Kasus kambuh Relaps Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah Landasan Teori Perilaku

4. Ditentukan dipertimbangkan oleh dokter untuk diberi pengobatan. 3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas misalnya proses far advanced, dan atau keadaan umum pasien burukTB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: 1 TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang kecuali tulang belakang, sendi, dan kelenjar adrenal. 2 TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. 5. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan 4 minggu.

b. Kasus kambuh Relaps Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif apusan atau kultur. Universitas Sumatera Utara c. Kasus setelah putus berobat Default Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif d. Kasus setelah gagal FailureAdalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan. e. Kasus pindahan Transfer In Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.3.4. Cara Penularan TB Paru

Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak droplet nuclei. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut Depkes RI, 2007. Universitas Sumatera Utara

2.3.5. Pengobatan TB Paru

1. Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT Depkes RI, 2007. 2. Paduan OAT di Indonesia a. Kategori 1: 2HRZE4H3R3 Tahap intensif terdiri dari Isoniazid H, Rifampisin R, Pirazinamid Z dan Etambutol E. Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan 2HRZE. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid H, Rifampisin R, diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan 4H3R3. Obat ini diberikan untuk: 1 penderita baru TBC paru BTA positif, 2 penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang “sakit berat”, 3 penderita TBC ekstra paru berat Untuk seorang penderita baru BTA Positif 114 dosis, disediakan OAT untuk fase awal 60 kombipak II dan untuk fase lanjutan 54 kombipak III masing- masing dikemas dalam 1 dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. b. Kategori 2 : 2HRZESHRZE5H3R3E3 Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid H, Rifampisin R, Pirazinamid Z dan Etambutol E dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid H, Rifampisin R, Pirazinamid Z dan Etambutol E setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE Universitas Sumatera Utara yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomycin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk: 1 Penderita kambuh relaps, 2 Penderita gagal failure, 3 Penderita dengan pengobatan setelah lalai after default Untuk seorang penderita kambuh atau gagal pengobatan BTA positif 156 dosis, disediakan OAT untuk fase awal 90 kombipak II, dan fase lanjutan 66 kombipak IV dikemas dalam satu dos besar disertai 1 dos Streptomicyn dan 1 dos pelengkap pengobatan spuit dan aqua bidest. c. Kategori 3 : 2HRZ4H3R3 Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan 2HRZ, diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu 4H3R3. Sehingga untuk 1 penderita BTA negatif rontgen positif atau ekstra paru 114 kali dosis harian, disediakan OAT untuk fase awal 60 kombipak I dan untuk fase lanjutan 54 kombipak III yang masing-masing dikemas dalam 1 dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. d. OAT sisipan HRZE Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan HRZE setiap hari selama 1 bulan. Universitas Sumatera Utara 3. Prinsip Pengobatan Depkes RI 2007, pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal monoterapi. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap OAT-KDT lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasian menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat PMO. c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal intensif: 1 Pada tahap intensif awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. 2 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. 3 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif konversi dalam 2 bulan. Tahap lanjutan: 1 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama. 2 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Universitas Sumatera Utara

2.3.6. Strategi DOTS Directly Observed Treatment, Short-course

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang pelaksanaannya di Indonesia dimulai pada tahun 1995. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS 1969-1994 angka kesembuhan TB paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85 dari penderita TB paru BTA positif yang ditemukan Aditama, 2002. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan Permatasari, 2005. Strategi DOTS mempunyai lima komponen: a Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. b Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. c Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat PMO. d Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. e Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. Universitas Sumatera Utara

2.3.7. Pencegahan Penularan TB Paru

Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI 2007 sebagai berikut: 1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh. 2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak. 3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi karbolantiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah. 4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PHBS, antara lain: a. Menjemur peralatan tidur. b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk. c. Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman. d. Makan makanan bergizi. e. Tidak merokok dan minum minuman keras. f. Lakukan aktifitas fisikolah raga secara teratur. g. Mencuci peralatan makan dan minum dengan air bersih mengalir memakai sabun. h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun. Universitas Sumatera Utara

2.3.8. Penyuluhan TB Paru

Menurut Depkes RI 2002, penyuluhan TB paru perlu dilakukan karena masalah TB paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB paru. Dalam program penanggulangan TB paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk meng ubah persepsi masyarakat tentang TB paru dari ”suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”, menjadi ”suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”. Informasi yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Pesan pokok: apa itu penyakit TB, bagaimana cara penularan dan pengobatannya serta bagaimana cara pencegahannya. 2. Pesan penunjang: pencegahan TB, perilaku hidup bersih dan sehat. 3. Manfaat mematuhi pengobatan secara teratur sesuai dengan anjuran dokter. 4. Akibat bila tidak memeriksakan diri, tidak minum obat secara teratur. Agar pesan yang disampaikan didengarkan, dimengerti dan dipahami, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu: a. Pesan yang disampaikan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi pada saat itu: misalnya masalah keteraturan Universitas Sumatera Utara minum obat, maka pesan yang diberikan adalah bagaimana cara mencegah agar tidak lupa minum obat dan apa bahaya kalau tidak minum obat secara teratur. b. Pesan yang disampaikan harus jelas dan mudah dimengerti oleh pasien. c. Melakukan tanya jawab setelah selesai memberikan pesan untuk mengetahui apakah sasaran memahami pesan penyuluhan yang disampaikan. d. Menggunakan alat bantu penyuluhan seperti poster, leaflet, dan lain-lain.

2.4. Landasan Teori Perilaku

Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven 2002, adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Sarafino Bart, 1994 mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat perilaku penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan olehdokternya atau yang lain. Ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Menurut Depkes RI 2008, penderita TB paru yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh Universitas Sumatera Utara datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Menurut teori Feuerstein dalam Niven 2002, ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, yaitu: 1 Pendidikan, 2 akomodasi, 3 modifikasi faktor lingkungan dan sosial, 4 perubahan model terapi, dan 5 interaksi petugas kesehatan dengan pasien. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi Niven, 2002. Dalam melakukan komunikasi interpersonal, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat, Menurut Devito 1989, Faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu : keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan Kesetaraan. Komunikasi interpersonal bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan Pasien guna mendorong pasien agar mampu meredakan segala ketegangan emosinya dan memahami dirinya serta mendukung tindakan konstruktif terhadap kesehatannya dalam rangka mencapai kesembuhannya Dalami, 2009. Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respon S-O-R, bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsangan stimulus yang berkomunikasi dengan organisme Notoatmodjo, 2003. Untuk lebih jelasnya dapat Universitas Sumatera Utara kita pada Kerangka konsep pada gambar di bawah ini yang mendasari dilakukan penelitian tentang Hubungan komunikasi interpersonal terhadap kepatuhan pasien menjalani pengobatan tuberkulosis paru rawat jalan di Puskesmas Sunggal Kecamatan Sunggal Medan Tahun 2014. 2.5. Kerangka Konsep Variabel Bebas Variabel Terikat Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian 2.6. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan komunikasi Interpersonal Petugas TB terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru. Komunikasi Interpersonal - Keterbukaan openness - Empati empaty - Sikap mendukung supportiveness - Sikap positif positiveness - Kesetaraan equality Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru Universitas Sumatera Utara 42

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan menggunakan desain sekat silang cross sectional study, yaitu penelusuran sesaat, artinya subyek diamati hanya sesaat atau satu kali. Untuk memperoleh informasi tentang variabel independen dan variabel dependen maka pengukuran dilakukan bersama-sama pada saat penelitian dengan menggunakan kuesioner Sugiyono, 2005 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Sunggal Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada November 2013 - Januari 2014. 3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah semua penderita TB paru yang sudah menjalani pengobatan 6-9 bulan diwilayah kerja Puskesmas Sunggal yaitu 42 orang tahun 2013.

3.3.2. Sampel

Sampel yang digunakan adalah seluruh populasi Total sampling, dengan kriteria pengambilan responden sebagai berikut: a Kalau penderita adalah anak BTA Positif, maka responden keluarga adalah orang tua anak. Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 1 4

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN PASIEN TB PARU DALAM MENJAGA KELANGSUNGAN PENGOBATAN DI PUSKESMAS

0 0 23

HUBUNGAN FASE PENGOBATAN TB DAN PENGETAHUAN TENTANG MDR TB DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN TB (Studi di Puskesmas Perak Timur)

0 0 12

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PASIEN HIPERTENSI TERHADAP KEPATUHAN DALAM MENJALANI PENGOBATAN DI PUSKESMAS TALANG KABUPATEN SOLOK TAHUN 2014

0 1 11

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2013

0 0 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 12

HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2013 TESIS

0 0 21

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN TB PARU YANG SEDANG MENJALANI PENGOBATAN

0 20 23