Palangehon Boru

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku atau Literatur tertulis:

Bungin,Burhan

1999 Metode Penelitian kualitatif, Surabaya: PT.Raja Grafindo Persada

Danandjaja,James

1982 Folklor Indonesia, Jakarta:Grafiti Pers

Geertz,Clifford

1992 Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius

Koentjaraningrat

1988 Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jakarta:Djambatan

1985 Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka

1987 Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta:PT.Gramedia


(2)

Turner ,W. Victor

1969 The Ritual Process: Structure and Anti-Structure ,

Australia: Penguin Books Ltd

Sitanggang, Eny

Upacara Mamele Pada Masyarakat Batak Toba (Skripsi S1 FISIP

USU)Medan:Tidak Diterbitkan

Suparlan, Parsudi

1984 Manusia Kebudayaan dan Lingkungan,

Jakarta:DEPDIKBUD

Sianipar, Bangarna

2013 Horas, Dari Batak untuk Indonesia, Jakarta:Rumah

Indonesia

Schreiner, Lothar

2008 Adat Dan Injil (Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak), Jakarta: BPK Gunung Mulia

Robetson, Roland

1988 Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis.


(3)

Sumber-Sumber Lain:

 “Antropologi Indonesia(Indonesia Journal of Social and Curtural Antropology)Vol.32 No.2” by:Achmad Choirul Rofiqc

http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/22/review-sejarah-teori-antropologi-jilid-i-karya-koentjaraningrat-464808.html, (diakses pada tanggal 5 juni 2013)

 “makalah tentang budaya ritual upacara adat” by:Rahmat hidayat http://forester-untad.blogspot.com/2012/11/makalah-tentang-budaya-ritual-upacara.html (diakses pada tanggal 3 mei 2013)

 “Budaya Suku Batak” http://de-kill.blogspot.com/2009/04/budaya-suku-batak.html (diakses pada tanggal 22 mei 2013)

 “Studi Religi dan Ritual-Antro” by:Suwardi Endraswara http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/budaya-religi-dan-ritual-antro/ (diakses 25 mei 2013)

 “makalah tentang budaya ritual upacara adat” by:Rahmat hidayat http://forester-untad.blogspot.com/2012/11/makalah-tentang-budaya-ritual-upacara.html (diakses pada tanggal 25 mei 2013)

 “kearifan budaya lokal masyarakat batak toba” by: naringgoyudo http://naringgoyudo.wordpress.com/2013/05/07/kearifan-budaya-lokal-masyarakat-suku-batak/ (di akses pada tanggal 5 juni 2013)

 http://www.artikata.com

 http://en.m.wikipedia.org/wiki/Rite_of_passage (di akses pada tanggal 26 Juni 2014)


(4)

BAB III

SILSILAH MARGA PANDIANGAN DAN PASARIBU

3.1. Sejarah Dan Perkembangan Marga Batak Di Desa Pargarutan

Perkembangan marga Batak toba menurut garis Bapak (Patrineal). Semua anak, baik lelaki maupun perempuan memiliki marga ayahnya. Tetapi hanya pihak putra yang menyambung silsilah ayahnya, sedangkan pihak putri tidak, karena mereka akan menyambung garis keturunan ari suami mereka masig-masing. Perempuan yang menikah dengan sendirinya masuk sendiri ke dalam klen suaminya. Seseorang yang meninggal tanpa memiliki putra (walaupun ada putri) berarti putus mata rantai silsilahnya, sebab tidak ada yang menyambung keturunannya.

Sudah menjadi tradisi yang dijunjung tinggi dikalangan masyarakat Batak memelihara pengetahuan silsilahnya sampai beberapa generasi serta riwayat para leluhur, yang disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Masyarakat Batak adalah suatu masyarakat, dimana faktor geanologi menentukan susunan lingkungan desanya. Silsilah memiliki arti yang sangat penting dalam masyarakat Batak itu.

Dimasa yang silam masyarakat Batak memulai perkembangan marga-marga yang ada dengan meninggalkan kampung halaman nya dan mendirikan kampung halamannya sendiri dekat maupun jauh dari kampung halaman asalnya.

Menurut cerita para leluhur yang di turunkan secara turun temurun bahwa di desa Pargarutan yang pertama sekali menempati desa adalah keturunan dari marga Saruksuk yang merupakan keturunan dari raja Borbor yang dikenal


(5)

memiliki ilmu yang paling sakti juga merupakan pewaris harta kekayaan keluarga yang juga merupakan keturunan dari saribu raja. Saribu raja merupakan keturunan dari siraja Batak yang berasal dari Bona Pasogit yang berasal dari tanah asli Batak di kabupaten Samosir, yang pada akhirnya mempeluas kekuasaannya ke tanah Tapanuli Tengah, karena pada saat itu sistem perdagangan di Tapanuli Tengah sedang maju, apalagi dengan di bangunnya satu pelabuhan di kecamatan Barus serta pusat dagang yang cukup besar di daerah Barus. Para pedagang yang konon berasal dari kabupaten Samosir melintasi tarutung menuju ke Sibolga, dan dari Sibolga mereka berjalan melintasi beberapa desa yang dahulunya masih hutan hingga sekarang menjadi beberapa desa yang selalu dilintasi jika menuju ke Barus.

Sejarah si Raja Batak itu sangat lah panjang, secara detail (keseluruhan) menceritakannya dapat memakan waktu yang cukup lama, dan ika di tuliskan bisa sampai puluhan buku teba yang akan di hasilkan. Maka secara singkat sejarah siraja Batak dijelaskan dalam skema garis keturunan ini.

Si Raja Batak

Guru Tataebulan Raja Isumbaon(sumba)

Sariburaja Limbong Sagala Malau Sori Mangaraja

Borbor Lontung Naiambaton Narasaon Naisuanon

Bagan1 : Silsilah Raja Batak

Si Raja Batak memiliki 2 putera yang sulung Guru Tateabulan dan adiknya Raja isumbaon. Ada empat putra Tateabulan yang bernama Saribu raja,


(6)

Limbong, Sagala dan Malau. Yang sulung Saribu raja memiliki dua putera yakni Borbor dan Lontung.

Tentang sariburaja sebagai ayah Borbor dan Lontung diberitahukan dalam cerita-cerita Batak, bahwa ia melakukan incest(pernikahan sedarah) dengan saudara perempuannya yang bernama boru Pareme. Karena itulah mereka diusir dari daerah samosir lalu menetap di Sabulan.

Ada dua putera Sariburaja, yakni Borbor dan Lontung. Dari Sabulan ini tersebar marga-marga yang masuk Borbor dan Lontung dan keturunan merekalah yang pertama sekali menempati serta memperluas kekuasaan di tanah Tapanuli Tengah bersama dengan masyarakat pesisir yang terdahulu tinggal disana sebagai nelayan dan pedagang.

Jadi kedua putera dari sariburaja dalam memperluas kekuasaan nya melakukan ekspedisi juga hingga marga-marga dari keturunan meraka menempati beberapa wilayah yang ada di Tapanuli tengah termasuk desa Pargarutan ini sendiri, banyak warisan budaya yang masih diwariskan dan di lakukan masyarakat Batak mula-mula yang bermukim di Desa ini termasuk upacara palangehon boru ini sendiri.

3.2 Marga Pandiangan Keturunan Lontung

Pandiangan merupakan anak ketiga dari Si Raja Lontung, Pandiangan Pindah ke Sabulan di Palipi (Samosir). Marga pandiangan kebanyakan tinggal di samosir selatan dan ada juga ke Dairi. Karena pada saat itu di daerah-daerah mereka terjadi kemarau yang sangat panjang serta bahaya kelaparan, sebahagian keturunan dari Raja Lontung yaitu Pandiangan dan lain-lain meninggalkan daerah


(7)

Samosir menuju ke beberapa daerah yang dianggap dapat membantu mereka dari situasi yang sedang mereka alami.

Mulai lah para keturunan dari raja Lontung ini menyebar ke beberapa daerah termasuk Tapanuli Tengah yang pada saat itu terdengar maju karena pusat perdagangannnya yang di Barus. Berikut akan di jelaskan secara singkat melalui skema mengenai silsilah dari Raja Lontung:

Toga Situmorang (Marga situmorang)

Toga Sinaga (Marga Sinaga)

Toga Pandiangan (Marga Pandiangan)

Lontung Toga Nainggolan (Marga Nainggolan)

Toga Simatupang(Marga Simatupang)

Toga Aritonang (Marga Aritonang)

Toga Siregar (Marga Siregar)

Bagan 2 : Silsilah si Raja Lontung

Menurut salah seorang informan yaitu Bapak M.D pandiangan (umur 60 tahun) Awal mulanya anak dari raja Lontung yang menduduki tanah tapanui tengah adalah Toga Simatupang ataupun marga Simatupang yang akhirnya diikuti oleh toga-toga yang lain serta mengikuti budaya yang sudah ada sejak anak-anak raja Lontung menyebar ke tanah Tapanuli Tengah.


(8)

Sesuai marga yang yang melakukan upacara Palangehon boru yang di telah dilihat dan di jadikan sampel untuk tulisan ini yaitu marga pandiangan maka akan di jelaskan juga silsilah marga Pandiangan yang juga merupakan keturunan raja Sariburaja yang tersebar di Tapanuli tengah yang telah memiliki tradisi-tradisi yang diwariskan kepada generasi penerusnya hingga menjadi kebudayaan yang dilestarikan hingga pada saat ini di Tapanuli tengah.berikut daftar silsilah Toga Pandiangan:

Toga Pandiangan

Ompu Humirtap (marga Pandiangan) Raja Sonang

M.Gultom M.Samosir M.Pakpahan M.Sitinjak

Rumabolon Rumasurung Rumasidari

M.Samosir Ompuraja minar ompurajapodu ompuraja horis

Marga Sidari Bagan 3: Silsilah toga Pandiangan

Marga Pandiangan seperti yang telah di jelaskan merupakan salah satu keturunan raja Lontung, yang keturunannya menduduki tanah Tapanuli Tengah beserta tersebar di beberapa daerah lainnya dan keurunan yang merupakan generasi penerus telah banyak menganut budaya yang sudah ada yang telah diajarkan di lokasi mereka bermukim.


(9)

3.3. Marga Pasaribu Sebagai Keturunan Raja Borbor

Marga merupakan suatu identitas keluarga Batak. Orang Batak harus bermarga. “Marga” artinya jalan, hubungan dalam kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilinier secara patrilinier. Bermula dari nama seseorang, kemudian keturunannya menjadikan nama itu nama identitas keluarga, di kenal dengan sebutan “marga”, dan setiap orang Batak, pria, dirajut dalam silsilah (tarombo) marga.

Akan halnya Pasaribu sebagai marga, dalam silsilah Batak, ternyata tidak dijumpai seseorang yang bernama Pasaribu secara eksplisit. Akibatnya timbul kesulitan memastikan sejak kapan marga itu muncul dan siapa saja yang berhak menggunakan marga itu sebagai identitas keluarga patrilinier. Dan makalah ini merupakan hasil studi yang panjang, yang berusaha menemukan jawaban sekaligus mencoba meluruskan berbagai pendapat yang kurang memiliki informasi dan kajian kuat tentang hal itu. Studi ini menyimpulkan bahwa Sariburaja I adalah Pasaribu pada generasi ke III, dan Saruksuk menempati posisi pada generasi ke-IX pada silsilah Pasaribu.

Menurut bapak A.H. Pasaribu Kalau kepada orang yang bermarga Pasaribu di ajukan pertanyaan ini : Siapa orang yang bernama Pasaribu? Boleh jadi pertanyaan itu dianggap aneh, mengada-ada, mencari kerumitan, bahkan mungkin dianggap pertanyaan yang mencurigakan. Jawaban berapi-api penuh semangat yang timbul boleh jadi mungkin begini : Bukankah sudah begitu banyak orang bermarga Pasaribu tersebar di Bumi Nusantara dan bahkan mancanegara Pasaribu menyebar dimana-mana, karena panggilan tugas maupun karena desakan


(10)

keadaaan. Tidakkah mereka itu menjadi fakta adanya seseorang bernama Pasaribu pernah hidup, kemudian turunannya mengabadikan nama itu menjadi marga keturunannya seperti halnya marga-marga lain yang menjadikan nama leluhur jadi marga pada umumnya.

Ada semacam pendapat yang mengatakan hanya Habeahan, Bondar dan Gorat saja yang masuk marga Pasaribu. Alasannya, orang bertiga itulah anak kandung Sariburaja III yang mereka sebut Pasaribu. Itulah konstruksi pikir yang dikembangkan. Karena Habeahan, Bondar dan Gorat saja anak kandung Sariburaja III, maka perkumpulan Pasaribu yang dibentuk pada berbagai tempat cenderung mencakup hanya tiga sub unit marga itu saja. Di Jakarta rumus ini dipaksakan dalam bentuk daftar hadir, urusan adat, publikasi lisan, internet maupun cetak. Kalau ada sub unit marga dari pomparan (turunan) Borbor bergabung ke dalam perkumpulan Pasaribu maka rumus yang digunakan terhadap sub unit marga itu bukan rumus uniliner secara patriliner tetapi menggunakan rumus Ikrar Borbor Marsada. Siapa orang pertama yang menggunakan nama Pasaribu memang merupakan pertanyaan besar dan memerlukan jawaban. Tidak demi kepentingan teoritis saja tetapi terutama untuk kepentingan praktis di kalangan pomparan dari orang yang bernama Pasaribu itu. Pada generasi berapa marga Pasaribu muncul, siapa-siapa nama boru (saudara perempuan)-nya, dan menikah (muli) kepada siapa, dari marga apa pada generasi itu, dan pada masing-masing generasi berikutnya. Konsep Tarombo Borbor Marsada, yakni sebuah makalah yang dipersiapkan oleh Mangaradja Salomo untuk Kongres di Haunatas (1938) dan diharapkan mampu menjawab pokok masalah, ternyata tidak jadi


(11)

dibahas, padahal Tarombo dan Marga bagi orang Batak penting untuk mempersatukan. Zaman ini adalah zaman persatuan makin dewasa makin bersatu.

Sebagai salah satu sampel dalam tulisan ini maka akan dijelaskan juga silsilah dari marga Pasaribu yang juga merupakan salah satu yang melaksanakan upacara Palangehon boru ini. Borbor awal mulanya berasal dari desa Sabulan yang kemudian pindah melalui sipultak kelembah Silindung (Tarutung), dan Haunatas (dekat Laguboti). Marga Pasaribu meninggalkan Silindung menuju Barus di Tapanuli Tengah karena desakan dari marga Hasibuan. Selain di tempat-tempat tersebut desa Sibisa yang merupakan desa yang berdekatan dengan Porsea juga pernah di tinggali oleh keturunan Borbor, tetapi kemudian diserahkan oleh keturunan mereka sendiri kepada pihak Narasaon Sebagai Pauseang (Pemberian harta yang tidak bergerak kepada pihak menantu lelaki). Dari Haunatas ada keturunan Borbor yang menyebar dan bermukim di Lintong Pangururan, selain itu ada juga yang ke desa Habinsaran (di sebelah timur Porsea). Kebanyakan keturunan Bobor menyebar ke Tapanuli Selatan seperti marga Harahap, Sipahutar dan Sipirok sedangkan marga Psaribu sendiri banyak bermukim di Tapanuli tengah.

Turunan Borbor awal mula menempati Pinang Sori Lumut di Sibolga serta kecamatan Barus kabupaten Tapanuli Tengah. Pada saat itu ada beberapa marga yang bermukim di sana yaitu marga Pasaribu, marga Sipahutar, kemudian marga Silitonga yang termasuk dalam marga Pohan. Berikut akan di jelaskan secara singkat melalui skema untuk menjelaskan silsilah keturunan dari Borbor tersebut:


(12)

Raja Hatorusan Sang Maima

Harahap Datu Dalu Habeahan Pasaribu

Matondang Bondar Pasaribu

BORBOR Sipahutar Gorat Pasaribu

Sitarihoran Datubara

Rambe

Saruksuk

Bagan 4 :Silsilah si Raja Borbor

Menurut Informan bapak M.D Pandiangan (umur 60 tahun) Marga-marga dari keturunan Borbor banyak menduduki daerah Tapanuli Selatan, tetapi pada saat proses persebarannya sebagian ada yang menyebar ke daerah Tapanuli Tengah. Pengalaman silsilah (tarombo) didefenisikan sebagai pencarian realitas asali. Dan dalam rangka pencarian ini, penyilsilah sering merasa terdorong untuk menegaskan bahwa silsilah yang dimiliki sebagai paling otentik dan karenanya harus dianggap paling sah. Banyak diantara mereka memperlihatkan kecenderungan terselubung untuk menyatakan diri sebagai yang paling benar, lalu menawarkan silsilah yang dia miliki sebagai satu-satunya pilihan menuju kepastian posisi dalam silsilah. Sikap seperti ini kiranya bertengah dengan, apabila, menerima setiap ungkapan mengenai realitas asali yang, lain dari pada ungkapan sendiri. Suatu kenyataan dan mengaburkan susunan keluarga Batak dewasa ini ialah adanya berbagai ragam dan versi silsilah beredar dan dimiliki masing-masing sebagai satu-satunya kebenaran.


(13)

Dalam komunitas Pasaribu Saruksuk pun pernah terjadi hal serupa, terutama tahun 1965, yakni, sejak munculnya satu versi silsilah berjudul Tarombo Pasaribu Habeahan di Medan. Dalam silsilah versi itu posisi Raja Saruksuk ditempatkan mengisi posisi Raja Manuksuk pada silsilah Pasaribu Habeahan. Silsilah rekayasa ini kemudian diseremonialminikan oleh St. Rellius Saruksuk Gg. Halat, di Medan. Sebelumnya di Tapanuli Tengah Saruksuk merupakan si bungsu dari empat bersaudara, Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk di tetapi sejak munculnya posisi Saruksuk mengisi Manuksuk, subunit Saruksuk jadi hilang dan tampil dalam posisi baru yakni Habeahan, yang tadinya Saruksuk anak bungsu berubah menjadi anak sulung. Perubahan posisi ini menimbulkan masalah besar di kalangan Pasaribu khususnya di Pasaribu Tobing dan Pasaribu Dolok, Tapanuli Tengah tempat Raja-Raja Saruksuk membangun “tahta “(huta) yakni di Rabaraba, Lobu Sampetua, Tarutung Siduadua, Jampalan Bidang, Lobu Siala, Sarumatinggi, Siangirangir, Sibatunanggar, Janji Nauli, Bonandolok, Sirau, Panorusan, Longgang, Tomaginjang I, Tomaginjang II, Lumbang Baringin, Batu Ronggang, Rianiate, Sidimpuan, Sibatubatu, Pansuran Dewa dan Aek Rogas, dalam hal ini mereka juga mengikuti dan membuat beberapa aturan yang hingga saat ini menjadi warisan budaya sama halnya dengan keturunan Lontung yang bermukim di Tapanuli tengah ini. Mereka memiliki adat yang sama yang masih dilestarikan hingga saat ini.


(14)

BAB IV

PALANGEHON BORU YANG DI LAKUKAN OLEH MARGA PANDIANGAN DAN PASARIBU DI DESA PARGARUTAN

4.1. Pengertian Upacara Palangehon Boru

Palangehon Boru berasal dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Batak Toba tulen yang berarti Palangehon “memandikan/membasuh”, sedangkan Boru juga berasal dari bahasa Batak Toba yang berarti “anak perempuan”, jadi pengertian Palangehon Boru secara umum adalah suatu upacara riual yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan Sorkam khususnya di desa Pargarutan untuk memandikan anak bayi perempuan dalam rangka membuang kesialan dari dalam diri si anak maupun dari keluarganya yang konon katanya dibawa sejak dari dalam kandungan.

Upacara palangehon boru adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya, upacara palangehon boru ini juga merupakan salah satu unsur yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan orang Batak Toba khususnya masyarakat yang tinggal di desa Pargarutan. Upacara palangehon boru dapat diselenggarakan dengan bantuan orang yang dianggap memiliki kedudukan sebagai pelaksana atau penentu kapan berlangsungnya upacara tersebut.

Dalam proses upacara ini dimaksudkan agar si anak tersebut terlahir kembali setelah memasukkan balita tersebut serta membasuhkan darah hewan yang digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan proses kelahiran si anak


(15)

itu kembali, dengan harapan bahwa segala kesialan yang akan terjadi dalam keluarga maupun si anak pada saat di kandungan tidak terjadi lagi. Seperti kata salah seorang informan yang bernama bapak Pangundian Marbun (umur 68 tahun) mengatakan bahwa:

“adat na di radehon dohot akka natupa di pesta on ni bahen asa dao-dao akka parmaraan tu hasuhuton dohot ianakkon na tu joloan on” yang berarti adat yang di buat beserta yang ada di upacara ini di sediakan dan dilakukan agar di jauhkan dari segala kesialan dan marabahaya ke pihak keluarga dan juga ke anak-anaknya di kemudian hari. Dari kutipan tersebut dapat dilihat peranan dari upacara palangehon boru pada saat melakukan upacara ritual inii sangat diperlukan.

4.2. Upacara Palangehon Boru Yang Dilakukan Oleh Marga Pandiangan Di Pargarutan Tapanuli Tengah

A .Sebelum Pelaksanaan Upacara Palangehon Boru

Pada saat bulan kedua ibu mengandung si balita perempuan tersebut,pihak keluarga sudah mulai merasakan adanya beberapa kejanggalan-kejanggalan yang tidak biasa di tebak seperti berkurang nya hasil panen padi dan karet, padi yang biasa nya hasil panen yang dicapai hingga 30 karung beras bahkan lebih menjadi berkurang hingga 15 karung sehingga menguragi pendapatan keluarga tersebut, ada kejanggalan lain seperti orang tua laki-laki dari si anak tersebut turun jabatan di tempat dia bekerja sebagai wakil kepala sekolah hingga menjadi guru bagian staf biasa, dan problem-problem antar kedua orang tua si anak terjadi saat mengandung.


(16)

Seorang informan yang merupakan pihak Hasuhutan (pihak keluarga yang melaksanakan upacara) yaitu bapak Osjanni P mengatakan pernah suatu hari saat ketika dia pulang dari sekolah tempat dirinya bekerja dia bertemu dengan salah seorang penduduk desa yang merupakan salah satu tokoh adat di desa yang mengatakan bahwa kejanggalan-kejanggalan terjadi berasal karena bayi yang di kandungan, hingga pada saat tersebut bapak tersebut membawa sang istri kepada salah seorang natua-tua ni huta(orang yang dituakan dan dihormati di desa) yang juga memiliki kekuatan untuk memanggil roh-roh nenek moyang serta berdoa kepada Debata mula jadi nabolon (Tuhan yang Maha Esa, yang dapat memberikan berkat kepada mereka dan semua ciptaanya) dan di percaya dapat mengetahui hal—hal gaib yang terjadi.

Setelah bertemu dengan natua-tua ni huta yang bernama opung Pandi Pandiangan(umur 52 tahun), dia menyarankan untuk menunggu hingga prosses persalinan si anak tersebut,maka dapat di tentukan hal apa yang akan di lakukan atas permasalahan tersebut. Untuk sementara sang ibu hanya diperbolehkan untuk focus pada persalinan dan menjaga kandungannya serta tidak di ijinkan untuk melakukan pekerjaan berat untuk mengantisipasi proses kelahiran sungsang atau yang lainnya.

Tiba pada saat kelahiran sang bayi, maka di ajak lah natua-tua ni huta untuk menyaksikan kelahiran sang bayi tersebut, agar di ketahui apa yang harus di lakukan dalam mengatasi permasalah yang sudah terjadi pada saat anak di dalam kandungan. Dan kemudian lahirlah seorang anak perempuan yang ternyata pada saat persalinan melahirkan bayi tersebut sang ibu ikkut mengeluarkan kotoran


(17)

serta mengenai tubuh bayi tersebut dan posisinya telungkup serta tali pusar bayi melilit Perut bayi tersebut.

Setelah di ketahui bahwa kelahiran bayi itu dengan bentuk dan cara yang seperti itu maka oleh sang ayah memberitahukan kepada natua-tua ni huta bahwa kejadian tersebut terjadi pada istri dan anak nya pada saat proses persalinan, padahal anak-anak yang sebelumnya lahir dengan cara yang normal tanpa ada hal-hal yang terjadi pada bayi mereka tersebut.

Maka oleh natua-tua ni huta mengatakan bahwa kejanggalan dan kejadian yang terjadi di sebabkan karena si anak yang baru lahir dapat membawa sial jika tidak segera dilakukan upacara-upacra yang seperti biasanyaa di lakukan oleh keluarga lain yang mengalami hal yang sama dalam proses kelahiran anak-anak yang seperti itu, sehingga direncanakanlah untuk melakukan upacara palangehon boru ini yang nantinya digunakan sebagai upacara yang dibuat untuk mebersihkan si anak dari hal-hal yang dianggap membawa kesialan untuk dirinya dalam kehidupan nya serta keluarganya.

Upacara ini harus di lakukan pada saat anak masih bayi, jika perlu setelah proses “tardidi” (proses pemberkatan dan pemberian nama pada sang bayi yang baru lahir di gereja) setelah itu dilakukan upacara palangehon boru ini. Upacara di lakukan pada saat si anak masih bayi, dikarenakan agar tidak terjadi lebih banyak kesialan lagi maka harus di lakukan pengahapusan dan membuang kesialan-kesialan yang di bawa bayi tersebut.


(18)

B. Penentuan Hari Pelaksanaan Palangehon Boru

Sebelum upacara palangehon boru dilakukan masyarakat yang melakukan upacara tersebut harus terlebih dahulu meminta kepada datu atau natua-tua nihuta untuk menentukan bulan dan hari yang baik di lakukannya upacara tersebut (istilah Batak nya maniti ari). Maniti ari ini dilakukan oleh datu yan di tentukan berdasarkan pada parhalaan yaitu kalender Batak Toba terdahulu yang sampai sekarang masih teap di pedomani untuk mencari dan menentukan hari yang baik dalam pelaksanaan suatu upacara. Parhalaan ini dapat digunakan dalam setiap upacara adat Batak Toba, misalnya: menggelar pesta perkawinan, upacara mangokkal holi, upacara Saurmatua, membangun dan memasuki rumah, upacara panen, dan sebagainya. Parhalaan ini berisi nama-nama hari dan nama-nama bulan seta symbol(lambing) dari masing-masing hari.

Nama-nama bulan Batak,antara lain:

1. Sipaha sada adalah bulan pertama 2. Sipaha dua adalah bulan kedua 3. Sipaha tolu adalah bulan ketiga 4. Sipaha opat adalah bulan keempat 5. Sipaha lima adalah bulam kelima 6. Sipaha onom adalah bulan keenam 7. Sipaha pitu adalah bulan ketujuh 8. Sipaha ualu adalah bulan kedelapan 9. Sipaha sia adalah bulan kesembilan 10.Sipaha sampulu adalah bulan kesepuluh


(19)

11.Li adalah bulan ke sebelas

12.Hurung adalah bulan keduabelass 13.Bulan lamadu(tiga tahun sekali)

Pada saat penentuan hari pelaksanaan proses palangehon boru ini datu tersebut memberikan hari yang baik untuk melaksanakan upacra Palangehon boru tersebut teat pada bulan Ke Delapan (Sipaha Ualu) tepatnya pada tanggal 21 atau penyebutan hari dalam suku Batak disebut dengan Samisara Moraturun . Pada saat tersebut lah putri atau boru dari marga Pandiangan ini akan di laksanakan upacara adat Palangehon boru tersebut.

C. Tempat-Tempat Upacara Palangehon Boru

Tempat-tempat yang digunakan dalam proses upacara palangehon boru ada beberapa tempat seperti:

 Gereja yang merupakan tempat pertama yang akan di tuju oleh pihak keluarga untuk meminta berkat dari Tuhan Yang Maha Esa agar acara yang akan dilaksanakan tidak ada kendala serta berjalan dengan lancar hingga akhir acara. Dan gereja yang di kunjungi oleh keluarga Pandiangan sebelum melakukan upacara ini adalah gereja HKBP (Huria Kristen batak Protestan) karena mereka merupakan Jemaat gereja tersebut..

 Di halaman rumah keluarga Pandiangan yang melakukan upacara, digunakan untuk tempat membelah pinahan yang akan digunakan untuk membasuh si anak tersebut, ruangan yang dibutuhkan


(20)

memanglah harus ruangan terbuka agar kesialan terbuang dan hilang dari keluarga.

 Semak atau rerumputan yang berada dekat dengan kediaman marga Pandiangan tersebut yang dinantinya digunakan untuk meletakkan bayi oleh hula-hula keluarga sebagai bukti bahwa kesialan dalam tubuh siboru telah di buang ke semak-semak.

 Di dalam kediaman rumah keluarga Pandiangan untuk acara partamiangan acara tersebut serta melakukan parjambaran untuk setiap undangan serta acara untuk ucapan syukur

 Sungai yang berada tidak terlalu jauh dari kediaman Rumah digunakan untuk menghanyutkan pakaian si bayi tersebut.

D. Pendukung pelaksana Upacara Palangehon Boru

1. Hasuhuton

Hasuhuton adalah penyelenggara upacara palangehon boru(orang yang menginginkan pelaksanaan upacara palangehon boru). Dalam upacara Palangehon boru ini yang menjadi pihak Hasuhuton adalah keluarga besar Pandiangan yaitu bapak Osjanni pandiangan (umur 37 tahun) beserta isterinya ibu Murni Marbun (umur 29 Tahun) dan putrinya yang ketiga lah yang akan di palangehon bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kebutuhan upacara, termasuk dalam menyediakan pelean(persembahan di gereja) serta seluruh biaya dalam upacara ini ditanggung oleh pihak hasuhuton.


(21)

2. Datu atau Natua-tua ni huta

Datu atau Natua-tua ni huta memiliki peran yang sama dalam upacara palangehon boru ini Mereka bertugas untuk menentukan hari baik atau hari yang pas untuk melaksanakan upacara palangehon boru ini. Datu biasanya melakukan semacam doa kepada raja mulajadi nabolon untuk meminta petunjuk hari apakah yang cocok untuk melakukan upacara tersebut. Tidak hanya upacara palangehon boru saja yang ditentukan harinya melainkan juga upacara perkawinan, upacara untuk memasuki rumah baru, dan upacara lainnya. Datu ini juga akan menjadi pembicara tu menjadi raja parhata dalam proses berlangsungnya upacara palangehon boru tersebut, dan Datu yang menentukan hari serta yang memimpin upacra ini adalah Bapak Op Pandi Pandiangan (umur 52 Tahun).

3. Pargonci

Pargonci adalah sebutan kepada yang memainkan ensambel gondang sabangunan. Mereka sering di panggil amang panggual pargonci atau amang parende nami, pargonci dalam upacar palangehon boru ini bertugas sebagai music pengiring adat yang dilaksanakan setelah selesai proses pembasuhan serta saat pembagian parjambaran.

4. Peserta Upacara

Adapun peserta upacara yang dimaksudkan adalah orang-orang yang di undang dan turut berperan atau orang-otang yang diberi tugas dalam pelaksanaan upacara palangehon boru seperti penatua dan undangan lain.


(22)

Orang-orang tersebut dapat dari anggota keluarga sendiri, tetangga maupun Orang-orang yang sudah dipilih dari desa tersebut untuk turut serta menyaksikan dan marhobas (orang yang bekerja dalam menyiapkan upacara adat). Sedangkan penatua sendisiri serta undangan yang tidak marhobas akan ikut serta dalam upacara untuk Manolopi(menyetujui acara yang sedang berlangsung di desa mereka)

5. Pandita atau pendeta

Fungsi pendeta dalam proses upacara ini adalah sebagai pembuka acara serta pembawa lagu pujian pada saat membuka acara di gereja serta sebagai penutup acara sesuai keyakinan yang diajarkan, pendeta yang turut mendoakan dalam acara gereja ini adalah bapak Sahala Pasaribu yang merupakan porhangir gereja.

6. Hula-hula

Hula-hula yang dimaksudkan adalah Tulang atau saudara laki-laki ibu si anak, Tulang berfungsi sebagai orang yang memiliki peran utama dalam pamgidoan tangiang parhitean yang berarti meminta doa serta berkat serta berperan untuk menggendong anak setelah dibasuh kan, dan sebagai pihak hula-hula dari marga Pandiangan adalah keluarga dari isteri bapak Osjanni Pandiangan yang bermarga kan Mabun.

7. Pihak ianakkon/ Namboru

Ianakkon atau namboru adalah saudari perempuan dari pihak ayah si anak yang berperan untuk mengambil pakaian si anak yang di pakai sebelum


(23)

dipalangehon serta menghanyutkan pakaian tersebut kesungai. Sementara suami dari namboru bayi tersebut bertugas untuk membelah pinahan yang digunakan pada saat upacara Palangehon boru tersebut.

E. Aktivitas Pelaksanaan Upacara Palangehon Boru

1 Pembacaan Doa Pembuka

Dalam upacara palangehon boru ini, pendeta yaitu bapak Sahala Pasaribu bertugas untuk membuka dan memimpin acara doa pembukaan yang dilakukan di gereja tempat pihak hasuhuton beribadah atau sebagai jemaat di gereja tersebut serta dihadiri oleh para undangan. Pertama-tama dilakukan acara kebaktian di gereja tersebut seperti ibadah biasa untuk meminta izin pelaksaan adat tersebut kepada Tuhan yang Maha Esa, setelah melakukan kebaktian dilakukan acara meminta berkat serta mendoakan proses berjalannya upacara yang akan diselenggarakan di kediaman hasuhuton yang dipimpin oleh Bapak Pendeta

Setelah dilakukan doa pembukaan maka dilanjutkan dengan doa pembuka oleh natua-tua ni huta atau Datu di kediaman hasuhuton tepatnya di halaman rumah tempat si bayi akan di palange untuk menyampaikan pesan kepada mulajadi nabolon, doa-doa yang diucapkan oleh natua-tua ni huta tersebut berisikan mantra-mantra dan mantra yang di bacakan oleh Datu ini adalah untuk meminta para roh nenek moyang untuk bersama-sama dengan seluruh orang yang ada di acra tersebut khususnya si pemohon atau hasuhuton mengikuti upacara atas perintah Raja Mulajadi Nabolon serta menjaga proses upacara tersebut agar tidak terjadi masalah serta upacara berjalan sesuai dengan apa yang di maksudkan.


(24)

Adapun doa yang dipanjatkan oleh Datu adalah permintaan dari pihak keluarga yang melaksanakan upacara yang merasa bersyukur dapat melaksanakan kegiatan upacaa ini serta atas kelimpahan yang masih dapat disediakan oleh keluaga, memohon agar setiap kesialan yang telah terjadi di keluarga dibuang jauh dari keluarga besar mereka, memohon agar hasil panen melimpah kembali sesuai dengan yang di kerjakan dan yang diharapkan, menjauhkan si anak dari masalah-masalah yang dianggap sebagai suatu bentuk kesialan yang menimpa sianak hingga ia dewasa, memohon masa depan yang cemerlang untuk kehidupan si anak tersebut.

2.Manortor

Manortor artinya adalah menari. Manortor ini dilakukan sesuai dengan upacara palangehon boru apa yang diminta oleh masyarakat dan ada yang tidak, karena tidak semua upacara palangehon boru ini yang menggunakannya. Secara fisik manortor merupakan tarian biasa saja, namun di balik itu ada makna yang terkandung di dalamnya, manortor ini terkadang menjadi media komunikasi antar manusia dengan roh nenek moyang orang Batak yang ditunjukkan dengan gerakan-gerakan tarian tersebut.

Dalam melakukan tor-tor banyak hal yang harus diperhatiakn, misalnya saja tangan si penari tidak diperbolehkan melewati batas setinggi atau melewati batas bahu keatas, bila itu dilakukan oleh si penari, berarti ia sudah siap menantang siapa pun dalam ilmu perdukunan atau adu pencak silat, atau adu tenaga dan batin dan lai-lain. Tarian (tor-tor) Batak ada empat gerakan (Urdot) yaitu:


(25)

1 Pangurdot (yang termasuk pangurdot dari organ-organ tubuh adalah daun kaki, tumit sampai bahu).

2 Pangeal (yang termasuk pangeal dari organ tubuh adalah pinggang, tulang punggung sampai daun bahu/sasap).

3 Pandenggal (yang termasuk pandenggal adalah tangan, daun tangan sampai jari-jari tangan).

4 Siangkupna (yang termasuk siangkupna adalah leher).

Menari juga dapat menunjukkan sebagai sarana penyampaian isi batin baik kepada Raja mulajadi Nabolon, roh nenek moyang, kepada orang yang kita hormati untuk menunjukkan rasa hormat (Somba).

3. Pemukulan Ensamble Gondang Batak

Permainan gondang ini juga dapat dimainkan sesuai dengan upacara plangehon boru serta dimainkan sesuai dengan permintaan pihak hasuhuton. Dalam pelaksanaan pemukulan gondang di iringi dengan manortor, pasu-pasu(berkat), dang magulosi (memberikan ulos Batak). Memainkan gondang di mulai dengan pihak hasuhuton meminta permintaan kepada pihak pargonci dengan kata-kata yang sopan dan santun seperti sebagai berikut :

amang pargonci nami na malo alu-aluhon majolo tu omputa Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibi on.”

Yang artinya: “Bapak pemain musik kami yang pandai, adukanlah melalui Gondang, kepada Tuhan pencipta langit dan bumi, yang menjadikan segalanya, yang menjadikan manusia serta segala isi dunia ini.” Setiap permintaan kepada


(26)

pargonci akan selalu di selingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat.

Alat musik ini terdiri dari Ogung sabangunan terdiri dari 4 Ogung. Kalau kurang dari empat Ogung maka di anggap tidak lengkap dan bukan Ogung sabangunan serta dianggap lebih lengkap jika di tambahkan dengan alat kelima yang dinamakan dengan Hesek. Kemudian Tagading terdiri dari 5 buah. Sarune (serunai harus memiliki 5 lobang di atas dan satu di bawah). Peralatannya cukup sederhana namun kalau dimainkan oleh yang sudah berpengalaman sangat mampu menghipnotis masyarakat.

Tetapi pada saat pelaksanaan acara adat Batak sekarang ini alat-alat tersebut terkadang di gantikan dengan pemakaian alat music keyboard yang memiliki suara gondang yang lengkap, karena menurut orang jaman sekarang hal tersebut lebih praktis, tetapi ada upacara tertentu yang hanya diperbolehkan menggunakan alat musik gondang Batak, jika tidak menggunakan Gondang maka akan terasa kurang lengkap dalam pesta tersebut misalnya saja pada pesta Danau Toba, pesta mangokkal Holi, upacara Mamele sedangkan pada upacara tertentu seperti upacara pernikahan atau pun upacara palangehon boru ini dapat di gunakan seperangkat keyboard saja, karena hanya digunakan untuk keperluan mangulosi saja.

4. Palangehon Boru

a. Tata Letak Peserta Upacara Palangehon Boru

Seperti yang telah di jelaskan pada latar belakang bahwa upacara palangehon boru ini merupakan upacara yang di laksanakan dengan memandikan atau membasuh darah. Pertama sekali yang harus di perhatikan adalah tata letak


(27)

pihak hhasuhutan, hula-hula yang merupakan tulang dari si anak, kemudian boru/ianakkon yang merupakan namboru dari si anak.

Pada prinsipnya tempat untuk hula-hula dan Tulang adalah orang yang terhormat di halangulu (aplikasinya di sebelah kanan dari suhut) dan pihak hula-hula dari pihak hasuhutan keluarga Pandiangan ini adalah marga Marbun yang merupakan keluarga dari pihak isteri , mengingat bahwa mereka adalah sebagai raja yang dihormati tetapi untuk upacara palangehon boru pihak hula-hula berada tepat di depan hasuhuton secara berhadapan dan di batasi oleh pinahan yang akan dijadikan sebagai tempat atau wadah untuk palangehon boru tersebut.

Untuk pihak ianakkon atau namboru pada prinsipnya yang mudah digerakkan untuk bekerja dalam mempersiapkan keperluan upacara, maka pihak ianakkon yang nantinya berda di tengah untuk membelah pinahan menjadi dua serta membersihkan perkakas dalam pinahan tersebut.

Sedangkan tata letak badi pihak namardongan tubu dan para undangan yang menyaksikan bahwa adanya upacara palangehon boru sebagai budaya Batak Toba yang masih di lestarikan hingga saat ini, dengan posisi mengelilingi pihak hasuhuton, ianakkon dan hula-hula serta parhata (pembicara) dalam upacara tersebut. Namun demikian karena situasi dan kondisi tempat dan tata letak sering tidak memungkinkan,maka susunan dan tata letak tempat duduk tersebut harus di sampaikan ungkapan mohon maaf “bahwa itulah tempat terbaik yang dapat kami sediakan”. Bagi suku batak ungkapan/pernyataan dengan kata-kata adalah yang mengikat (hata do parsimboraan).


(28)

b. Proses Pelaksanaan Palangehon Boru

Setelah seluruh tamu dan pelaksana upacara di atur tata letaknya, lalu Raja Parhata yang telah di pilih sesuai kesepakatan antara Datu dan hasuhuton maka di mulailah memimpin dan mengendalikan proses berjalannya upacara tersebut. Pertama sekali dibacakan secara lisan apa saja yang akan di lakukan dalam proses upacara tersebut yaitu membacakan doa oleh Datu

“Ditonggo asa diparo Mulajadi Nabolon, di tonga-tonga ni adat napinatupa on. Jumolo ma martamiang asa di padao angka parmaraan sian Boru dohot hasuhuton, asa tu ginjang ma panggabean, partumpahon ni omputta martua Debata Mulajadi Nabolon.”

“di doakan supaya di datangkan oleh Mulajadi nabolon, ketengah-tengah Upacara ini. Dengan dimulainya doa ini serta di lepaskan segala marabahaya dari anak perempuan ini dan keluarganya, sekiranya meningkatlah kemakmurann keberhasilan, dan kesejahteraan yang di kerjakan oleh Debata Mulajadi Nabolon.”

Setelah melakukan doa-doa serta ucapan pembuka, maka Raja Parhata (OP Pandi Pandiangan) memerintahkan pihak ianakkon/namboru untuk melepas baju Boru(anak perempuan) tersebut serta membungkusnya ke dalam bungkusan daun pisang dan di masukkan ke dalam pelastik, dengan keadaan telanjang si bayi diserahkan kepada kedua orang tuanya, dan pada saat berada pangkuan orang tuanya si bayi di doakan kembali oleh datu:

“sian sonari on dipalao ma sasude angka parmaraan, di paro ma angka habisuhon tu joloanon sian


(29)

Debata Djahowa”. Yang berarti: “mulai dari saat ini di buanglah segala marabahaya dan kesialan dari hidup mu, serta di datangkanlah segala kebaikan dan kepintaran serta masa depan yang baik dari Tuhan Yang Maha Esa”

Foto 3 : Anak Perempuan di serahkan kepada kedua orang Tuanya oleh pihak Namboru

(diambil pada saat pelaksanaan upacara palangehon boru di Desa Pargarutan tanggal 15

Agustus 2013)

Setelah didoakan maka dilanjutkan oleh Raja parhata yang pada saat itu di pimpin oleh Bapak Pangundian Marbun ( usia 60 tahun) memerintahkan pihak Ianakkon/Amangboru ( Suami dari Namboru/saudari ayah si anak) untuk membawa Pinahan dalam keadaan hidup kemudian mengerjakan/membelah pinahan tersebut serta membersihkan bagian dalamnya dengan hanya menyisakan darah pinahan tersebut karena darah tersebutlah yang akan digunakan untuk membasuh si bayi.


(30)

Foto 4 : Pihak ianakkon/Amangboru mengerjakan Pinahan (gambar diambil pada saat

pelaksanaan upacara palangehon boru di Desa Pargarutan tanggal 15 Agustus 2013)

Setelah selesai dibelah dan diambil perkakas dalam pinahan tersebut maka parhata meminta Datu untuk berdoa kembali maka Datu mengatakan:

“boan ma akka sasude parmaraan songon pinalangehon

dohot pinaridihon nami si boru on tu mudar ni pinahan on, lok ma ro imana na imbaru”.

Yang berarti “bawalah segala kesialan dengan kami basuhkan dan mandikan anak perempuan ini (sambil menyebut nama lengkap bayi yang di palangehon serta nama kedua orang tua si anak) biarkan lah ia datang dalam dirinya yang baru,yang jauh dari segala bentuk kesialan dan ketidakwajaran.

Maka setelah dilakukan doa tersebut bayi tersebut di masukkan oleh kedua orang tuanya kedalam pinahan yang sudah di belah dua dengan posisi telungkup serta membasuh nya dengan darah yang ada di dalam pinahan tersebut.

Foto 5 : kedua orang tua si anak memasukkannya kedalam pinahan (gambar diambil pada

saat pelaksanaan upacara palangehon boru di Desa Pargarutan tanggal 15 Agustus 2013)

Setelah di masukkan dan di basuhkan, maka pihak Tulang di perintahkan untuk mengambil si Bayi tersebut serta meletakkannya ke pangkuan Nantulang


(31)

(isteri Tulang) engan posisi di tangan nantulang tersebut telah disediakan sebuah sarung yang dibawa/disediakan oleh pihak hula-hula.

Langkah berikutnya yang dilakukan oleh pihak tulang adalah meletakkan Bayi tersebut ke semak yang berada di dekat rumah Hasuhuton, hal tersebut dilakukan dengan harapan segala kesialan jauh terbuang kesemak-semak (ramba-ramba) kata seorang informan yakni Bapak Maudirman Pandiangan ( umur 60 Tahun) yang merupakan Bapak Tua dari bayi atau abang dari ayah si bayi tersebut. Saat di semak Datu mengucapkan beberapa kata yaitu “Lao ma akka Parmaraan dohot hasialon” yang berarti “pergilah segala marabahaya dan kesialan”.

Kemudian bayi tersebut di angkat dan digendong oleh nantulang dan membasuhkan si anak dengan air bersih yang diambil dari pancuran yang berada di dekat desa, jika tidak ada pancur maka digantikan dengan air keran yang ada di rumah.

Foto 6 : penyerahan si bayi pada tulang dan membasuh si bayi dengan air bersih oleh

nantulang ((gambar diambil pada saat pelaksanaan upacara palangehon boru di Desa


(32)

Setelah Membasuh Bayi tersebut salah seorang namboru akan mengangkat dan memberi si anak pakaian yang baru untuk di kenakan si bayi dengan maksud kelahiran kembali dan si bayi akan mendapat kehidupan yang baru setelahnya. Sementara pakaian yang dikenakan sebelum di Palangehon akan di hanyutkan oleh Namborunya yang lain ke sungai yang tersdekat dengan kediaman keluarga tersebut.

Foto 7 : pakaian yang sudah dibungkus dengan daun pisang dan pelastik di hanyutkan dan

di buang ke sungai (gambar diambil pada saat pelaksanaan upacara palangehon boru di

Desa Pargarutan tanggal 15 Agustus 2013)

c. Makna-makna Peralatan dan Hal-hal yang Dilakukan Dalam Proses Palangehon Boru

Pinahan(Babi)

Dalam pelaksanaan upacara palangehon boru ini ada bagian-bagian yang memang dianggap penting yaitu mengapa harus menggunakan Pinahan (babi) sebagai tempat atau wadah serta membasuh dengan darah babi yang


(33)

digunakan. Dalam masyarakat Batak yang Kristen adalah hal yang wajar di pakai untuk hidangan dalam pesta adat karena selain harganya terjangkau dan gampang di cari dimana saja.

Sebenarnya menggunakan sapi atau kambing juga boleh, tetapi menurut salah seorang informan Bapak Pangundian Marbun mengatakan “jika menggunakan sapi terlalu mahal dan susah di cari selain alasan itu kulit sapi dan kerbau susah di potong dengan pisau karena keras dan terlalu besar untuk ukuran bayi. Sedangkan, jika menggunakan kambing hewan tersebut terlalu kecil untuk memasukkan bayi yang akan di palange dan darahnya juga sedikit tidak cukup untuk membasuh seluruh tubuh si bayi”. Maka dikatakan hanya Pinahan (babi) lah yang pas digunakan.

Setelah pinahan digunakan sebagai wadah untuk palangehon boru maka pinahan tersebut akan menggunakan nya sebagai jambar juhut (manifestasi penghargaan dalam bentuk daging) yang akan di bagi-bagi kepada setiap tamu dan peserta yang di undang kerena selain jambar hata (pengharggan dalam bentuk kata-kata) dan jambar hepeng (penghargaan dalam bentuk uang), dan akan di bagikan pada saat mangulosi (memberikan ulos) dan partamiangan setelah proses palangehon tersebut dilaksanakan sambil makan bersama dikediaman hasuhuton.

Boru ( Anak Perempuan)

Selain masalah mengapa harus pinahan yang digunakan dalam upacara palangehon ini, hanya anak perempuan lah yang dapat melakukan upacara adat palangehon boru ini, karena lazimnya dalam adat Batak anak laki-laki yang menerima warisan atau pembagian harta dalam keluarga dan laki-laki adalah


(34)

pembawa nama besar keluarga atau pun sebagai pembawa marga sehingga dapat membesarkan keluarga, dan pada umumnya laki-laki dapat mencari nafkah lebih mudah dibandingkan dengan perempuan meskipun sudah memiliki harta dari orang tua.

Lain hal dengan perempuan lazimnya perempuan Batak tidak akan mendapat hak waris dari orang tua sehingga jika ia selalu mengalami kesialan ia akan susah untuk bertahan hidup karena pada hakikatnya wanita Batak tidak membawa nama keluarga melainkan membawa nama keluarga suaminya kelak sehingga ia di persiapkan oleh orang tuanya dengan membuang segala hal negativ dari anak perempuan tersebut. Anak perempuan atau boru yan di palangehon dalam marga Pandiangan ini berumur 1 tahun dan sudah dibabtis di gereja untuk pemberian nama.

Sungai

Salah satu tempat yang digunakan untuk proses upacra palangehon boru adalah sungai. Datu meminta agar Namboru dari si anak yang membuang pakaian bekas yang awalnya di pakai si anak sebelum memulai upacara tersebut. Alasan mengapa pakaian tersebut harus dihanyutkan kesungai, menurut Datu Ompu Pandi “agar kesialan juga diharapkan terbawa dan terbuang oleh aliran sungai hingga kelaut dan tidak akan pernah kembali kedalam keluarga besar mereka”. Pada saat palangehon boru yang dilakukan oleh marga Pandiangan yang saya teliti ini sungai yan digunakan untuk menghanyutkan pakaian si bayi tersebut adalah aliran sungai rura slindun yang mengalir dari belakang perumahan penduduk.


(35)

G. Parjambaran, Mangulosi, Dan Makan Bersama Seluruh Undangan Yang Hadir Dalam Kegiatan Upacara Palangehon Boru

Setelah melakukan proses upacara pihak hasuhuton ini mengajak semua masyarakat desa yang hadir dalam upacara serta masyarakat desa Pargarutan yang hadir dalam upacara untuk mengikuti acara makan bersama-sama di kediaman hasuhuton. Makna dari makan berbersama-sama ini adalah untuk menciptakan rasa kebersamaan dan persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa Pargarutan beserta undangan lainnya serta membina hubungan kekerabatan antara sesama masyarakat, fungsi lain dari makan bersama ini adalah sebagai ungkapan rasa terimakasih telah menghadiri upacara tersebut.

Setelah melakukan makan bersama maka akan di lakukan Pajambaran, dimana dalam masyarakat Batak Parjambaran wajib dilakukan karena itu merupakan suatu manifestasi penghargaan kepada seseorang atau kelompok tertentu, yang pada dasarnya di bagi dalam 3 jenis yakni :

Jambar hata (penghargaan dalam bentuk kata-kata) yaitu turut mengucapkan sepatah dua patah kata untuk mengungkapkan rasa syukur, rasa terima kasih berserta kata-kata penghiburan

Jambar Juhut (pengharggaan dalam bentuk daging dan makanan) yaitu turut mendapatkan pembagian daging yang dipersiapkan untuk upacara adat tersebut (“ tudu-tudu ni sipanganon”).

Jambar hepeng (penghargaan dalam bentuk uang) yaitu turut mendapat pembagian uang (pinggan panganan, upa raja, piso-piso, pasituak natonggi, upa manggabei, dan lain-lain)


(36)

Selain acara parjambaran maka dilakukan pula acara mangulosi (memberikan Ulos) yang merupakan oleh-oleh pemberian baik dari pihak hasuhuton ke pada undangan maupun undangan kepada pihak hasuhuton. Dalam masyarakat Batak telah diatur mengenai apa saja yang mmenjadi oleh-oleh dan pemberian (siboanon/sibahenon/silehonon), dari siapa kepada siapa dalam hubungan kekerabatan sehari-hari dan terutama pada acara pesta adat.

Dari hulahula kepada boru, ialah: beras (boras si pir tondi), Ulos (Ulos Nahapal,ulus naganjang, ulos sitorop rambu), Ikan ( dekke sitio-tio, dekke msumudurudur, dekke sahat).

Dari Tulang kepada bere, ialah : Beras (boras si pir tondi), Ulos (Ulos Nahapal,ulus naganjang, ulos sitorop rambu), Ikan ( dekke sitio-tio, dekke msumudurudur, dekke sahat). Yang aplikasinya sesuai dengan situasi dan kondisi.

Dari boru kepada hula-hula, ialah: Uang/hepeng (pasituak natonggi, piso-piso, upa raja, upa panggabei).

Dari Bere kepada tulang, ialah : Uang/hepeng (pasituak natonggi, piso-piso, upa raja, upa panggabei).

Dari Namardongan tubu (Semarga), ialah memberikan uang dan kesepakatan (consensus)

 Dari yang bertetangga, ialah memberikan uang dan kesepakatan (consensus)

Dari Pariban (satu marga dengan isteri) yang menikah berstatus kakak, ialah memberikan uang atau barang berbentuk kado, dan jika yang melakukan acara berstatus adik


(37)

atau keponakan, maka yang diberikaan ialah Ulos (mangulosi) dan dalam kondisi tertentu dapat berbentuk uang atau kado.

H. Tujuan Upacara Palangehon Boru Yang Dilakukan Oleh Marga Pandiangan Di Desa Pargarutan

Tujuan upacara palangehon boru yang dilakukan oleh masyarakat batak toba yang dilakukan oleh masyarakat Batak yang ada di kecamatan Sorkam terkhusus di desa Pargarutan, memiliki tujuan-tujuan seperti yang telah di jelaskan sebelumnya. Yang paling terutama adalah menjauhkan segala marabahaya,menjauhkan kesialan dari anak dan keluarga yang melakukan upacra ini. Dan mengharapkan agar Tuhan yang Maha Esa memberikan rejeki, memberikan masa depan yang cerah, mendapatkan kesehatan, cita-cita yang diinginkan tercapai, menjauhkan segala penyakit dan sebagainya. Berdasarkan tujuan pelaksanaan palangehon boru ini maka dapat di bedakan dalam beberapa tujuan yang dimaksudkan tercapai dalam keluarga Pandangan yang melaksanakan upacara tersebut:

a. Ekonomi dalam keluarga Pandingan

Salah satu tujuan setiap orang dalam melakukan upacara palangehon boru adalah hal yang berhubungan dengan ekonomi yaitu ingin mendapatkan rejeki atau telah mendapatkan rejeki. Pada saat menganduang tingkat perekonomian keluarga tersebut menurun, hingga mengalami banyak kekurangan dalam memenuhi kebutuhan. Maka dalam hal ini mereka melakukan upacara ini salah satunya untuk


(38)

mengembalikan perekonomian mereka kedalam tahap yang normal seperti biasanya.

b. Kesehatan

Pelaksanaan upacara yang dilakukan oleh masyarakat yang melakukan upacara palangehon boru ini salah satunya bertujuan untuk kesehatan seluruh keluarga, dijauhkan dari segala macam penyakit. Hal ini dilakukan dikarenakan pada saat ibunya mengandung anak ke tiganya, kakak beserta abang bayi yang di palangehon itu sering sakit-sakitan sehingga membuat kekhawatiran serta sangkaan itu diakibatkan oleh bayi yang dikandung tersebut yang membawa ketidakwajaran, maka haus di hilangkan dengan melakukan palangehon boru tersebut.

I. Setelah Melakukan Upacara Palangehon Boru

Dari informasi yang diketahui dari beberapa informan, setelah melakukan upacara Palangehon boru dan meneliti beberapa sampel keluarga yang pernah melakukan upacara ini, memang mereka mendapatkan perubahan dari pada saat mengandung anak perempuan mereka. Dan mengapa upacara ini dilakukan pada saat anak masih bayi, karena menurut salah seorang informan yang pernah juga melakukan upacara palangehon boru untuk anak perempuannya, tidak ada orang yang mau mengalami kesialan dan marabahaya lebih lama, sehingga upacara harus dilakukan secepat mungkin agar terhindar dari hal-hal tidak wajar tersebut.

Perubahan yang paling jelas terlihat adalah hasil pertanian yang mulai meningkat lagi serta membuat tingkat perekonomian dari keluarga Pandiangan


(39)

yang ada di desa Pargarutan yang melakukan upacara Palangehon boru ini tidak mengalami kekurangan lagi, perekonomian mereka mulai membaik.

4.3. Upacara Palangehon Boru Yang Dilakukan Oleh Marga Pasaribu Di Pargarutan Tapanuli Tengah

A. Saat Mengandung Dan Saat Melahirkan Bayi

sama halnya dengan ketidakwajaran yang dirasakan oleh keluarga bapak B.Pasaribu yang pada saat isterinya mengandung anak perempuan Pertamanya yang juga banyak mengalami kejanggalan seperti halnya keluarga Pandiangan saat sebelum melahirkan anak perempuan tersebut. Dalam kasus yang di rasakan dan dialami oleh keluarga bapak Benget Pasaribu yang paling sulit dirasakan adalah permasalahan ladang mereka yang tidak memberikan hasil sama sekali dan tidak seperti biasanya, tanaman cabai dan kelapa yang di tanam oleh mereka biasanya berbuah hingga dapat dipanen tepat waktu, padahal menurut penduduk setempat keadaan tanah pertanian di Desa Pargarutan termasuk tanah yang subur untuk lahan pertanian maupun perkebunan.

Saat melahirkan boru (anak perempuan) ibu merasa melhirkan dengan cara berbeda dengan anak nya yang sebelumnya, saat kelahiran san anak di lilit oleh tali pusarnya dan kotoran ibu keluar bersama anak nya tersebut, berbeda dengan bayi lainnya anak dari ibu Misna Panjaitan (umur 40 Tahun) yang merupakan isteri dari bapak Benget Pasaribu ini lahir dengan gigi yang sudah tumbuh tepat di gusi depan bayi tersebut padahal bayi tersebut lahir sesuai dengan kelahiran anak bayi normal lainnya. Setelah mengetahui hal tersebut maka pihak keluarga


(40)

langsung menemui oppung mereka yaitu Op.Tahe Pasaribu (umur 63 tahun) dan menceritakan mengenai proses persalinan serta keadaan sang anak tersebut, dan saat itu mereka di nyatakan harus segera melakukan proses upacara setelah anak perempuannnya itu di babtis di gereja dan melaksanakan upacara palanehon boru ini karena hal-lah tidak wajar tersebut adalah bentuk-bentuk kesialan yang dapat merugikan keluarga besar sang anak tersebut.

B. Penentuan Hari Yang Tepat Untuk Melaksanakan Upacara

Palangehon Boru

Setelah melakukan konsultasi serta berkumpul dengan seluruh pihak keluarga Besar Pasaribu (martonggoraja) maka diputuskan untuk menemui datu di kampung yang berlainan dengan desa tempat mereka tinggal untuk menanyakan hari yang tepat untuk melksanakan proses upacara palangehon boru ini. Menurut informan yaitu Bapak Benget Pasaribu saat itu hari yang tepat untuk melksanakan upacra ini adalah bulan ke 4 (sipaha opat) di tahun berikutnya setelah kelahiran si bayi, di karenakan pada saat tersebut bayi sudah dapat menelungkupkan tubuhnya sekitar 8 bulan setelah kelahiran bayi tersebut.

C. Tempat-tempat Melakukan Upacara Palangehon Boru

Setelah menentukan hari yang tepat untuk melakukan upacara tersebut maka pihak keluarga Pasaribu sebagai hasuhutan mengundang dan menetukan tempattempat yang akan digunakan utuk melakukan upacara palangehon boru yang akan dilaksanakan menurut informan yang melakukan upacara yaitu Bapak Benget Pasaribu dan ibu Misna Panjaitan adalah sebagai berikut:


(41)

 Gereja yang merupakan tempat pertama yang akan di tuju oleh pihak keluarga Pasaribu untuk meminta berkat dari Tuhan Yang Maha dan Mereka melakukan proses pembukaan di gereja HKBP Pargarutan, karena mereka merukan jemaat gereja tersebut.

 Di halaman rumah keluarga yang melakukan upacara, digunakan untuk tempat membelah pinahan yang akan digunakan untuk membasuh si anak tersebut, ruangan yang dibutuhkan memanglah harus ruangan terbuka agar kesialan terbuang dan hilang dari keluarga.

 Semak yang dinantinya digunakan untuk meletakkan bayi oleh hula-hula keluarga, semak yang bersampingan dengan rumah keluara bapak Benget Pasaribu

 Di dalam rumah untuk acara partamiangan acara tersebut serta melakukan parjambaran untuk setiap undangan serta acara untuk ucapan syukur. Dan letak rumah ini bedekatan dengan sekolah dasar yang berada di dekat Desa Pearaja

 Sungai yang digunakan untuk menghanyutkan pakaian si bayi tersebut. Dan sungai yang digunakan untuk nmenghanyutkan baju tersebut adalah sungai yang cukup jauh yaitu di sungai Kolang.

D. Aktivitas Pelaksanaan Upacara Palangehon Boru Yang di Laksanakan Oleh Marga Pasaribu

Pendeta yaitu bapak Pdt.Sahala Pasaribu selaku pengurus gereja HKBP di desa Pargarutan bertugas untuk membuka dan memimpin acara doa pembukaan


(42)

yang dilakukan di gereja tempat pihak hasuhuton beribadah atau sebagai jemaat di gereja tersebut serta dihadiri oleh para undangan yang diundang oleh pihak Hasuhuton tersebut.

Setelah melakukan prosesi doa bersama di gereja maka tidak jauh beda dengan upacara yang dilaksanakan oleh marga Pandiangan ketika melakukan proses upacara palangehon boru, yang membuat beda hanyalah lokasi tempat-tempat yang di gunakan dalam melaksanakan upacara ini beserta permasalahan yang di alami oleh setiap pihak keluarga yang anaknya lahir dengan cara yang dianggap tidak wajar serta bayi yang lahir tidak seperti cara lahir bayi yan normal lainnya sehingga mengakibatkan banyak anggapan-anggapan yan membuat pihak keluarga merasa dirugikan dengan proses kelahiran tersebut. Dalam hal ini maka akan dijelaskan kembali bagaimana proses berlangsungnya upacara palangehon boru yang di lakukan oleh marga Pasaribu untuk melihat perbandingan atau perbedaan marga yang melakukan upacara tersebut.

Menurut informasi yang diperoleh dari informan yang melaksanakan upacara palangehon boru dalam marga Pasaribu ini setelah melakukan proses doa permohonan di Gereja HKBP Pargarutan maka akan dilanjutkan acara di kediaman hasuhutan dengan hata-hata (kata-kata) pembukaan sambil diiringi oleh pargonci (Pemain music) yang pada saat itu telah menggunakan keyboard dan bukan dengan ansamble music yang biasanya khusus di pakai dalam upacara adat Batak sepeti Gondang dan lain-lain seperti yang telah di jelaskan di atas.

Setelah membacakan doa-doa maka dilaksanakan lah proses upacara yang dimulai mengatur tata letak tempat untuk melakukan upacara sesuai dengan peserta yang hadir dalam upacara tersebut atau yang di sebut dengan


(43)

Paraturan parhundulan sesuai dengan falsafah Batak Dalihan Natolu. Paratur ni parhundulon berarti posisi duduk, ini adalah salah satu istilah dalam ritual adat Batak, yang kemudian dimaknakan dalam kehidupan sehari-hari. Posisi duduk dalam suatu acara adat Batak sangat penting. Didalam kehidupan Orang Batak kekarabatan (partuturan) adalah sebagai hal yang menonjol didalam Falsafah Batak , Bahkan kekarabatan tersebut menjadi tiang himpunan pertemuan satu darah serta kekerabatan itu pula yang menentukan sikap dan etika didalam mejalin silaturahmi, karena itu akan mencerminkan unsur-unsur penghormatan kepada pihak-pihak tertentu.

Setelah hal tersebut maka dilanjutkan oleh pihak namboru dan amangboru untuk menyembelih pinahan sesuai dengan anjuran datu yang menentukan hari dilaksanakan upacara tersebut dan memberikan doa-doa kepada rajamulajadi nabolon. Setelah selesai dibelah dan diambil perkakas dalam pinahan tersebut maka parhata meminta Datu untuk berdoa kembali maka Datu mengatakan: “boan ma akka sasude parmaraan songon pinalangehon dohot pinaridihon nami si boru on tu mudar ni pinahan on, lok ma ro imana na imbaru”. Yang berarti “bawalah segala kesialan dengan kami basuhkan dan mandikan anak perempuan ini (sambil menyebut nama lengkap bayi yang di palangehon serta nama kedua orang tua si anak) biarkan lah ia datang dalam dirinya yang baru,yang jauh dari segala bentuk kesialan dan ketidakwajaran.

Maka setelah dilakukan doa tersebut bayi tersebut di masukkan oleh kedua orang tuanya kedalam pinahan yang sudah di belah dua dengan posisi telungkup serta membasuh nya dengan darah yang ada di dalam pinahan tersebut.


(44)

Setelah melakukan proses upacara juga diadakan partamiangan serta acara mangulosi yang juga bertujuan untuk:

1. Upacara syukuran kepada Debata Mulajadi Nabolon

2. Menghidarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi lagi. Dalam hal ini Marga Pasaribu melakukan upacara Palangehon Boru sebagai upaya untuk menghindakan suatu malapetaka yang akan terjadi.

3. Mencapai maksud tertentu, Adakalanya Palangehon boru ini dikakukan sebagai upaya untuk memohon sesuatu kepada Debata Mula Jadi Nabolon.

4. Memohon agar perekonomian dan hasil pertanian keluarga besar mereka menjadi lebih baik dan tidak seperti saat ibu mengandung.

Dari informasi yang diketahui dari beberapa informan, setelah melakukan upacara Palangehon boru dan meneliti beberapa sampel keluarga yang pernah melakukan upacara ini, memang mereka mendapatkan perubahan dari pada saat mengandung anak perempuan mereka. Dan mengapa upacara ini dilakukan pada saat anak masih bayi, karena menurut salah seorang informan yang pernah juga melakukan upacara palangehon boru untuk anak perempuannya, tidak ada orang yang mau mengalami kesialan dan marabahaya lebih lama, sehingga upacara harus dilakukan secepat mungkin agar terhindar dari hal-hal tidak wajar tersebut.


(45)

BAB V

UPACARA PALANGEHON BORU SEBAGAI PELESTARIAN BUDAYA BATAK TOBA

5.1. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Upacara Palangehon Boru

Jika dilihat dari evolusi kepercayaan upacara palangehon boru merupakan kepercayaan masyarakat yang bersifat primitif, karena sedikit banyaknya berisikan kekuatan mistik dan mahluk spiritual misalnya saja pada saat menyakan hari dan tanggal pelaksanna upacra palangehon boru ini saja masyarakat yang melaksanakan nya harus bertanya pada datu yang di percayai dapat berkomunikasi pada roh leluhur. Upacara palangehon boru ini sendiri ternyata dapat menyatukan seluruh anggota masyarakat yang menganut kepercayaan terhadap upacara palangehon boru dari berbagai desa di kecamatan Sorkam.

Dalam hal ini, pelaksanaan upacra tersebut dapat bersifat fungsional karena mampu mengintegrasikan seluruh anggota serta mampu melestarikan budaya ari pendahulu atau pun nenek moyang. Akan tetapi juga bersifat disfungsional menurut informan, karena jika tidak melakukan upacara palangehon boru akan membuat bencana bagi anak yang tidak di palange apalagi jika kelahirannya sudah menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia akan mendapat bahaya sedangkan bagi keluarga nya sendiri jika tidak melaksanakan upacara ini maka akan merasa sangat tidak puas jika tidak dilaksanakannya upacara palangehon boru ini.


(46)

Kepercayaan masyarakat terhadap upacara palangehon boru sejauh ini juga memiliki fungsi manifestasi atau fungsi secara langsung yang disadari oleh orang-orang yang melaksanakannya misalnya seperti salah seorang informan lain yang pernah melakukan upacara ini berhasil dalam pekerjaan, meningkatkan ekonomi keluarga, kesehatan beserta kesuksesan. Selain memiliki fungsi manifestasi, upacara palangehon boru ini juga memiliki fungsi laten atau fungsi yang tidak disadari oleh masyarakat tersebut.kepercayaan tradisional ini terkadang dianggap tidak mempercayakan segala kehidupan yang berjalan kepada Tuhan, karena masyarakat terkadang menganggap hanya melalui upacara ini segala marabahaya akan dijauhkan oleh Tuhan yang Maha Esa dan masyarakat Batak Toba sendiri harus menjalankan keduaya secra berdampingan baik kepercayaan adat istiadatnya maupun kepercyaan agama yang di anut masyarakat tersebut. Ada kepercayaan tradisional Batak Toba yang harus dijalankan, sebagai berikut:

Kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon

Menurut kepercayaan Batak Toba, Debata Mulajadi Nabolon dipandang sebagai Debata Pencipta, yang menciptakan alam semesta dan segala sesuatu termasuk manusia. Debata mulajadi nabolon ini juga dipercayai mempunyai kekuatan supranatural untuk melindungi dan menghancurkan, baik bagi warga masyarakat yang percaya atau yang tidak mempercayainya. Dengan kata lain, Debata adalah oknum yang membuat hal yang baik dan hal yang jahat. Kepercayaan ini menampilkan beberapa tokoh keallahan sebagai Debata atau Allah; diantaranya Mulajadi Nabolon sebagai Allah yang menciptakan segala sesuatu termasuk manusia; Debata Natolu terdiri dari Debata Bataguru, Debata Soripada,Debata Mangabulan.


(47)

Menurut buku yang ditulis bapak Bangarna Sianipar bahwa kepercayaan dan kosmologi Batak terdiri dari 3 (tiga) dunia (banua), yaitu:

Banua ginjang (dunia atas) adalah kerajaan dewa tertinggi, Debata Mulajadi Nabolon, dan roh-rroh leluhur yang sudah meninggal.

Banua tonga (dunia tengah) adalah tempat manusia sebagai pengusaha dunia ini adalah Silaon Nabolon.

Banua toru (dunia bawah) adalah tempat tinggal untuk para hantu dan setan (dalam bahasa Batak disebut dengan parbeguan) yang diperinahkan oleh Naga Padoha yakni menurut kepercayaan Batak adalah seekor ular Naga.

Masyarakat akan mempercayai kekuatan dan kekuasaan dari roh leluhur dan dewa tersebut, sehingga mereka menyembah dan menghormatinya sebagai kekuatan yang membawa kebahagiaan. Masyarakat Batak Toba menganggap bahwa hal diatas memiliki kekuatan suranatural yang harus disembah dan dihormati. Sebab itu di dalam pengetahuan religious, warga mengakuinya kekuatan dan tondi (roh) itu kembali kedunia atas (banuaginjang) bersama dewa tertinggi, Debata Mulajadi Nabolon. Tondi (roh) itu dapat menempati sebuah benda yang dimilikinya ketika masih hidup, atau berada ditempat-tempat yang dianggap keramat. Kekuatan gaib yang berada di dalam benda-benda atau di suatu tempat yang dihuni tondi (roh) dapat membuat masyarakatnpercaya dan menyembahnya sebagai sumber berkat bagi masyarakatnya.


(48)

Kepercayaan Terhadap Tuhan Allah

Dengan masuknya agama Kristen , orang Batak Toba di desa ini juga mempercayai bahwa alam semesta diciptakan oleh Debata Djahowa (Tuhan Allah). Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batak Toba juga memiliki perasaan takut dan hormat kepada Debata Djahowa. Debata Djahowa juga berfungsi sebagai pencipta, yang menciptakan seluruh alam semesta dengan segala isinya.

5.2. Upacara Palangehon Boru Sebagai Adat Istiadat Batak Toba Dari Nenek Moyang

Adat istiadat merupakan suatu aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan di junjung serta diatuhi oleh masyarakat pendukungnya. Aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tesebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut dengan hokum adat. Adat telah membuat kehidupan masyarakat menjadi mampu mengendalikan perilakunya dengan erasaan senang atau bangga, dan bantuan dari tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting dalam adat istiadat ini.

Rasa-rasanya cukup sulit untuk di pungkiri kalau kehidupan masyarakat kita terutama dari generasi tua, masih sangat kental memegang teguh prinsip-prinsip yang melekat dalam adat istiadat kedaerahan maupun nilai-nilai kepercayaan dari waga keturunan. Hal ini memungkinkan adanya sejumlah kecil orang-orang Kristen di Indonesia, yang masih mempercayai adanya mitos-mitos yang berasal dari nenek moyang mereka.


(49)

Kehidupan yang kental dengan adat istiadat kedaerahannya, membuat sebagian dari masyarakat di Indonesia ini, masih mempercayai besarnya kekuatan magis yang di miliki oleh dukun kampung yang kehadirannya dianggap masih diperlukan. Khususnya pada saat memulai prosesi suatu ritual bernuansa magis dalam suatu kegiatan upacara adat, dimana kemampuan para dukun tersebut dipakai untuk mendatangkan atau penyembahan dari pada arwah yang dipercayai ada oleh masyarakat adat tertentu.

Sikap yang di tunjukkan oleh kelompok generasi tua yang masih memegang prinsip serta kaidah-kaidah adat istiadat nenek moyang tersebut, meskipun masyarakat setempat sudah mengenal Tuhan dan kehidupan sudah bergerak kearah terciptanya masyarakat modern, namun sebagian besar generasi tua dari masyarakat adat tersebut, masih sulit untuk melepaskan diri dari keterikatan sejarah kehidupannya dengan adat serta leluhur mereka dahulu.

Bahkan, pada kelompok komunitas masyarakat tertentu prinsip-prinsip adat istiadat daerah mereka, cenderung lebih berpengaruh dan lebih dihormati dibandingkan sikap percata kepada Tuhan, karena mereka masih terus menerus menanamkan suatu sikap untuk tidak melupakn para leluhur dan aturan adat istiadat mereka. Ketergantungan mereka pada adat istiadat itu, membuat adanya sikap percaya serta beriman kepada Tuhan, cenderung hanya ditempatkan sebagai status semata, karena faktor legalitas iman kepercayaan yang diakui oleh Negara.

Tatanan kehidupan masyarakat generasi muda, cenderung mengarah pada keinginan diri untuk mencari kebenaran serta pencarian terhadap adanya nilai-nilai kepercayaan yang dianggap paling benar menurut hai dan pikirannya. Generasi muda paa saat ini memang cenderung beusaha untuk melepaskan diri


(50)

dari keterikatan pada nilai-nilai adat istiadat yang melekat pada masyarakat daerah.

5.3. Hal-Hal Yang Mendorong terjadinya Upacara palangehon

Boru

a) Tradisi

Selain mempertahankan nilai-nilai budaya, alasan lain yang diutarakan oleh pengikut kepercayaan ini adalah kepercayaan ini wajib di teruskan karena itu warisan yang diturunkan oleh orang tua atau generasi mereka sebelumnya. Hal ini mereka anggap wajar dan patuh akan kewajiban yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Hal ini sesuai dengan penuturan seorang infoman yang percaya terhadap upacara palangehon boru, mengatakan bahwa :

Kepercayaan terhadap palangehon boru merupakan kepercayaan yang akan memberikan ketenangan, keselamatan, dan keberkahan bagi masyarakat yang melaksanakannya serta mempercayainya. Dalam kepercayaan ini mereka akan meminta kepada Debata Mulajadi nabolon agar di jauhkan dari marabahaya, kesialan serta segala bentuk ganguan dalam hidup mereka serta permohonannya dikabulkan. Kepercayaan ini juga mereka yakini karena mereka sangat menghargai tradisi yang telah diturunkan terhadap generasi mereka.”

Dari jawaban di atas dapat dilihat bahwa kepercayaan ini karena di dapatkan dari nenek moyangnya. Sehingga mereka masih menganut kepercayaan


(51)

tersebut sebagai bukti pengabdian kepada nenek moyang yang memberikan ajaran ini kepada keturunanya.

Salah satu contoh tradisi yang msih dilakukan masyarakat setempat adalah mangokkal holi. Dengan melakukan penggalian tulang berulang mereka telah menjaga hubugan dengan keluarga yang telah meninggal. Tujuan masyarakat setempat yang melakukan hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebagai pemersatu marga

Pepatah Batak Toba mengatakan bahwa “hau-hau na pajonok-jonok do marsisosoan” yang berarti “ pada keluarga dekat sering timbul perselisihan satu dengan yang lainnya.” Dari pepatah dapat ditarik kesimpulan mengenai kegunaan didirikannya tugu, yakni supaya ada tempat untuk mempersatukan hati dan pikiran mereka di bawah otoritas para leluhur.selain itu juga, pertengkaran di antara saudara kerap dihubungkan dengan belum digalinya kuburan leluhur dan belum dipindahkannya tulang berulang mereka ketempatyang lebih baik. Karena itu, agar tidak terkena malapetaka penggalian tulang berulang leluhur dan mereka memindahkannya ketempat yang dianggap pantas yaitu tugu yang telah didirikan tersebut.

2. Menghormati Orang Tua

Dengan pemahaman ini banyak masyarakat Batak Toba menggali tulang leluhur dan mendirikan tugu sebagai suatu penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal, karena hal ini sesuai dengan titah kelima dalam ajaran Kristen yang berisikan sebagai berikut:


(52)

“Hormatilah ayah dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang telah diberikan Tuhan Allah mu kepadamu”

3. Mengharapkan Berkat

Biasanya sebelum pembangunan tugu di mulai masih banyak keluarga yang masih memohon berkat dari arwah leluhur dengan menyajikan makanan istimewa dan khusus sebagai sesajen.

4. Usaha untuk membangkitkan penyembahan leluhur

Gereja pada mulanya mau melakukan kontekstualisasi dengan mengangkat praktek-praktek warisan kepercayaan tradisional dan memberikan makna baru. Pada orang Batak toba belum siap untuk meninggalkan budaya atau kepercayaan lainnya.. Gereja sangat menekankan bahwa pembangunan tugu, pemindahan tulang berulang dan lain sebagainya adalah sekedar penghormatan kepada roh leluhur. Dengan keras gereja menolak segala sesuatu yang bercorak pemujaan dan peninggian nenek moyang seperti halnya sesajian. Akibatnya sebahagian upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Batak tidak di hubungkan dengan kegiatan Agama, lain halnya dengan pesta adat pernikahan atau palangehon boru ini yang harus meminta doa dari Gereja lalu melakukan pesta adat yang telah direncanakan.

b) Ucapan Terima Kasih

Dalam hal ini Upacara palangehon boru juga dipakai sebagai upacara ucapan rasa syukur atau ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat yang sudah di berikannya, segala keberuntungan serta


(53)

terhindar dari marabahaya serta menyampaikan ucapan terima kasih pada setiap pihak-pihak yang terlibat dalam prroses upacra palangehon boru ini dengan cara memberikan manifestasi berupa Jambar yang telah disedikalan oleh pihak yang melaksanakan proses upacara ini.

c) Masalah Ekonomi

Masalah ekonomi merupakan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Masalah ekonomi yang pernah terjadi pada masyarakat Batak Toba di desa Pargarutan adalah karena baerkurangnya hasil panen sawah serta perkebunan karet dan kelapa yang di miliki masyarakat dikarenakan proses kehamilan yang dianggap tidak biasa oleh beberapa masyarakat. Maka utuk membuktikan kebenaran tersebut di tunggu lah hingga proses kelahiran si anak untuk menghindari keterpurukan ekonomi keluarganya dengan harapan perekonomian mereka semakin membaik lagi.

d) Marabahaya

Marabahaya menggambarkan kesengsaraan, penderitaan, bahkan bahaya yang besar dan berat. Marabahaya ini dapat terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Tetapi terkadang setiap marabahaya yang timbul pada saat seorang ibu mengandung dan terjadi banyak ketidakwajaran maka dianggap saling berhubungan sebagai hubungan sebab akibat. Maka untuk menghindarinya dilakukan proses permohonan dan penyelamatan dari Debata Djahowa.


(54)

5.4. Dampak Negatif Upacara Palangehon Boru terhadap Agama

Kepercayaan kepada roh Leluhur berarti menyamakan leluhur dengan Tuhan misalnya saja: Doa-doa sesajian, mantra-mantra dalam proses upacara, korban sesajian dan lain-lain. Di dalam Alkitab hal-hal seperti ini sangat ditentang oleh agama karena semua tindakan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap firman Tuhan.

Upacara palangehon boru ini sangat banyak berpengaruh terutama terhadap ajaran agama Kristen yaitu makinlunturnya pemahaman masyarakat Batak Toba terhadap ajaran injil atau agama yang sudah dianutnya. Injil ini bukan lagi sesuatu yang mengubahkan dan menyinari atas semua permasalahan tetapi hal ini membuat injil semakin lemah.

Upacara palangehon boru ini sedikit banyak nya telah membangkitkan kembali ajaran animisme lama dan pemujaan terhadap roh para leluhur yang dimana menurut Lothar Schreiner mengatakan bahwa:

Orang dapat berkata bahwa pemujaan terhadap roh leluhur dating kembali. Dalam pergaulan, orang Kristen percaya bahwa orang yang mati dan bapak-bapak leluhur……. Ketua bius. Itulah sebabnya pengaruh kepercayaan itu teus menerus malahan menjadi persoalan ini bagi gereja-gereja.”

Pemujaan roh leluhur dalam gereja-gereja suku di Indonesia belum berhenti sebelumnya. Memang ada diantara mereka yang mengaku melakukan hanya sebagai tradisi dan sebagian lagi bermotifkan berkat dari leluhur. Namun cukup banyak yang memberikan sesajian kepada leluhur secara diam-diam karena takut akan larangan gereja terkadang juga seperti palangehon boru sebelum melakukan upaacra adat maka akan dilakukan dulu doa di gereja.


(55)

Selain alasan diatas, alasan lain yang tidak dapat terelakkkan adalah iman Kristen yang sinkretis. Tuhan bukan lagi merupakan sumber berkat satu-satunya, tetapi perlu tambahan dari roh para leluhur tersebut. Sumber sejahtera bukan lagi hanya pada Tuhan, tetapi perlu meminta kepada roh leluhur yang dihormati pada waktu lampau dan pada masa hidupnya.

Dampak negatif yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan telah di duakan dengan nenek moyang dan orang-orang yang di hormati yang telah mati.

5.5 Pandangan Masyarakat Terhadap upacara Palangehon Boru

Pandangan mengenai maksud dan tujuan dilakukannhya upacra palangehon boru dari beberapa orang ya diwawancarai adalah sebagai berikut :

Menurut pandangan bapak Marihot pasaribu umur 49 tahun, mengatakan bahwa :

“Palangehon boru dilakukan dengan tujuan untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka semenjak dahlu hingga sekarang. Oleh karena itu, perlu dilestarikan dan dipelihara keaslian budaya maupunnilai-nilai budaya.”

Menurut informan lain yang merupakan salah satu penduduk desa Pargarutan bapak Ratma Satahi Marbun umur 34 tahun, mengatakan bahwa:

“Upacara pelangehon boru adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat dahulu yang percaya pada hal-hal yang bersifat mistik dan gaib. Dengan kata lain, upacra palangehon boru ini sendiri adalah untuk menghargai dan menghormati warisan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kepadagenerasi-generasinya.”


(56)

Dengan melaksanakan suatu tradisi budaya terus menerus, hal itu berarti bahwa masyarakat turut melestarikan budaya tersebut. Upacara palangehon boru yang masih dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di kecamatan Sorkam terkhusus di desa Pargarutan ini dapat mempekokoh norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku secara turun-temurun.

Seperti yang telah peneliti ungkapkan sebelumnya, bahwa masyarakat di desa ini sudah keseluruhannya menganut agama yang resmi diakui oleh Negara atau pun pemerintah. Agama yang dianut oleh masyarakat setempat adalah agama Kristen protestan dan Katolik. Dalam hal ini, ajaran agama juga penting sekali dalam kehidupan masyarakat setempat. Palangehon boru yang dipercayainya adalah hanya untuk menghargai adat yang diturunkan dari nenek moyangnya dan juga ingin mendapatkan kesenangan bagi dirinya sendiri.

Meskipun masyarakat setempat percaya pada penyembahan roh-roh leluhur, tetapi mereka juga tidak pernah lupa untuk pergi ke gereja (percaya kepada Tuhan). Masyarakat juga menganggap agama sebagai bagian dari dirinya, dan juga masih percaya akan adat istiadat yang berlaku bagi suku mereka. Dalam hal ini, masyarakat mengetahui bahwa kepercayaan terhadap roh para leluhur sangat dilarang oleh agama.

Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa masyarakat setempat masih percaya kepada keberuntungan yang mereka minta dari para roh leluhur dari pada percaya kepada diri sendiri (dengan usaha sendiri dan juga bantuan dari Tuhan pencipta alam semesta). Dengan kata lain masyarakat tidak bisa meninggalkan adat yang telah diwariskan kepadanya. Akibatnya, masyarakat harus


(57)

melakukannya supaya terhindar dari Marabahaya. Selain itu, ada juga masyarakat yang merasa tidak puas sesuai dengan dambaan hatinya jika mengetahui di keluarganya mengalami banyak ketidak wajaran yang terjadi pada saat ada yang mengandung dalam keluarganya maka masyarakat tersebut tidak akan puas jika tidak melakukan upacara palangehon boru.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PERSETUJUAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 11

1.3 Rumusan Masalah ... 19

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 20

1.5 Metode Penelitian ... 21

1.6 Informan Penelitian. ... 23

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 22

2.1 Letak Lokasi Dan Iklim ... 22

2.2 Pola Permukiman ... 28

2.3 Kependudukan ... 42

2.3.1 Jumlah dan Komposisi Penduduk ... 30

2.3.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur ... 31

2.3.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 32


(2)

2.3.5. Distribusi penduduk Berdasarkan Agama dan

Kepercayaan ... 33

2.3.6. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan ... 34

2.3.7. Distribusi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian ... 35

2.4. Sarana Dan Prasarana di ... 36

2.4.1. Sarana Pendidikan ... 36

2.4.2. Sarana Ibadah ... 38

2.4.3. Sarana Transportasi dan jalan ... 39

2.4.4. Sarana Kesehatan Masyarakat ... 41

2.4.5. Sarana Informasi Dan Komunikasi ... 42

2.4.6. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi ... 43

2.4.7. Sarana Umum44 2.5. Sistem Pemerintahan ... 45

2.6. Sistem Kekerabatan ... 46

2.7. Organisasi Masyarakat ... 51

BAB IIISILSILAH MARGA PANDIANGAN DAN PASARIBU ... 54

3.1 Sejarah Dan Perkembangan Marga Batak Di Desa Pargarutan ... 54

3.2 Marga Pandiangan Keturunan Lontung ... ….. 55

3.3. Marga Pasaribu Sebagai Keturunan Raja Borbor………58

BAB IV PALANGEHON BORU YANG DI LAKUKAN OLEH MARGA PANDIANGAN DAN PASARIBU DI DESA PARGARUTAN……… 64

4.1Pengertian Upacara Palangehon Boru ... …. 64

4.2Upacara Palangehon Boru Yang Dilakukan Oleh Marga Pandiangan Di Pargarutan Tapanuli Tengah ... .….. 65

4.3Upacara Palangehon Boru Yang Dilakukan Oleh Marga Pasaribu Di Pargarutan Tapanuli Tengah………. 88


(3)

BAB V UPACARA PALANGEHON BORU SEBAGAI PELESTARIAN

BUDAYA BATAK TOBA ... 95

5.1 Kepercayaan masyarakat terhadap upacara palangehon boru ... 95

5.2 Upacara Palangehon Boru Sebagai Adat Istiadat Batak Toba Dari Nenek Moyang ... 98

5.3 Hal-Hal Yang Mendorong terjadinya Upacara Palangehon Boru ... 100

5.4. Dampak Negatif Upacara Palangehon Boru terhadap Agama ... 103

BAB VI PENUTUP ... 108

6.1 Kesimpulan ... 108

6.2 Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 116


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Kondisi jalanan Di Desa pargarutan kecamatan Sorkam ... 41 Gambar 2: Pantai Binasi ... 44 Gambar 3: Anak Perempuan di serahkan kepada kedua orang Tuanya oleh pihak

Namboru ... 79 Gambar 4: Pihak ianakkon/Amangboru mengerjakan Pinahan ... 78 Gambar 5: Kedua orang tua si anak memasukkannya kedalam pinahan ... 80 Gambar 6: Penyerahan si bayi pada tulang dan membasuh si bayi dengan air

bersih oleh nantulang ... 81 Gambar 7: Pakaian yang sudah dibungkus dengan daun pisang dan pelastik di


(5)

DAFTAR TABEL

Judul Halaman

Tabel 2.3.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 32

Tabel 2.3.7. Distribusi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian... 36

Tabel 2.4.1. Sarana Pendidikan……… 37


(6)

DAFTAR BAGAN

Bagan1 : Silsilah Raja Batak ... 56

Bagan 2 : Silsilah si Raja Lontung ... 57

Bagan 3: Silsilah toga Pandiangan ... 58