44
panglima Aboru meminta bantuan dari ketiga saudaranya, yaitu: Kariuw, Booy, Hualoy. Mereka berkumpul dan mengatur strategi perang mereka. Akhirnya
panglima Amaika berhasil dibunuh panglima Aboru. Seluruh penduduk kota Amaika dibunuh, dan semua bangunan dibakar habis.
Aspek yang menonjol yang mewarnai hubungan pela di Maluku Tengah hingga saat ini adalah kerjasama untuk membangun rumah ibadah milik anggota
dari saudara pela. Dari pengalaman itu, ditemukan bahwa hubungan Islam dan Kristen di Maluku bersifat ambigu: satu sisi hormanis dan tidak harmonis.
Ketidak harmonisan diperparah dengan konteks masuknya penjajah belanda yang melanggengkan pola-pola hubungan yang tidak saling menghormati. Sisa-sisa
dari hubungan seperti itu telah mengatur hubungan Islam dan Kristen di Maluku dalam kemelut sejarah yang kelam dan suram.
Berdasarkan tinjauan perkembangan hubungan pela, ditemukan bahwa sesungguhnya esensi dari pela ini menerangkan hubungan antar saudara yang
terbatas pada klan atau suku terkait. Latar belakang pemahan ini menimbulkan persekutuan pela di mana jumlah anggota-anggota dikenal dengan dengan bi-
negeri dan multi-negeri.
84
Persekutuan bi-negeri terbentuk karena konteks tertentu seperti perang dan saling menolong tanpa faktor kedekatan geneologi. Sedangkan
persekutuan pela multi-negeri cenderung memiliki latar belakang mengenai hubungan-hubungan geneologi.
Nilai dari persekutuan itu dihidupi dan tampak dari tindakan mereka yang saling membantu untuk menyelesaikan persoalan masing-masing. Aspek lain yang
penting juga adalah makna dari pela sebagai saudara menempatkan masing- masing anggota pela dalam posisi yang setara, harus dihormati, saling
membutuhkan mutual. Tindakan kepada orang lain diartikan sama dengan terhadap dirinya sendiri.
2. Pela Gandong Dalam Tatanan Struktur Sosial Masyarakat Ambon
F.Sahusilawane mengelompokan susunan masyarakat Ambon Pulau Ambon berdasarkan ukuran geneologis atau keturunan dan ukuran teritorial atau
84
Lht. C.M. Pattiruhu, dkk, Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon… 1997,25-26.
Persekutuanan bi-negeri antara lain: perserikatan Halong, Hitu, Hukurila-Kilang. Dan persekutuan multi-negeri: antara Tulehu, Tial, Asilulu, Hulaliu, Paperu, SIla dan Laimu.
45
kedaerahan. Kedua ukuran ini memang real ada dalam masyarakat adat pada negeri-negeri di Ambon. Berasaskan geneologis dan teritorial masyarakat adat
pada negeri-negeri tersusun atas beberapa wilayah hukum adat menurut besar- kecil dan luas kedudukannya yang tergabung atau terpisah. Masing-masing
hukum adat wilayah itu yakni, hukum adat wilayah rumatau, uku, soa, hena, aman, negeri, uli serta Pela Gandong.
85
2.1. Masyarakat Adat Pela
Menurut Ruhulesin
86
, sekurang-kurangnya terdapat tiga pengertian mengenai kata Pela. Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha di pulau
Haruku Pelauw, Kailolo, Kabauw, Ruhumoni dan Hulaliu kata pela berarti “sudah“, dan dalam lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon
Tulehu, Tengah-tengah dan Ti al, Pela berarti “cukup“. Ada juga Istilah “Pela
nia “ yang berarti “sampe jua“ atau “berhentilah“. Biasanya hubungan pela yang
muncul dilatari konflik atau perang yang pernah terjadi. Dengan bertolak dari kedua pengetian tersebut Lestaluhu
87
berpendapat bahwa munculnya hubungan pela disebabkan hancurnya ikatan-ikatan kekeluargaan. Dalam konteks itu pela
dimaksudkan sebagai cara untuk mengakhiri kondisi kehancuran itu. Kedua, dalam lingkungan kebahasaan masyarakat di Seram kata ini
diaksarakan dengan kata “Peia“ yang menunjuk pada pengertian “saudara“ yang terambil dari tradisi kakehang. Saudara dalam tradisi kakehang tidak menunjuk
pada suatu hubungan yang didasarkan pada satu hubungan geneologis melainkan pada keanggotaan suku. Sebuah ikatan yang menyatukan satu dengan yang
lainnya sebagai “orang basudara“. Ketiga. Kata pela berasal dari istilah pela- laha
yang berarti “orang tatua baca: tua-tua dulu punya keterkaitan“. Jadi Pela merupakansuatu yang berasal dari orang orang tua atau leluhur.
Pengormatan terhadap orang tua dalam konsep masyarakat Seram sangat kuat. Mereka mengaggap apa yang telah dilakukan oleh orang tua datuk-
datukadalah ajaran kebijaksanaan yang bersifat etik. Jadi hubungan pela dalam
85
F.Sahusilawane ,Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong Antara Negeri-negeri Di Pulau Ambon. Ambon: Balai Kajian Jarahnita. 2004, 4-12
86
J.Ch. Ruhulesin, Etika Publik… 2007,148-153
87
Maryam R.L. Lestaluhu “Pela Sebagai Perekat Kerukunan Masyarakat Maluku” dalam
Ruhulesin, Etika Publik. . . 2007, 148
46
masyarakat Maluku adalah hubungan yang dihormati karena berasal dari orang tua. Keempat, dari Bartles, pela didefenisikan sebagai hubungan persahabatan,
atau sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan yang dikembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih.
88
Selain itu, Lekahena mengajukan, pengertian kata Pela,Pertama, menurut Manussama,
89
Pela berasal dari akar kata “Ela“ berarti “besar“ atau “sesuatu yang
menjadi besar“. Ada juga yang mengatakan bahwa pela berasal dari kata “Pila“ yang berarti “berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama“, sering kali kata itu
diberi akhira “tu“ sehingga menjadi “Pilatu“ yang berarti “menguatkan, mengamankan, mengusahakan agar sesuatu tidak mudah rusak atau pecah“.
Berdasarkan pengertian-pengertian itu, Lekahena menyimpulkan bahwa Pela berarti “sesuatu yang besar yang diadakan“ dengan tujuan “menguatkan,
mengo kohkan“- sesuatu itu agar tidak mudah rusak atau pecah“. Jadi sesuatu yang
dimaksudkan itu adalah ikatan atau persekutuan, karena Pela kenyataannya adalah hubungan atau ikatan antar negeri. Karena itu, dalam rumusannya, Pela adalah
suatu ikatan persaudaraan antara suatu kelompok masyarakat negeri dengan kelompok masyarakat yang lain, sehingga menjadi suatu kelompok masyarakat
yang besar. Persekutuan itu dibentuk dengan tujuan membentuk persekutuan yang lebih
besar untuk menjaga, menguatkan, mengokohkan masing-masing kelompok masyarakat yang kecil itu agar tidak binasa. Jaringan persekutuan antar masing-
masing-kelompok negeri inilah yang disebut masyarakat adat Pela.
90
Berdasarkan gambaran pengertian diatas, maka pela dapat dipahami sebagai suatu sistem kekerabatan persaudaraan telah berlangsung sejak masyarakat di
sana menemukan dirinya sebagai sebuah ikatan masyarakat. Pela diharapkan menjadi cara untuk membangun kedekatan serta solidaritas yang lebih empatik.
Ia berfungsi secara lebih efektik untuk meredam kemungkinan gejolak dan
88
Dieter Bartles, “Guarding the Invisibles Mountain. . . ”, dalam John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik,,,2007,153. Lihat juga, F. Coley, Mimbar dan Tahta. . . Jakarta: Penerbit sinar
harapan, 1987,183-189
89
Dr.Z.J. Manusama, “Hikayat Tanah Hitu”,dalam Herman Lekahena, Studi Terhadap
Pemahaman Masyarakat Adat di Pulau Nusalaut tentang Adat Pela Salatiga:Universitas Satya Wacana, 1984 Thesis.51.
90
H. Lekahena,. Studi terhadap pemahaman... 1984,52
47
perpecahan dalam kesatuan sebagai masyarakat suku, serta usaha membangun intergitas sebagai sebuah masyarakat.
91
Sejalan dengan pemaparan Ruhulessin, tentang pengertian pela dari kata peia, menurut C. Patiruhhu,
Istilah Pela berasal dari kata “Pela Laha luia“ artinya suatu perjanjian untuk hidup dalam kasih atau saling mengasihi dalam suasana
persaudaraan. Ikatan persaudaraan ini dilembagakan oleh masyarakat Maluku yang terdiri dari dua negeri atau lebih di pulau Ambon, leasa dan pulau sera.
Perserikatan Pela Gandong didasarkan pada hubungan persaudaraan sekandung sejati yang terpahami dalam sapaan ade-kaka-bongso, dengan isi dan tatalaku
perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana para pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum
bagi implementasi dari waktu ke waktu.
92
Segi pembentukan hubungan pela antara negeri-negeri di Ambon Maluku mencirikan kedudukan dan peranan pela dalam masyarakat Adat Maluku. Pela
memiliki fungsi sosial. Pela menghubungkan anak negeri Maluku individu dengan anak negeri yang lain. Menurut Coley, adat pela merupakan bagian dari
adat negeri yang berhubungan dengan seluruh anak negeri.
93
Menurut Bartels, fungsi-fungsi pela dalam masyarakat Maluku antara lain: pertama, negeri-negeri yang yang terikat dalam hubungan pela saling membantu
dalam saat-saat krisis perang atau bencana alam; kedua, jika dibutuhkan satu negeri berpela harus membantu sekutu pela nya dalam menangani proyek-proyek
bersama masyarakat, seperti pembangunan gereja, mesjid dan sekolah; ketiga, saat seseorang mengunyungi negeri pelanya, ia berhak mendapat makanan dan ia tidak
perlu meminta ijin untuk memenuhi kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian sehingga ia dapat membawanya pulang; keempat, semua anggota negeri yang
termasuk dalam hubungan berpela diperlakukan sebagai satu darah.
94
91
John.Chr. Ruhulessin, Etika Publik … 2007,155
92
C.M. Pattiruhu, Seri Kebudayaan Maluku … 1997, 24
93
Frank.L. Coley, Mimbar dan Tahta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1987, 238
94
Dieter Bartles, “Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku
Tengah Indonesia Setelah Hidup Berdampingan dengan Toleransi dan Kesatuan Etnis yang Berlangsung Selama Setengah Milenium
”,19992000.
48
3. Jenis-Jenis Hubungan Pela