glukokortikoid Mehls dan Hoyer, 2011. Risiko resisten steroid pada SN lebih besar apabila sensitivitas podosit terhadap glukokortikoid terganggu.
5.3 Kadar Angiotensin II Plasma dan Hipertensi: Faktor Risiko SNRS
Studi tentang efek angiotensin II sistemik khususnya pada pasien sindrom nefrotik masih terbatas. Karena itu, studi ini mencoba meneliti
tentang efek angiotensin II sistemik dalam mengendalikan tekanan darah dan albuminuria pada anak SN.
Efek vasokonstriktor angiotensin II lebih nyata pada arteriol efferen dibandingkan dengan arteriol afferen dan menyebabkan peningkatan
tekanan kapilar glomerulus. Kerusakan target organ akibat hipertensi umumnya terjadi akibat pengaruh peningkatan pembentukan angiotensin
II ataupun karena penurunan degradasi angiotensin II. Hal ini menimbulkan abnormalitas tonus pembuluh darah, abnormalitas
pengaturan air dan sodium,serta adanya remodeling vaskular Raij, 2001. Apabila kadar sistemik angiotensin II meningkat, aliran darah renal
menurun secara progresif. Hal ini menyebabkan peningkatan fraksi filtrasi glomerulus. Resistensi pembuluh darah yang lebih rendah dibandingkan
dengan korteks dapat meningkat sebagai respon peningkatan angiotensin II. Keadaan ini memberi efek proteksi karena aliran darah ke medulla
relatif lebih ‘terjaga’ dibandingkan dengan aliran ke korteks ginjal Denton, Anderson dan Sinniah, 2000; Takenaka, Hayashi dan Ikenaga, 2004.
Mekanisme efek angiotensin II pada pasase protein transglomerular dipengaruhi oleh tonus arteriol efferen, tekanan intra glomerular, dan
aliran plasma ke glomerular Langham et al., 2004. Penelitian dengan
Universitas Sumatera Utara
tikus yang diberi infus angiotensin II selama 14 hari disertai diet normal menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hal ini berhubungan
bermakna dengan peningkatan eksresi protein urin. Beberapa model tikus penelitian yang menunjukkan hasil yang sama ternyata berbeda dalam hal
produksi degradasi angiotensin II Raij, 2001.Herizi et al.1998 menemukan perbedaan yang bermakna antara ekskresi albumin urin dan
tekanan arteri sistolik sebelumsesudah diberikan angiotensin II pada tikus percobaan.Pemakaian obat penghambat ACEI ataupun ARB dalam
praktik sehari-hari memengaruhi degradasi angiotensin II sehingga mengurangi proteinuria dan memunyai efek protektif renal Tsikouris dan
Cox, 2003; Partini, 2007. Keadaan ini masih “berbahaya” karena manfaat
ACEI dalam menghambat progresif ke arah gagal ginjal akan “hilang” dengan bertambahnya waktu Neild, 2009.Hal ini menunjukkan bahwa
masih ada mekanisme lain bekerja menghambat regresi PGK Fogo,2006 Efek lain peningkatan angiotensin II sistemik pada SN adalah
berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sodium melalui beberapa cara, bukan hanya di ginjal melainkan juga melalui kontrol SSP.
Peningkatan reabsorbsi sodium di tubulus ginjal; peningkatan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis ginjal; terganggunya pengaturan
barorefleks kardiak oleh nervus simpatis renal Sanchez-Palachios,Jones, dan DiBona, 1998;Kumagai et al., 2004 merupakan contoh interaksi renal
dan SSP dalam penanganan sodium.Keseluruhan keadaan ini memfasilitasi aksi simpatis dan hemodinamik peningkatan preload,
Universitas Sumatera Utara
afterload, dan tegangan vaskular terhadap tekanan darah pada individu dengan peningkatan angiotensin II sistemik.
Studi ini memperlihatkan kadar angiotensin II plasma pada berbagai kelompok subjek. Kadar angiotensin II plasma pada subjek
SNRS lebih tinggi dibandingkan dengan SNSS fase remisi ataupun anak sehat. Walaupun demikian, peneliti gagal menemukan kenormalan
distribusi kadar angiotensin II di antara subjek Tabel 9 sehingga hipotesis yang diuji menjadi kurang spesifik karena hanya didasarkan
pada urutan kadar angiotensin II di antara subjek. Peningkatan kadar angiotensin II sistemik secara terus menerus
kronik pada penderita SN merupakan penyebab utama respon vasokonstriksi vaskular. Respon ini menyebabkan peningkatan tekanan
intraglomerulus dan hiperfiltrasi glomerulus. Respon glomerulus terhadap hiperfiltrasi glomerulus menyebabkan terjadinya proteinuria Kaplan, 2006;
Wolf, Butzman dan Wenzel., 2003. Efek steroid dalam mengatasi proteinuria akibat sekunder hiperfiltrasi glomerulus ini menjadi terbatas
dan dapat meningkatkan risiko resistensi steroid pada penderita SN. Keadaan proteinuria persisten juga menyebabkan percepatan menuju
PGK tahap akhir Abbate, Zoja dan Remuzzi, 2006.
5.4 Analisis Korelasi dan Multivariat Frekuensi Alel MIF, Kadar Angiotensin II Plasma dan Kadar MIF Serum Secara Bersama-
sama dengan Hipertensi terhadap Risiko SNRS
Pada studi ini ditemukan korelasi walaupun sangat lemah antara angiotensin II plasma dan MIF yang bersirkulasi, walaupun tidak berarti
memiliki hubungan sebab akibat. Hal ini memperkuat penjelasan bahwa
Universitas Sumatera Utara
perlekatan monositmakrofag disertai dengan dihasilkannya sitokin MIF dan peranan angiotensin II sistemik terhadap MIF yang bersirkulasi.
Hasil menunjukkan korelasi yang sangat lemah, tetapi dapat dijelaskan bahwa aktivitas MIF cenderung mengikuti kurva sigmoid
daripada kurva linier sehingga efek penuh peningkatan MIF yang bersirkulasi dapat saja terjadi pada kadar angiotensin II sistemik yang
rendah. Temuan ini lebih lanjut menerangkan bahwa angiotensin II sistemik bukan merupakan satu satunya faktor yang bertanggungjawab
terhadap peningkatan MIF serum. Interaksi angiotensin II dan MIF secara sistemik dalam pengaturan
resistensi terhadap glukokortikoid ternyata jauh lebih komplek daripada yang dibayangkan sebelumnya. Walaupun SSP memiliki barier yang sulit
dilalui oleh hormon, organ sirkumventrikel CVO sebagai lokasi awal angiotensin II sistemik bekerja di otak memunyai kelebihan anatomis
berupa kekurangan barier tersebut Ferguson, Washburn dan Latchford, 2001 sehingga angiotensin II dapat bekerja pada HPA. Aktivasi HPA
akibat respon angiotensin II dalam hubungannya dengan resisten steroid merupakan kejadian tingkat sel yang diperantarai signal transduksi yang
kompleks dan bila tidak terkoordinasi dapat menimbulkan komplikasi klinis yang nyata Tharaux et al., 2000; Sayeski dan Bernstein, 2001.
Pengaruh angiotensin II sistemik terhadap ekspresi gen hipertensi, belum ditemukan sebagai hubungan kausalitas Hubner et al., 1999.
Aktivasi NFkB dan AP-1; kompleks protein sebagai pengatur signal tahap kedua second messangers di dalam proses selular angiotensin II untuk
Universitas Sumatera Utara
ekspresi gen Ruiz-Ortega et al., 2001, merupakan peran tidak langsung angiotensin II. Kedua kompleks protein ini mengatur transkripsi mRNA dari
DNA yang komplementer. Walaupun studi ini tidak menganalisis kedua kompleks protein tersebut oleh karena berbagai keterbatasan; kaitan
angiotensin II terhadap ekspresi gen MIF terjadi melalui kedua kompleks. Disamping itu, kunci peranan disregulasi angiotensin II bersirkulasi pada
homeostasis hemodinamik, paling baik secara klinis diperlihatkan pada tingkat SSP dan kardiorenal berupa hipertensi.
Apabila angiotensin II sudah bekerja pada tingkat sel, sitokin seperti MIF juga diatur pada tingkat tersebut sehingga studi ini cukup sulit
menemukan korelasi kuat antara kadar MIF dan angiotensin II. Hal yang juga sulit diungkapkan melalui studi ini adalah apakah angiotensin II
ataukah MIF yang lebih superior dalam aktifasi HPA. Perlu diingat bahwa hormonalneurotransmitter bekerja seperti tongkat komando Don, Biglieri,
dan Schambelan,1997 dalam pengaturan intrasel selanjutnya bersama- sama dengan faktor genetik. Hal ini dibuktikan dengan studi mikroarray
ekspresi DNA yang menggunakan kultur neuron tikus. Hasilnya menunjukkan bahwa angiotensin II adalah terbesar dalam mengatur
regulasi gen MIF Busche et al., 2001 Masalah utama pemodelan pada analisis multivariat adalah
memilih sedemikian banyak kovariat ke dalam model terbaik. Keputusan untuk tetap mempertahankan variabel tertentu dalam suatu model
didasarkan pada keputusan klinis atau signifikan secara statistika. Hal ini nyata pada hipotesis V studi ini. Walaupun model final regresi logistik
Universitas Sumatera Utara
hanya menjawab sebahagian variabel yang disangkakan hipotesis V studi ini Tabel 12, kadar MIF dan angiotensin II sebagai faktor risiko SNRS
tetap perlu diperhatikan Tabel 11. Hal ini disebabkan model regresi Wald mengandung kelemahan mendasar, yaitu hanya didasarkan uji signifikansi
variabel dan tidak dilandasi kerangka teoritikkeputusan klinis. Sebagai klinisi hal di atas memang penting. Namun, lebih penting lagi adalah hasil
akhir pada penderita SNRS. Manifestasi nyata dari keseluruhan proses biomolekul angiotensin II dan MIF dalam resistensi glukokortikoid adalah
hipertensi yang perlu diwaspadai bersama proteinuria persisten dalam pengelolaan SNRS. Oleh karena itu, studi ini tetap memilih seluruh
variabel Tabel 11 sebagai model terbaik. Nilai probabilitas peningkatan risiko SNRS pada individu apabila
ditemukan hipertensi bersama alel C berkisar 91,7 Tabel 13. Data studi ini mengenai risiko SNRS menjelaskan peranan hipertensi saja lebih
kurang 74, sedangkan apabila ditambah alel C berkisar 91,7. Hal ini berarti beda peran gen dan nongen terhadap risiko SNRS pada individu
dengan hipertensi berkisar 18 lagi. Walaupun demikian, validasi nilai ini dalam praktik sehari hari, masih memerlukan penelitian lanjutan.
Studi ini merupakan studi pertama yang menjelaskan hubungan sitokin MIF dan angiotensin II terhadap SNRS dengan fungsi ginjal di atas
90 mlmenit1,73m
2
. Walaupun dalam studi ini belum ditemukan pasien SNRS dengan fungsi ginjal di bawah 90 mlmenit1.73m
2
secara kohort menandakan sekuele renal jangka panjang, bagi para klinisi amat
penting mencegah pasien SNRS yang merupakan derajat I KDOQI,
Universitas Sumatera Utara
progresif ke derajat yang lebih tinggi. Pengaturan kadar sitokin MIF dan penatalaksanaan hipertensi berdampak terhadap penyakit ginjal
dinidisfungsi vaskular dan akan dapat memberikan inovasi terapi untuk mencegah atau memperbaiki nefropatikerusakan vaskular.
5.5 Hipertensi, Angiotensin II Sistemik dan Peranan dalam Gangguan
StrukturFungsi Ginjal
Peninggian tekanan darah sistemik merupakan prediktor terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada anak. Infus dosis kronik
angiotensin II pada tikus percobaan menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan gangguan relaksasi vaskular lebih nyata daripada
subjek dengan kadar angiotensin II rendah Rajagopalan et al.,1996. Hipertensi yang diinduksi angiotensin II pada tikus percobaan juga
menyebabkan infiltrasi makrofag di sel glomerular dan tubular disertai induksi berbagai sitokin Hurairah dan Ferro, 2004; Liao et al., 2008.
Salah satunya adalah sitokin MIF Lan, 2008. Hal di atas menunjukkan bahwa angiotensin II sistemik bukan
hanya menyebabkan vasokonstriksi sebagai fungsi hemodinamik, tetapi juga berperan dalam pengambilanrekrutmen makrofag lokal di ginjal
fungsi non hemodinamik. Walaupun studi ini tidak melakukan pengukuran angiotensin II di jaringan ginjal karena keberadaan
mekanisme independen renin angiotensin pada ginjal juga perlu diperhatikan van Kats et al., 2001, data kami tentang angiotensin II
sistemik perlu dipertimbangkan karena studi tentang angiotensin II sistemik dalam hubungannya dengan SNRS masih sedikit diteliti.
Universitas Sumatera Utara
Pasien SNRS yang mengalami hipertensi memunyai risiko terjadinya penurunan faal ginjal yang progresif di kemudian hari
Kaplan,2006. Memang bukan hanya angiotensin II sistemik saja yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Artinya, cukup banyak
hal yang memengaruhi tekanan darah misalnya pengaturan tekanan darah jangka pendek dan jangka menengah. Namun, angiotensin II
sistemik merupakan efektor SRAA yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah jangka panjang Guyton, 1991;.Navar dan
Hamm,1999. Persistensi peningkatan angiotensin II di sirkulasi menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri, yang pada gilirannya
dapat menyebabkan respon glomerulus berupa hiperfiltrasi dan proteinuria persisten Miller, Rennke, dan Meyer,1991; Kaplan, 2006; Wolf,Butzman
dan Wenzel, 2003. Hal yang perlu diingat adalah bahwa hiperfiltrasi dan hipertensi
kapiler glomerulus umumnya disertai hipertensi sistemik walaupun tidak mutlak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan untuk menurunkan
hipertensi sistemik saja, tanpa melakukan koreksi terhadap hiperfiltrasi dan hipertensi glomerular, juga tidak banyak manfaatnya dalam
menurunkan derajat kerusakan glomerular Brenner,Lawler dan Mackenzie, 1996; Taal,Lucyckx dan Brenner, 2003. Oleh karena itu,
terapi dietatik yang optimal Mitch, 1997 dan terapi farmakologis yang rasional perlu dilakukan untuk mengendalikan tekanan darah dan
proteinuria Taal, Lucyckx dan Brenner, 2003. Target tekanan darah pada batas bawah normal akan menurunkan 35 risiko terjadinya penurunan
Universitas Sumatera Utara
50 fungsi ginjal. Begitu juga dengan proteinuria akan menurun 50 dengan kontrol tekanan darah yang ketat The ESCAPE Trial Group,
2009. Oleh karena itu, skrining rutin albuminuria pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah menjadi pilihan Volpe, 2008.
Angiotensin II berperan dalam perburukan proteinuria dan kerusakan renal lebih lanjut Fogo, 2006. Walaupun kebanyakan jurnal ini
mengetengahkan pasien dewasa dengan hipertensi esensial, perburukan proteinuria dan kerusakan ginjal lebih kurang sama prosesnya dengan
pasien anak yang mengalami hipertensi disertai gangguan ginjal hipertensi sekunder sehingga peranan angiotensin II sistemik menjadi
kritikal dalam penatalaksanaan SNRS.
5.6 Hubungan Sitokin MIF Terhadap Proteinuria Menetap dan Gangguan StrukturFungsi Ginjal