40
B. PELA GANDONG
1. Sejarah pembentukan dan Pemaknaan Pela Gandong
Ikatan pela hanya dapat di Maluku Tengah mencakup wilayah pulau Ambon dan pulau-pulau lease Saparua, Nusa Laut, Seram. Dieter Bartles membuat
suatu rekonstruksi yang bersifat etnohistoris, dia memulai rekonstruksi tersebut di masa sebelum ekspansi Islam ke Maluku Tengah, dari suatu masa yang disebut
“masa perburuan kepala manusia“, kemudian masa ekspansi Islam lau berakhir pada waktu bercokol orang Belanda di Maluku.
79
Hubungan pela yang dibangun di Maluku Tengah dalam rekonstruksi Bartles, dikembangkan oleh John Chr. Ruhulessin
80
. Ia membagi tahap-tahap pembentukan pela dalam 3 Fase, yaitu: sebelum masuknya Islam Kristen; masa
masuknya Islam-Kristen dan sesudah masuknya Islam Kristen; masa sesudah masuknya kolonialisme Protugis dan Belanda. Kronologis ketiga fase tersebut,
sebagai berikut:
1.1.Masa sebelum masuknya Islam.
Asal mula Pela di Maluku Tengah berkaitan dengan kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat Nunusaku di Pulau Seram. Perkembangan kehidupan
sosial masyarakat Nunusaku yang dari satu segi mengalami pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan keterbatasannya ketersediaan dan pengelolaan
sumberdaya alam. Perkembangan tersebut mengakibatkan perpecahan dan terjadi migrasi kelompok suku, selain ke daerah timur maupun barat pulau itu, juga ke
arah Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Proses migrasi cenderung mengakibatkan peperangan antar kelompok Patasiwa dan Patalima bahkan
internal kelompok sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan perebutan wilayah kekuasaan.
81
79
Dieter, Bartels. Guarding the Invisibles Mountain; Inter-village Alliences, Religious Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslems In The Moluccas.
Ithaca: Cornell University Ph. D. Dissetation,24
80
John.Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. Salatiga: Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007,155-170
81
C.M.Pattiruhu dkk. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1997, 8. Salah satu contoh perpecahan internal serumpun yang
terjadi yakni dalam rumpun Patasiwa: Patasiwa Putih dan Patasiwa Hitam. Untuk mengantipasi perpecahan tersebut maka dibentuklah Lembaga Pendidikan Kakehang. Peperangan sering diatasi
dengan Ikrar atau perjanjian yang selalu disertai dengan nyanyian atau “Kapata” yang hidup di
41
Cerita tentang pemisahan yang terjadi dalam wilayah Pulau Seram itu sering dikaitkan dengan tiga batang Air Tala Eti Sapalewa. Tempat ini menjadi tempat
terpisahnya adik dan kakak. Contohnya, adik-kakak sekandung yang memutuskan tinggal berpisah, sebagian di Seram, Saparua, pulau Ambon. Begitu juga antara
adik-kakak sekandung berbeda ayah yang memutuskan tinggal di pulau Ambon dan di Nusa laut. Faktor yang berfungsi menyatukan mereka terletak pada
kesadaran mengenai ikatan genealogis satu nenek moyang dan teritorial pernah menetap pada satu tempat. Dengan demikian, maka jenis hubungan pela yang
menonjol terbangun pada masa ini dapat dipahami sebagai ikatan persaudaraan antar negeri-negeri terpisah secara teritorial namun berasal dari satu nenek
moyang.
1.2.Masa masuknya Islam-Kristen.
Pada masa ini, hubungan pela antar dua negeri yang pertama-tama terbentuk yakni antara negeri Passo dan Batu Merah. Pembentukannya terjadi pada masa
pemerintahan kerajaan Ternate yang pada saat itu telah berhasil membangun kekuasaannya hingga mencapai sebagian pesisir pulau Ambon. Ikatan tersebut
dimulai ketika kora-kora perahu milik orang Passo mengalami kecelakaan sehingga hampir menenggelamkan orang serta isinya. Pada saat itu datang
bantuan dari orang Hatukau Batu Merah sehingga mereka Passo terselematkan. Semenjak itulah diangkat janji disertai sumpah yang mengikat
keduanya sebagai orang yang berpela. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa latar belakang terbentuknya hubungan pela pada masa ini secara khusus bukan
karena faktor geneologis melainkan oleh adanya sebuah peristiwa penting yang dialami bersama antara negeri yang berpela.
1.3. Masa setelah Pemerintahan VOC.
Hubungan pela yang terjadi antara negeri Waai dan Kaibobu
82
; Hatuhaha Pulau Haruku dan Tuhaha Pulau Saparua; Hatuhaha dan Oma; Hatuhaha dan
Pulau Seram yang selanjutnya menjadi prototype dari pela gandong. Implementasi makna perjanjian pela ditandai dengan saling berpeluk atau berciuman dengan mengosokan hidung antar
wanita atau saling menepuk bahu sebagai tanda saling mengasihi dan akrab dalam persaudaraan sekandung dan persahabatan sejati.
82
C.M. Pattiruhu dkk. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon... 1997,83-84
42
Tihulale. Hubungan pela terbangun pada masa berlangsungnya perang Hongi abad 17-18 yang bergerak dan beroperasi pada wilayah sekitar seram-Leihitu di
pulau Ambon. Diperparah dengan hadirnya para bajak laut orang Tobelo yang melakukan perampokan barang dan manusia untuk dijadikan budak. Hal tersebut
tidak menguntungkan bagi masyarakat Kaibobu di pesisir pulau Seram Barat yang sebagian besar nelayan. Untuk menghadapi persoalan itu, Raja Kaibobu
memutuskan untuk meminta bantuan dari VOC agar dibangun sebuah pos keamanan di daerah pesisir. Di situlah Raja Waai membantu dengan
mempertemukan Raja Kaibobu dengan Pihak VOC di Benteng Victoria Kota Ambon. Atas kebaikan budi itu maka Kaibobu mengangkat Waai sebagai
saudara-pelanya. Lebih lanjut, Pattiruhu, C.M et al memberikan catatan tambahan bahwa
pada masa VOC ini, terbentuk juga pela antara negeri akibat perlawanan terhadap VOC sendiri. Misalnya, pela antara Ema dan Ameth; Iha Islam dan Samasuru
Kristen. Dikisahkan bahwa ketika penduduk Iha terhalau oleh Belanda, mereka melarikan diri ke Seram. Akan tetapi di sana mereka menghadapi penduduk
Seram. Hanya dengan batuan orang Samasuru, orang Iha diselamatkan.
83
Selain itu, pada rentanan abad ke-20 juga terbangun hubungan pela: Galala Negeri Kristen dan Hitu Lama Negeri Islam di tahun 1959. Relasi pela ini
dibangun karena kebiasaan bekersajama antara raja dan masyarakat kedua negeri. Ada juga, hubungan pela yang terbangun antara beberapa negeri, di Ambon
dengan negeri-negeri di pantai Seram. Hubungan ini terbangun karena situasi ekonomi yang memburuk di kalangan para penduduk Maluku Tengah. Ambon
menjadi wilayah kekurangan makanan, terutama sagu. Sedangkan Seram memiliki kelimpahan makanan, dan pohon sagu sehingga melalui saling
membantu, bergotong royong maka hubungan pela terbangun. Selanjutnya, ada juga hubungan pela yang terbangun atas motif kemanusiaan:
cinta. Misalnya, negeri Nolot di Pulau Saparua dan Haruku. Dikisahkan, bahwa pada suatu saat bekas Raja Nolot berangkat ke Tulehu. Di tengah jalan, jangkar
perahu Nolot terputus. Karena itu, perahu Nolot singgah di Haruku untuk meminjam jangkar. Raja haruku mengabulkan permintaan mereka. Raja Nolot
83
Dieter, Bartels. Guarding the Invisibles Mountain …1977,134-218
43
kemudian jatuh cinta pada puteri Raja Haruku. Sekembali dari Tulehu, raja Nolot singgah di Haruku dengan alasan ingin mengembalikan jangkar yang
dipinjamnya. Pada saat itu raja Nolot menyampaikan isi hatinya pada raja Haruku. Kedua orang itu kemudian diizinkan menikah. Tetapi belum ditentukan kepastian
tanggal menikahnya, dan ketika bekas raja Nolot itu datang kembali ke Haruku untuk menikah, tetapi ternyata puteri raja Haruku telah meninggal. Karena
cintanya yang luar biasa, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan upacara pernikahannya sekalipun dengan mayat. Tekad ini yang menyatukan kedua
negeri, Nolot dan Haruku dalam ikatan hubungan berpela. Perlu disampaikan pula, terkait dengan hubungan pela yang mengakomodasi
penganut agama berbeda Islam-Kristen. Dalam sejarah pela negeri Booy, Aboru, Kariuw, dan Huakoy, yang terbangun sebelum masuknya agama ke negeri-negeri
ini, dan berkembang sampai saat masuknya agama ke Maluku. Persaudaraan natara negeri-negeri ini berawal dari migrasi di Nunusaku. Moyang mereka
bersaudara dan saat migrasi terjadi, mereka melakukan perjalanan bersama menelusuri air sungai Tala dan tinggal di Wae Tuni. Karena kurang betah,
mereka pindah ke daerah selatan, menetap di dusun Wae Lei. Migrasi tetap mereka lakukan ke desa-desa lainnya, dan akhirnya tiba di Nunu Hatu. Di tempat
itu, mereka berpisah, dan sebelum itu mereka bersumpah “Kapala Soka, Nusa Soka Mo Tasio Kusue, Nusa Kusue Mo
“, artinya “Meskipun kami berpisah ke berbagai tempat seperti kapal berlayar, namun persekutuan persaudaraan tetap
utuh bagaikan sebuah pulau di tengah samudera“. Ikatan pela keempat negeri ini semakin mengental sejak peristiwa perang
Mosol Amaika ±14. Amaika negeri Islam adalah nama sebuah negeri yang terletak di pedalaman bagian timur pulau Haruku. Negeri ini merupakan salah satu
pusat perdagangan yang strategis di pulau Haruku; tempat penukaran hasil Hutan: rotan, damar antara orang pribumi dengan pedagang dari China, dan juga dengan
pedagang dari kepulauan Banda yang beragama Islam. Peperangan saat itu disebabkan karena beberapa hal seperti, perampokan,
pembunuhan, dan ancaman kekerasan yang sering dilakukan orang-orang Amaika terhadap orang-orang kariuw dan Aboru. Panglima perang negeri Aboru menahan
gempuran pasukan Amaika. Tetapi karena kesaktian panglima Amaika, maka
44
panglima Aboru meminta bantuan dari ketiga saudaranya, yaitu: Kariuw, Booy, Hualoy. Mereka berkumpul dan mengatur strategi perang mereka. Akhirnya
panglima Amaika berhasil dibunuh panglima Aboru. Seluruh penduduk kota Amaika dibunuh, dan semua bangunan dibakar habis.
Aspek yang menonjol yang mewarnai hubungan pela di Maluku Tengah hingga saat ini adalah kerjasama untuk membangun rumah ibadah milik anggota
dari saudara pela. Dari pengalaman itu, ditemukan bahwa hubungan Islam dan Kristen di Maluku bersifat ambigu: satu sisi hormanis dan tidak harmonis.
Ketidak harmonisan diperparah dengan konteks masuknya penjajah belanda yang melanggengkan pola-pola hubungan yang tidak saling menghormati. Sisa-sisa
dari hubungan seperti itu telah mengatur hubungan Islam dan Kristen di Maluku dalam kemelut sejarah yang kelam dan suram.
Berdasarkan tinjauan perkembangan hubungan pela, ditemukan bahwa sesungguhnya esensi dari pela ini menerangkan hubungan antar saudara yang
terbatas pada klan atau suku terkait. Latar belakang pemahan ini menimbulkan persekutuan pela di mana jumlah anggota-anggota dikenal dengan dengan bi-
negeri dan multi-negeri.
84
Persekutuan bi-negeri terbentuk karena konteks tertentu seperti perang dan saling menolong tanpa faktor kedekatan geneologi. Sedangkan
persekutuan pela multi-negeri cenderung memiliki latar belakang mengenai hubungan-hubungan geneologi.
Nilai dari persekutuan itu dihidupi dan tampak dari tindakan mereka yang saling membantu untuk menyelesaikan persoalan masing-masing. Aspek lain yang
penting juga adalah makna dari pela sebagai saudara menempatkan masing- masing anggota pela dalam posisi yang setara, harus dihormati, saling
membutuhkan mutual. Tindakan kepada orang lain diartikan sama dengan terhadap dirinya sendiri.
2. Pela Gandong Dalam Tatanan Struktur Sosial Masyarakat Ambon