BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Kesinambungan dan keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh tersedianya pedoman
penyelenggaraan pembangunan kesehatan Depkes RI, 2011. Dalam upaya mendukung tercapainya pembangunan kesehatan tersebut,
ketersediaan sarana prasarana kesehatan yang cukup merupakan hal yang penting. Namun, hingga saat ini jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih belum
memadai. Jumlah puskesmas untuk seluruh Indonesia sebanyak 7.237 unit, puskesmas pembantu sebanyak 21.267 unit dan puskesmas keliling 6.392 unit.
Sementara itu, untuk rumah sakit terdapat sebanyak 1.215 rumah sakit, terdiri dari 420 rumah sakit pemerintah, 605 swasta, 78 rumah sakit milik BUMN dan 112
rumah sakit milik TNI dan Polri, dengan jumlah seluruh tempat tidur sebanyak 130.214 buah. Penyebaran sarana dan prasarana kesehatan belum merata. Rasio
sarana dan prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk di luar Pulau Jawa lebih
Universitas Sumatera Utara
baik dibandingkan dengan di Pulau Jawa. Hanya saja keadaan transportasi di luar Pulau Jawa jauh lebih buruk dibandingkan dengan Pulau Jawa Depkes RI, 2011.
Rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia. Peran tersebut semakin penting mengingat perkembangan epidemiologi penyakit, perubahan struktur demografis, perkembangan ilmu dan teknologi, dan
perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat Aditama, 2003. Tingkat kesehatan penduduk Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan
dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Angka kematian ibu tahun 2008 masih sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup, sementara di Philipina 170, Vietnam
160, Thailand 44 dan Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah ataupun masyarakat untuk kesehatan dan besarnya cakupan asuransi kesehatan. Sebuah solusi yang efektif diperlukan untuk menanggulangi masalah
tersebut. Departemen Kesehatan RI menetapkan sebuah solusi yang dapat menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau yaitu dengan
menetapkan standar biaya pelayanan kesehatan berdasarkan sistem yang dikenal dengan nama INA-DRG Indonesia Diagnose Related Group Depkes RI, 2008.
INA-DRG didefinisikan sebagai suatu sistem klasifikasi kombinasi beberapa jenis penyakit dan prosedurtindakan pelayanan disuatu RS dengan pembiayaan yang
dikaitkan dengan mutu dan efektifitas pelayanan terhadap pasien. Sistem INA-DRG ini juga dapat digunakan sebagai salah satu standar penggunaan sumber daya dalam
Universitas Sumatera Utara
memberikan pelayanan kesehatan di RS, dengan kata lain INA-DRG adalah sistem pemerataan, jangkauan yang berhubungan dengan mutu pelayanan kesehatan yang
menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan kesehatan atau mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran.
Case-Mix INA-CBGs Indonesian Case Base Groups merupakan kelanjutan
dari aplikasi INA-DRG yang lisensinya berakhir pada tanggal 30 September 2010. Dengan demikian aplikasi INA-CBGs akan menggantikan fungsi dari aplikasi INA-
DRG.
Dalam pembayaran menggunakan Sistem Informasi INA-CBG’s adalah suatu sistem klasifikasi kombinasi dari
beberapa jenis penyakitdiagnosa dan prosedurtindakan di rumah sakit dan pembiayaannya yang dikaitkan dengan mutu serta efektifitas pelayanan terhadap
pasien. INA-CBG’s juga merupakan sistem pemerataan, jangkauan dan berhubungan dengan mutu pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan
kesehatan. Selain itu sistem ini juga dapat digunakan sebagai salah satu standar penggunaan sumber daya yang diperlukan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan di
rumah sakit Gustini, 2011. INA-CBGs, baik rumah sakit maupun
pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode
DRG Diagnostic Related Group. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara providerasuransi atau ditetapkan oleh
pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan length of stay yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuikan dengan jenis
Universitas Sumatera Utara
diagnosis maupun kasus penyakitnya. Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana pelayanan kesehatan adalah dengan Fee-for-service FFS,
yaitu provider layanan kesehatan menarik biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya
sesuai dengan tarif yang ada di rumah sakit. Tarif ditentukan setelah pelayanan dilakukan. Dengan sistem fee for service kemungkinan moral hazard oleh pihak
rumah sakit relatif besar, karena tidak ada perjanjian dari awal antara pihak rumah sakit dengan pasien, tentang standar biaya maupun standar lama waktu hari
perawatan length of stay Gustini, 2011. Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan tidak lepas dari upaya
peningkatan mutu dan kinerja dari semua sumber daya manusia dan keprofesian yang ada di rumah sakit, dan salah satu asset sumber daya manusia terpenting adalah
kinerja tenaga dokter spesialis, karena dokter merupakan gate yaitu sebagai pintu gerbang pasien yang berobat di rumah sakit selain itu merupakan profesi yang
berhubungan langsung dan lebih lama dengan pasien. Dokter spesialis merupakan staf medis fungsional dan tidak hanya sebagai pegawai saja, juga mempunyai fungsi
strategis di rumah sakit sebagai agent atau pembawa pasien bagi rumah sakit tersebut Gustini, 2011.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dinyatakan bahwa seorang dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
Universitas Sumatera Utara
operasional serta kebutuhan medis pasien. Oleh karena itu setiap dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis dalam melaksanakan praktik
kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya, di mana dalam rangka pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diselenggarakan
audit medis. Pengertian audit medis adalah upaya evaluasi secara professional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan
rekam medis yang dilaksanakan oleh profesi medis. Penelitian Oktamianiza 2011 mengenai analisis keefektifan pengelolaan
informasi kesehatan berdasarkan sistem Case-Mix INA-CBGs diketahui bahwa kebijakan secara operasional belum ada, Tim casemix sudah dibentuk, motivasi dan
edukasi belum optimal, monitoringevaluasi belum diterapkan. Analisa kuantitatif didapatkan 75,3 kinerja tidak baik, 78,7 kinerja dokter tidak baik dan 48,3
pengelolaan informasi tidak efektif. Tidak ada hubungan antara kinerja dengan keefektifan informasi p value = 0,124 dan ada hubungan kinerja dokter dengan
keefektifan informasi p value = 0,024. Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu
mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner dan Kinicki 2005, bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons
emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat
relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya. Terdapat banyak cara untuk mengukur kepuasan kerja
Universitas Sumatera Utara
karyawan dalam suatu organisasiperusahaan baik besar maupun kecil. Paling tidak terdapat empat cara yang dapat dipakai untuk mengukur kepusan kerja, yaitu
Implementasi suatu program tertentu juga berperan dalam menentukan kepuasan kerja seorang karyawan. Bila program tersebut bersifat memberatkan
karyawan dengan menambah beban kerja, maka kepuasan kerja karyawan tersebut tidak akan tercapai. Selain itu bila tidak ada output atau timbal balik berupa
keuntungan tertentu, biasanya hal ini juga akan meningkatkan ketidakpuasan dari seorang karyawan. Hal ini lah yang menjadi dasar penelitian ini, dimana belum
diketahuinya pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2012.
1 Rating Scale, 2 Critical incidents, 3 Interviews dan 4 Action Tendencies
.
Pelaksanaan Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan pun tidak lepas dari berbagai kendala. Salah satunya adalah kendala dalam melakukan diagnosa dan
pengkodeannya. Sampai dengan sekarang, di rumah sakit ini belum semua penyakit dilakukan pengkodean medis, padahal, kunci sukses dari penyusunan Case-Mix
adalah pada diagnosa dan pengkodean yang teliti. Selain itu, pengumpulan informasi tentang berbagai variabel serta biaya dalam Case-Mix juga tidak mudah. Memerlukan
usaha yang keras, komitmen, serta motivasi yang tinggi. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi juga tengah diusahakan demi mempermudah penerapan
Case-Mix .
Salah satu pelaksana dari Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan adalah dokter spesialis. Dalam banyak kasus di rumah sakit ini, banyak dokter yang malah
Universitas Sumatera Utara
merasa terbebani kerjanya akibat adanya pelaksanaan Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan. Efeknya, kepuasan kerja dokter spesialis menjadi menurun dan
kinerjanya juga cenderung terlihat menurun. Misalnya saja, sebagai gambaran menurunnya kinerja dokter spesialis, terlihat dalam laporan kinerja dimana jumlah
pasien yang ditangani oleh dokter spesialis dari Bulan Januari 335 pasien turun pada bulan Maret tahun 2013 256 pasien.
Hasil survei pendahuluan membuktikan bahwa beberapa dokter merasa tidak puas dengan adanya implementasi Case Mix INA CBGs di RSUP. H. Adam Malik
Medan. Hal yang mendasari ketidakpuasan ini adalah besaran jasa medis dirasa dokter spesialis tidak sesuai dengan jasa medis berdasarkan pola tarif rumah sakit.
Keluhan yang sering diutarakan adalah “Saya melakukan operasi besar yang biasa dapat bayaran mahal, sekarang jadi dapat bayaran murah”.
1.2 Permasalahan