merasa terbebani kerjanya akibat adanya pelaksanaan Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan. Efeknya, kepuasan kerja dokter spesialis menjadi menurun dan
kinerjanya juga cenderung terlihat menurun. Misalnya saja, sebagai gambaran menurunnya kinerja dokter spesialis, terlihat dalam laporan kinerja dimana jumlah
pasien yang ditangani oleh dokter spesialis dari Bulan Januari 335 pasien turun pada bulan Maret tahun 2013 256 pasien.
Hasil survei pendahuluan membuktikan bahwa beberapa dokter merasa tidak puas dengan adanya implementasi Case Mix INA CBGs di RSUP. H. Adam Malik
Medan. Hal yang mendasari ketidakpuasan ini adalah besaran jasa medis dirasa dokter spesialis tidak sesuai dengan jasa medis berdasarkan pola tarif rumah sakit.
Keluhan yang sering diutarakan adalah “Saya melakukan operasi besar yang biasa dapat bayaran mahal, sekarang jadi dapat bayaran murah”.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya pengaruh implementasi kebijakan
Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun
Universitas Sumatera Utara
2012 terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013.
1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap kepuasan
kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a.
Memberikan masukan bagi Kementerian Kesehatan Indonesia untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit dalam pengimplementasian Case Mix
INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 dan menentukan apakah program ini memberikan efek positif terhadap kepuasan dokter
spesialis, sehingga mereka menunjukkan kinerja yang maksimal. b.
Memberikan masukan bagi pihak manajemen Penyedia Pelayanan Kesehatan PPK di Indonesia mengenai pelaksanaan Case Mix INA CBGs berdasarkan
Permenkes No. 40 Tahun 2012 yang baik sehingga mampu meningkatkan pelayanan kesehatan maksimal.
c. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai
kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepuasan Kerja
2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya Berry,1998; Robbins,1996. Sesungguhnya belum ada keseragaman pendapat para
ahli tentang definisi kepuasan kerja, namun pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil diantara mereka. Menurut Wexley dan Yuki 1992, kepuasan kerja adalah
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya the way an employee feels about hisher job
. Hoppeck, seperti dikutip oleh As`ad 1995, menyimpulkan setelah melakukan penelitian terhadap 309 karyawan suatu perusahaan di Pennsylvania,AS bahwa
kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
Kepuasan kerja sebenarnya merupakan sesuatu yang sulit didefinisikan meski dalam bentuk yang sederhana, tetapi beberapa ilmuwan mencoba untuk
mendefinisikan yang dimaksud dengan kepuasan kerja. Menurut Strauss dan Sayles yang dikutip dari Handoko 1995, kepuasan kerja penting untuk aktualisasi diri,
kepuasan kerja mempunyai arti penting dalam menciptakan keadaan yang positif didalam lingkungan kerja perusahaan. Fraser 1992 mengatakan bahwa kepuasan
kerja adalah suatu kondisi yang amat subjektif yang masing-masing merasakan
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu hal yang menguntungkan atau tidak baginya, sehingga kepuasan kerja bersifat individual.
Kepuasan kerja juga merupakan suatu keadaan yang tidak dapat bertahan lama Davis Newstrom,1985. Adanya perubahan pada kebutuhan dan tujuan hidup
juga menyebabkan kondisi kepuasan kerja tidak dapat bertahan lama Winardi,1992, hal ini menyebabkan kondisi kepuasan kerja harus diperhatikan dan pengukuran
kepuasan kerja dilakukan secara berkesinambungan. Hasibuan 1996 mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap
emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Tolok ukur tingkat kepuasan kerja
yang mutlak tidak ada karena secara individu berbeda standar kepuasannya. Menurut As`ad 1995 kepuasan kerja yaitu perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya. Konsepsi semacam ini melihat kepuasan sebagai suatu hasil dari interaksi manusia dan lingkungannya. Jadi determinasi semacam ini meliputi
perbedaan-perbedaan maupun situasi lingkungan pekerjaan. Disamping itu perasaan seseorang terhadap pekerjaannya tentulah sekaligus merupakan refleksi dari sikapnya
terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja ternyata merupakan topik yang sangat menarik dan populer
dikalangan para ahli psikologi industri dan manajemen. Hal ini terbukti dari banyaknya penelitian yang dilakukan pada para pekerja di industri besar selama 20
tahun terakhir. Pada tahun 1972 diperkirakan ada 3350 buah artikel atau disertasi mengenai masalah ini karena memang sangat besar manfaat pemahaman kepuasan
Universitas Sumatera Utara
kerja baik bagi kepentingan individu, industri maupun masyarakat Nord,1977, seperti dikutip oleh As`ad 1995.
2.3.2. Teori-teori Motivasi yang Berhubungan dengan Kepuasan Kerja Berry,1998; Hasibuan,1996; Rakich,1985; Robbins,1996; Zainun,1994
Motivasi dipandang sebagai bagian integral dari administrasi kepegawaian dalam rangka proses pembinaan, pengembangan dan pengarahan tenaga kerja dalam
suatu organisasi, oleh karena manusia merupakan unsur terpenting, paling utama dan paling menentukan bagi kelancaran jalannya administrasi dan manajemen maka soal-
soal yang berhubungan dengan konsepsi motivasi patut mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari setiap orang yang berkepentingan dengan keberhasilan
organisasi dalam mewujudkan usaha kerjasama manusia Zainun,1994.
a. Teori-teori kepuasan Content Theories Teori tentang kepuasan atau kebutuhan menemukan bahwa kebutuhan dan
motif yang ada dalam diri seseorang dapat menggerakkan, mengarahkan, melanjutkan dan memberhentikan prilaku orang itu. Teori kepuasan atau kebutuhan yang populer
adalah : a.1. Teori hierarki kebutuhan Maslow
Teori ini beranggapan bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan yang bertingkat-tingkat yaitu :
a.1.1. Faal fisiologis antara lain rasa lapar, haus, perlindungan pakaian dan perumahan, seks dan kebutuhan ragawi lainnya.
Universitas Sumatera Utara
a.1.2. Keamanan antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
a.1.3. Sosial mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik dan persahabatan. a.1.4. Penghargaan mencakup faktor rasa hormat internal seperti harga diri, otonomi
dan prestasi, dan faktor rasa hormat eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian.
a.1.5. Aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya dan pemenuhan diri.
a.2. Mc Clelland menampilkan Teori kebutuhan yang memfokus pada tiga kebutuhan yaitu : kebutuhan merasa berhasil, kebutuhan untuk bergaul dan kebutuhan untuk
berkuasa. Sekalipun semua orang mempunyai kebutuhan namun kekuatan pengaruh kebutuhan itu tidak sama bagi setiap orang, bahkan untuk satu orang yang sama tidak
sama kuatnya pada setiap saat atau saat yang berbeda. Namun demikian Mc Clelland sudah menggunakan teori ini untuk meningkatkan kinerja suatu pekerjaan dengan
jalan menyesuaikan kondisi sedemikian rupa sehingga dapat menggerakkan orang kearah pencapaian hasil yang diinginkannya.
a.3. Yang paling dikenal dengan teori kebutuhan atau kepuasan ini yaitu Herzberg yang terkenal dengan teori dua faktor. Ia membagi situasi yang mempengaruhi sikap
seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: a.3.1. Faktor satisfier motivator, bersifat intrinsik ialah faktor yang dianggap
sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi yang diraih, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan promosi. Semua faktor
Universitas Sumatera Utara
ini mempengaruhi kepuasan kerja dan membimbing kearah motivasi kerja yang lebih tinggi.
a.3.2. Faktor dissatisfier hygiene, bersifat ekstrinsik ialah faktor yang terbukti menjadi sumber ketidak puasan yang terdiri dari kebijakan dan administrasi
perusahaan, pengawasan, gaji, hubungan antar pribadi, kondisi kerja, keamanan dan status. Berkurangnya faktor ini akan menimbulkan rasa tidak
puas terhadap pekerjaan. Jadi menurut Herzberg yang dapat memacu orang untuk bekerja dengan baik
dan bergairah hanyalah kelompok satisfier. Longest, dikutip dari Rakich 1985 mendapatkan bahwa urutan faktor-faktor untuk memotivasi perawat di sebuah rumah
sakit berdasarkan teori ini sebagai berikut : prestasi yang diraih, hubungan antar perawat, pekerjaan itu sendiri, kebijakan dan administrasi, tanggung jawab, supervisi,
gaji, kondisi tempat kerja, pengakuan dan kesempatan maju. Penelitian terhadap teori ini memberikan hasil yang tidak sama seperti dikutip
dari Berry 1998 : Deci 1971 dalam penelitiannya menunjukkan pemberian suatu faktor ekstrinsik kepada seseorang yang melakukan pekerjaan yang memang
disukainya tidak akan meningkatkan kinerjanya. Berbeda dengan penelitian Deci, Mawhinney 1990 mendapatkan tidak ada perbedaan kinerja pada orang-orang yang
telah termotivasi dengan sangat kuat oleh faktor intrinsiknya walaupun orang tersebut diberi tambahan atau dikurangi faktor ekstrinsik.
Universitas Sumatera Utara
b. Teori-teori proses Teori Kognitif Teori proses menunjukkan cara untuk mengerahkan orang lebih giat mencapai
tujuan yang diinginkan. Teori ini merupakan proses sebab dan akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperolehnya.
Termasuk dalam teori proses ini adalah : b.1. Teori keadilan Equity Theory
Teori ini dikembangkan oleh Adams 1965, menurut teori ini yang paling menentukan kinerja seorang karyawan adalah rasa adil atau tidaknya keadaan di
lingkungan kerja karyawan itu. Tingkat keadilan itu dapat diukur dengan rasio antara kerja dan upah yang diterima seorang karyawan lain dalam satu lingkungan kerja
yang sama. Komponen utama teori ini terdiri dari : b.1.1. Masukan input, sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap
mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja dan peralatan pribadi
yang digunakan untuk pekerjaannya. b.1.2. Hasil outcomes, sesuatu yang dianggap bernilai oleh pekerja yang diperoleh
dari pekerjannya, seperti gaji, keuntungan sampingan, simbol status, fasilitas, penghargaan serta kesempatan untuk berhasil.
b.1.3. Perbandingan antara masukan dan hasil OI ratio, seseorang akan membandingkan OI rationya dengan OI ratio orang lain. Jika perbandingan
itu dianggap cukup adil maka ia akan merasa puas, sedangkan jika perbandingan itu tidak seimbang akan menimbulkan ketidak puasan.
Universitas Sumatera Utara
b.2. Teori harapan Expectancy Theory Teori harapan ini dikemukakan oleh Vroom 1964 yang menyatakan bahwa
kuatnya kecenderungan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran
tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu itu. Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk
menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik akan mendorong
ganjaran organisasional seperti bonus, kenaikan gaji atau suatu promosi dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan itu. Teori harapan membantu
menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan hanya melakukan yang minimum yang diperlukan untuk menyelamatkan diri. Oleh
karena itu teori harapan memfokuskan pada tiga hubungan : b.2.1. Hubungan upaya – kinerja : Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang
mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja. b.2.2. Hubungan kinerja – ganjaran : Derajat sejauh mana individu itu meyakini
bahwa berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu keluaran yang diinginkan.
b.2.3. Hubungan ganjaran – tujuan pribadi : Derajat sejauh mana ganjaran organisasional memenuhi tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan
daya tarik ganjaran potensial tersebut untuk individu itu.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai ringkasan, kunci teori harapan adalah pemahaman dari tujuan seorang individu dan tautan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan ganjaran serta antara
ganjaran dan tujuan pribadi. Disamping itu, hanya karena kita memahami kebutuhan apakah yang dicari oleh seseorang untuk dipenuhi tidaklah memastikan bahwa
individu itu sendiri mempersepsikan kinerja tinggi sebagai pasti menghantar ke pemenuhan kebutuhan itu.
2.3.3. Teori-teori Lain tentang Kepuasan Kerja
a. Teori ketidaksesuaian nilai Value Discrepancy Theory
Locke 1976 menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada selisih antara keinginan expectation dengan apa yang menurut persepsinya telah
diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena
batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Jika yang didapatkan lebih besar daripada yang diinginkan, maka disebut discrepancy positif, sebaliknya makin jauh
kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi discrepancy negatif, maka makin besar pula ketidak puasan seseorang terhadap
pekerjaannya. Studi Wanous dan Lawler menemukan bahwa para pekerja memberikan
tanggapan yang berbeda menurut bagaimana selisih itu didefinisikan. Mereka menyimpulkan bahwa orang memiliki lebih dari satu jenis perasaan terhadap
pekerjaannya dan tidak ada cara terbaik yang tersedia untuk mengukur kepuasan kerja melainkan ditentukan oleh tujuan pengukurannya.
Universitas Sumatera Utara
b. Teori aspek kerja Facet Theory Tujuan utama dari teori ini adalah untuk memprediksi besarnya kepuasan
kerja dari berbagai aspek kerja yang berbeda. Lawler 1973 menggunakan hipotesis ketidaksesuaian dan teori keadilan dari Adams untuk menjelaskan teori ini. Dikatakan
bahwa tingkat kepuasan terhadap suatu aspek kerja ditentukan oleh perbandingan antara harapan dari apa yang seharusnya diterima dari suatu aspek kerja dengan
persepsi terhadap apa yang diterima. Harapan dari apa yang seharusnya diterima ditentukan oleh persepsi dari upaya yang diberikan pada suatu pekerjaan, permintaan
terhadap pekerjaan tersebut serta upaya dan hasil yang diterima pekerja. Bila jumlah yang diterima adalah sama dengan jumlah yang diharapkan maka kepuasan terjadi,
sebaliknya bila tidak sama akan terjadi ketidak puasan.
2.3.4. Faktor - faktor Kepuasan Kerja
Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan tergantung pada pribadi masing-
masing karyawan. Berikut adalah pendapat beberapa pakar tentang faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja:
Menurut Hasibuan 1995, faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain: balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai dengan
keahliannya, berat ringannya pekerjaan, suasana dan lingkungan kerja, peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pemimpin dan sifat pekerjaan.
Willan 1990 mengemukakan bahwa untuk mencapai kepuasan kerja maka seseorang membutuhkan kenyamanan yang meliputi: gaji yang sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan hidup mereka, lingkungan pekerjaan yang aman dan tunjangan keuangan bila tidak dapat bekerja. Disamping itu mereka juga membutuhkan penghargaan dan
perhatian atasan atas pekerjaan yang mereka kerjakan dengan baik dan rasa kebersamaan.
Menurut Robbins 1996 sedikitnya ada empat faktor yang berhubungan dengan pencapaian kepuasan kerja yaitu : pekerjaan yang penuh tantangan, sistim
penghargaan yang adil berupa upah dan promosi, kondisi kerja yang mendukung serta sikap orang lain dalam organisasi. Dalam hal pendidikan, makin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, makin besar keinginannya untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya sehingga bila ilmu yang dimilikinya tidak dimanfaatkan secara
optimal akan merasa tidak puas. Handoko 1995 mengatakan semakin tinggi kedudukanpangkat seseorang
dalam organisasi, maka tingkat kepuasannya lebih tinggi. Hal ini karena mereka biasanya mendapat kompensasi yang lebih baik, kondisi kerja yang lebih baik serta
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan dengan sepenuhnya. Sarana atau kondisi lingkungan tempat bekerja akan mempengaruhi seseorang dalam bekerja,
lingkungan yang menyenangkan, bersih, nyaman dan ventilasi serta penerangan yang cukup akan mengurangi kelelahan dan mempengaruhi gairah kerja sehingga dapat
meningkatkan kepuasan kerja. Gaji dan tunjangan atau disebut juga sebagai sistim imbalan berhubungan
dengan kepuasan kerja seseorang, organisasi harus mengembangkan sistim imbalan atau pemberian kompensasi ini karena imbalan tidak hanya sebagai pemuas secara
Universitas Sumatera Utara
material, tetapi dikaitkan dengan martabat seseorang. Kompensasi yang diberikan kepada karyawan atas pekerjaan yang dilakukannya harus cukup memadai sesuai
dengan kemampuan organisasi sehingga dapat memungkinkan mereka hidup wajar tanpa menggantungkan pemenuhan kebutuhannya kepada orang lain.
Ada hubungan yang erat antara kepuasan dengan hubungan interpersonal dimana komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan, teman sejawat, dengan
klien dan keluarganya serta dengan dokter akan sangat membantu dalam menyelesaikan masalah atau mendapat informasi tentang sesuatu. Hubungan kerja
yang tidak baik dapat mengakibatkan masalah yang serius sehingga mengakibatkan rasa tidak puas.
Closkey 1974 yang dikutip Siagian 1995 berpendapat bahwa seseorang akan merasa puas bila hasil kerjanya dihargai orang lain. Penghargaan yang diberikan
dapat berupa materi atau non materi seperti ucapan terima kasih, promosi jabatan dan sebagainya. Kesempatan karyawan untuk maju juga merupakan salah satu bentuk
penghargaan yang diberikan atasan, kesempatan untuk berkembang memberikan harapan kepada karyawan untuk dapat maju dan meningkatkan kepuasan kerja karena
merasa dihargai. Dari berbagai pendapat di atas dapat dirangkum faktor–faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu : a. Kepuasan Psikologi, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan
kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan ketrampilan.
Universitas Sumatera Utara
b. Kepuasan sosial, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasan maupun dengan karyawan yang
berbeda jenis pekerjaannya. c. Kepuasan fisik, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan kondisi
fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan.
d. Kepuasan finansial, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistim dan besarnya gaji, jaminan
sosial, tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi.
2.3.5. Pengukuran Kepuasan Kerja
Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi baik dari segi analisa statistik maupun pengumpulan datanya. Berbagai alat ukur dalam bentuk kuesioner dapat
digunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Ada beberapa tipe kuesioner yang digunakan antara lain Berry,1998:
a. Minnesota Satisfaction Questionaire MSQ
Tipe ini dikembangkan oleh Weiss, Davis, England dan Lofquist 1967.
MSQ mempunyai dua bentuk yaitu bentuk panjang dan bentuk pendek. Bentuk panjang terdiri dari 100 item pertanyaan mencakup 20 faktor yang berhubungan
dengan pekerjan termasuk kepuasan dengan pembayaran, teman sekerja, supervisi, tanggung jawab, status sosial dan keamanan. Bentuk pendek terdiri dari 20 item
pertanyaan yang mengukur kepuasan kerja secara keseluruhan. Responden menjawab
Universitas Sumatera Utara
setiap item dalam skala Likert yang terdiri dari lima pilihan yaitu: sangat puas, puas, netral, tidak puas, sangat tidak puas.
b. Job Description Index JDI Tipe ini dikembangkan oleh Smith, Kendall dan Hulin 1969. JDI
mempunyai validitas dan reliabilitas yang cukup tinggi. Tipe ini membedakan skala untuk kepuasan dengan gaji, promosi, pengawasan kerja dan teman sekerja serta
dapat menghitung kepuasan karyawan secara keseluruhan. JDI telah banyak digunakan dengan banyak variasi sampel, responden cukup menjawab ya atau tidak
dalam setiap item yang ditanyakan. c. Need Satisfaction Questionaire NSQ
Tipe ini dikembangkan oleh Porter 1961. NSQ berdasarkan teori ketidak- sesuaian discrepancy theory dimana setiap item berisi dua pertanyaan tentang apa
yang seharusnya ada dan apa yang ada sekarang. Skor semua item dijumlahkan kemudian dicari selisihnya untuk mengetahui tingkat ketidak puasan yang dirasakan
karyawan.
2.3.6. Komponen Kepuasan Kerja
Hackman dan Oldham 1975 seperti dikutip Wexley dan Yuki 1992 menyatakan bahwa ada tiga komponen kepuasan kerja, yaitu terhadap materi
pekerjaan, kompensasi dan pengawasan. a. Kepuasan terhadap kerja itu sendiri
Hasil berbagai studi tentang pentingnya perbedaan karakteristik pekerjaan menemukan secara konsisten bahwa sifat pekerjaan itu sendiri adalah determinan
Universitas Sumatera Utara
utama dari kepuasan kerja. Hackman dan Oldham 1975 seperti dikutip Wexley dan Yuki 1992 mengoperasikan daftar pertanyaan yang dikenal dengan Job Diagnostic
Survey sehingga menghasilkan lima dimensi inti dari materi pekerjaan yaitu: ragam
ketrampilan skill variety, identitas pekerjaan task identity, kepentingan pekerjaan task significance, otonomi autonomy, umpan balik pekerjaan itu sendiri Feedback
from the job itself .
Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang, pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan. Akan tetapi pekerjaan yang terlalu sulit
menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang,
kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan Katzel,1992
dikutip oleh Robbins,1996. b. Kepuasan dengan kompensasi
Dari beberapa studi ditemukan bahwa upah merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi penyebab paling mungkin terhadap ketidak puasan kerja Berry,1998.
Sesuai dengan teori keadilan, para karyawan menilai upahnya dengan membuat perbandingan sosial. Jika upah yang diterima lebih rendah dari upah yang berlaku
dalam masyarakat untuk suatu tipe pekerjaan itu, maka pekerja tidak akan merasa puas dengan upahnya. Selain itu kepuasan terhadap upah akan dipengaruhi oleh
kebutuhan dan nilai-nilai karyawan. Goodman 1974 menyatakan jika upah pekerja cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan dirinya, ia akan lebih puas dibanding jika ia menerima upah lebih rendah dari yang diperlukan untuk memenuhi standar hidup yang memadai.
Universitas Sumatera Utara
Lawler 1967 menyatakan upah juga mencerminkan seberapa jauh para pekerja melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Jika upah tidak didasarkan atas pelaksanaan
kerja, pekerja yang rajin bekerja akan tidak puas dengan pendapatan yang sama dari pekerja yang malas Wexley dan Yuki, 1992.
Disamping itu, karyawan menginginkan kebijakan promosi yang adil, promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih
banyak dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dengan cara adil kemungkinan
besar akan mengalami kepuasan dari pekerjan mereka Witt Nye,1992 dikutip dari Robbins,1996. Robertson 1999 melaporkan perawat yang memperoleh pendidikan
yang berkelanjutan memberikan skor kepuasan kerja yang tinggi dibanding dengan perawat yang tidak mendapat kesempatan mengikuti pendidikan berkelanjutan.
c. Kepuasan dengan pengawasan Kepuasan seorang karyawan juga dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan
atasannya. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila atasan langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk
kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka Robbins,1996. Penelitian yang dilakukan oleh Moss dan
Rowles 1997 terhadap 623 perawat tentang hubungan kepuasan kerja dengan gaya kepemimpinan di tiga rumah sakit Midwestern, mendapatkan kepuasan kerja perawat
meningkat dengan gaya manajemen penyelia yang mendekati gaya kepemimpinan partisipatif. Fleishman,1957; Halpin dan Winer,1957; serta Hemphill dan Coons,1957
Universitas Sumatera Utara
seperti yang dikutip Wexley dan Yuki 1992 menentukan dua kategori prilaku utama dari seorang pemimpin adalah consideration dan initiating structure. Consideration
adalah tingkat dimana seorang pemimpin bertindak dalam cara yang hangat dan sportif serta menunjukkan perhatian kepada bawahan. Initiating structure adalah
tingkat dimana seorang pemimpin mendefinisikan dan merancang peran dirinya serta peran bawahannya kearah pencapaian tujuan formal kelompok.
Byars and Rue 2005, menyatakan bahwa sistem reward organisasi sering mempunyai dampak signifikan pada tingkat kepuasan kerja karyawan. Disamping
dampak langsung, cara reward extrinsik diberikan dapat mempengaruhi reward intrinsik dan kepuasan dari penerima. Sebagai contoh jika tiap orang menerima
peningkatan gaji 5 persen adalah sulit untuk mendapatkan penyelesaian reward. Namun demikian jika kenaikan gaji dikaitkan langsung dengan kinerja, seorang
karyawan yang menerima peningkatan gaji yang besar akan lebih mungkin mengalami perasaan penyelesaian dan kepuasan. Byars and Rue 2005 menyebutkan
ada lima komponen utama kepuasan kerja yaitu: 1 Sikap terhadap kelompok kerja
2 Kondisi umum pekerjaan 3 Sikap terhadap perusahaan
4 Keuntungan secara ekonomi 5 Sikap terhadap manajemen
Komponen lain mencakup kondisi pikiran karyawan tentang pekerjaan itu sendiri dan kehidupan secara umum. Sikap seorang karyawan terhadap pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
mungkin positif atau negatif. Kesehatan, usia, tingkat aspirasi, status sosial, kegiatan sosial dan politik dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
Menurut Kreitner dan Kinicki 2005 terdapat lima komponen kepuasan
yaitu: 1.
Need fulfillment pemenuhan kebutuhan. Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan
kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2.
Discrepancies perbedaan. Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan
mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang
diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan.
3. Value attainment pencapaian nilai. Gagasan value attainment adalah bahwa
kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4. Equity keadilan. Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan
fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja
dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
5. Dispositionalgenetic components komponen genetik. Beberapa rekan kerja
atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan
kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk
menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.
2.2 Implementasi Kebijakan
2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahapan dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi
dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana sebagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program Winarno, 2007.
Agustino 2008 menyebutkan studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu
kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi
berbagai kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Teori Implementasi Kebijakan
Ada 6 variabel, menurut Van Metter dan Van Horn 1975, yang merupakan komponen penerapan atau implementasi kebijkan publik, yaitu :
1. Ukuran dan tujuan kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan
hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijkan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan
terlalu ideal bahkan terlalu utopis untuk di laksanakan dilevel warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan
berhasil. 2. Sumber daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan
sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menurut
adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang didisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika
kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumberdaya itu nihil, maka sangat sulit untuk diharapkan.
Tetapi diluar sumberdaya manusia, sumberdaya sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumberdaya financial dan sumberdaya waktu.karena mau
tidak mau ketika sumberdaya manusia yang kompeten dan kapabel telah tersedia
Universitas Sumatera Utara
sedangkan kucuran dana melalui anggaran tidak tersedia,maka memang terjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yuang hendak dituju oleh tujuan kebijkan
publik tersebut. Demikian halnya dengan sumberdaya waktu, saat sumberdaya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik,tetapi terbentur dengan
persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal ini pun dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijkaan.
3. Karakteristik agen pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi
nonforrmal yang akan terlibat pengimplementasian kebijkan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijkan publik akan sangat banyak
dipengaruhi oleh ciri ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Misalnya implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau
tingkalaku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila
kebijkan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia maka dapat dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran
yang pertama. Selain itu cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana.maka seharusnya
semakin besar pula agen yang dilibatkan. 4. Sikap kecenderungan disposition para pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja impelementasi kebijakan publik.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan
yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan dilaksanakan adalah kebijakan “dari atas” top down yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak
mengetahui bahkan tidak mampu menyentuh kebutuhan,keinginan,atau permasalahan yang ingin diselesaikan.
5. Komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan publik semakin baik koordiansi komunikasi diantara pihak pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan kesalahan akan
sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya. 6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah
sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial ekonomi, dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Kerana itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan
kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. Van Metter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi sosial dan politik dari yuridiksi
atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi karakter badan badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan pencapaian itu sendiri. Kondisi-
Universitas Sumatera Utara
kondisi lingkungan dapat mempunyai pengaruh yang penting pada keinginan dan kemampuan yuridiksi atau organisasi dalam mendukung struktur struktur, vitalitas
dan keahlian yang ada dalam badan badan administrasi maupun tingkat dukungan politik yang dimiliki kondisi lingkungan juga akan berpengaruh pada kecenderungan
kecenderungan para pelaksana. Jika masalah masalah yang dapat diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan para warganegara swasta serta kelompok- kelompok
kepentingan dimobilisir untuk mendukung suatu program maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih lanjut Van Meter dan Van Hon
menyatakan bahwa kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan pilihan pribadi mereka tentang
kebijakan itu. akhirnya,variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung pada pemberian pemberian pelayanan publik. Kondisi lingkungan
mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan kecenderungan para pelaksana dan kekuatan kekuatan lain dalam model ini juga
mempunyai pengaruh terhadap implementasi program.
Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn
Kebijakan Publik
Standar dan
Tujuan
Sumber Daya
Aktivitas Pelaksanaan dan Komunikasi antar Organisasi
Karakteristik Agen Pelaksana Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik
Kecenderungan dari Pelaksana
Kinerja Kebijakan
Universitas Sumatera Utara
2.3 Case Mix INA CBGs Kemenkes RI, 2012 2.3.1 Pengertian
Sistem Casemix Ina-CBGs adalah suatu pengklasifikasian dari episode perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif
homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan berisikan pasien2 dengan karakteristik klinik yang sejenis.George Palmer, Beth Reid. Case Base Groups
CBGs, yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang
berhubungan dengan mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus campuran,
merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan rumah sakit. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang
dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang mempunyai arti relatif sama.
Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang sama serta biaya perawatan yang relatif sama.
Dalam pembayaran menggunakan CBGs, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan,
melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara
providerasuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan length of stay yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya disesuikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya. Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana
pelayanan kesehatan adalah dengan fee-for-service FFS, yaitu Provider layanan kesehatan menarik biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan.
Setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada di Rumah Sakit. Tarif ditentukan setelah pelayanan dilakukan. Dengan sistem fee for
service kemungkinan moral hazard oleh pihak rumah sakit relatif besar, karena tidak ada perjanjian dari awal antara pihak rumah sakit dengan pasien, tentang standar
biaya maupun standar lama waktu hari perawatan length of stay.
2.3.2 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan kebijakan program Casemix INA CBGs secara umum adalah secara Medis dan Ekonomi. Dari segi medis, para
klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien secara komprehensif, tetapi langsung kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara ekonomi, dalam hal ini
keuangan costing jadi lebih efisien dan efektif dalam penganggaran biaya kesehatan.Sarana pelayanan kesehatan akan mengitung dengan cermat dan teliti
dalam penganggaranya. Menurut Kementerian Kesehatan RI 2012, manfaat kebijakan program Casemix INA CBGs adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Bagi Pasien
a. Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan
berdasarkan derajat keparahan b.
Dengan adanya batasan pada lama rawat length of stay pasien
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit, karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah
ditentukan. c.
Pasien menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik. d.
Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien.
2. Manfaat Bagi Rumah Sakit
a. Rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja
sebenarnya. b.
Dapat meningkatkan mutu efisiensi pelayanan rumah sakit. c.
Bagi dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan,
meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor QA quality
assessment dengan cara yang lebih objektif.
d. Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat.
e. Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh
masing-masing klinisi. f.
Keadilan equity yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran. g.
Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway
.
Universitas Sumatera Utara
3. Manfaat Bagi Penyandang Dana Pemerintah Provider
a. Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan
kesehatan. b.
Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap masyarakat luas akan akan terjangkau.
c. Secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga
meningkatkan kepuasan pasien dan providerPemerintah. d.
Penghitungan tarif pelayanan lebih objektif dan berdasarkan kepada biaya yang sebenarnya.
2.3.3 Clinical Pathway
Prinsip pelaksanaan Case Mix INA CBGs adalah untuk efisiensi pembiayaan pelayanan kepada pasien, untuk dapat mencapai itu perlu ada standarisasi pelayanan
terhadap pasien sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk mengurangi cost pelayanan rumah sakit berusaha mencari strategi yang terbaik untuk menghemat
utilisasi namun memperbaiki kualitas pelayanan quality of care. Clinical Pathway sebagai salah satu komponen Cost analisys. Clincal Pathway tidak digunakan untuk
memperkirakan tarif melainkan untuk maintenace cost weigth berkaitan langsung dengan standarisasi length of stay.
1. Definisi Clinical Pathway
a. European Pathways Association EPA I pada kongres di Slovenia,
Desember 2005 telah merevisi definisi Clinical Pathways sebagai berikut: Clinical Pathways adalah metodologi dalam cara mekanisme
Universitas Sumatera Utara
pengambilan keputusan terhadap layanan pasien berdasarkan pengelompokan dan dalam periode waktu tertentu.
b. Suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap
langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang
terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit D. Firmanda, 2007.
c. An integrated care pathway determines locally agreed,
multidisciplinary practice based on guidelines and best-practice evidence where available, for a specific patientclient group. It forms
all, or part of, the clinical record, documents the care given and facilitates the evaluation of outcomes for continuous quality
improvement. d.
Pathways adalah pelayanan medis yang berpihak pada pasien dan yang menguntungkan bagi pasien, keluarga bahkan kepada team work,
memberi peluang untuk melaksanakan evaluasi serta proses perbaikan pelayanan medis yang terus menerus.
e. Clinical pathway adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu
yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien mulai masuk sampai keluar rumah sakit berdasarkan standar pelayanan
medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya, yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur
Universitas Sumatera Utara
dan dalam jangka tertentu selama di rumah sakit. 2.
Tujuan Clinical Pathway a.
Mengurangi variasi dalam pelayanan, Cost lebih mudah diprediksi. b.
Pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan Quality of Care
c. Meningkatkan prosedur costing.
d. Meningkatkan kualitas dari informasi yang telah dikumpulkan.
e. Sebagai counter-check pada DRG cost.
f. Terutama pada kasus-kasus high cost, high volume.
3. Keuntungan Clinical Pathway
a. Mendukung pengenalan evidence-based medicine dan penggunaan
pedoman klinis. b.
Meningkatkan komunikasi antar disiplin, teamwork dan perencanaan perawatan.
c. Menyediakan standar yang jelas dan baik untuk pelayanan
d. Membantu mengurangi variasi dalam perawatan pasien melalui
standar e.
Meningkatkan proses manajemen sumber daya f.
Menyokong proses Quality Improvement secara berkelanjutan g.
Membantu dalam proses audit klinis h.
Meningkatkan kolaborasi antar dokter dan perawat i.
Meningkatkan peran dokter dalam perawatan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Peran Coding dalam Case Mix INA-CBGs
Dalam pelaksanaan Case Mix INA-CBGs, peran koding sangat menentukan, dimana logic software yang digunakan untuk menetukan tarif adalah dengan pedoman
international Classification of Disease ICD 10 untuk menentukan diagnois dan ICD
9 CM untuk tindakan atau prosedur. Besar kecilnya tarif yang muncul dalam software INA-CBGs ditentukan oleh diagnosis dan prosedur. Kesalahan penulisan diagnosis
akan mempengaruhi tarif. Tarif bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Diagnosis dalam kaidah CBGs, harus ditentukan diagnosa utama dan diagnosa penyerta.
Diagnosa penyerta terdiri dari Komplikasi dan Komorbiditas. Diagnosis penyerta juga dapat mempengaruhi besar kecilnya tarif, karena
akan mempengaruhi level severity tingkat keparahan yang diderita oleh pasien. Logikanya pasien yang dirawat terjadi komplikasi, maka akan mempengaruhi lama
perawatan di rumah sakit. Jika lama perawatan bertambah lama dibanding tidak terjadi komplikasi, maka akan menambah jumlah pembiayaan dalam perawatan.
Dalam logic software INA-CBGs penambahan tarif dari paket yang sebenarnya, jika terjadi level severity tingkat 2 dan level severity tingkat 3. Jika dalam akhir masa
perawatan terjadi lebih dari satu diagnosis, koder harus bisa menentukan mana yang menjdi diagnosa utama maupun skunder.
1. Diagnosa Utama Principal Diagnosis
a. Adalah diagnosa akhirfinal yang dipilih dokter pada hari terakhir
perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya atau yang menyebabkan hari rawatan paling lama.
Universitas Sumatera Utara
b. Diagnosis utama selalu ditetapkan pada akhir perawatan seorang
pasien established at the end of the episode of health care c.
Jika terdapat lebih dari satu diagnosis maka dipilih satu diagnosis yang paling banyak menggunakan resources SDM, bahan habis pakai,
peralatan medik, tes pemeriksaan dan lain2 2.
Definisi Ciri-Ciri Diagnosis Sekunder a.
Diagnosis sekunder adalah diagnosis selain dari diagnosis utama Komplikasi + Ko-morbiditi
b. Komplikasi: Kondisidiagnosa sekunder yang muncul selama masa
perawatan dan dianggap meningkatkan length of stay LOS setidaknya satu hari rawat pada kira-kira 75
c. Kondisi Ko-Morbid: kondisi yang telah ada saat admisi dianggap
dapat meningkatkan length of stay LOS setidaknya 34 hari rawat pada kira-kira 75
3. Prosedur Tindakan
a. Prosedur Utama Principal Procedure adalah prosedur tindakan yang
paling banyak menghabiskan sumber daya atau yang menyebabkan hari rawatan paling lama dan biasanya berhubungan erat dengan
diagnosa utama. b.
Prosedur Sekunder Seluruh signifikan prosedur tindakan yang dijalankan pada pasien
rawat inap atau rawat jalan, membutuhkan peralatan special atau
Universitas Sumatera Utara
dikerjakan oleh staf terlatih dan berpengalaman Dalam proses Case Mix Ina DRG, tidak semua prosedur atau tindakan harus di input
dalam software Ina DRG. Beberapa tindakan-tindakan yang tidak perlu di input adalah:
• Prosedurtindakan yang berhubungan dengan keperawatan • Prosedurtindakan yang rutin dilakukan
• Prosedurtindakan yang tidak memerlukan staf khusus • Prosedurtindakan yang tidak memerlukan peralatan khusus
2.3.5 Keterkaitan Kode Diagnosis Dengan INA CBGs
• Ketepatan pengkelasan CBGs CBGs grouping sangat tergantung kepada ketepatan diagnosis utama.
• Diagnosis utama akan menentukan MDC Major Diagnostic Category
atau sistem organ yg terlibat. • Tingkat keparahan penyakit severity level ditentukan oleh
diagnosis sekunder, prosedur dan umur pasien. • Ketepatan jumlah biaya rawatan pasien ditentukan oleh
ketepatan pengkelasan CBGs dan pemilihan diagnosis • Mengikuti standar resmi WHO dalam pengkodean diagnosis
WHO Morbidity Refference Group • Mengikuti standar resmi aturan coding ICD 10 dan ICD 9 CM
• Untuk kasus pasien bayi baru lahir usia 0 sd 30 hari data
Universitas Sumatera Utara
berat badan lahir dalam gram harus dimasukkan. • Gunakan kode P perinatal untuk diagnosa utama jika umur
pasien kurang dari 30 hari. • Gunakan kode O820, O821, O828 dan O829 sebagai diagnosa
utama jika terdapat prosedur tindakan bedah Caesar caesarian section
• Prosedur utama mesti berkaitan dengan Diagnosa utama upcoding, unnecessary procedureupcoding, unnecessary
procedure
2.4 Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan tinjauan teori yang ada, khususnya mengenai faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan dalam
organisasi, termasuk rumah sakit. Berikut ini kerangka teori yang mendasari penelitian ini:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Sumber : Gibson, 1997; Ilyas, 2001; Luthans, 2005; Doewes, 199; dan Nurhayani, 2006
2.5 Landasan Teori Menurut Kreitner dan Kinicki 2005 terdapat lima komponen kepuasan
yaitu: 1. Need fulfillment pemenuhan kebutuhan yang menyatakan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan
kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Discrepancies perbedaan yang menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan
Faktor Individu: • Kemampuan dan
Keterampilan • Latar Belakang
Keluarga • Demografi Umur,
Suku, dll • Pengalaman
Faktor Psikologi: • Persepsi
• Sikap • Kepribadian
• Belajar • Motivasi
• Prestasi
Faktor Organisasi: • Desain pekerjaan
• Struktur organisasi • Situasi pekerjaan
• Imbalan • Kepemimpinan
• Kebijakan dan Aturan • Sumber Daya
• Hubungan sesama teman kerja
• Pengembangan Promosi
Perilaku Individu
Kepuasan Kerja
Universitas Sumatera Utara
dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. 3. Value attainment pencapaian nilai yang menyatakan bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan
memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4. Equity keadilan yang menyatakan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu
diperlakukan di tempat kerja. 5. Dispositionalgenetic components komponen genetik. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian
merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti
halnya karakteristik lingkungan pekerjaan. Ada 6 variabel, menurut Van Metter dan Van Horn 1975, yang merupakan
komponen penerapan atau implementasi kebijkan publik seperti casemix INA CBGs, yaitu: 1. Ukuran dan tujuan kebijakan dimana kinerja implementasi kebijakan dapat
diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijkan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. 2.
Sumber daya. Tahap tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menurut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang
didisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. 3. Karakteristik Agen Pelaksana. Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi nonforrmal yang akan terlibat pengimplementasian kebijkan publik. 4. Sikapkecenderungan disposition para pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi
keberhasilan atau tidaknya kinerja impelementasi kebijakan publik. 5. Komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana. Koordinasi merupakan mekanisme yang
Universitas Sumatera Utara
ampuh dalam implementasi kebijakan publik semakin baik koordiansi komunikasi diantara pihak pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya
kesalahan kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya. 6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik adalah sejauh mana lingkungan eksternal
turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari
kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
2.6 Kerangka Konsep