Kinerja Keuangan Daerah Ditinjau Dari Sisi Penerimaan Daerah

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 30.23 33.10 42.79 40.70 43.91 34.76 35.67 34.48 Minimum 1.24 7.37 15.05 15.21 15.36 11.71 8.82 11.74 Q1 20.04 24.44 31.60 30.63 33.82 27.20 27.52 26.67 Median 28.26 31.22 40.54 38.15 41.1 33.9 34.15 33.17 Q3 37.94 41.12 50.91 48.68 53.25 41.38 42.77 42.34 Maximum 80.42 76.21 86.85 87.25 89.43 63.54 67.59 67.89 IQR 17.90 16.68 19.31 18.06 19.43 14.19 15.25 15.67 Sumber : BPS, diolah Gambar 17 Derajat belanja pembangunan kabupatenkota untuk periode 2001-2008. Kinerja keuangan daerah ditinjau dari sisi pengeluaran menunjukkan bahwa pada umumnya kabupatenkota di Indonesia mengalokasikan belanja daerahnya masih lebih besar untuk kebutuhan belanja rutin daripada belanja pembangunan. Kondisi ini jika ditinjau dengan analisis ekonomi mengenai perilaku birokrat dalam pemerintahan, sesuai dengan pandangan Weber yang dimodifikasi oleh Niskanen Mangkoesoebroto 1997, yang menyatakan bahwa birokrat sebagaimana juga dengan orang lain adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya melalui gaji, jumlah karyawan, reputasi dan status sosial.

5.1.3 Derajat Kemandirian Daerah

Pelaksanaan desentralisasi fiskal, berimplikasi pada semakin besarnya kewenangan yang diberikan kepada daerah, sehingga daerah dituntut untuk dapat 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Rokan Hilir Siak Siak Bulongan Bulongan Rokan Hilir Siak Samarinda menggali potensi yang dimilikinya yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Selain itu daerah juga dituntut untuk mampu mengoptimalkan pemanfaatannya untuk membiayai pembangunan daerah. Besarnya kemampuan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerahnya tercermin dalam besarnya penerimaan PAD dari masing-masing daerah. Derajat kemandirian daerah didefinisikan sebagai kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan belanja daerahnya, baik belanja rutin maupun belanja pembangunan yang bersumber dari PAD. Hasilnya menunjukkan bahwa PAD belum dapat secara optimal membiayai belanja rutin daerah, apalagi untuk membiayai seluruh belanja daerah termasuk belanja pembangunan. Kondisi ini dapat dilihat pada diagram boxplot pada Gambar 18. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 9.51 11.45 14.91 12.85 13.18 11.25 10.54 8.77 Minimum 0.04 0.86 1.62 1.60 1.40 1.29 0.95 0.88 Q1 4.52 5.61 7.33 6.45 6.34 6.07 5.99 4.93 Median 6.75 9.09 11.14 9.65 10.30 8.98 8.51 6.99 Q3 11.23 13.99 18.05 15.01 15.82 13.63 12.26 10.15 Maximum 132.96 108.01 108.99 134.64 93.41 71.70 63.82 72.35 IQR 6.71 8.37 10.72 8.57 9.49 7.56 6.28 5.21 Sumber : BPS, diolah Gambar 18 Derajat kemandirian kabupatenkota ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode 2001-2008. 20 40 60 80 100 120 140 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Badung Kepulauan Riau Badung Kota Cilegon Badung Kota Batam Badung Kota Tarakan Badung Badung Kota Tangerang Kota Surabay a Siak Badung Gambar 18 menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 2001-2008 derajat kemandirian kabupatenkota mengalami persebaran yang semakin konvergen akan tetapi ada kecenderungan menurun dan derajat kemandiriannya masih relatif rendah, rata-rata di bawah 20. Beberapa daerah yang mempunyai derajat kemandirian di atas 60 yaitu Kabupaten Badung, Kota Surabaya, Kota Tarakan, Kota Cilegon, Kota Tangerang dan Kabupaten Siak. Kabupaten Badung, pada tiga tahun pertama pelaksanaan desentralisasi bahkan memiliki derajat kemandirian di atas 100, dengan kata lain Kabupaten Bandung untuk periode 2001-2003 mengalami surplus dalam membiayai belanja rutin daerahnya. Hal ini selaras dengan hasil analisis kinerja keuangan daerah yang menunjukkan bahwa Kabupaten Badung memiliki derajat desentralisasi paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Perkembangan derajat kemandirian daerah ditinjau dari komponen PAD dibandingkan TBR total belanja rutin jika dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan 2005 dengan menggunakan skala interval dapat ditunjukkan pada Gambar 19. Sumber : BPS, diolah Gambar 19 Jumlah kabupatenkota menurut derajat kemandirian daerah berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode 2001-2008. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sangat Kurang 232 188 146 175 162 192 211 249 Kurang 75 105 122 109 116 107 96 65 Cukup 20 31 40 33 39 24 20 16 Sedang 5 6 18 12 9 9 4 4 Baik 3 4 3 2 6 1 Sangat Baik 1 2 8 5 4 3 5 2 50 100 150 200 250 300 Jumlah KabupatenKota Selama kurun waktu 2001-2008 terdapat pergeseran kabupatenkota ke kategori yang cukup baik. Kabupatenkota yang masuk kategori kurang, artinya rasio PAD terhadap belanja rutin di bawah 20, mengalami peningkatan dari 75 kabupatenkota tahun 2001 menjadi 116 pada tahun 2005, hanya saja pada tahun 2008 menurun kembali hanya sampai 65 kabupatenkota yang masuk kategori kurang. Hal ini menunjukkan kemampuan daerah untuk menggali sumber penerimaan yang berasal dari daerahnya sendiri untuk membiayai belanja rutinnya mengalami penurunan mulai pada tahun 2006. Perkembangan rasio PAD terhadap total belanja kabupatenkota di Indonesia selama tahun 2001-2008 menujukkan persebaran yang semakin konvergen akan tetapi secara rata-rata menurun. Kondisi ini ditunjukkan pada Gambar 20. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 6.52 7.46 7.85 6.90 7.06 7.31 6.78 5.69 Minimum 0.02 0.52 0.77 0.69 0.64 0.92 0.65 0.45 Q1 3.02 3.76 4.30 3.32 3.35 3.82 3.59 2.96 Median 4.81 5.84 6.38 5.62 5.66 5.70 5.34 4.71 Q3 7.86 8.97 9.37 8.20 8.90 8.89 8.24 6.89 Maximum 69.59 61.54 63.91 53.95 54.65 56.59 41.43 36.09 IQR 4.85 5.21 5.07 4.89 5.55 5.07 4.65 3.93 Sumber : BPS, diolah Gambar 20 Derajat kemandirian kabupatenkota ditinjau dari rasio PAD terhadap total belanja daerah periode 2001-2008. 10 20 30 40 50 60 70 80 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Badung Kota Surabay a Badung Badung Cilegon Kota Padang Badung Kota Surakarta Badung Cilegon Badung Kota Surabay a Badung Badung Siak Gambar 20 menunjukkan rata-rata rasio PAD terhadap total belanja daerah masih dibawah 10, artinya pada umumnya sumber penerimaan kabupatenkota yang berasal dari PAD untuk membiayai pembangunan daerah masih sangat kurang. Kebutuhan belanja daerah untuk kabupatenkota di Indonesia masih banyak bersumber dari penerimaan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Beberapa daerah yang mempunyai derajat kemandirian tinggi, yaitu Kabupaten Badung, Kota Surabaya, Kota Cilegon Kota Padang, Kota Surakarta dan Kabupaten Siak. Kabupaten Badung selama kurun waktu 2001-2008, mempunyai derajat kemandirian rata-rata di atas 50. Perkembangan derajat kemandirian daerah jika ditinjau dari rasio PAD dan BHPBP terhadap total belanja daerah menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan rasio PAD terhadap total belanja, ditunjukkan pada Gambar 21. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 22.26 22.21 24.28 21.38 23.58 24.75 21.21 17.65 Minimum 4.31 6.23 4.50 1.90 7.37 5.92 6.27 3.20 Q1 10.66 12.31 13.34 11.53 13.60 11.87 11.84 9.60 Median 15.26 16.41 17.73 14.93 17.14 15.55 14.98 12.78 Q3 24.25 26.08 26.32 23.59 25.43 25.12 22.63 19.03 Maximum 150.33 127.96 105.88 89.38 94.22 177.99 121.08 80.30 IQR 13.59 13.77 12.98 12.06 11.83 13.25 10.79 9.43 Sumber : BPS, diolah Gambar 21 Derajat Kemandirian daerah ditinjau dari PAD dan BHPBP terhadap total belanja daerah periode 2001-2008. 40 80 120 160 200 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Siak Rokan Hilir Rokan Hilir Kutai Kutai Kutai Kutai Bengkalis Bengkalis Kutai Tarakan Selama kurun waktu 2001-2008, persebarannya semakin konvergen, rata- rata menurun dari 22.26 pada tahun 2001 menjadi 17.65 pada tahun 2008. Kabupatenkota pada tahun 2008 hanya dapat membiayai 17.65 keseluruhan belanja daerahnya yang dibiayai dari PAD dan BHPBP. Beberapa kabupatenkota di Provinsi Riau dan Kalimantan Timur mempunyai derajat kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, yaitu Kabupaken Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Kutai, Kabupaten Bengkalis dan Kota Tarakan. Beberapa daerah mengalami surplus dalam membiayai belanja daerahnya. Secara umum dari semua uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan kinerja keuangan daerah dari kabupatenkota di Indonesia sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah, belum mampu meningkatkan kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Penyebaran kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah semakin konvergen namun nilainya masih rendah dan cenderung mengalami penurunan. Kabupatenkota pada umumnya belum mampu membiayai semua kebutuhan belanja daerahnya hanya bersumber dari penerimaan PAD, bahkan hanya beberapa daerah saja yang cukup mampu membiayai kebutuhan belanja daerahnya dari PAD dan BHPBP, terutama daerah-daerah yang memiliki potensi SDA. Hal ini menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi, sehingga dapat dikatakan salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal kabupatenkota di Indonesia belum tercapai dengan optimal. Hal ini disebabkan karena daerah belum mampu menggali dan memanfaatkan potensi daerah yang dimilikinya dengan optimal, sehingga ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi.

5.2 Analisis Regresi Berganda dengan Data Panel: Dampak Pemberian Dana Perimbangan terhadap

Tax Effort Daerah dan Elastisitas Pertumbuhan Ekonomi Daerah terhadap PAD dan Dana Perimbangan

5.2.1 Dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah

Pemerintah pusat memberikan transfer dalam bentuk dana perimbangan dengan tujuan untuk mengatasi kesenjangan horisontal yang timbul karena ada kesenjangan fiskal, dan untuk menjamin tercapainya stadar pelayanan publik. Transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan daerah untuk menggali berbagai potensi lokal yang dimiliki untuk peningkatan PAD. Daerah menjadi lebih leluasa melakukan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam rangka peningkatan PAD, baik melalui pajak maupun retribusi daerah. Transfer pemerintah pusat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Pengaruh transfer pemerintah pusat terhadap upaya pajak daerah tax effort diestimasi melalui pengujian menggunakan analisis regresi berganda dengan data panel. Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode fixed effect, hal ini karena data yang digunakan meliputi semua individu dalam populasi. Pemilihan model antara metode fixed effect dan metode random effect juga dilakukan dengan pengujian Hausman test. Hasil pengujian Hausman test dapat dilihat pada Tabel 10, yang menunjukkan bahwa untuk periode penelitian 2001-2008 nilai chi square hitung lebih besar daripada chi square tabel , sehingga cukup bukti untuk menolak Ho. Dengan demikian estimasi menunjukkan bahwa pendekatan fixed effect lebih baik dibandingkan dengan pendekatan random effect. Berarti terdapat perbedaan antar unit yang dapat dilihat melalui perbedaan dalam constans term. Dalam fixed effect model diasumsikan bahwa tidak terdapat time specific effect dan hanya memfokuskan pada individual specific effects. Tabel 10 Uji Hausman Hipotesis Penelitian Kesimpulan Ho : ada gangguan antar individu random effect 102.408612 11.0705 Tolak Ho Keterangan : signifikan pada α = 5 Hasil estimasi yang dilakukan pada periode 2001-2008 menunjukkan variabel-variabel komponen dana perimbangan berpengaruh terhadap tax effort daerah. Hasil pengujian dengan metode fixed effect dirangkum dalam Tabel 11, dan hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat di lampiran. Tabel 11 menunjukkan bahwa koefisien determinasi R 2 sebesar 84.22. Koefisien ini menunjukkan bahwa 84.22 variasi tax effort daerah ditentukan oleh dana perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU dan DAK, sedangkan selebihnya 15.78 ditentukan oleh faktor lain. Tabel 11 Hasil estimasi dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah Variable Coefficient t-Statistic P-value R square R 2 Intercept -7.065278 -27.7126 0.0000 0.842185 LNDBH 0.051755 2.763868 0.0058 LNDAU 0.069114 2.638291 0.0084 LNDAK 0.006156 2.353126 0.0187 Sumber : data diolah Keterangan : signifikan pada α = 5 Hasil estimasi menunjukkan bahwa intersep dan ketiga koefisien komponen dana perimbangan DBH, DAU dan DAK signifikan secara statistik, dengan taraf nyata 5 α= 5. Hasil ini membuktikan bahwa ketiga komponen dana perimbangan tersebut mempengaruhi secara positif terhadap besaran tax effort daerah. Dengan kata lain, hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan memberikan pengaruh positif terhadap tax effort daerah terbukti. Hubungan antara komponen dana perimbangan dengan tax effort daerah dapat digambarkan dalam persamaan berikut: Ln TEit = α i + β 1 lnDBHit + β 2 lnDAUit + β 3 lnDAKit + it ……………………5.1 = α i + 0.051755 ln DBH it + 0.069114 ln DAU it + 0.006156 ln DAK it 0.0058 0.0084 0.0187 ..…5.2 Ketiga slope pada persamaan 5.2 menunjukkan koefisien elastisitas dari komponen dana perimbangan terhadap tax effort daerah. Besaran masing-masing koefisien elastisitas dari komponen dana perimbangan pada persamaan 5.2 dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1 setiap kenaikan DBH sebesar 1, maka akan mendorong kenaikan tax effort daerah sebesar 0.052, ceteris paribus, 2 setiap kenaikan DAU sebesar 1, maka akan mendorong kenaikan tax effort daerah sebesar 0.069, ceteris paribus, dan 3 setiap kenaikan DAK sebesar 1,