GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia 2001-2008

karena kenaikan penerimaan PAD lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 6.07 7.19 7.05 7.11 7.12 6.79 6.50 6.16 Minimum 0.02 0.55 0.63 0.66 0.57 0.63 0.55 0.38 Q1 2.82 3.54 3.92 3.68 3.35 3.47 3.41 3.17 Median 4.51 5.47 5.89 5.82 5.67 5.34 5.19 5.1 Q3 7.41 8.71 8.58 8.47 8.92 8.26 7.85 7.18 Maximum 69.5 60.3 51.91 57.9 59.62 57.12 50.04 51.02 IQR 4.59 5.17 4.66 4.79 5.58 4.78 4.44 4.01 Sumber : BPS, diolah Gambar 12 Derajat desentralisasi fiskal kabupatenkota periode 2001-2008 Hasil analisis boxplot juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa kabupatenkota yang menunjukkan derajat desentralisasi fiskal yang tinggi. Kabupaten Badung memiliki derajat desentralisasi fiskal paling tinggi selama periode penelitian, hal ini disebabkan daerah tersebut memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan PADnya terutama dari sektor pariwisata. Keindahan alam serta keunikan seni dan budaya, serta ditunjang oleh banyaknya objek wisata serta berbagai sarana akomodasi bertaraf internasional seperti hotel, restaurant bar, biro perjalanan wisata dan adanya berbagai atraksi wisata yang terdapat di wilayah Badung, menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona dan sumber pendapatan utama bagi Kabupaten Badung. Pendapatan asli daerah PAD Kabupaten Badung lebih dari 90 diperoleh dari sektor pariwisata, dan pengembangan kepariwisataan dilakukan secara selektif dengan 10 20 30 40 50 60 70 80 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Badung C ilegon Badung Badung Badung Badung Badung Badung Badung s urabay a C ilegon C ilegon Surabay a Surabay a Karim un Surabay a selalu berpedoman pada pengembangan pariwisata dan pelestarian budaya. Pengembangan sektor-sektor lainnya diarahkan untuk menunjang sektor pariwisata, seperti pengembangan sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga terutama industri kecil dan kerajinan yang menunjang sektor pariwisata, dan selebihnya dikembangkan untuk tujuan ekspor dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Derajat desentralisasi fiskal jika dalam analisisnya ditinjau per pulau akan menghasilkan pola yang berbeda, Pulau Jawa dan Bali memiliki pola derajat desentralisasi fiskal yang lebih baik dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Selengkapnya dapat dilihat di lampiran 7 sampai lampiran 8. Perkembangan derajat desentralisasi fiskal kabupatenkota dapat dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan 2005 dengan menggunakan skala interval yang ditunjukkan pada Gambar 13. Sumber : BPS, diolah Grafik 13 Jumlah kabupatenkota menurut derajat desentralisasi fiskal berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode 2001-2008 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sangat kurang 286 270 276 269 265 279 287 294 Kurang 43 53 52 59 63 45 41 37 Cukup 6 11 5 5 6 9 6 3 Sedang 1 2 2 1 2 1 1 Baik Sangat baik 1 1 1 1 1 1 1 1 50 100 150 200 250 300 Persen Derajat desentralisasi fiskal kabupatenkota di Indonesia secara umum masuk dalam kategori sangat kurang, rata-rata di atas 79 kabupatenkota termasuk dalam kategori ini. Pada awal tahun 2001 jumlah kabupatenkota yang masuk kriteria sangat kurang berjumlah 286 atau sekitar 85 dari jumlah kabupatenkota di Indonesia, pada tahun 2008 menjadi 294 atau 87.5. Daerah yang memiliki derajat desentralisasi fiskal yang termasuk kategori sangat baik selama periode 2001-2008 hanya Kabupaten Badung di Provinsi Bali. Sumber penerimaan daerah lainnya adalah Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak BHPBP. Perkembangan derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupatenkota dapat dilihat pada Gambar 14, yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumberdaya modal dan manusia. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 14.05 14.43 14.86 14.96 16.72 15.25 13.92 13.08 Minimum 2.45 2.52 2.27 1.55 3.16 1.46 3.57 1.55 Q1 5.75 6.15 6.29 6.49 7.12 5.89 5.93 5.15 Median 8.52 8.94 9.54 8.99 10.25 8.29 7.90 7.26 Q3 15.37 15.60 15.76 15.96 17.09 14.78 14.17 12.84 Maximum 88.02 89.60 80.74 88.11 91.98 87.60 84.45 86.32 IQR 5.75 6.15 6.29 6.49 7.12 5.89 5.93 5.15 Sumber : BPS, diolah. Gambar 14 Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupatenkota di Indonesia periode 2001-2008. 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Kutai Kutai Rokan Hilir Kutai Kutai Kutai Bengkalis Kutai Derajat potensi SDA dan SDM kabupatenkota di Indonesia pada umumnya juga masih rendah. Selama periode 2001-2008, derajat potensi SDA dan SDM kabupatenkota perkembangannya semakin konvergen namun rata-ratanya masih di bawah 20. Kondisi ini menunjukkan tingkat kemandirian daerah yang masih rendah. Setiap kabupatenkota mempunyai derajat potensi SDA dan SDM yang berbeda-beda tergantung besar kecilnya sumber BHPBP yang dimiliki masing- masing kabupatenkota. Hal ini dapat dilihat lebih jelas apabila ditinjau analisisnya per pulau, dan dapat dilihat selengkapnya di lampiran 12 sampai lampiran 16. Daerah yang mempunyai potensi SDA dan dapat memanfaatkan dengan optimal, maka daerah tersebut akan dapat meningkatkan penerimaan dari BHPBP, sementara daerah yang tidak punya potensi atau yang tidak dapat mengoptimalkan pemanfaatan SDAnya akan semakin jauh tertinggal. Terdapat beberapa daerah yang memiliki kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Daerah-daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan pada umumnya kaya SDA, sehingga pola derajat potensi daerahnya lebih baik dibanding daerah di pulau lainnya. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi SDA yang berlimpah, seperti Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kutai dan Bengkalis. Selain letaknya yang strategis, Kabupaten Bengkalis juga mempunyai potensi sumber daya alam yang banyak. Kekayaan alam tersebut hampir menyebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis. Potensi tersebut antara lain di sektor pertanian tanaman pangan dan holtikultura, perikanan, perternakan, perkebunan, perternakan, pertambangan dan pariwisata. Kabupaten Bengkalis merupakan penghasil minyak bumi yang terbesar, tidak hanya di Propinsi Riau tetapi juga di Indonesia. Kabupaten Kutai merupakan salah satu daerah di Kalimantan Timur yang memiliki potensi dibidang pertanian tanaman pangan. Daerah Kabupaten Kutai memiliki potensi lahan yang cukup luas, pengembangan sektor perkebunan merupakan salah satu sumber penerimaan devisa yang cukup potensial, yang terdiri dari perkebunan untuk komoditi kelapa sawit, karet, lada, kopi dan kakao. Selain itu Kabupaten Kutai memiliki potensi yang besar dalam sektor pertambangan, yang dititikberatkan pada batu bara, emas, pasir kuarsa dan batu kapur. Sumber penerimaan pemerintah daerah lainnya adalah transfer dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum DAU dan Dana Alokasi Khusus DAK. Pelaksanaan desentralisasi mengakibatkan semakin besarnya kewenangan yang diberikan kepada daerah baik dalam pengelolaan keuangannya maupun dalam pembangunan daerah. Adanya perbedaan potensi dan kondisi dari masing-masing daerah, menimbulkan perbedaan kemampuan keuangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut. Di satu sisi ada daerah yang kaya, namun di sisi lain ada daerah yang kemampuan keuangannya masih rendah. DAU merupakan salah satu jenis dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan horisontal antardaerah. Dana alokasi khusus DAK adalah bentuk transfer pusat yang bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan khusus daerah, yang menjadi prioritas nasional. Dana ini digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan, peningkatan, serta perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Besarnya kontribusi transfer pusat dalam bentuk DAU dan DAK terhadap penerimaan daerah menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat untuk kabupatenkota di Indonesia pada umumnya masih tinggi. Dengan kata lain, kabupatenkota memiliki tingkat kemandirian fiskal yang masih rendah. Kondisi ini menjelaskan bahwa keuangan daerah masih bergantung kepada pemberian dana perimbangan. Tingginya derajat ketergantungan daerah terhadap pusat diilustrasikan oleh diagram boxplot pada Gambar 15. Pada umumnya kabuptenkota memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat masih tinggi, rata-rata di atas 70. Daerah yang memiliki derajat ketergantungan tinggi pada umumnya kabupatenkota yang berada di Kawasan Timur Indonesia KTI, seperti Kabupaten Puncak Jaya. Derajat ketergantungan daerah terhadap pusat pada 2001-2005 menunjukkan trend menurun. Derajat ketergantungan tersebut kembali mengalami peningkatan sejak 2006. Beberapa kabupatenkota memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat lebih rendah dari daerah lainnya. Daerah tersebut terutama daerah yang memiliki derajat desentralisasi dan derajat potensi yang tinggi. Apabila derajat ketergantungan ini ditinjau per pulau analisisnya, seperti yang dapat dilihat pada lampiran 17 sampai lampiran 21, dapat dilihat pola yang agak berbeda. Selama periode tahun 2001-2008 Kabupaten Kutai dan Kabupaten Siak memiliki derajat ketergantungan paling rendah. Kabupaten Kutai dan Kabupaten Siak merupakan daerah yang kaya akan SDA. Kabupaten Siak memiliki karakteristik dataran rendah dengan iklim tropis sepanjang tahun yang digunakan untuk menanami hasil panen terutama bahan tanaman pangan dan holtikultura. Di sektor kehutanan, hampir seluruh bagian di Kabupaten Siak ditutupi oleh hutan, yang terdiri dari hutan produksi, hutan konversi, hutan mangrove, hutan cagar alam, dan beberapa hasil hutan seperti kayu lapis dan kayu gelondongan. Kabupaten Siak dikenal sebagai penghasil minyak utama di Riau. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 75.84 74.02 70.71 69.60 67.18 76.31 71.95 74.11 Minimum 9.19 7.28 11.67 6.76 3.83 6.16 6.68 5.38 Q1 71.23 68.90 68.29 66.78 63.41 76.02 69.71 72.11 Median 81.58 79.94 75.98 75.19 73.47 84.03 78.49 80.10 Q3 86.86 84.44 80.59 79.13 78.30 87.94 82.30 84.84 Maximum 95.37 94.36 90.36 93.84 88.63 93.35 89.22 93.44 IQR 15.63 15.55 12.30 12.36 14.88 11.92 12.60 12.73 Sumber : BPS, diolah Gambar 15 Derajat ketergantungan daerah kabupatenkota terhadap pemerintah pusat periode 2001-2008. 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Kutai Kutai Siak Kutai Siak Siak Kutai Siak Daerah yang derajat desentralisasi fiskal dan derajat potensi daerahnya lebih besar dibandingkan dengan lainnya, maka daerah tersebut akan memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat lebih kecil dibandingkan dengan daerah lainnya.

5.1.2 Kinerja Keuangan Daerah Ditinjau Dari Sisi Pengeluaran Daerah

Penerimaan daerah baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Pelaksanaan pembangunan tergantung pada kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah, yang diwujudkan dalam pengalokasian belanja daerah. Alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritas- prioritas dan program-program pembangunan suatu daerah untuk setiap tahunnya Priyarsono et al 2008. Alokasi belanja daerah mempunyai peranan yang sangat penting dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Belanja daerah terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Perkembangan derajat belanja rutin kabupatenkota di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 16. Perkembangan derajat belanja rutin masih menyebar dan derajatnya relatif tinggi rata-rata di atas 60, dimana derajatnya relatif mengalami penurunan. Perbedaan kebijakan pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja daerahnya, disebabkan karena adanya perbedaan prioritas pembangunan dari masing-masing daerah. Beberapa daerah mempunyai derajat belanja rutin lebih rendah dari daerah lainnya. Daerah tersebut adalah Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Bulongan dan Samarinda, yang memiliki derajat belanja rutin rata-rata 30. Hal ini menunjukkan daerah tersebut lebih banyak mengalokasikan belanja daerahnya untuk kebutuhan belanja pembangunan. Belanja pembangunan merupakan jenis belanja yang menghasilkan nilai tambah aset baik fisik maupun non fisik yang dilaksanakan pada periode tertentu. Perkembangan derajat belanja pembangunan kabupatenkota di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 17. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 69.77 66.90 57.21 59.30 56.09 65.24 64.33 65.52 Minimum 19.58 23.79 13.15 12.75 10.57 36.46 32.41 32.11 Q1 62.06 58.88 49.09 51.32 46.75 58.62 57.23 57.66 Median 71.74 68.78 59.46 61.85 58.90 66.10 65.85 66.83 Q3 79.96 75.56 68.40 69.37 66.18 72.80 72.48 73.33 Maximum 98.76 92.63 84.95 84.79 84.64 88.29 91.18 88.26 IQR 17.90 16.68 19.31 18.06 19.43 14.19 15.25 15.67 Sumber : BPS, diolah Gambar 16 Derajat belanja rutin kabupatenkota untuk periode 2001-2008. Gambar 17 di bawah menunjukkan perkembangan derajat belanja pembangunan kabupatenkota di Indonesia, yang hasilnya menunjukkan persebarannya semakin konvergen namun masih berkisar dibawah 40. Awal pelaksanaan otonomi daerah, alokasi daerah untuk belanja pembangunan mengalami peningkatan, namun pada 2006 kembali mengalami penurunan. Beberapa daerah di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau, memiliki derajat belanja pembangunan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya. Daerah tersebut adalah Kabupaten Rokan Hilir, Siak, Bulongan dan Kota Samarinda. Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan adanya kewenangan daerah dalam mengelola keuangan dari sisi pengeluaran, maka masing-masing daerah mempunyai prioritas pembangunan yang berbeda sehingga alokasi belanja juga berbeda. 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Rokan Hilir Siak Siak Bulongan Bulongan Rokan Hilir Siak Samarinda 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 30.23 33.10 42.79 40.70 43.91 34.76 35.67 34.48 Minimum 1.24 7.37 15.05 15.21 15.36 11.71 8.82 11.74 Q1 20.04 24.44 31.60 30.63 33.82 27.20 27.52 26.67 Median 28.26 31.22 40.54 38.15 41.1 33.9 34.15 33.17 Q3 37.94 41.12 50.91 48.68 53.25 41.38 42.77 42.34 Maximum 80.42 76.21 86.85 87.25 89.43 63.54 67.59 67.89 IQR 17.90 16.68 19.31 18.06 19.43 14.19 15.25 15.67 Sumber : BPS, diolah Gambar 17 Derajat belanja pembangunan kabupatenkota untuk periode 2001-2008. Kinerja keuangan daerah ditinjau dari sisi pengeluaran menunjukkan bahwa pada umumnya kabupatenkota di Indonesia mengalokasikan belanja daerahnya masih lebih besar untuk kebutuhan belanja rutin daripada belanja pembangunan. Kondisi ini jika ditinjau dengan analisis ekonomi mengenai perilaku birokrat dalam pemerintahan, sesuai dengan pandangan Weber yang dimodifikasi oleh Niskanen Mangkoesoebroto 1997, yang menyatakan bahwa birokrat sebagaimana juga dengan orang lain adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya melalui gaji, jumlah karyawan, reputasi dan status sosial.

5.1.3 Derajat Kemandirian Daerah

Pelaksanaan desentralisasi fiskal, berimplikasi pada semakin besarnya kewenangan yang diberikan kepada daerah, sehingga daerah dituntut untuk dapat 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Rokan Hilir Siak Siak Bulongan Bulongan Rokan Hilir Siak Samarinda