Proses Perubahan Sikap dan Perilaku

tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan

2.2.2. Proses Perubahan Sikap dan Perilaku

Menurut Skinner 1938 dalam teori Stimulus-Organisme-Respon S-O-R bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan organisme. Proses yang terjadi pada organisme berupa perhatian, pengertian dan penerimaan Notoatmodjo, 2005. Berdasarkan teori S-O-R, perilaku manusia dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1 perilaku tertutup covert behavior, terjadi bila respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respon seseorang masih terbatasdalam bentuk pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan; 2 perilaku terbuka overt behavior, terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau praktik yang dapat diamati orang dari luar. Contoh: seorang penderita TB paru minum obat anti TB secara teratur Notoatmodjo, 2005. Sementara menurut Kelman 1955 bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukumansanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kepatuhan compliance. Biasanya Universitas Sumatera Utara perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan Sarwono, 2007. Menurut Kelman, pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, mungkin sekali perilakunya akan berubah, menjadi perilaku yang diingininya sendiri. Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut change agent. Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam compliance, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut. Universitas Sumatera Utara Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya. Internalisasi ini dapat dicapai jika petugas kesehatan merupakan tokoh yang dapat dipercaya kredibilitasnya tinggi yang dapat membuat individumasyarakat sasaran memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individumasyarakat sasaran untuk mengubah sistem nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru.

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 1 4

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN PASIEN TB PARU DALAM MENJAGA KELANGSUNGAN PENGOBATAN DI PUSKESMAS

0 0 23

HUBUNGAN FASE PENGOBATAN TB DAN PENGETAHUAN TENTANG MDR TB DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN TB (Studi di Puskesmas Perak Timur)

0 0 12

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PASIEN HIPERTENSI TERHADAP KEPATUHAN DALAM MENJALANI PENGOBATAN DI PUSKESMAS TALANG KABUPATEN SOLOK TAHUN 2014

0 1 11

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2013

0 0 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 12

HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2013 TESIS

0 0 21

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN TB PARU YANG SEDANG MENJALANI PENGOBATAN

0 20 23