54
C. KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA
1. Agama dan Budaya
Swidler,
115
memahami agama dari akar kata Latin re-ligare ” yang berarti
pemahaman tentang makna akhir dari kehidupan, didasarkan pada gagasan dan pengalaman transenden seseorang. Agama adalah sistem yang terorganisir dari
keyakinan, praktik, ritual, dansimbol-simbol yang dirancang a untuk memfasilitasi kedekatan transenden, dan b untuk mendorong pemahaman
tentang hubungan dan tanggung jawab sosial perseorangan dalam sebuah komunitas.
Swidler melanjutkan bahwa: agama mengandung empat C: Creed, Code, Cult, and Community-structure: a Creed mengacu pada aspek kognitif agama
yang menjelaskan tentang makna akhir dari kehidupan; b Code adalah perilaku atau etika yang mencakup semua aturan dan kebiasaan dari tindakan
manusia; c Cult berarti semua kegiatan ritual dan devosional yang berhubungan dengan kepercayaan yang transenden, seperti doa, kebiasaan
ibadah, perilaku terhadap figur otoritas, perayaan, dan lain-lain; d Community-structure mengacu pada hubungan antara orang-orang beragama;
ini bisa bervariasi, dari hubungan yang sangat egaliter, melalui sebuah struktur dalam suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai makna eksterior
atau eksternal kemanusiaan yang terbentuk dari kehidupaan sosial dan budaya masyarakat.
116
Menurut pandangan Pedersen,
117
budaya membentuk perilaku manusia baik sadar maupun tak sadar mengenai pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan
proses kognitif. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya dan warisan mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan
pertama. Senada dengan itu, Ramdani
118
mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia. Perwujudan dari budaya adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
115
Leonard, Swidler. “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith”,
Etc, dalam J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016, 12
116
Leonard, Swidler. “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith”,
Etc, dalam J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016,12
117
P. PedersenEd. . Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. New York: Praeger, 1987.
118
Wahyu, Ramdani. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia,2007, 97
55
religi, seni, dan-lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Sulistyarini dan Jauhar,
119
mengungkapkan sifat budaya ada dua, yaitu: universal umum dan khas unik. Nilai budaya yang universal yakni nilai-nilai
yang umum dimiliki dan dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Contoh dari nilai budaya yang universal yakni, manusia bebas menentukan hidupnya sendiri,
manusia anti peperangan, mementingkan perdamaian. Sedangkan budaya yang unik adalah satu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu, yang berbeda dengan
kelompok atau bangsa lain. Keunikan tersebut menjadi ukuran mengenal karakter kelompok tersebut.
Dengan demikian, konstruksi pemahaman agama dan budaya di atas, memperlihatkan adanya keterkaitan antara keduanya. Agama maupun budaya
sama-sama membentuk pola kepribadian, pola bertingkah laku manusia, sehingga baik agama dan budaya mengatur sistem nilai dan pola hidup manusia dalam
hubungan sekitar individu, keluarga, dan masyarakat. Pemahaman tentang agama dan budaya terkait dimensi nilai-nilai
120
menjadi faktor penting, karena turut mempengaruhi kesadaran dan pemaknaan hidup manusia. Pemahaman tersebut
akhirnya dapat membuahkan kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai kebudayaan.
Engel,
121
mengkaji beberapa hasil penelitian terbaru tentang spiritual, spiritualitas dan kemudian menghubungkannya dengan agama dalam kerangka
berpikir Swidler, yang dapat mendukung penggalian nilai-nilai hidup dalam kearifan lokal yang berakar pada kehidupan sosial dan budaya bangsa Indonesia.
Spiritual dipahami sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan bergerak termasuk pikiran, perasaan, tindakan dan karakter kita pada
tataran konseptual.
122
Sedangkan, spiritualitas adalah kapasitas dan keunikan,yang
119
Sulistyarini Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014,265.
120
C Klukhohn dalam Jhon W. Berry dkk, Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, 102, mengungkapkan bahwa Istilah nilai menunjuk pada
“sesuatu konsep yang dikukuhi individu atau satu anggota kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan berpengaruh pada pemilihan cara maupun tujua ntindakan dari beberapa
alternatif”.
121
J.D. Engel,Konseling Pastoral. . . ,2016,12
122
Ralph.W. Kraus, Religion, Spiritual, Condurcth of Life: Manners Customs dalam J.D. Engel, Konseling Pastoral. . . . ,2016,12
56
mendorong seseorang untukbergerak melampauidirisendiri mencari makna dan menyatu dalam keterhubungan dengan dunia kehidupan nyata. Spiritualitas adalah
mencari dan mengenali hubungan antara diri dan orang lain, dan menganggap hubungan ini sebagai ungkapan gerakan keluar dari batin dan diri sendiri untuk
mencari makna dalam realitas kehidupan pengalaman transenden.
123
Definisi tersebut mengacu pada bentuk dari tradisi budaya dan agama, serta substansi yang
berhubungan dengan energi kehidupan yang mencakup pikiran, perasaan, tindakan dan karakter pribadi setiap individu maupun kelompok.
124
Pemaknaan spiritual sebagai nilai dan spiritualitas dalam agama dapat ditemukan dalam falsafah hidup kearifan lokal yang berdasarkan kesepakatan
sosial dan budaya agama masyarakat civil religion di Indonesia. Agama sipil menurut Rosseau merupakan agama masyarakat yang memperhatikan bagaimana
orang harus hidup bersama dengan orang lain dan dengan lingkungan alam sekitarnya.
Agama sipil adalah kesetiaan warga suatu masyarakat yang terikat pada kontrak sosial yang mereka bangun sendiri untuk mencapai bersama-sama
kehendak umum mereka general will, yaitu keadilan dan kesejahteraan bersama. Kalau kehendak umum tersebut dipahami baik dan memiliki nilai
transendental, maka adalah tugas setiap warga Negarauntuk melakukan tugasnya dengan baik sehingga berguna bagi sesamanya.
125
Menurut Engel, penemuan falsafah hidup dalam kearifan lokal agama masyarakat dapat menjadi kontribusi dalam menyikapi dilema konseling
pastoral secara khusus dalam masyarakat Indonesia yang plural,antara lain:
126
1. Falsafah hidup orang Timor, hutan adalah rambut, batu adalah tulang, tanah
adalah tubuh, darah adalah air, alam adalah rahim perempuan, tenun diidentikkan dengan perempuan Mollo. Merusak alam sama dengan merusak
perempuan, merusak perempuan sama dengan merusak generasi. Nilai-nilai inilah yang menjadi spiritualitas perempuan Mollo bersama Mama Aleta
melawan masuknya perusahaan asing terutama perusahan tambang Mangan di
123
Stanford. Stoyles, A measure of Spirituality Sensitif of Children, dalam J.D.Engel, Konseling Pastoral. . . ,2016,12
124
J.D. Engel, Konseling Pastoral... 2016, 12
125
Jean.J. Rossou, ”On Social Contrat ” dalam Jhon. A. Titaley, Religiotitas Di Alinea Tiga:
Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013,6
126
J.D. Engel, Konseling Pastoral... 2016, 12
57
NTT, dengan cara yang sangat khas perempuan, melalui tenun sebagai dirinya sendiri.
2. Filosofi orang Minahasa, si tou timou tumou tou mengandung arti manusia
hidup untuk memanusiakan sesama manusia. Dapat dikatakan manusia jika sudah dapat memanusiakan manusia. Ungkapan ini berhubungan dengan
solidaritas kemanusiaan dan kesetiakawanan yang menghidupkan, berarti menghargai kehadirannya, memberdayakan dalam kebersamaan.
3. Mangrambu langi adalah upacara adat di Toraja yang merupakan acara
pembakaran hewan dalam hal ini kerbau atau babi yang dilakukan oleh yang bersalah berbuat zinah dan membakar kuburan. Mangrambu langi
mengandung makna penerimaan kembali dalam rangka penguatan dan pemberdayaan orang yang telah melakukan kesalahan.
4. Giwu dalam masyarakat Pamona Sulawesi Tengah adalah sanksi adat bagi
mereka yang melanggar ketentuan adat sebagai kontrak sosial, demi untuk menjaga keseimbangan kosmos dengan membayar sejumlah kain, binatang dan
uang sesuai besar-kecil pelanggaran. Sanksi adat tersebut memberi pemahaman ganda tentang dampak psikologis seperti rasa malu, rasa bersalah, tidak layak,
penyesalan, dan di sisi lain memberdayakan mereka yang kena giwu keluar dari keterpurukan untuk menjalani suatu kehidupan yang diperbaharui.
Kajian diatas hendak mengartikan bahwa dimensi spiritual sebagai nilai-nilai kehidupan dalam falsafah budaya lokal dari sudut pandang agama masyarakat
Indonesia dapat menjadi fondasi membangun pendekatan konseling berbasis budaya yang kontekstual untuk mengatasi problematika kemajemukan.
2. Konseling Lintas Agama dan Budaya