerja DPL sejak pembentukannya, maka perlu dilakukan suatu kajian ekologi di lokasi DPL. Disamping untuk keberlanjutan keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejauh mana dampak adanya DPL Desa Mattiro Deceng terhadap ekologi DPL dan masyarakat (ekonomi dan sosial) inilah yang perlu dikaji untuk kemudian DPL dapat dikelola secara berkelanjutan.

1.2Perumusan Masalah

Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang tidak bijaksana dapat menjadi ancaman bagi ekosistem terumbu karang. Jika kerusakan tidak dapat diantisipasi, keberlanjutan sumberdaya perikanan dan kelautan tidak akan terwujud sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang.

Di Desa Mattiro Deceng, kegiatan illegal fishing dan destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan, baik oleh nelayan dari dalam maupun dari luar desa; penambangan karang untuk kebutuhan bahan pondasi rumah atau tanggul dan eksploitasi sumberdaya perikanan utamanya pada komoditas-komoditas yang memiliki nilai jual tinggi menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang umum terjadi di daerah pesisir. Bagaimana upaya untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab. Terjaganya terumbu karang akan mempengaruhi tingkat produktivitas perikanan dan dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat, mengingat terumbu karang berpotensi sebagai habitat, nursery, feeding dan spawning grounds bagi biota laut.


(23)

Upaya untuk melindungi ekosistem, khususnya terumbu karang di Desa Mattiro Deceng dilakukan melalui pembentukan DPL yang diinisiasi oleh pemerintah melalui COREMAP II. Pengelolaan DPL kedepan diharapkan dapat dilanjutkan oleh masyarakat untuk menunjang keberhasilan pengelolaan DPL sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat adanya DPL tersebut.

Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang keberhasilan pengelolaan DPL adalah melihat bagaimana implementasi pengelolaannya. Implementasi ini dapat dilihat dari proses awal pembentukan dan proses keterlibatan masyarakat serta dampak/manfaat DPL terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya yang ada diharapkan dapat berkelanjutan baik dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Ketiga aspek ini merupakan bagian dari Segitiga Keberlanjutan (sustainability triangle) yang digambarkan oleh Charles (1994). Setiap aspek tersebut dilihat sebagai komponen dalam menentukan keberhasilan pengelolaan dengan mempertimbangkan dampak suatu aspek terhadap aspek lainnya. Manfaat keberhasilan pengelolaan dapat dilihat secara utuh dari aspek-aspek tersebut, bukan secara terpisah.

Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:

1. Kegiatan illegal fishing dan destructive fishing, penambangan karang dan eksploitasi sumberdaya perikanan menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang.

2. Belum diketahuinya keberhasilan pembentukan DPL sejak tahun 2007 dilihat dari indikator ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat.

3. Keberlanjutan pengelolaan DPL di masa yang akan datang apabila COREMAP II berakhir, mengingat saat ini pengelolaan DPL masih dibiayai oleh pemerintah pusat yang bersifat on granting kepada pemerintah daerah dan dana APBD.

1.3Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk menggambarkan implementasi DPL dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.


(24)

2. Untuk mengetahui dampak adanya DPL terhadap ekosistem terumbu karang dan ekonomi masyarakat.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan DPL.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang dampak pengelolaan DPL.

2. Memberikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dengan memperhatikan nilai ekologi, sosial, ekonomi dan budayanya.

1.5Kerangka Pemikiran

Salah satu model pengelolaan pesisir dan lautan adalah DPL. Pengelolaan ini akan memberikan dampak terhadap ekologi (kondisi lingkungan), ekonomi dan sosial masyarakat. Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui sejauh mana dampak DPL tersebut dilakukanlah serangkaian kajian terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat.

Dampak DPL terhadap ekologi diharapkan dapat mempertahankan bahkan memperbaiki kondisi lingkungan, dalam hal ini kondisi ekosistem terumbu karang. Dampak DPL terhadap ekonomi dapat dilihat dari pendapatan dan hasil tangkapan penduduk. Dampak DPL terhadap sosial masyarakat nantinya dituntut untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan penguatan kelembagaan. Untuk mengetahui dampak pengelolaan terhadap sosial masyarakat dilakukan kajian tentang persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL, partisipasi masyarakat dan peran pemerintah serta kajian stakeholder yang berperan dalam pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng. Keterkaitan ketiga aspek, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial tersebut diharapkan dapat menyokong keberhasilan


(25)

pengelolaan DPL dan lebih jauh pengelolaan dapat berjalan secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Daerah Perlindungan Laut

Desa Mattiro Deceng

Fungsi Ekologi Fungsi Ekonomi dan Sosial

- Kondisi karang - Ikan Karang

Kajian ekologi

Keberhasilan Pengelolaan DPL

Kajian persepsi masyarakat terhadap

aspek ekonomi dan sosial

- Pendapatan dan hasil tangkap - Persepsi masyarakat terhadap

sumberdaya dan DPL - Partisipasi masyarakat - Peran Pemerintah - Stakeholder Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Laut Desa Mattiro Deceng

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang


(26)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang

Terumbu adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1992). Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria. Karang (coral) mencakup karang dari Ordo Scleractinia dan Sub-kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa.

2.1.1 Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya

Di dunia terdapat dua kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan dua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik di dalam menghasilkan terumbu (reef). Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Selanjutnya distribusi karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia (Nybakken 1992).

Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hidrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure dan faktor genetik.

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan non-Acropora (English et al. 1997). Perbedaan Acropora dengan non- Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang disajikan pada Gambar 2.


(27)

Skeleton Acropora Skeleton non-Acropora

Gambar 2. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1997) Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas:

1. Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.


(28)

2. Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu. 3. Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan

permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

4. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.

5. Bentuk Jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.

6. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.

7. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh.

8. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.

Bentuk pertumbuhan Acropora sebagai berikut:

1. Acropora bentuk cabang (Branching Acropora), bentuk bercabang seperti ranting pohon.

2. Acropora meja (Tabulate Acropora), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.

3. Acropora merayap (Encursting Acropora), bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna.

4. Acropora Submasif (Submassive Acropora), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh.


(29)

5. Acropora berjari (Digitate Acropora), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.

Terdapat tiga tipe terumbu karang, yaitu

1. Terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.

2. Atol (atoll), terumbu karang tepi yang berbentuk menyerupai cincin di sekitar pulau vulkanik yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak, dengan kedalaman mencapai 45 m.

3. Terumbu penghalang (barrier reef), terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) dengan kedalaman 40 – 70 meter.

2.1.2 Distribusi Terumbu Karang

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa parameter fisik. Parameter-parameter fisik tersebut antara lain:

1. Kecerahan

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 m atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15-20% dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air.

2. Temperatur

Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25 dan 290C, namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dan jenis karang hermatifik


(30)

untuk dapat berkembang biak dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu dibawah 200C derajat selama beberapa waktu dan dapat mentolerir suhu sampai 360C dalam waktu yang singkat.

3. Salinitas

Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30-35‰. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut. Pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada salinitas normal. Namun demikian, ada juga terumbu karang yang mampu berkembang di kawasan perairan dengan salinitas 42‰, seperti di wilayah Timur Tengah.

4. Sirkulasi arus dan sedimentasi

Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkuasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak negatif terhadap hewan karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthellae akan terganggu.

2.1.3 Makroalga

Makroalga merupakan tumbuhan laut karena mereka berfotosintesis dan memiliki persamaan ekologi dengan tumbuhan lainnya. Akan tetapi, makroalga

hanya memiliki sedikit akar, daun, bunga dan jaringan darah (Diaz-Pulido dan McCook 2008). Makroalga berbeda dengan mikroalga dimana

makroalga memiliki banyak sel dan berukuran besar. Namun beberapa diantaranya seperti Acetabularia dan Caulerpa memiliki satu sel (Ladrizabal 2007).


(31)

Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi (seperti bentuk tumbuhan, ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis), kemampuan bertahan terhadap grazing (perumputan) dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifikasikan menjadi Turf algae, Fleshy algae dan Crustose algae (Rogers et al. 1994, Diaz-Pullido dan McCook 2008). Makroalga terutama turf algae di ekosistem terumbu karang merupakan produsen primer penting karena dapat berfotosintesis sehingga menjadikan makroalga sebagai makanan favorit bagi para herbivor (Morissey 1985, McCook 2001) dan sebagai dasar pada jaring makanan di ekosistem terumbu karang. Disamping itu makroalga membuat habitat bagi para invertebrata dan vertebrata pada kepentingan fungsi ekologi dan ekonomi. Jika makroalga berlimpah akan menimbulkan degradasi terumbu karang, yaitu terjadi pergantian fase dari terumbu karang menjadi makroalga (Jompa dan McCook 2002, Diaz-Pullido dan McCook 2008).

2.1.4 Ikan Karang

Ikan karang merupakan salah satu komponen utama penyusun ekosistem terumbu karang yang sangat penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia. Beragamnya spesies ikan yang dapat ditemui di terumbu karang menyebabkan ekosistem terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Hutomo 1987).

Ikan karang mempunyai komposisi jenis yang beragam dan berbeda pada patch reef yang berbeda (Sale 1991). Secara komersial, ikan-ikan karang

memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (Allen et al. 1996, English et al. 1997).

Keberadaan ikan karang tersebut dipengaruhi dengan kondisi fisik terumbu karang. Baik buruknya kondisi terumbu karang akan mempengaruhi kelimpahan ikan karang yang menghuni ekosistem tersebut. Berkurangnya atau menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan menjadi salah satu indikator kerusakan lingkungan terumbu karang (Badrudin et al. 2003). Persentase penutupan karang hidup yang berbeda-beda akan mempengaruhi densitas ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Carpenter et al. 1981 in Chabanet et al. 1997).


(32)

Penurunan penutupan karang hidup dapat mengakibatkan penurunan rekruitmen dari spesies ikan yang memerlukan karang hidup sebagai substratum untuk tempat penempelan (Russ 1991). William et al. (1986) in Choat (1991) menemukan kegagalan rekruitmen Pomacentrus molluccensis dan Chromis atripectoralis di Great Barrier Reef selama 3 tahun sebagai akibat kerusakan penutupan karang hidup oleh serangan Acanthaster planci. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan di wilayah terumbu karang memperlihatkan hubungan yang positif dengan penutupan karang hidup (Bell et al. 1985, Adrim et al. 1991)

Jumlah spesies ikan karang terbesar dijumpai di daerah Indo-Pasifik. Keanekaragaman ikan karang ditandai dengan keanekaragaman jenis dengan berbagai ukuran. Robins (1971) in Bouchon-Navaro (1996) memperkirakan sekitar 2000-2500 spesies ikan terdapat di daerah tropis Atlantik Barat, dengan 50% diantaranya tinggal di daerah perairan pantai. Meskipun demikian, untuk perairan karang Indonesia paling sedikit terdapat 11 famili utama sebagai penyumbang produksi perikanan, yaitu: Caesionidae, Holocentridae, Serranidae, Scaridae, Siganidae, Lethrinidae, Priacanthidae, Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae (Djamali dan Mubarak 1998) dan Acanthuridae (Hutomo 1986).

Dalam pengamatan ikan karang, ada tiga kategori kedalaman perairan yang terutama ditolerir oleh ikan karang, yaitu: daerah dangkal (0-4 m), daerah tengah (5-19 m) dan daerah dalam (>20 m). Jarak kedalaman dari zona ini tergantung pada tingkat perlindungan dan kondisi laut. Pada daerah dangkal yang banyak dipengaruhi oleh gelombang, daerah perlindungan yang baik terdapat pada teluk atau laguna, yaitu dengan cara turun ke kedalaman yang lebih dalam. Sebaliknya pada daerah terluar, struktur karang yang terbuka oleh pengaruh gelombang di permukaan kadang-kadang dirasakan di bawah kedalaman 10 m. Daerah tengah merupakan tempat di mana ikan dan karang hidup melimpah. Pada daerah ini pengaruh gelombang laut minimal, meskipun arus kadang-kadang kuat, sementara sinar matahari optimal bagi pertumbuhan dan pembentukan terumbu karang (Allen 1997).

Dalam pengelompokannya, ikan karang dibedakan menurut maksud tujuan pengamatan yang dilakukan (Husain et al. 1996). Berdasarkan karakteristik taksonomi, ikan karang dikelompokkan atas sub-ordo Labridae (terdiri dari famili


(33)

Labridae, Scaridae dan Pomacentridae), sub-ordo Acanthuridae (famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae), dan sub-ordo Chaetodontidae (famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae) (Hutomo 1993). Dilihat dari pemanfaatannya, ikan karang dikelompokkan ke dalam ikan hias (famili Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Zanclidae, Balistidae, Scorpaenidae) (Kvalvagnaes 1980); dan ikan pangan atau konsumsi (famili Caesionidae, Serranidae, Siganidae, Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Labridae, Scaridae, Holocentridae, Priacanthidae) (McWilliams dan Hatcher 1983). Berdasarkan tujuan pengelolaannya, Dartnall dan Jones (1986) membagi ikan karang menjadi 3 kelompok, yaitu: kelompok jenis ikan indikator, ikan target (konsumsi) dan ikan yang berperan dalam rantai makanan (kelompok utama).

Menurut Barnes (1980), keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah di luar karang sebagai tempat mencari makan.

Kelompok ikan terumbu karang terdiri dari jenis ikan yang hidup menetap di karang atau yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya. Kadang-kadang ditemui juga jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenile dan pada saat dewasa beruaya ke luar terumbu. Beberapa jenis ikan karang keluar dari ekosistemnya ke biotope lain, seperti ke daerah lamun (Sorokin 1993).

Choat dan Bellwood (1991) memperoleh tiga hubungan/interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang, yaitu:

1. Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda.

2. Interaksi dalam mencari makan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.

3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang, kondisi hidrologi dan sedimen.


(34)

Kunci interaksi ikan karang dengan karang dijelaskan oleh Choat dan Bellwood (1991) dalam tiga kelompok besar, yaitu:

1. Kelompok Chaetodontids, terdiri dari famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae.

2. Kelompok Acanthuroids, terdiri dari famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae.

3. Kelompok Labroids, terdiri dari famili Scaridae, Pomacentridae dan Labridae. Ikan-ikan perciform ini mewakili kelompok utama spesies ikan karang.

2.2 Model-model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Sumberdaya pesisir dan lautan harus dikelola atau ditata karena sumberdaya tersebut sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Apapun cara pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatannya dilakukan berlebihan maka akan menyebabkan sumberdaya tersebut mengalami tekanan ekologi dan selanjutnya menurunkan kualitasnya (Nikijuluw 2002).

Dalam pengelolaannya perlu diperhatikan beberapa tahap, antara lain (i) preliminary appraisal, (ii) baseline assessment, (iii) monitoring dan (iv) evaluasi. Preliminary appraisal menyajikan informasi tentang target lokasi yang akan dikelola dengan potensi dan permasalahannya. Baseline assessment menyajikan informasi yang nantinya menjadi indikator yang harus dilihat dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Monitoring merupakan salah satu aspek penting dalam implementasi project untuk mengetahui suatu pengelolaan berjalan baik atau tidak. Jika tidak berjalan, dapat diambil pembelajaran yang sudah ada untuk pengelolaan yang lebih baik ke depannya. Evaluasi meliputi dua jenis yang sangat penting, yaitu post evaluation yang dilakukan setelah project selesai dan ex-post evaluation yang dilakukan setelah beberapa tahun dilaksanakan evaluasi pertama (Berkes et al. 2001).

Salah satu aspek penting dalam kajian sosial tentang pengelolaan sumberdaya adalah pelaku-pelaku yang terlibat dalam proses pengelolaan. Pelaku-pelaku tersebut dapat meliputi pemerintah (government-based management),


(35)

masyarakat (community-based management) atau kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (co-management) (Satria 2002).

2.2.1 Government-based management

Sistem pengelolaan ini bersifat sentralistik, dimana pemerintah memiliki otoritas penuh dalam mengelola sumberdaya perikanan dalam semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan oleh pemerintah ini dilaksanakan lembaga atau instansi pemerintah yang ada di tingkat pemerintah pusat maupun di daerah (Nikijuluw 2002).

Menurut Lawson (1984) in Nikijuluw (2002), terdapat beberapa kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah antara lain: 1. Kegagalan dalam mencegah eksploitasi sumberdaya perikanan karena

keterlambatan dalam pelaksanaan peraturan yang sudah ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena keputusan yang dibuat pemerintah pusat membutuhkan waktu lama untuk disosialisasikan, diketahui dan dilaksanakan pemerintah dan masyarakat di daerah.

2. Kesulitan dalam penegakan hukum karena kurangnya personel dan fasilitas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jika pelanggaran hukum dapat diidentifikasi, masalah berikutnya yang timbul adalah lambatnya proses hukum serta peradilan untuk membuktikan apakah hukum telah dilanggar dan sanksi yang harus diberikan.

3. Kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan. Ini sering terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah pusat seringkali berhadapan dengan peraturan setempat, peraturan lokal yang informal atau adat dan budaya yang seringkali lebih kuat pengaruhnya sehingga lebih diutamakan.

4. Kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan.

5. Administrasi yang tidak efisien dalam bentuk biaya transaksi yang relatif tinggi untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, seperti biaya administrasi.


(36)

6. Wewenang yang terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen. 7. Data dan informasi tidak (kurang) benar dan akurat.

8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan pengelolaan.

2.2.2 Community-based Management dan Co-management

Co-management dapat didefinisikan sebagai kemitraan antara pemerintah, masyarakat lokal, stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta institusi lainnya seperti NGO, peneliti, universitas yang melakukan pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan (Berkes et al. 2001). Menurut Pomeroy dan Berkes (1997), terdapat 10 tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dalam bentuk paling sedikit partisipasi masyarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co-management maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah akan tinggi dan begitupun sebaliknya. Adapun kesepuluh bentuk co-management tersebut antara lain:

1. Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan pengelolaan.

2. Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah. 3. Masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama. 4. Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi. 5. Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi.

6. Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran. 7. Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama. 8. Masyarakat dan pemerintah bermitra.

9. Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah.

10. Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antarlokasi atau antardaerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.

Berkes et al. (2001) menjelaskan bahwa community-based management merupakan elemen inti dari co-management. Perbedaan mendasar antara community-based dan co-management terletak pada tingkat orientasi/fokus dan


(37)

keterlibatan pemerintah dalam proses pengelolaan. Community-based management berorientasi pada masyarakat, sedangkan co-management lebih fokus pada sistem kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya. Pemerintah mempunyai peranan kecil dalam community-based management sedangkan dalam co-management menuntut peran pemerintah yang aktif. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain memberikan dukungan kebijakan dan peraturan/perundang-undangan, seperti desentralisasi wewenang dan kekuasaan management, pembinaan partisipasi dan dialog, legitimasi hak-hak masyarakat, inisiatif dan intervensi, penegakan hukum, menangani masalah, koordinasi di berbagai tingkatan, dan pemberian bantuan keuangan dan teknis. Pemerintah memberikan legitimasi dan akuntabilitas untuk community-based management melalui co-management, dengan menetapkan hak dan kondisi sepadan sehingga tercipta strategi yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya. Hanya pemerintah yang dapat melegalkan dan menjaga hak-hak pengguna sumberdaya di tingkat masyarakat.

Beberapa kelebihan co-management antara lain:

1. Lebih terbuka, transparan dan otonom dalam proses pengelolaan.

2. Lebih hemat dibandingkan dengan centralized system yang membutuhkan banyak administrasi dan penegakan hukum.

3. Bersifat adaptif, pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan kondisi yang ada dan pembelajaran sebelumnya.

4. Lebih dapat memaksimalkan kegunaan kearifan lokal sebagai informasi tentang sumberdaya dan pelengkap dalam scientific information untuk pengelolaan.

5. Dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya.

6. Dapat meminimalkan konflik dan mempertahankan atau meningkatkan kohesi sosial dalam masyarakat.

2.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL)

2.3.1 Pengertian, Maksud dan Tujuan Pembentukan DPL

Daerah perlindungan laut (DPL) merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai no take zone area yang


(38)

dikelola oleh masyarakat lokal (Crawford et al. 2000), juga dapat difungsikan sebagai marine sanctuary atau fish sanctuary.

Pembentukan DPL dimaksudkan untuk (i) mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya terumbu karang dan mangrove, (ii) melindungi spesies langka dan habitatnya, (iii) dapat merehabilitasi sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak, dan (iv) mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000). DPL atau no take marine protected areas didirikan sebagai bentuk pengelolaan perikanan dan untuk perlindungan biodiversity (Jones et al. 2007).

DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang dan organisme dasar laut lain yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak. Gambar 3 memperlihatkan contoh sketsa penerapan DPL.

Gambar 3. Contoh sketsa DPL di sekitar pulau kecil (Tulungen et al. 2002)

2.3.2 Indikator Keberhasilan Pengelolaan DPL

Langkah-langkah umum dari penetapan dan implementasi DPL-BM adalah: (i) tahap masuk ke masyarakat, persiapan dan penilaian; (ii) perencanaan


(39)

yang termasuk pembentukan kelompok inti, pemilihan lokasi perlindungan, pembentukan aturan, penentuan mekanisme pengelolaan dan pengaturan keuangan; (iii) peresmian melalui persetujuan sebuah aturan municipal, perencanaan dan penganggaran dan (iv) implementasi (Berkes et al. 2001).

Indikator keberhasilan pengelolaan DPL dapat dilihat dari (i) peningkatan sumberdaya dan diversitas dari ikan dan luasan tutupan karang, (ii) peningkatan persepsi/kesadaran masyarakat tentang pentingnya DPL yang akan merubah kebiasaan masyarakat yang bersifat merusak sumberdaya yang ada, (iii) pembentukan dan pengelolaan secara fisik dari fungsi DPL seperti pemasangan marker buoys sepanjang batasan, tanda batas, management plan, kelembagaan, dll, (iv) tingkat kesadaran untuk berperan dan (v) kesepakatan untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumberdaya laut mereka (Pollnac dan Crawford 2001).

Lebih lanjut, Pollnac dan Crawford (2001) menyampaikan dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, yaitu faktor kontekstual dan faktor project. Faktor kontekstual dibagi menjadi tiga kategori, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial ekonomi dan (iii) perekonomian secara umum dan kualitas hidup penduduk. Sedangkan faktor project dibagi menjadi dua kategori, yaitu (i) aspek fisik dari no take zone dan aktifitas project dan (ii) aspek partisipasi masyarakat dalam pengembangan no take zone. Sedangkan Alhanif (2007) menggunakan tiga kriteria yang merupakan gabungan dari berbagai sumber dan dimodifikasi, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial-ekonomi dan (iii) faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi komitmen dan dukungan dari pemerintah lokal serta dukungan data yang bersifat scientifik.

Sedangkan menurut Berkes et al. (2001), beberapa variabel yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain (i) project variables, (ii) context variables (supra community dan community) dan (iii) impact variables (intermediate dan ultimate impacts).

Project variables yang dapat digunakan dalam evaluasi dari implementasi project antara lain (i) partisipasi masyarakat dalam perencanaan, (ii) keberlanjutan partisipasi dalam perencanaan dan implementasi, (iii) fleksibilitas dalam menjalankan project sebagaimana mestinya, (iv) tenaga fulltime sebagai pengelola


(40)

project dalam masyarakat, (v) identifikasi terhadap grup inti untuk pengembangan kepemimpinan, (vi) pengembangan pendidikan masyarakat yang terkait dengan tujuan project, (vii) koordinasi antarpihak yang terlibat, (viii) komunikasi untuk memperjelas tujuan atau maksud dari project dan (ix) pendanaan yang cukup.

Context variables merupakan non-project variables yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori atau level, yaitu supracommunity level, level community dan household dan individual levels. Beberapa komponen paling umum yang termasuk dalam supracommunity level antara lain pihak pusat, peraturan dan dukungan administratif dari pemerintah. Disamping hal tersebut, supracommunity level ini dapat didukung antara lain institusi baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah. Kadang kala, beberapa supracommunity tidak terkait langsung dengan nelayan, tetapi mereka memberikan pelayanan seperti pelatihan, informasi, pemasaran untuk masyarakat pesisir. Supracommunity level lainnya yang dapat memberikan dukungan dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah aspek dari pemasaran tingkat regional, nasional dan internasional termasuk di dalamnya potensi untuk komersialisasi produk. Isu seperti permintaan dan harga dapat mempengaruhi penggunaan sumberdaya dan penegakan aturan. Sedangkan dilihat dari community level, lebih banyak mengacu pada kondisi sosial dan lingkungan masyarakat. Berkes et al. (2001) juga merangkum dari berbagai sumber terkait faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan pada community level, antara lain: (i) krisis pemanfaatan sumberdaya, (ii) komposisi, distribusi dan kegunaan dari spesies target, (iii) feature lingkungan yang mempengaruhi definisi batasan, (iv) teknologi yang digunakan untuk mengolah sumberdaya, (v) tingkat pengembangan masyarakat, (vi) tingkat sosial ekonomi dan cultural homogeneity masyarakat, (vii) tradisi kerjasama dan perkumpulan masyarakat, (viii) populasi dan perubahannya, (ix) tingkat integrasi dalam sistem ekonomi dan politik, (x) mata pencaharian dan tingkat komersialisasi serta ketergantungan terhadap sumberdaya, (xi) organisasi politik lokal, (xii) dukungan kepemimpinan lokal, (xiii) kualitas kepemimpinan lokal, (xiv) hak pemanfaatan sumberdaya dan sistem pengelolaannya baik formal maupun informal dan (xv) kearifan lokal. Pada tingkat individu dan rumah tangga (individual and household


(41)

level) mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya. Berkes et al. (2001) merangkum dari beberapa sumber tentang beberapa faktor pada tingkat individu dan rumah tangga yang dapat mempengaruhi keberhasilan project pengelolaan pesisir dan perikanan antara lain (i) pendidikan, (ii) pengalaman, (iii) ukuran dan luasan operasi, (iv) penggunaan teknologi, (v) nilai budaya, (vi) kepuasan pekerjaan, (vii) pengetahuan ekologi dan (viii) jenis mata pencaharian.

Impact variables dibedakan menjadi dua, yaitu pencapaian intermediate objectives dan ultimate objectives. Intermediate objectives meliputi pertimbangan terhadap objek material (seperti perubahan ukuran jala dan organization building) dan nonmaterial (pelatihan, penguatan kelembagaan). Sedangkan untuk dampak yang kedua mempertimbangkan adanya perbaikan kondisi ekosistem sekitar. Beberapa contoh dari ultimate objectives ini antara lain peningkatan pendapatan penduduk, perubahan akses terhadap sumberdaya dan keberadaan sumberdaya. Keberlanjutan project dan biaya serta keuntungan yang didapat adanya project ini dapat dijadikan pertimbangan juga untuk penentuan kesuksesan suatu project.

2.3.3 Manfaat DPL

Bohnsack (1990) memberikan gambaran beberapa potensi keuntungan DPL yang meliputi (i) perlindungan terhadap biomassa stok ikan bertelur, (ii) menyediakan sumber perekrutan di sekitarnya, (iii) tambahan restocking daerah luar melalui emigrasi, (iv) pemeliharaan struktur umur, (v) pemeliharaan terhadap habitat yang terganggu/rusak, (vi) perlindungan keanekaragaman genetik intraspesifik, (vii) memberikan jaminan terhadap kekurangan dalam pengelolaan perikanan (viii) mengurangi kebutuhan pengumpulan data, (ix) penegakan hukum yang disederhanakan, dan (x) kemudahan pemahaman dan penerimaan publik terhadap pengelolaan, di antara sejumlah keuntungan insidental lainnya.

Terkait dengan pengelolaan DPL, terdapat pembelajaran dari pengelolaan DPL di Philiphina. Beberapa faktor keberhasilan pengelolaan DPL antara lain implementasi dari model yang tepat, keputusan kegiatan yang baik, partisipasi masyarakat dan dukungan yang cukup, pengembangan kemampuan masyarakat yang memadai, pemilihan lokasi yang benar, petunjuk yang jelas dan sah, adanya


(42)

dukungan dari pemimpin setempat, hubungan yang berlanjut antara masyarakat, dukungan sistem-sistem dan lembaga di tingkat lokal dan regional (Crawford et al. 2000).

Ketika suatu area ditetapkan sebagai no take zone, akan melindungi terumbu karang dari destructive extraction dan berfungsi baik sebagai spawning ground, breeding dan nursery ground untuk ikan dan secara berkelanjutan dapat meningkatkan ketersediaan juvenil dalam populasi. Pembelajaran dari Balicasag’s sanctuary di Philiphina (8 ha), tutupan karang meningkat 119% dalam 5 tahun setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002).

Adanya DPL juga dapat meningkatkan biomassa ikan di luar DPL dan hasil tangkapan penduduk. Russ et al. (2004) menemukan adanya peningkatan biomassa ikan Acanthuridae (surgeonfish) dan Carangidae (jacks) pada jarak 200-250 m dari batasan DPL Pulau Apo, Philiphina. Peningkatan tersebut terlihat sejak 8 tahun DPL dibentuk. Berdasarkan wawancara dengan penduduk, hasil tangkapan meningkat setelah adanya DPL (1985 – 2001) dibandingkan sebelumnya (1981).

Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masing-masing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk. Terdapat sembilan famili dari ikan major yang mengalami peningkatan densitas dan biomassa antara lain Plectropomus leopardus (Serranidae), Lutjanus fulviflamma (Lutjanidae), Lethrinus atkinsoni (Lethrinidae), Parupeneus ciliates (Mullidae), Choerodon graphicus dan Hemigymnus melapterus (Labridae), Scarus schlegeli dan Scarus sordidus (Scaridae), Naso unicornis (Acanthuridae) dan Siganus doliatus (Siganidae).

Kepadatan ikan di Taman Nasional Tsitsikamma di Afrika Selatan (didirikan pada tahun 1964) diperkirakan 42 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penangkapan (Buxton dan Smale 1989). Sebuah penelitian di kawasan tersebut diperoleh data bahwa CPUE untuk empat spesies shorefish adalah 5-21 kali lebih besar daripada di daerah yang telah dieksploitasi (Cowley et al. 2002). Di Cagar Alam Scandola - Corsica, kepadatan ikan dari 11 spesies lima kali lebih tinggi ditemui pada lokasi yang dilindungi setelah 13 tahun


(43)

cagar alam tersebut didirikan (Francour 1991). CPUE untuk lobster di DPL Pulau

Columbretes Spanyol adalah 6-58 kali lebih besar daripada di area penangkapan (Goni et al. 2001).

Pada dasarnya, DPL akan menarik ikan dari daerah yang berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak, ikan-ikan kecil (juvenil) yang terbawa oleh arus selanjutnya menetap di kawasan DPL. Juvenil tersebut mulai membesar sehingga jumlah ikan yang menetap di DPL menjadi semakin padat. Hal ini mengakibatkan ikan-ikan yang berkembang di wilayah DPL mulai berenang dan menetap di luar wilayah DPL yang akhirnya akan ditangkap nelayan. Konsep ekologis penerapan DPL dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. DPL sebagai terumbu karang sumber dan penampung (Tulungen et al. 2002)

2.3.4 DPL Desa Mattiro Deceng

Berdasarkan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut (Lampiran 1), tujuan pembentukan DPL Desa Mattiro Deceng antara lain untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan


(44)

kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata.

DPL Desa Mattiro Deceng terletak di Pulau Badi dengan luas 3.943 Ha. Kondisi tutupan karang tahun 2008 dan 2009 di kedalaman 3 m berturut-turut yaitu 42% (kategori sedang) dan 53% (kategori baik) (Prayudha dan Petrus 2008, COREMAP II 2009). Jenis karang batu yang banyak dijumpai di lokasi tersebut adalah Montipora sp., Seriatopora spp., Stylophora pistillata dan Porites spp.

Tahun 2008, ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili dengan kelimpahan tertinggi ikan ekor kuning, Chromis ternatensis (Prayudha dan Petrus 2008). Kelimpahan ikan di DPL Pulau Badi adalah 319 ind/250 m2 pada tahun 2009 (COREMAP II 2009).

Indikator keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Deceng adalah peningkatan kondisi ekologi terumbu karang di DPL meliputi peningkatan persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan dan megabenthos. Indikator ekonomi dan sosial masyarakat belum dilakukan kajian tersendiri untuk melihat keberhasilan DPL.

Pengelolaan DPL Mattiro Deceng diharapkan dapat berjalan secara berkelanjutan. Suatu kegiatan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance) dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil


(45)

pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan (Fauzi dan Anna 2003).


(46)

3.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Mei 2010 di Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Gambar 5 menunjukkan lokasi penelitian, yaitu Desa Mattiro Deceng yang meliputi Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Penentuan lokasi ini didasarkan pada: (i) Desa ini memiliki DPL sejak 2007 dan merupakan salah satu lokasi program COREMAP II dengan potensi terumbu karang desa termasuk dalam kondisi baik, (ii) Desa Mattiro Deceng termasuk kawasan Spermonde yang merupakan salah satu daerah penyebaran terumbu karang di Sulawesi Selatan dan (iii) Desa ini mudah dijangkau dengan angkutan reguler setiap hari dari Paotere, Makasar sehingga memudahkan mobilitas.

Gambar 5. Peta lokasi penelitian 3.2 Pengumpulan Data

3.2.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kualitas perairan pada saat penelitian, tutupan karang hidup, ikan karang, data/kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Data

b b b b % U P. Badi P. Pajenekang 4° 58 '30 " 4° 58' 30 " 4° 5 8' 00" 4° 58' 00" 119°17'00" 119°17'00" 119°17'30" 119°17'30" 119°18'00" 119°18'00" 119°18'30" 119°18'30" 119°19'00" 119°19'00" 119°19'30" 119°19'30"

Peta Lokasi penelitian Desa Mattiro Decceng Kab. Pangkajene & Kepulauan

200 0 400 m

Pulau Tutupan Terumbu

Batas Daerah Perlindungan Laut (DPL) Keterangan :

b Tanda Batas DPL

%

U Transek

Anita Setyaningsih

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir & Lautan Sekolah Pascasarjana IPB

2010 Sumber Peta :

1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000 2. Survei Lapangan 2010

Kab. Barru

Kab. Pangkejene & Kepulauan


(1)

c.

Varian total yang dikontribusikan oleh 35 faktor

Total Variance Explained

10.313 29.466 29.466 10.313 29.466 29.466

5.652 16.148 45.614 5.652 16.148 45.614

3.731 10.660 56.274 3.731 10.660 56.274

2.136 6.102 62.376 2.136 6.102 62.376

1.688 4.822 67.197 1.688 4.822 67.197

1.432 4.092 71.289 1.432 4.092 71.289

1.251 3.574 74.863 1.251 3.574 74.863

1.174 3.355 78.218 1.174 3.355 78.218

1.030 2.942 81.160 1.030 2.942 81.160

.926 2.645 83.805

.763 2.181 85.987

.595 1.699 87.686

.564 1.611 89.296

.510 1.459 90.755

.493 1.408 92.163

.407 1.162 93.325

.327 .933 94.258

.314 .896 95.154

.247 .705 95.860

.226 .646 96.505

.208 .596 97.101

.192 .548 97.649

.159 .453 98.102

.128 .366 98.468

.120 .344 98.812

.099 .282 99.095

.073 .208 99.303

.069 .196 99.499

.054 .154 99.653

.036 .103 99.756

.030 .087 99.843

.026 .074 99.917

.020 .056 99.973

.007 .021 99.994

.002 .006 100.000

Component 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings


(2)

d.

Matriks komponen/faktor

Component Matrixa

-.225 -.563 .182 -.054 .335 .021 .114 -.191

 

.306

 

.477

 

-.292 .602 .190 .118 .215 .183 .079

 

.045

 

.537

 

.108

 

.307 .409 .128 .079 .116 .102

 

-.438 .644

 

.049

 

.466 .206 .125 .110 -.017 .144

 

.022

 

.415

 

-.320 .598 .037 .126 .259 .197 -.006

 

.056

 

.479

 

-.161 -.007 .276 .196 .427 .080 -.269

 

-.106 .400

 

.255

 

.118 .343 -.101 .371 -.296 -.107

 

.014

 

.616

 

-.391 -.142 -.072 .324 -.232 -.141 .211

 

.018

 

.770

 

-.448 -.254 -.244 .072 -.019 -.050 .155

 

-.052 .754

 

-.394 -.269 -.303 .119 -.073 .002 .105

 

-.007 .684

 

-.521 .115 -.134 .329 -.104 -.076 .086

 

-.080 .679

 

-.525 .076 -.112 .282 -.076 -.159 .105

 

-.121 .614

 

-.519 -.115 .080 -.336 -.068 .032 -.366

 

-.042 .681

 

-.424 -.129 -.089 -.438 -.009 .040 .160

 

.060

 

.570

 

-.538 -.089 .185 -.245 -.228 -.024 -.354

 

-.073 .724

 

-.465 -.119 -.160 -.174 .137 .077 .223

 

-.002 .645

 

-.462 -.099 -.001 -.516 .079 .082 -.191

 

.079

 

.721

 

.423

 

-.123 -.131 .098 -.152 .223 .008

 

-.017 .455

 

.373

 

.126 .336 .258 -.111 -.167 -.231

 

-.102 .691

 

.514

 

-.385 -.061 -.013 -.007 -.113 -.025

 

.063

 

.547

 

.561

 

-.336 -.012 .223 -.030 -.165 -.111

 

.122

 

.697

 

.501

 

-.348 -.096 -.059 .086 .000 -.001

 

.108

 

.550

 

.469

 

-.317 -.191 .338 -.031 -.073 -.101

 

.087

 

.612

 

.526

 

-.134 -.121 -.060 .154 .155 -.283

 

.125

 

.422

 

.238

 

.022 -.221 -.142 .529 -.098 .215

 

.337

 

.720

 

.464

 

-.011 -.019 .044 -.002 -.031 -.135

 

-.154 .336

 

.353

 

.558 -.439 -.011 -.077 .134 -.190

 

-.053 .036

 

.067

 

-.623 .365 .029 -.117 .421 .266

 

.117

 

.435

 

.265

 

.563 .215 -.146 -.261 -.160 .159

 

.363

 

.402

 

.237

 

.559 .306 -.138 -.301 -.165 .157

 

.338

 

.361

 

-.086 -.129 .491 -.063 -.443 -.042 -.099

 

.064

 

.063

 

.099

 

-.266 .286 -.253 .195 -.466 .303

 

-.313 .212

 

.143

 

-.434 .544 .109 .103 .500 .173

 

.080

 

.273

 

.468

 

.467 -.212 -.210 -.163 .303 .082

 

-.230 .336

 

.623

 

.242 -.240 -.238 -.154 .154 .177

 

-.246 X2

 

X3

 

X4

 

X5

 

X6

 

X7

 

X8

 

Y1

 

Y2

 

Y3

 

Y4

 

Y5

 

Y6

 

Y7

 

Y8

 

Y9

 

Y10

 

Y11

 

Y12

 

Y13

 

Y14

 

Y15

 

Y16

 

Y17

 

Y18

 

Y19

 

Y20

 

Y22

 

ZY1 Z2 Z4 Z6 Z9 Z10 Z11

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Component

Extraction Method: Principal Component Analysis. 9 components extracted.

 


(3)

e.

Matriks rotasi komponen/faktor

Rotated Component Matrixa

-.396 .155

 

-.017 .106 -.411 -.036 -.101 -.536 -.008 -.158 .304

 

.142 .703 .132 .328 -.036 -.190 .139

 

.146

 

.193

 

.023 .683 .335 .154 .144 .245

 

-.239 .195

 

.306

 

.040 .587 .195 .449 -.036 .029

 

.083

 

-.165 .287

 

.147 .654 .126 .215 -.140 -.284 .191

 

.249

 

.148

 

.250 .656 -.198 -.145 .072 -.001 .008

 

.368

 

-.136 .142 .455 -.110 .240 -.097 .356

 

.130

 

.167

 

.832

 

.100 .053 -.121 .130 .067 -.013 -.111 .233

 

.852

 

.382 .069 -.008 -.076 .045 .042

 

.115

 

.291

 

.831

 

.349 .015 .010 -.088 .046 -.062 .094

 

.061

 

.857

 

.187 .302 -.033 .082 -.113 -.124 -.086 .059

 

.854

 

.206 .288 -.061 .068 -.134 -.015 -.081 .081

 

.344

 

.862 .170 -.075 -.003 -.025 -.031 -.128 .044

 

.533

 

.690 .009 .127 .128 .116 .134

 

.253

 

.035

 

.374

 

.787 .150 -.114 .082 -.009 -.018 -.311 .071

 

.687

 

.508 .165 .090 -.008 .114 .076

 

.308

 

.068

 

.314

 

.898 .130 .018 .054 .029 .020

 

.174

 

.712

 

.276

 

.083 .085 .400 .109 .189 -.095 -.015 .528

 

.001

 

-.055 .375 .021 .282 -.044 .094

 

-.364 .881

 

.169

 

.130 -.045 .124 .092 .132 .201

 

.082

 

.889

 

.100

 

-.075 -.010 -.025 .104 .079 .090

 

-.027 .847

 

.143

 

.162 .001 .173 .068 .173 .138

 

.205

 

.849

 

.235

 

-.128 -.017 .028 -.018 .035 -.053 .000

 

.810

 

-.076 .222 .157 .226 .025 .040 -.111 .171

 

.386

 

.085

 

.049 .156 .031 .138 -.061 .108

 

.731

 

.735

 

.149

 

.120 .261 .318 .115 -.041 .117

 

-.069 .289

 

.004

 

-.016 .175 .588 .168 -.446 -.334 .073

 

.134

 

.018

 

.023 -.179 -.095 -.089 .855 .047

 

-.053 .168

 

.034

 

.046 .163 .222 .880 -.103 -.018 .052

 

.122

 

.017

 

.047 .178 .190 .900 -.063 .010

 

-.025 .155

 

.138

 

.331 .018 -.118 .385 .289 .084

 

-.454 .047

 

.006

 

.021 .003 -.090 -.014 .051 .813

 

.034

 

.232

 

-.051 .036 .217 -.069 -.036 .864 .028

 

-.023 .172

 

-.094 -.023 .128 .815 .199 -.106 -.087 .015

 

.370

 

-.063 -.069 -.016 .785 .169 -.063 .120

 

.061

 

X2

X3 X4 X5 X6 X7 X8 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10

 

Y11

 

Y12

 

Y13

 

Y14

 

Y15

 

Y16

 

Y17

 

Y18

 

Y19

 

Y20

 

Y22

 

Z1 Z2 Z4 Z6 Z9 Z10 Z11

1 2 3 4 5 6 7 8 9

 

Component

Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.

Rotation converged in 10 iterations. a.


(4)

f.

Varian total yang dikonstribusikan setiap faktor setelah rotasi

Total Variance Explained

10.313 29.466 29.466 6.185 17.673 17.673

5.652 16.148 45.614 5.316 15.188 32.861

3.731 10.660 56.274 3.648 10.422 43.283

2.136 6.102 62.376 3.112 8.892 52.175

1.688 4.822 67.197 2.575 7.357 59.531

1.432 4.092 71.289 2.513 7.181 66.712

1.251 3.574 74.863 2.026 5.787 72.499

1.174 3.355 78.218 1.569 4.482 76.982

1.030 2.942 81.160 1.463 4.179 81.160

.926 2.645 83.805

.763 2.181 85.987

.595 1.699 87.686

.564 1.611 89.296

.510 1.459 90.755

.493 1.408 92.163

.407 1.162 93.325

.327 .933 94.258

.314 .896 95.154

.247 .705 95.860

.226 .646 96.505

.208 .596 97.101

.192 .548 97.649

.159 .453 98.102

.128 .366 98.468

.120 .344 98.812

.099 .282 99.095

.073 .208 99.303

.069 .196 99.499

.054 .154 99.653

.036 .103 99.756

.030 .087 99.843

.026 .074 99.917

.020 .056 99.973

.007 .021 99.994

.002 .006 100.000

Component 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %

Initial Eigenvalues Rotation Sums of Squared Loadings


(5)

g.

Nilai

communalities

variabel

Communalities

 

1.000 .660

1.000 .814

1.000 .800

1.000 .727

1.000 .758

1.000 .642

1.000 .604

1.000 .781

1.000 .953

1.000 .919

1.000 .908

1.000 .891

1.000 .921

1.000 .891

1.000 .899

1.000 .884

1.000 .961

1.000 .814

1.000 .645

1.000 .911

1.000 .832

1.000 .890

1.000 .798

1.000 .831

1.000 .754

1.000 .780

1.000 .805

1.000 .803

1.000 .895

1.000 .900

1.000 .612

1.000 .675

1.000 .858

1.000 .779

1.000 .813

X2

 

X3

 

X4

 

X5

 

X6

 

X7

 

X8

 

Y1

 

Y2

 

Y3

 

Y4

 

Y5

 

Y6

 

Y7

 

Y8

 

Y9

 

Y10

 

Y11

 

Y12

 

Y13

 

Y14

 

Y15

 

Y16

 

Y17

 

Y18

 

Y19

 

Y20

 

Y22

 

Z1 Z2 Z4 Z6 Z9 Z10

 

Z11

 

Initial

 

Extraction


(6)

h.

Scree plot

35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Component Number

12

10

8

6

4

2

0

E

ige

nv

al

ue

Scree Plot