Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
g
t Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB
Sumber : Kharisma, 2006. Gambar
4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB menurut Teori Scully.
2.1.6.2 Teori Peacock dan Wiseman
Teori Peacock dan Wiseman, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi PDB menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak
tidak berubah, dan peningkatan penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Pada kondisi normal peningkatan PDB
menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Apabila kondisi di atas terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang, maka
penerimaan pemerintah dari pajak akan meningkat di antaranya melalui cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi
menjadi berkurang. Kondisi ini disebut efek pengalihan displacement effect yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada
aktivitas pemerintah. Biaya perang tidak hanya dipenuhi melalui pajak, dibiayai juga melalui pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang, pemerintah
sebetulnya dapat menurunkan tarif pajak kembali, tetapi karena harus mengembalikan pinjaman tersebut maka penurunan tarif pajak tidak dilakukan.
Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat karena pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Hal ini disebut
efek inspeksi inspection effect. Gangguan sosial juga dapat menyebabkan
terjadinya efek konsentrasi concentration effect yaitu terjadi konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula
dilaksanakan untuk swasta. Setelah perang selesai dan kembali ke keadaan normal, tingkat pajak akan turun kembali.
Teori ini didasari suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha memperbesar pengeluarannya sementara masyarakat tidak suka membayar pajak
yang semakin besar dalam rangka membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teorinya pada suatu teori bahwa masyarakat
mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-
mena.
2.2 Penelitian Empirik Terdahulu
Kharisma 2006, meneliti tentang pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di 26
provinsi di Indonesia. Dengan menggunakan estimasi model ekonometrik data panel, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi
1995-2000, peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di tingkat nasional,
di Jawa maupun luar Jawa. Peran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar melalui dana perimbangan dibanding
pendapatan asli daerah PAD. Sesudah memasuki era desentralisasi 2001-2004, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik
melalui sisi penerimaan maupun pengeluaran mengalami peningkatan. Perannya jauh lebih besar melalui sisi pengeluaran dibandingkan sisi penerimaan, baik
untuk tingkat nasional, di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi peran PAD terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, walaupun masih di
bawah dana perimbangan. Selain itu selama era desentralisasi, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran
pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan era sebelumnya.
Ronauli 2006, meneliti tentang pengaruh dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan daerah pasca penerapan
desentralisasi fiskal di Indonesia. Penelitian menggunakan analisis data panel dengan model regresi fixed effect dan metode Generalized Least Square GLS.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan dana bagi hasil pajak maupun sumber daya alam secara rata-rata nasional tidak memberikan hasil yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, dan variabel Dana Alokasi Umum DAU tidak memberikan hasil positif meminimkan disparitas pendapatan daerah.
Waluyo 2007, meneliti tentang dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan model ekonometrika persamaan simultan dengan menggunakan data panel antarpropinsi. Asumsi yang digunakan adalah
tidak adanya keterkaitan antardaerah, tidak ada migrasi penduduk antardaerah, tidak ada pergerakan modal dan barang antardaerah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber
daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Daerah-daerah yang miskin sumber daya alam dan bukan pusat bisnis dan industri
akan mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU dan DAK. Desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah
terutama antara Kawasan Barat Indonesia KBI dan Kawasan Timur Indonesia KTI, hal ini disebabkan oleh mekanisme equalizing transfer melalui dana
perimbangan. Hal ini juga ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di KTI, sedangkan pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang paling
rendah pertumbuhan ekonominya dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal. Secara umum kebijakan desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi
kesenjangan pendapatan antardaerah. Brodjonegoro 2001 melakukan penelitian dengan menggunakan model
makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan skema DAU,
DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan DBHPPh disparitas ekonomi antardaerah akan semakin meningkat ditunjukkan oleh meningkatnya angka
indeks Williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda-beda antar
daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingat petumbuhan yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
Lutfi 2002, dalam penelitiannya tentang pemanfaatan kebijakan desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-Undang Nomor 342000 oleh Pemda
untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah. Implementasi Undang-Undang Nomor 342000 telah memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untuk
memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini ditunjukkan seluruh daerah di Indonesia berlomba-lomba untuk menerbitkan perda untuk menggali potensi
pajak daerah dan retribusi daerah yang dimiliki daerahnya. Landiyanto 2005, meneliti kinerja keuangan daerah kota Surabaya di era
otonomi daerah. Dengan menggunakan metode eksploratif dan diperkuat dengan melihat tingkat kemandirian keuangan dan derajat desentralisasi, periode tahun
1998-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Surabaya masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan belum
optimalnya penerimaan dari pendapatan Asli daerah Kota Surabaya. Sehingga perlu di cari alternatif-alternatif untuk meningkatkan PAD.
Adi dan Wulan 2008, melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat adanya kecenderungan perilaku asimetris pemerintah daerah kotakabupaten
terhadap pemerintah pusat yang diwujudkan dalan APBD. Hasil penelitian menunjukkan transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya
pengeluaran pemerintah daerah kabupaten atau kota. Terbukti adanya perilaku asimetris daerah dalam merespon transfer pemerintah pusat dengan cara
memanipulasi pengeluaran pemerintah setinggi mungkin dengan tidak mengupayakan maksimasi pendapatan asli daerah PAD supaya dapat bantuan
berupa transfer dari pemerintah pusat. Idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi PAD dalam hal pembiayaan